November 18, 2008

Carok (Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura)

Judul: Carok (Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura)

Pengarang: A. Latief Wiyata

Penerbit LKiS


Sumber Tempo, 19 Januari 2003



Carok melembaga sebagai institusi kekerasan di Madura. Dibenarkan secara kultural dan mendapat persetujuan sosial.

MAT Tiken, setelah membunuh Kamaluddin dan Makarram, menjilati sisa-sisa darah kedua musuhnya itu yang masih menempel di are takabuwan, sejenis celurit. Darah simbol kehidupan. Mat Tiken ingin menegaskan bahwa ia telah berhasil mengakhiri hidup para seterunya. Sebagai simbal kemenangan, ia menaruh celurit di dada Kamaluddin. Dada dipilih sebagai tempat meletakkan alat pembunuh karena di sana terdapat jantung yang sangat menentukan mati hidupnya manusia. Tindakan Mat Tiken menegaskan ungkapan Madura lokana daging bisa ejai lokana ate tada tambana kajaba ngero (daging terluka masih bisa dijahit, sakit hati tiada obatnya kecuali minum darah).

Dalam buku yang disunting dari disertasi A. Latief Wiyata, Universitas Gadjah Mada, Yagyakarta, ini senjata tajam digambarkan sudah dianggap sebagai atribut laki-laki saat bepergian. Tapi, di luar itu, ada carok, ritus balas dendam terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri -terutama terhadap istri- yang membuat lelaki Madura malo (malu) dan tada ajina (direndahkan martabatnya). Pilihan sasaran jatuh pada orang yang dianggap kuat, baik secara fisik maupun ekonomi, agar keluarga musuh tidak punya kekuatan lagi.

Carok juga merefleksikan monopoli kekuasaan laki-laki. Ini ditandai dengan perlindungan secara berlebihan terhadap kaum perempuan sebagaimana tampak dalam pola pemukiman kampong meji dan taneyan lanjang. Kekerasan cenderung didistribusikan dari generasi ke generasi melalui berbagai pola sosialisasi ataupun kegiatan bermakna ritual. Carok, dalam pengamatan A. Latief Wiyata, telah menjadi arena reproduksi kekerasan pencetus spiral kekerasan baru (carok turunan). Korban carok tidak dikubur di pemakaman umum, tapi di halaman rumah. Pakaiannya yang berlumur darah disimpan di almari khusus buat menghidupkan pengalaman traumatis.

Buku A. Latief Wiyata ini distinguished karena berhasil mengelaborasi carok dalam konteks langkanya mata pencaharian, pola pemukiman, konstruksi sosial, nilai dan norma, orientasi keagamaan, dan tradisi kekerasan yang sudah lama mengakar dalam kultur Madura. Sayang. dia tidak menyinggung kontribusi ulama lewat budaya patriarkat dan feodalisme yang ujung-ujungnya memperumit institusionalisasi carok.
Kendati demikian, buku ini tetap relevan karena sukses melukiskan rentannya persatuan di kalangan masyarakat tradisional.

J. Sumanlianta, pustakawan dan guru SMU Kolese De Britto, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar