November 16, 2008

PLTN DAN “TĒRA’ BULAN” DI MADURA

PLTN DAN “TĒRA’ BULAN” DI MADURA



Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura



Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) akan dibangun di Madura? Tidak salah, simaklah berita di Kompas Jatim (2/10 dan 15/10/2003) dan di Radar Madura (14/10/2003). Rencana pembangunan PLTN ini merupakan proyek kerjasama antara BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) dengan KAERI (Korean Atomic Energy Research Institute). Tapak PLTN telah direncanakan (ditentukan?) dibangun di Desa Ketapang atau Sokobana, pantai utara Madura, kabupaten Sampang dan diharapkan sudah beroperasi tahun 2015. Konon kabarnya, dengan PLTN rumah-rumah orang Madura akan bermandikan cahaya listrik dengan harga lebih murah, selain untuk memenuhi pasokan listrik industri-industri yang akan bermunculan setelah jembatan “Suramadu” dioperasionalkan. Hal yang disebutkan pertama sungguh suatu “mimpi indah” yang sangat melenakan.



Di saat orang Madura diajak bermimpi indah seperti itu, Senin 13 Oktober 2003 di kampus Universitas Trunojoyo Bangkalan berlangsung diskusi tentang nuklir yang sebenarnya tidak selalu menjanjinkan keindahan, kenikmatan dan kenyamanan hidup. Dengan dua orang pembicara, Dr. P.M. Laksono antropolog budaya dari UGM serta K.H.M. Nuruddin A. Rahman, SH (Koordinator BASRA dan calon anggota DPD Jatim) peserta diskusi dihimbau untuk berpikir lebih jernih sehingga tidak mudah terlena dengan impian indah yang memabukkan itu. Bahkan secara tegas Ir. Syarifuddin Mahmud Syah, M.Eng. menyatakan pembangunan PLTN di Madura sangat tidak prospektif dilihat dari berbagai kondisi perlistrikan di Madura selama ini (Kompas Jatim, 15/10/2003).



Diungkapkan oleh Dr. P.M. Laksono bahwa pembangunan PLTN bukan hanya merupakan persoalan masyarakat lokal tetapi menyangkut juga masyarakat internasional oleh karena dampak-dampak sosial-budaya, ekonomi, politik, dan ekologi yang sudah pasti menyertainya tidak dapat dianggap enteng. Bagaimana mungkin suatu proyek yang selama ini telah menjadi wacana keprihatinan global hanya dicari legitimasi dukungannya pada lingkup lokal dengan suatu penelitian survey yang menelorkan suatu temuan bahwa masyarakat Madura setuju dengan rencana PLTN itu. Oleh karenanya, temuan ini harus dipertanyakan secara metodologis keabsahannya, demikian Dr. P.M. Laksono menyatakan.



Terlepas dari pro dan kontra rencana pembangunan PLTN yang sudah didesain sedemikian rupa oleh BATAN tersebut, saya mencoba menyodorkan suatu realitas sosial budaya yang masih bertahan dalam masyarakat Madura yaitu keceriaan dan kegembiraan menyambut ”tèra’ bulan” yaitu suatu malam ketika sedang bulan purnama. Barangkali muncul pertanyaan, mengapa realitas sosial budaya Madura ini harus dihubung-hubungkan dengan rencana pembangunan PLTN? Atau pertanyaan lebih sederhana: apa hubungannya PLTN dengan “tèra’ bulan”? Wow, jelas ada, cobalah simak uraian berikut ini.



Sudah menjadi tradisi masyarakat Madura ketika malam bulan purnama mereka bergembira dan bersenang-senang menyambutnya. Biasanya mereka menggelar tikar di halaman rumah sambil menikmati makanan kecil dan berbincang-bincang sesama anggota keluarga di bawah indahnya sinar bulan purnama. Sementara anak-anak bersenda gurau dan bermain-main sesama mereka dengan sangat ceria sambil menyanyikan tembang Madura “Lan-bulanan”. Syairnya antara lain demikian: lan-bulanan lè’, è pamengkang lè’, è tèra’ bulan le’, senneng ongghu. Artinya: betapa senangnya menikmati sinar bulan purnama di pekarangan rumah (pamengkang).



Tradisi ini selalu berulang setiap malam bulan purnama. Betapa sejuknya menikmati sinar bulan yang begitu ramah itu. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, suasana ”tèra’ bulan” seperti itu semakin lama semakin memudar. Hal ini terutama disebabkan oleh masuknya aliran listrik ke pelosok pedesaan yang sinarnya “mengalahkan” sinar bulan purnama.



Namun, kerinduan terhadap suasana seperti itu tidak serta merta pupus justru terus bergolak pada sebagian masyarakat Madura. Di kota Bangkalan, tepatnya di depan pendopo kabupaten setiap bulan selalu diadakan “malem tèra’ bulan” oleh Komunitas “Tèra’ Bulan” dengan menggelar berbagai ragam seni pertunjukan tradisi seperti musik “tu-tuk”, “ronjangan”, lagu-lagu Madura dan semacamnya dengan satu motto: “nyaos tarèsna saèbu pèsem” (mempersembahkan cinta dengan seribu senyuman). Tradisi ini semakin semarak oleh karena Bupati Bangkalan merestuinya.



Orang-orang mulai dari anak kecil sampai dewasa meskipun tanpa diundang secara resmi dengan antuasiasme tinggi mengikuti setiap acara yang digelar hingga larut malam. Mereka menyaksikan pagelaran itu dengan duduk bersila atau dalam posisi duduk “seenaknya” di atas karpet (sebagai pengganti tikar) yang sengaja dihampar di sepanjang jalan. Suasana keakraban dan kemeriahan benar-benar terasa, terpancar dan terlihat pada wajah-wajah mereka. Ini mengindikasikan betapa mereka merindukan untuk selalu dapat menikmati sinar bulan purnama, apalagi disertai dengan acara pertunjukan seni tradisi khas Madura. Barangkali kerinduan dan kesyahduan menikmati sinar bulan purnama akan kian terasakan jika penerangan lampu listrik di sepanjang jalan depan pendopo kabupaten dipadamkan.



Sinar bulan purnama yang begitu lembut, syahdu, dan memancarkan ketenangan, kedamaian, dan kenyamanan bagi setiap orang yang menyaksikan merupakan anugerah Ilahi kepada ummatNya yang tidak terhingga dan harus disyukuri. Pancaran sinar bulan purnama sudah pasti membuat setiap orang Madura semakin takjub akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Pada gilirannya, akan menambah semakin kuatnya keimanan religiusitas bagi yang bersangkutan. Yang sudah pasti dan tidak perlu diragukan, pancaran sinar bulan purnama tidak akan menggangu, apalagi merusak, lingkungan hidup umat manusia.



Tentu semua ini tidak akan ditemukan pada PLTN yang konon kabarnya dapat membuat setiap rumah orang Madura akan terang benderang dengan biaya lebih murah. Dalam konteks ini, penting diajukan suatu pertanyaan haruskah tradisi “tèra’ bulan” serta suasana kesyahduan, kedamaian, kenyamanan dan ketenangan yang berasal dari pancaran sinar bulan prunama akan digusur begitu saja oleh suatu teknologi listrik bertenaga nuklir yang semua orang tahu sangat berbahaya itu? Padahal tradisi suasana bulan purnama sebagai wujud kekuasaan Ilahiyah meskipun sudah mulai akan pudar namun sudah terus diupayakan untuk tetap dipelihara dan dihidupkan kembali secara gencar oleh masyarakat Madura.

Oleh karenanya harus dipahami jika K.H.M. Nuruddin A. Rahman dalam acara diskusi yang diadakan oleh Kabinet Mahasiswa Universitas Trunojoyo beberapa hari lalu itu secara tegas mengatakan bahwa para tokoh Madura yang berhasil dihubunginya menyatakan menolak rencana pembangunan PLTN itu. Penolakan tersebut didasarkan pada kaidah fiqhiyah yang artinya: “Menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada mencari kemaslahatannya”.


Dimuat di KOMPAS edisi Jatim, Kamis, 16 Oktober 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar