November 18, 2008

Carok: Pelanggaran Serius terhadap HAM

RADAR MADURA Senin, 17 Juli 2006


Carok: Pelanggaran Serius terhadap HAM

A. Latief Wiyata*)



BAGAIKAN makan buah simalakama. Begitulah carok di Madura. Banyak orang Madura sudah mulai membenci carok, namun tidak sedikit yang masih melakukannya. Padahal, carok yang berakhir dengan kematian, pada dasarnya perampasan hak hidup orang lain dan sudah jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM).

Namun, begitulah kenyataannya. Carok kembali menjadi berita hangat di media-media massa secara nasional. Bahkan, BBC London menugaskan reporternya mewawancarai saya. Sampai hari ini berita tentang itu belum juga reda. Peristiwanya terjadi Rabu (12/7) pagi di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan. Tujuh orang tewas dan sembilan lainnya menderita luka-luka parah.

Bagi orang Madura, tidak semua pembunuhan dapat disebut carok. Melalui penelitian antropologis yang dilakukan secara intensif, carok adalah suatu peristiwa pembunuhan antarorang laki-laki (satu lawan satu, atau melibatkan banyak orang), yang bermotifkan "membela gengsi, kehormatan dan harga diri" (lihat selanjutnya Latief Wiyata: Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LkiS, 2002, 2006).

Peristiwa carok yang sempat menggemparkan ini melibatkan Mursyidin (kepala Desa Bujur Tengah) dan Baidowi (mantan kepala desa yang sama) beserta pendukungnya masing-masing. Pemicunya adalah sengketa tanah kas desa yang masih dikuasai oleh mantan kepala desa. Berawal dari penguasaan tanah inilah pertarungan "membela harga diri" tampaknya sudah dimulai.

Sudah menjadi kelaziman di kawasan pedesaan Madura, kepala desa selalu dipilih dari seseorang yang sudah dikenal sebagai blater. Mereka sangat ditakuti (lebih tepat mengatakan demikian daripada disegani) oleh seluruh penduduk. Biasanya, ketakutan mereka karena keberaniannya menghadapi setiap tantangan (termasuk melakukan carok). Sebagai mantan kepala desa, Baidowi jelas termasuk dalam kategori ini. Demikian pula dengan Mursyidin yang sekarang menjabat sebagai kepala desa, pengganti Baidowi.

Meskipun tidak diberitakan apa motif pengusaan tanah kas desa itu, namun sudah dapat diduga motifnya berkaitan erat dengan gengsi, kehormatan, dan harga diri. Bukan semata-mata motif ekonomik. Artinya, bagi Baidowi, meskipun tindakannya tidak dapat dibenarkan secara hukum, namun secara sosial-budaya merupakan salah satu cara baginya untuk mempertegas status sosialnya sebagai orang kuat atau jagoan (blater) di desanya. Menguasai tanah kas desa seluas 5 hektare yang bernilai ekonomik tinggi, sama artinya dengan menaikkan status sosialnya termasuk gengsi, kehormatan dan harga dirinya.

Bagi Mursyidin, sebagai Kepala Desa, pengusaan tanah kas desa oleh mantan kepala desa ini akan dimaknai sebagai pelecehan terhadap gengsi, kehormatan dan harga dirinya. Sebagai kepala desa yang secara legal formal masih berkuasa tentu tidak bisa dilangkahi begitu saja oleh ulah Baidowi. Pelecehan terhadap gengsi, kehormatan dan harga dirinya semakin dirasakan lebih-lebih ketika upaya hukum yang dilakukannya ternyata kandas di tingkat banding Pengadilan Tinggi Jawa Timur.

Sebaliknya, bagi Baidowi, kemenangannya di tingkat banding (dengan vonis bebas) merupakan prestasi tersendiri. Dalam tradisi blater memenangkan suatu perkara di pengadilan bukan hanya diartikan sebagai kemenangan terhadap lawan dalam tindakan hukum itu, melainkan lebih bermakna sebagai "kemenangan" terhadap otoritas yudisial.

Putusan bebas ini di satu pihak merupakan kemenangan bagi Baidowi, sedangkan di pihak lain justru semakin menyakitkan hati Mursyidin. Gengsi, kehormatan, dan harga dirinya sebagai kepala desa telah diinjak-injak. Mudah dipahami jika carok akhirnya meledak setelah turunnya putusan banding tersebut.

Sebagai sesama orang blater, baik Mursyidin maupun Baidowi, tentu memiliki banyak pendukung. Ketika terjadi carok para pendukung ini dengan loyalitas tinggi ikut membela patronnya yang blater. Maka terjadilah carok masal yang banyak menelan banyak korban jiwa itu.

Jika dicermati, terjadinya carok sangat terkait oleh banyak kondisi. Antara lain, pertama, kondisi sosial-budaya yang memunculkan seseorang menjadi blater dengan status sosial pada tataran atas dalam struktur sosial masyarakat Madura. Kedua, kondisi perilaku sebagian (oknum) aparat yudisial yang tidak secara konsisten menerapkan dan memberlakukan hukum sesuai dengan perundang-undangan sehingga putusan hukum yang diambil sangat tidak memuaskan rasa keadilan masyarakat lokal.

Ketiga, sampai saat ini kondisi sosial-budaya di Madura belum mengenal adanya institusi yang berfungsi dan berperan sebagai pencegah atau penangkal terjadinya carok. Ini berbeda dengan kondisi sosial-budaya masyarakat (Bugis) Makassar, sirri’ masih dapat dicegah dengan adanya otoritas pemangku adat (Marzuki, 1995).

Bila demikian kenyataannya, kiranya sangat perlu dan mendesak memikirkan beberapa solusi agar ke depan carok bisa dicegah. Paling tidak dikurangi frekuensinya. Pertama, upaya penyadaran pada masyarakat Madura yang secara sosial-budaya akrab dengan kebiasaan carok untuk tidak lagi memperlakukan orang jago atau blater sebagai elite-elite desa yang harus ditakuti jika mereka masih memaksakan kehendak dengan cara-cara kekerasan ketika terjadi sengketa. Elite-eliet desa yang sepatutnya disegani dan dihormati adalah mereka yang senantiasa menjaga ketentraman dan kedamaian hidup.

Dengan demikian, dalam struktur sosial masyarakat Madura, di tataran atas tidak akan ada lagi "elite-elite" desa bernuansa premanisme, kecuali figur-figur tokoh berlatar belakang achievement yang berkualitas dalam bidang apa saja dan bermanfaat bagi kehidupan orang Madura. Terkait dengan itu penting dilakukan upaya penyadaran pula bagi para pelaku carok agar lebih mengutamakan budi bahasa daripada tindakan kekerasan ketika terjadi perselisihan. Upaya ini bisa dilakukan melalaui institusi pendidikan formal maupun nonformal.

Kedua, pihak aparat judisial sebagai penegak hukum sudah seharusnya memberlakukan dan menerapkan hukum secara konsisten agar segala bentuk tindakan hukum yang diputusnya, benar-benar dapat menjamin rasa aman serta memenuhi rasa keadilan masyarakat lokal.

Terakhir, dalam konteks pentingnya pencegahan carok melalui institusi sosial budaya, tiada institusi yang lebih efektif dan berwibawa daripada institusi ke-kiai-an. Dengan kata lain, sangat mendesak untuk lebih mengefektifkan dan mengoptimalkan peran dan fungi institusi ke-kiai-an. Sebab, figur kiai atau ulama dalam pandangan masyarakat Madura sebagai center of solidarity dan sumber panutan hampir segala aspek kehidupan mereka.

Paling tidak, ketiga hal itulah yang penting dan mendesak dipikirkan oleh semua orang Madura yang berkeinginan menghilangkan kebiasaan carok. Meskipun kenyataannya masih banyak lagi kondisi-kondisi sosial budaya yang harus dibenahi untuk tujuan itu.(*)

Jakarta, 14 Juli 2006

*) Antropolog Budaya Madura, Universitas Jember, Tinggal di Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar