November 18, 2008

Carok Indikasi Monopoli Kekuasaan Suami

SUARA MERDEKA

Selasa, 12/06/01 : 14.03 WIB



Carok Indikasi Monopoli Kekuasaan Suami



Yogyakarta, CyberNews. Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, terutama gangguan terhadap isteri (perempuan), sehingga menyebabkan malo. Dalam konteks ini, carok sebagai institusionalisasi kekerasan mengindikasikan monopoli kekuasaan suami (laki-laki) terhadap isteri (perempuan).


"Monopoli kekuasaan ini antara lain ditandai oleh adanya perlindungan secara berlebihan (over protection) terhadap isteri (perempuan)," ujar A Latief Wiyata, Pendiri dan Direktur Institut Penelitian dan Pengembangan Madura Pusat Jember, di depan Senat UGM, Yogyakarta, Selasa (12/6).


Rapat Senat Universitas itu dengan acara tunggal promosi untuk mendapatkan gelar doktor, dan Latief Wiyata berhasil mempertahankan disertasinya dari keberatan-keberatan tim penguji sehingga dia dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan sebagai doktor ke-412.


Selain sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, menurut Latief, carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial lebih tinggi sebagai orang jago dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blater.


"Bahkan dengan posisi dan status sosial ini sebagian dari mereka dapat pula meraih kedudukan formal dalam lingkungan institusi formal atau birokrasi, yaitu sebagai kepala desa. Dengan demikian carok dipandang oleh sebagian pelakunya sebagai suatu alat untuk memperoleh kekuasaan."


Untuk meredam terjadinya carok di masyarakat Madura, Latief mengemukakan beberapa rekomendasi, yaitu pertama, perlu adanya upaya revitalisasi untuk menegakkan kembali otoritas dan kewibawaan negara terutama dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan demi memberi perlindungan terhadap masyarakat dan penegakan rasa keadilan.


Kedua, perlu adanya upaya penyadaran pada orang-orang yang potensial melakukan carok. Ketiga, oleh karena carok bermakna sebagai monopoli kekuasaan laki-laki, perlu dilakukan suatu refleksi untuk menata kembali pendistribusian kekuasaan secara lebih merata.


Keempat, masyarakat Madura di kawasan pedesaan khususnya orang-orang yang sangat potensial melakukan carok perlu disadarkan. Kelima, perlu segera dihilangkan kebiasaan melakukan upaya nabang. Keenam, para keluarga korban carok perlu pula mulai disadarkan agar menghilangkan kebiasaan menyimpan segala benda yang pernah digunakan ketika melakukan carok. (YGY/CN05)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar