November 16, 2008

MADURA: DI ANTARA SAMPIT DAN SAMPANG Suatu Refleksi Awal

MADURA: DI ANTARA SAMPIT DAN SAMPANG

Suatu Refleksi Awal



Oleh: A. Latief Wiyata

Pemerhati Masalah Sosial Budaya Madura

Dari Universitas Jember


Meskipun kasus Sampit dan kasus Samping tidak menampakkan suatu relasi struktural yang signifikan tapi secara substantif jelas kedua kasus itu memiliki kesamaan, yaitu suatu konflik sosial yang berlanjut pada tindakan kekerasan yang melibatkan orang-orang Madura. Semua orang, sadar atau tidak, seakan-akan sudah memahami – atau sengaja dipaksa agar memahami – bahwa kasus Sampit adalah konflik antar etnik. Untuk mendeteksinya tidaklah terlalu sulit karena simbol-simbol etnisitas dengan mudahnya diobral dan dikemas untuk memperkuat citra yang sudah terlanjur terbentuk itu. Padahal dari beberapa sumber, terlalu naif jika kasus Sampit hanya dimaknai sebagai konflik bermotif etnisitas.


Kasus Sampit – begitu juga kasus Sambas yang terjadi dua tahun sebelumnya – seharusnya tidak perlu terjadi karena dokumen sejarah migrasi orang Madura ke Kalimantan yang berlangsung beberapa abad lalu telah menunjukkan adanya proses integrasi dan solidaritas sosial antara mereka dengan penduduk asli. Tapi toh akhirnya konflik sosial yang memakan korban tidak hanya berupa nyawa dan harta benda, tapi juga penderitaan lahir batin sehingga para migran itu harus mengungsi ke pulau Madura. Peristiwa ini merupakan suatu “titik noda” yang patut disesalkan tapi harus segera direnungkan secara arif dan bijaksana demi memperoleh jalan keluar terbaik dan mencari hikmahnya. Hal yang terakhir itulah tujuan utama tulisan ini.


Dengan terjadinya kasus Sampit tersebut entitas sosietas Madura mau tidak mau sedang menghadapi “persoalan besar” yang perlu penanganan sesegera mungkin dengan pengelolaan yang baik pula. Ironisnya, di saat yang bersamaan “masalah internal” Madura (khususnya Sampang) yang bernuansa politik penuh kekerasan masih tetap terus berlangsung dan belum ada tanda-tanda akan berakhir.


“Masalah internal” ini bermula dari proses pemilihan calon bupati/wakil bupati Sampang periode 2000-2005 yang dilakukan oleh DPRD setempat. Semula proses itu berjalan sesuai dengan azas-azas dan prinsip-prinsip demokrasi. Tapi kemudian berkembang menjadi sumber konflik di antara para pemilihnya sendiri. Muncullah dua kubu besar, yang satu mendukung H. Fadhilah Bodiono/H. Said Hidayat sebagai bupati/wakil bupati terpilih, yang satu lagi menolak mereka. Tragisnya untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan politik mereka, masing-masing pihak menggunakan kekuatan atau gerakan massa dan aksi-aksi kekerasan sosial untuk melakukan tekanan politik kepada lawannya.


Pada dasarnya semua aksi-aksi kekerasan dan gerakan massa tersebut merupakan simbolisasi yang bermakna ketidakmampuan elite sipil dalam mendayagunakan institusi-institusi demokrasi yang telah tersedia serta mencerminkan tingkat kualitas persepsi mereka terhadap pemahaman nilai-nilai demokrasi. Masing-masing pihak yang bertikai lebih mengedepankan gengsi politik daripada mencari solusi rasional atas persoalan yang dihadapi. Pada akhirnya, yang sangat dirugikan adalah rakyat pada tataran akar rumput yang nota bene mereka adalah sama-sama orang-orang Madura (Sampang). Pada hal sebagaimana telah disinggung di bagian lain dimuka, orang Madura (termasuk Sampang) kini sedang menghadapi persoalan besar yang bersumber dari pertikaian dan konflik dengan etnik lain.

Sampai di sini kiranya perlu segera merefleksikan suatu pertanyaan untuk mencari hikmah, haruskah pertikaian antar elit politik lokal yang berimbas pada konflik horisontal antara sesama masyarakat Madura di Sampang akan tetap diteruskan sementara pada saat yang bersamaan muncul persoalan besar yang lebih menuntut penanganan dan penyelesaian segera? Jika dianalogikan dengan kehidupan suatu keluarga, layakkah sesama anggota keluarga bertengkar sementara keluarga ini sedang mempunyai masalah dengan keluarga tetangga sehingga harus bertikai sampai berdarah-darah?


Pertanyaan reflektif ini perlu disikapi secara arif dan bijaksana agar tidak dimaknai sebagai suatu “ajakan” mengalihkan pertikaian internal ke pertikaian external. Penggunaan kata-kata eksternal dan internal hanya sebagai pemilahan antara dua conflict setting untuk memberi “penonjolan perhatian” pada keduanya. Dalam konteks ini, melalui pertanyaan reflektif tadi diharapkan dapat semakin menggugah hati nurani setiap orang Madura (baca: elit-elit lokal) agar segera mengakhiri konflik internal. Tiada cara lain yang lebih arif dan bijaksana kecuali semua pihak lebih mengedepankan budi bahasa sebagai syarat penting terjadinya dialog. Jika memang demikian, niscaya akhirnya dapat dicapai penyelesaian “menang-menang” (win-win solution) dan rakyat Sampang jualah yang akan merasakan “keuntungannya”. Insya Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar