November 18, 2008

Carok, Ketika Malo Tada’ Ajina

GATRA 20 April 2002


Carok, Ketika
Malo Tada’ Ajina

Studi etnografis pertama tentang carok
yang dihasilkan dari penelitian lapangan.
Stigma negatif dan sikap salah sangka terhadap
orang Madura dapat diminimalkan



BUKU ini, yang semula merupakan disertasi di Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengungkap makna simbolis carok dalam konteks budaya
Madura. Dr. A. Latief Wiyata, penulis buku kelahiran Sumenep, Madura, ini, berasumsi bahwa carok adalah suatu bentuk kekerasan yang memiliki latar dan pesan kultural, yang maknanya dapat terungkap bila carok dilihat dari konteks lingkungan sosial-budaya masyarakat Madura.
Dengan meneliti enam kasus carok di Kabupaten Bangkalan, kabupaten paling barat wilayah Madura, sepanjang Agustus 1995 hingga Juni 1996, disimpulkan bahwa carok selalu berawal dari konflik yang melibatkan unsur pelecehan harga diri.

Pelecehan harga diri semacam ini dalam kultur Madura berkait dengan konsep malo, yaitu ketika seseorang dianggap tidak diakui atau diingkari kapasitas dirinya, sehingga dia merasa tada’ ajina (tidak ada harganya). Persoalan menjadi makin rumit, karena eskalasi perasaan malo akan meluas ke tingkat keluarga, atau bahkan komunitas masyarakat. Makanya, tidak aneh bila dalam beberapa kasus ditemukan bahwa sebelum terjadi carok, ada sidang keluarga yang mengatur skenario carok, dari cara membunuh hingga persiapan p a s c a - c a r o k .

Selain itu, secara sosial memang ada semacam pembenaran kultural terhadap carok. Ini juga masih terkait dengan konsep malo itu sendiri. Bila ada seseorang yang dilucuti harga dirinya, maka dia akan dianggap penakut bila tidak melakukan reaksi apa-apa. Ada suatu ungkapan Madura: tambana malo, mate yakni ”obat malu hanyalah mati”. Reaksi akan kian kuat bila pelecehan harga diri itu berkait dengan kasus perselingkuhan. Data statistik periode 1990-1994 di Kabupaten Bangkalan menunjukkan bahwa 60% peristiwa carok dilatarbelakangi kasus gangguan terhadap istri.

Hal ini juga berhubungan dengan sistem perkawinan di Madura, yang menganut sistem matrilokal dan uksorilokal, sehingga seorang suami dituntut kompensasi berupa penjagaan terhadap istri secara maksimal. Elemen kultural masyarakat Madura lainnya memang masih cukup memberi dukungan terhadap ”budaya” carok. Tradisi remo, misalnya, yang menjadi semacam tempat arisan para jago untuk mengumpulkan uang, tidak jarang dilangsungkan menjelang carok atau sesudahnya, untuk menggalang solidaritas di antara para jago.

Status sebagai seorang jagoan di Madura ini juga kemudian menempatkan carok sebagai media mobilisasi status sosial. Seseorang yang menjadi pemenang carok akan dianggap sebagai jagoan yang dapat memberi dia kewibawaan dan mengantarkannya dalam status sosial lebih tinggi. Demikian pula, dalam lingkungan keluarga ada tradisi untuk terus merawat dendam
carok, dengan menyimpan baju bekas atau senjata bersimbah darah yang digunakan ketika carok, atau dengan menguburkan mayat yang kalah di dekat rumah, tidak di tempat pemakaman umum.

Yang menarik, carok sebagai sebuah peristiwa budaya ternyata juga telah menjelma menjadi komoditas ekonomi. Ketika si pemenang carok berusaha menghindari hukuman pengadilan yang berat, maka ia butuh calo untuk nabang, merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada aparat agar hukuman menjadi ringan, atau bahkan mengganti terdakwa carok. Keterlibatan unsur kekuasaan (negara) ini secara historis sebenarnya muncul sejak masa kolonial Belanda.

Huub de Jonge dalam salah satu bukunya menulis bahwa carok muncul karena masyarakat Madura merasa tidak menemukan solusi atas konflik sosial yang dihadapinya, sehingga harus diselesaikan sendiri dengan cara kekerasan. Karena itu, di akhir buku ini, Latief mengajukan rekomendasi agar aparatur negara lebih tegas mengatur sumber-sumber konflik kekerasan dan memberikan perlindungan keamanan serta rasa keadilan yang cukup. Perlu juga dipikirkan institusi sosial yang dapat menengahi konflik, sehingga dapat mencegah carok. Peran figur ulama di sini menjadi penting untuk dipertimbangkan, mengingat karakter religius masyarakat Madura. Buku ini merupakan studi etnografis pertama tentang carok, yang didasarkan pada penelitian lapangan. Diharapkan, dari penelitian ini, stigma negatif dan sikap salah sangka terhadap orang Madura dapat diminimalisasi, sehingga Indonesia masa depan yang damai dapat tercapai dalam suasana pluralitas budaya yang saling menghargai.

M. MUSHTHAFA
MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UGM, YOGYAKARTA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar