November 21, 2008

Selamat Datang, Yang Mulia Rato Bangkalan

Radar Madura, 6 Januari 2003




Selamat Datang,

Yang Mulia Rato Bangkalan





Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura

Ketua LPPM Universitas Trunojoyo

Bangkalan, Madura



Setelah tertunda tiga kali dan selalu disertai suasana énger selama beberapa bulan terakhir, hari ini pemilihan bupati (pilbup) Bangkalan untuk periode 2003-2008 digelar. Dua paket calon bupati telah siap dipilih oleh seluruh anggota dewan yang terhormat (DPRD). Terlepas oleh fraksi-fraksi mana kedua paket calon tersebut mendapatkan dukungan namun yang menarik masing-masing calon berasal dari lingkungan sosial berbeda. Yang satu berasal dari lingkungan sosial dan merupakan figur kiai sedangkan yang lain berasal dari lingkungan sosial “non-kiai”.


Dalam konteks budaya Madura, yang pertama termasuk dalam kategori figur guru sedangkan yang terakhir figur “banne guru”. Keduanya sama-sama memperebutkan posisi sebagai figur rato. Dengan perkataan lain, apabila salah seorang dari mereka keluar sebagai pemenang pasti akan ditasbihkan sebagai figur rato. Meskipun secara legal konstitusional sang rato nantinya akan selalu disebut – atau mungkin ditempatkan – sebagai “orang nomor satu” di wilayah kabupaten ini namun secara kultural sang rato (sebagaimana ungkapan buppa’ babu’ guru rato) tetap akan dimaknai sebagai figur panutan urutan ketiga setelah figur orangtua (ayah-ibu) dan ulama (kiai).


Munculnya dua calon bupati yang berasal dari lingkungan sosial berbeda ini akan mempunyuai dua implikasi sosial-budaya yang berbeda pula, baik pada figur cabup itu sendiri maupun pada warga masyarakat Madura, khususnya yang berada di Bangkalan. Bagi cabup yang berasal dari lingkungan sosial kiai, jika hari ini dapat memenangkan pemilihan sudah jelas akan mengalami suatu perubahan posisi sosial yang sangat fundamental dalam konteks struktur kehidupan budaya Madura, yaitu dari posisi sebagai figur guru ke posisi figur rato. Perubahan posisi sosial secara fundamental ini penting untuk dicermati paling tidak menyangkut dua hal.


Pertama, figur guru dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan berperan sebagai figur panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang berkaitan dengan moralitas (keagamaan). Dengan demikian, dalam pandangan dunia (world view) orang Madura figur guru lebih merupakan reprensentasi tentang kehidupan “ukhrowi (sacred world). Sedangkan figur rato tiada lain sebagai representasi dari kehidupan “duniawi” (profane world) yang dalam implimentasi praktisnya kelak akan selalu berkutat dengan tugas-tugas dan kewajiban sebagai “aktor politik praktis” dalam menjalankan roda pemerintahan di kabupaten ini. Perubahan posisi sosial semacam ini tentunya telah dipahami dan disadari sejak dini oleh yang bersangkutan. Sebab, peralihan atau perubahan posisi sosial tidak sekedar peralihan dan perubahan itu sendiri tanpa makna-makna kultural yang terimplementasi dalam perilaku-perilaku simbolik dan harus dipahami oleh semua pihak.


Kedua, bagi masyarakat Madura sudah pasti akan muncul respon kultural terhadap fenomena ini. Sesuai dengan konteks budaya Madura mereka tentu dituntut berpikir secermat dan secerdas mungkin untuk memutuskan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku ketika sedang atau akan berhadapan dengan figur rato yang sekaligus figur guru. Pada saat dan situasi apa mereka harus lebih taat dan patuh kepada figur yang mana karena dalam diri figur itu melekat dua peran dan fungsi yang berbeda. Ada kemungkinan dalam situasi seperti itu mereka akan mengalami “kebingungan kultural”. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka salah satu dampaknya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sang rato untuk membangun ketaatan dan patuhan yang benar-benar “utuh dan ihklas” dari warga masyarakat.


Dalam konteks itu, cabup yang berasal dari lingkungan sosial guru jika benar-benar telah terpilih dan kemudian ditasbihkan menjadi rato mau tidak mau dituntut harus dapat bersikap dan berperilaku secara jelas dan tegas sesuai dengan konteks dan setting sosial yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan situasi apa harus berperan dan berfungsi sebagai figur guru dan pada saat dan situasi sosial budaya mana pula harus berfungsi dan berperan sebagai figur rato. Jika tidak, bukan hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan kultural, melainkan bisa jadi justru dirinya sendiri akan mengalami hal yang sama. Bila demikian, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah tidak akan berjalan secara lebih efektif dan effisien.


Namun tidak tertutup kemungkinan justru yang bersangkutan bisa jadi akan menyikapinya dengan sikap dan perilaku dalam bentuk “dwi fungsi”. Yaitu dalam sikap dan perilakunya sekaligus berfungsi serta berperan sebagai figur guru dan sebagai rato dalam segala macam situasi baik yang bersifat sosial-budaya-keagamaan maupun bersifat politik formal dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat diperlukan suatu kearifan agar tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi antara kedua figur itu yang akibatnya akan sangat kontra produktif bagi pelaksanaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah.


Bagi cabup yang berasal dari lingkungan sosial “banne guru”, jika hari ini dapat terpilih sebagai bupati Bangkalan, serta merta akan mengalami juga perubahan posisi sosial budaya dari “banne rato” menjadi sebagai rato. Perubahan posisi sosial budaya ini sudah dapat diduga tidak akan mengalami dampak kultural yang signifikan baik bagi pihak masyarakat maupun dirinya sama sebagaimana yang mungkin akan dialami oleh cabup dari lingkungan sosial guru (seperti telah diuraikan di atas). Masyarakat hanya akan mengakui cabup ini sebagai rato sehingga mereka tanpa kesulitan serta dengan tepat dapat menentukan sikap dan perilakunya sesuai dengan konteks sosial budaya Madura.


Bagi sang cabup, hanya dituntut bagaimana menjalankan peran dan fungsi-fungsi sosial-budaya dan politik yang baru itu sebaik dan seefektif mungkin demi kemaslahatan seluruh warga masyarakat Bangkalan. Persoalannya kemudian, siapa pun yang akan terpilih sebagai figur rato pada pemilihan pilbup hari ini, hendaknya dapat berperan dan berfungsi sebagaimana peran dan fungsi rato tidak hanya dalam konteks soaial-budaya Madura tetapi juga dalam konteks sistem politik pemerintahan di republik ini. Mungkin yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah semangat dan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang memadai demi terlaksananya semua kegiatan dan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah dengan sebaik-baiknya.


Kemampuan leadership ini penting selain untuk menjalankan semua aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah juga penting untuk membangun kapatuhan dan ketaatan (dalam bahasa lain dukungan dan partisipasi aktif) dari setiap warga masyarakat demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah ini ke depan. Kalaupun dalam prakteknya kemudian kemungkinan terpaksa harus muncul sikap dan perilaku dalam bentuk “dwi fungsi” tentang peran dan fungsi rato pada cabup yang terpilih, namun sedapat mungkin “dwi fungsi” ini harus tetap lebih diarahkan pada upaya semakin efektif dan effisiennya pelaksanaan tata pemerintahan dan pembangunan daerah.


Akhirnya melalui tulisan ini sudah sepatutnya warga masyarakat mengucapkan “Selamat Datang Rato Bangkalan”. Semoga dengan terpilihnya Anda sebagai rato melalui proses pemilihan yang dilakukan secara transparan, penuh kejujuran, dan dilandasi oleh semangat kekeluargaan (sesama tretan dhibi’) dalam kerangka menumbuh kembangkan semangat demokratisasi serta menciptakan clean government dan good governance. Semuanya itu harus benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh setiap warga masyarakat Bangkalan yang ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan mereka tidak saja secara lahiriah tetapi juga batiniah.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar