November 16, 2008

Madura Menyongsong Proses Industrialisasi 2002

Madura Menyongsong Proses Industrialisasi 2002

Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Fisip Universitas Jember



Wacana tentang industrialisasi mulai marak lagi di kalangan masyarakat Madura setelah Imam Utomo, Gubernur Jatim, pada suatu kesempatan di kota Pamekasan menyatakan bahwa proyek pembangunan jembatan “Suramadu” (yang sempat tertunda lebih dari sepuluh tahun sejak dicanangkan) sudah akan dimulai pada tahun anggaran 2002. Pembangunan jembatan ini selalu dimaknai sebagai dimulainya proses industrialisasi. Oleh karenanya salah satu issu yang ramai diperbincangkan pada umumnya terfokus pada apakah secara kualitatif sumber daya manusia Madura (SDMM) sudah memadai untuk menyambut datangnya industrialisasi tersebut. Pendapat yang muncul dalam berbagai disksusi pada umumnya mencuatkan kesan pesimistik bahwa masyarakat Madura belum siap karena secara faktual pada umumnya kualitas SDMM – dalam arti tingkat pendidikan serta ketrampilan – masih sangat rendah. Menurut data tahun 1997 yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Nasioanl Propinsi Jawa Timur bahwa dari semua anak umur 13-15 tahun (2.116.030 jiwa) hanya sekitar 40% yang mampu melanjutkan sekolah di tingkat SLTP/MTs. Oleh karena itu, upaya peningkatan SDMM dirasakan penting dan sangat mendesak terutama melalui pelatihan-pelatihan dan semacamnya agar masyarakat Madura kelak tidak hanya menjadi penonton melainkan dapat memposisikan drinya sebagai pelaku dalam proses industrialisasi itu. Oleh karena dalam proses industrialisasi – lambat atau cepat – akan menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan dalam cara-cara berpikir, bersikap, dan berperilaku seseorang maka kiranya penting juga meninjau kesiapan orang Madura secara kultural. Atau, dengan suatu pertanyaan sederhana, apakah nilai-nilai budaya Madura dapat menjadi modal budaya (cultural capital) bagi setiap orang Madura dalam menyongsong proses industrialisasi tersebut? Tulisan ini akan mencoba menjawabnya.


Setiap orang Madura sudah sangat akrab dengan ungkapan buppa’-babu’, guru, rato (ayah-ibu, guru, dan raja). Ungkapan ini oleh orang luar selalu ditafsirkan sebagai figur-figur panutan orang Madura secara hierarkhikal. Pertama-tama orang Madura tunduk dan taat kepada kedua orangtua, kemudian kepada guru yang dalam realitas budaya selalu merujuk pada figur kiai/ulama, dan terakhir kepada raja dalam realitas yang sama selalu menunjuk pada figur pemimpin formal atau pemerintah. Penafsiran ini tentu saja tidak salah karena dalam tataran praksis ungkapan tersebut selalu memunculkan perilaku budaya orang Madura seperti itu. Namun bila ungkapan tersebut direnungkan lebih dalam ternyata mengandung makna filosfis tentang pandangan dunia (world view) orang Madura. Bagi orang Madura kehidupan ini tidak akan mempunyai makna dalam konteks realitas sosio-kultural dan religiusitas bila tidak berpedoman pada tiga komponen pokok sebagai suatu entitas yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Komponen pertama adalah ayah ibu (orangtua) yang secara kultural harus dimaknai sebagai representasi dari institusi keluarga; kedua, figur kiai/ulama sebagai wujud dan representasi dari dunia ukhrowi (sacred world); ketiga, figur raja/pemerintah yang harus dipandang sebagai wujud dan representasi dunia profan (profane world).


Keluarga, bagi masyarakat Madura – sebagaimana masyarakat dalam kebudayaan lain – merupakan institusi sosial sangat penting dalam membentuk sikap, perilaku, dan cara berpikir seorang anak. Tegasnya, institusi sosial ini merupakan ajang permulaan seorang anak mengalami proses sosialisasi sekaligus menginternalisasikan nilai-nilai budaya Madura. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa secara historis sebelum masuknya agama Islam nilai-nilai budaya Madura pada awalnya terpengaruh (untuk tidak mengatakan terbentuk) oleh ajaran-ajaran agama Hindu dan Budha namun setelah masuknya agama Islam sekitar paruh kedua abad 15 nilai-nilai budaya Madura kemudian menjadi lebih bernuansa Islami.


Dalam perjalanan sejarah selanjutnya ternyata nuansa keislaman ini terus mengkristal sehingga sulit untuk membedakan antara nilai-nilai keagamaan (Islam) dengan nilai-nilai budaya (lokal) Madura. Oleh karena itu bisa dipahami jika para ibu sejak dahulu kala mempunyai kebisaan bersenandung syair-syair tentang ajaran agama Islam ketika mereka sedang menimang-nimang dan akan menidurkan sang bayi. Syair tersebut adalah “illallah, bantal sadat, sapo’ iman, pajung Allah.” Lengkapnya syair ini sebenarnya adalah “lailahaillallah, abantal sahadat, asapo’ iman, apajung Allah” (Lailahaillallah, berbantal syahadat, berselimutkan iman, berpayung Allah). Syair ini terus disenandungkan berkali-kali sampai akhirnya sang bayi tertidur. Dengan bersenandungkan syair-syair itu para ibu sebenarnya berdoa agar sang bayi selama hidupnya senantiasa menjadi orang beriman kepada Allah, sehingga Allah akan melindunginya setiap saat sepanjang hidupnya bukan saja di waktu bangun tapi juga di kala tidur. Dengan perilaku budaya ini menjadi jelas bahwa institusi keluarga sebagai salah satu komponen dalam “pandangan dunia” orang Madura sudah seharusnya benar-benar berfungsi sebagai modal kultural awal bagi terbentuknya suatu kehidupan masyarakat yang ideal baik secara sosiologis, antropologis, maupun keagamaan.


Dengan berfungsinya institusi keluarga sebagai modal kultural secara optimal orang Madura niscaya akan memiliki ketahanan yang tangguh serta tidak akan kehilangan arah atau pedoman dalam mengarungi hidup dan kehidupannya. Ketegaran dan ketahanan ini akan kian menguat ketika figur guru pun dapat memfungsikan dirinya secara optimal pula baik secara sosial-budaya maupun keagamaan. Tuntutan ini sudah seharusnya berlaku pula pada figur rato. Jika demikian halnya, dalam konteks proses industrialisasi yang kini sedang bergulir, sudah barang tentu setiap orang Madura akan tetap tegar menghadapi proses industrialisasi yang sarat dengan nilai-nilai “baru” dan tidak mustahil bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya lokal.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar