November 17, 2008

MEMAHAMI MADURA Sebuah refleksi terhadap Kasus Sampang

MEMAHAMI MADURA
Sebuah refleksi terhadap Kasus Sampang


A. Latief Wiyata
Pengamat Masalah-masalah
Sosial dan Budaya Madura



Sejak pemerintahan rezim Orde Baru hingga kini, Madura sudah berkali-kali menarik perhatian publik nasional karena terjadinya tindakan kekerasan atau amok massa. Mulai dari kasus pembangunan waduk Nipah di wilayah kabupaten Sampang (terkenal dengan Kasus Nipah, 1993), kasus pertikaian antar etnik di Sambas (Kasus Sambas, 1996), serta kerusuhan massa pada Pemilu 1977 yang merata di semua wilayah Madura, tapi paling “dahsyat” terjadi di kabupaten Sampang dibandingkan dengan tiga kabupaten lainnya (Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep).

Di penghujung tahun ini, lagi-lagi Madura kembali menjadi perhatian publik nasional dengan terjadinya peristiwa amok massa di kota Sampang yang berpangkal pada hasil pemilihan bupati dan wakil bupati oleh DPRD setempat. Peristiwa amok massa ini diawali dengan penyegelan Kantor Pemerintah Daerah pada hari Senin (4 September) dan disusul pembakaran Kantor DPRD dua hari setelahnya. Kedua peristiwa ini dilakukan oleh dua kelompok massa yang berbeda. Peristiwa pertama dilakukan oleh kelompok massa pendukung bupati dan wakil bupati terpilih Sampang H. Fadhilah Budiono dan H. A. Said Hidayat, sedangkan peristiwa kedua dilakukan oleh kelompok massa penentangnya.

Kelompok massa pendukung bupati terpilih menginginkan dan mendesak pemerintah agar pasangan bupati dan wakil bupati Sampang terpilih segera dilantik. Bahkan mereka mengancam, jika Gubernur Jawa Timur dan Menteri Dalam Negeri RI tidak segera melantik Fadhilah, maka Sampang akan dibumihanguskan. Menyikapi amok massa ini kemudian Mendagri menurunkan SK (Surat Keputusan) pengesahan dan pelantikan bupati dan wakil bupati Sampang terpilih yang sedianya dilakukan pada Kamis, 7 Sepember lalu. Rencana pelantikan ini serta merta menyulut kemarahan kelompok massa penentang dengan cara membakar gedung DPRD.

Akibatnya, Gubernur Jawa Timur memutuskan menunda pelantikan bupati terpilih sampai telah dilaksanakan pertemuan untuk mencapai suatu upaya “rekonsiliasi” antara “ketua-ketua” kelompok yang bertikai pada hari Minggu (10/9) di Surabaya. Pertemuan itu berlangsung sangat alot karena masing-masing kubu masih tetap mempertahankan pendiriannya sehingga belum bisa ditemukan solusi terbaik. Akhirnya persoalannya dibawa ke pusat dengan suatu keputusan dibentuk tim gabungan antara pihak pemerintah dengan unsur-unsur yang bertikai. Pada gilirannya, pelantikan bupati terpilih ditunda sampai tim gabugan ini menyelesaikan tugasnya. Bahkan hingga kini pelantikan tersebut masih belum ada juntrungannya, meskipun sudah ada keputusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang penolakan terhadap gugatan 22 orang anggota DPRD Sampang atas keabsahan pemilihan bupati tersebut (KOMPAS, 13/11/ 2000).

Menarik sekali mencermati terjadinya amok massa dari dua kelompok yang bertikai tersebut. Sebab pertama, mereka adalah sama-sama warga Sampang (baca: Madura) yang terkenal sangat taat sebagai penganut agama Islam (baca: sama-sama kaum nahdliyin); kedua sebagai konskeuensi dari yang pertama mereka berafiliasi pada partai politik yang sama-sama berazaskan Islam yaitu PPP dan PKB. Tulisan ini ingin mencoba melihat lebih jauh kasus tersebut dalam konteks sosio-kultural Madura. Selanjutnya melalui entry point ini diharapkan dapat memahami Madura sekaligus sebagai sebuah refleksi tentang salah satu dari berbagai nilai-nilai “ke-Madura-an”.

Orang luar Madura selalu mempunyai penilaian bahwa orang Madura sangat taat dan patuh kepada figur atau tokoh tradisional (ulama/kiai) daripada kepada figur atau tokoh formal. Hal ini memang tidak dapat disalahkan sepenuhnya oleh karena dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat ungkapan buppa’-babu’-guru-rato. Makna ungkapan ini dengan jelas menunjukkan bahwa kepatuhan dan ketaatan orang Madura pertama-tama kepada kedua orang tua, kemudian berturut-turut kepada guru (figur ulama/kiai), dan terakhir kepada figur rato (pemimpin formal). Yang perlu lebih dipahami bahwa kepatuhan serta ketaatan orang Madura kepada figur ulama/kiyai sangat bersifat personal dan lebih daripada itu sangat lokal.

Artinya, setiap kelompok orang Madura – bahkan secara lebih ekstrim, setiap keluarga – cenderung mempunyai referensi terhadap figur ulama/kiyai tertentu sesuai dengan keyakinan mereka. Tidak cukup hanya itu, referensi ini biasanya sangat berkaitan dengan faktor lokalitas dimana mereka berdomisili. Dengan kata lain, setiap kelompok masyarakat hanya menunjukkan kepatuhan serta ketaatan kepada figur ulama/kiyai tertentu yang biasanya berdekatan dengan tempat domisili mereka. Oleh karenanya, bukan hal aneh jika seorang ulama/kiai yang telah diakui memiliki wibawa kharismatik oleh kelompok masyarakat di “wilayah” tertentu tidak akan serta merta menjadi referensi bagi kelompok masyarakat di wilayah Madura yang lain.

Dalam kasus Sampang dapat terbaca dengan jelas adanya relasi yang sangat signifikan dengan terjadinya pertikaian antar elit lokal tradisional (ulama/kiai) yang berdimensi politis. Sejak proses “demokratisasi” digulirkan melalui gerakan reformasi, beberapa ulama/kiyai Madura telah menjadi pengurus partai-partai politik. Akibatnya, secara “institusional” (lembaga ke-kiyai-an) menjadi semakin terfragmentasikan. Pada gilirannya, realitas obyektif ini justru akan membuat masyarakat Madura pada tingkat akar rumput (grass root) akan terfragmentasikan pula sesuai dengan figur ulama/kiyai mana yang menjadi refensinya. Padahal realitas semacam ini merupakan salah satu prasyarat atau kondisi yang sangat potensial bagi terjadinya konflik horisontal. Oleh karena itu, jika terjadi pertikaian di tingkat elit lokal tradisional maka pertikaian di tingkat akar rumput (grass root) menjadi sulit terhindarkan.

Sayangnya, dalam suasana politik yang penuh carut marut serta cita-cita gerakan reformasi yang masih mencari bentuk antara lain untuk mengimplementasikan sistem demokratisasi secara konkrit dan benar dalam kehidupan masyarakat, realitas tersebut justru “dimainkan” oleh elit-elit (lokal) politik formal – melalui kekuatan dan kekuasaan politis yang dimiliki untuk kepentingan politik mereka. Dari sinilah mudah dipahami jika potensi konflik yang sudah ada akhirnya dengan mudah menjadi amok massa penuh kekerasan sebagaimana telah terlanjur terjadi itu.

Selain yang telah dikemukakan, kasus amok massa di Sampang juga menunjukkan adanya indikasi tentang kekurang mampuan para tokoh dan elit lokal tradisional dalam mengimplementasikan peran dan fungsi sosio-kultural mereka. Semua orang Madura sudah mengakui mereka selain sebagai panutan juga berfungsi sebagai center of solidarity. Namun kenyatan yang dapat dibaca dan dimaknai dari kasus Sampang, justru mereka tidak mampu menggalang solidaritas sosial dan mencegah terjadinya konflik harisontal di tingkat akar rumput.

Agar kasus Sampang tidak terjadi lagi di kemudian hari, kiranya sudah mendesak sekali perlunya melakukan salah satu upaya refleksi yang berkaitan dengan “pemulihan” peran dan fungsi sosio-kultural para elit dan tokoh tradisional tersebut terutama oleh diri mereka sendiri. Jika tidak, salah satu nilai “ke-Madura-an” yang tercermin dalam ungkapan buppa’, babu’, guru, rato tidak akan memiliki makna lagi hanya karena tergerus oleh arus euforia reformasi yang sangat politis sifatnya. Lebih daripada itu, stereo tip orang Madura yang sudah dikenal dekat dengan kekerasan tidak akan bisa terhapuskan. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar