November 22, 2008

TRADISI MUDIK YANG POLITIS


TRADISI MUDIK YANG POLITIS



Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura

Ketua LPPM Universitas Trunojoyo

Bangkalan, Madrura



Mudik artinya “pulang kampung” baik bagi perantau yang sudah lama meninggalkan kampung halaman maupun orang-orang yang sudah menjadi mukimin di tempatnya yang baru sehingga sebenarnya mereka sudah enggan untuk kembali ke kampungnya. Tapi karena sudah menjadi tradisi yang mengikat secara sosial dan budaya serta terkait dengan ritualisme religius (Idul Fitri atau Natal dan Tahun Baru), mau tidak mau mereka harus mudik juga. Sebagaimana orang-orang di kebudayaan lain, melewati petengahan bulan Ramadhan tahun ini, orang-orang Madura yang berada di rantau mulai bersiap-siap dan seakan berlomba dengan waktu untuk secepatnya mudik di kala Lebaran.


Kiranya sudah tidak perlu dianalisis lebih lanjut bahwa tradisi mudik dalam konteks ritual keagamaan pada umumnya bertujuan untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan “kewajiban-kewajian” sebagai pemeluk agama (Islam), seperti sholat Iedul Fitri bersama keluarga, mempererat tali silaturrahim sekaligus bermaaf-maafan sesama sanak keluarga atau nyekar ke makam para leluhur. Namun begitu, penting untuk melihat tradisi mudik ini dari perspektif lain di luar itu.


Jika diamati secara seksama ada dua golongan besar perantau Madura yang melakukan mudik yaitu “massa” dan “elit”. Kelompok “massa” adalah kelompok terbesar dan yang tersebar hampir di seluruh pelosok nusantara. Mereka pada umumnya bergelut dengan jenis-jenis pekerjaan kasar atau berkutat di sektor-sektor informal. Namun ada sebagian dari mereka bekerja di sektor-sektor formal pada tingkatan “menengah”. Bagi kelompok “massa” tujuan merantau yang terpenting lebih berdimensi ekonomi. Artinya, mereka harus bekerja keras memeras keringat dengan semangat ketekunan dan keuletan demi mencapai tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Oleh karena itu, simbol-simbol kesuksesan secara materi lebih dipentingkan. Tidak heran jika mereka ketika mau mudik sudah mempersiapkan berbagai jenis benda (materi) yang dapat digunakan sebagai simbolisasi keberhasilan. Mulai dari pakaian, kendaraan bermotor, perhiasan emas, dan semacamnya.


Simbol-simbol ini sangat penting sebagai alat bagi mereka untuk memanipulasi makna-makna agar di kampung halaman nanti mendapat pengakuan sekaligus legitimasi sosial sebagai orang “sukses”. Ada kalanya sebagian dari mereka karena begitu bersemangatnya untuk mengejar pengakuan dan legitimasi sosial tentang predikat kesuksesannya di rantau, tidak segan-segan menempuh “jalan pintas”. Mereka rela meminjam dan menyewa (tentu saja dengan nilai sewa lebih tinggi daripada hari-hari biasa) segala macam simbol-simbol material untuk mereka pakai selama masa mudik kemudian dikembalikan setelah mereka tiba kembali di tempat rantau.


Dengan demikian, jika kelompok “massa” harus mudik tiada yang lebih penting bagi mereka selain bertujuan menunjukkan kepada sanak keluarga, kerabat dan sejawat di kampung halaman tentang cerita sukses (secara material) yang sudah diraihnya selama merantau. Lain halnya apa yang terjadi dengan dengan kelompok “elit”.


Kelompok “elit” ini merupakan sebagian kecil dari seluruh perantau Madura yang sudah menikmati kesuksesan tidak saja yang bercorak material (ekonomi) tapi juga sudah masuk pada ranah politik (praktis). Mereka telah berhasil meraih posisi-posisi strategis di tataran pemerintahan baik sebagai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka tersebar mulai di tingkat regional sampai nasional. Dalam konteks sosial-budaya dan religiusitas, tujuan mereka mudik tentu saja tidak banyak berbeda dengan para perantau Madura dalam kelompok ”massa” seperti telah diuraikan di muka. Namun, oleh karena keberhasilan kelompok “elit” di rantau sudah merengkuh ranah politik (praktis) maka mudah diduga kepentingan-kepentingan politik akan mewarnai tujuan mudik mereka. Apalagi dalam euforia situasi dan kondisi politik nasional sangat memungkinkan putra-putra daerah memiliki ruang gerak sangat luas untuk “bermain-main” politik di daerah asalnya.


Dalam konteks Madura, yang kebetulan musim mudik kali ini berbarengan dengan berlangsungnya proses suksesi di tingkat lokal – paling paling tidak di dua kabupaten (Pamekasan dan Bangkalan) – maka tidak tertutup kemungkinan para perantau elit ini memanfaatkan kesempatan mudik untuk tujuan-tujuan politik mereka. Apakah itu berkaitan langsung dengan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok atau kerabatnya. Misalnya, melalui “otoritas” dan “kapabilitas” politik yang mereka miliki tidak terlalu sulit bagi mereka untuk dapat memobilisasi orang-orang Madura di tingkat grass root agar mau mendukung kepentingan-kepentingan politik mereka pada proses suksesi yang kini sedang marak itu.


Secara politik, tentu saja upaya mereka sah-sah saja karena hakikat politik itu sendiri secara substansial dan konseptual adalah “perebutan” kekuasaan baik demi kepentingan pribadi yang merebutnya maupun demi kepentingan-kepentingan orang-orang di sekelilingnya (kelompok).


Jika memang tengara ini tidak terlalu meleset dari kenyataan, maka konsep dan makna mudik tidak lagi sesempit seperti yang selama ini dipikirkan orang. Melainkan, boleh dikatakan sudah terartikulasi ke ranah yang lebih luas dari sekedar dimensi sosial-budaya dan keagamaan. Yaitu telah merambah ranah politik (praktis). Bila demikian halnya, sejatinya mudik sudah harus dikatakan telah menjadi alat atau media untuk memenuhi dan merealisasikan motif-motif atau ambisi-ambisi politik. Maka, tidak mengherankan jika pada musim mudik kali ini di Madura muncul pula apa yang disebut dengan “mudik politis”. Bagaimana kelanjutan alur cerita “mudik politis” ini, marilah kita tunggu bersama-sama!!!



BANGKALAN, 04 APRIL 2003

1 komentar:

  1. SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
    DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
    HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

    …TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…

    **** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
    1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
    2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
    3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
    4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

    …=>AKI KANJENG<=…
    >>>085-320-279-333<<<






    SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
    DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
    HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

    …TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…

    **** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
    1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
    2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
    3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
    4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

    …=>AKI KANJENG<=…
    >>>085-320-279-333<<<

    BalasHapus