November 16, 2008

MADURA YANG TERMARGINALISASIKAN

MADURA YANG TERMARGINALISASIKAN


Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
Fisip Universitas Jember



Jika mau jujur, menurut Huub de Jonge (antropolog asal negeri Belanda yang sangat peduli terhadap masayarakat dan kebudayaan Madura) masyarakat Madura secara demografis merupakan salah satu etnik ketiga terbesar setelah Jawa dan Sunda. Bila memnag demikian halnya secara antroplologisnya kebudayaan Madura seyogyanya tidak dipandang sebelah mata. Namun ironis sekali, kenyataannya dalam wacana akademik masyarakat dan kebudayaan Madura masih terabaikan dibandingkan dengan Jawa, teritama. Hal ini terbukti dari sedikitnya penelitian mendalam yang telah dilakukan oleh kaum akademisi tentang hal tersebut. Akibatnya, informasi dan pengetahuan orang luar Madura terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selain sangat minim juga menjadi sangat tidak proporsional dan kontekstual.

Lebih daripada itu, pandangan mereka terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif dan terkesan melecehkan. Kesan ini sangat tampak antara lain pada homur-humor tentang orang Madura. Hampir semua humor tersebut kenyataannya bukan kreasi orang Madura melainkan justru diproduksi dan terus direproduksi oleh orang luar Madura yang pada umumnya kurang memahami masyarakat dan kebudayaan Madura secara proporsional dan kontekstual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama ini telah terjadi proses marginalisasi terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura.

Kenyataan ini tampaknya memang sulit dielakkan oleh masyarakat Madura paling tidak oleh dua faktor yaitu geografis dan politis. Pertama, secara geografis pulau Madura sebagai tempat orang Madura mengalami proses sosialisasi sejak awal lingkaran kehidupannya, letaknya sangat dekat dan berhadapan langsung dengan pulau Jawa – tempat orang Jawa mengalami proses yang sama. Setiap bentuk interaksi sosial orang Madura dengan orang luar mau tidak mau pertama-tama akan terjalin dengan orang Jawa sebagai pendukung kebudayaan Jawa. Oleh karena dalam interaksi sosial pasti akan terjadi sentuhan budaya sedangkan kebudayaan Jawa sudah terlanjur diakui sebagai kebudayaan dominan (dominant culture) maka dalam ajang persentuhan budaya tersebut masyarakat dan kebudayaan Madura menjadi tersubordinasi sekaligus termarginalkan.

Kedua, fakta sejarah telah menunjukkan bahwa posisi Madura secara politik hampir tidak pernah lepas dari kekuasaan (kerajaan-kerajaan) Jawa. Fakta ini kian mempertegas posisi subordinasi dan marginalitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Oleh karenanya, mudah dipahami apabila setiap kali orang Madura akan mengekspresikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budaya Madura dalam realitas kehidupan sosial mereka akan selalu cenderung “tenggelam” oleh pesona nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa.

Menghadapi realitas sosial budaya ini maka tiada lain yang dapat dan harus dilakukan oleh orang Madura adalah segera melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Madura. Untuk melakukan upaya ini tentu tidak terlalu sulit oleh karena para seniman, budayawan, pakar budaya serta orang-orang yang concern terhadap budaya Madura secara bersama-sama dapat berperan dan berfungsi sebagai penggali dan penyusun kembali secara sistematis dan komprehensif nilai-nilai budaya Madura yang tidak kalah adhi luhung-nya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sebab tidak mustahil banyak nilai-nilai budaya tersebut selama ini masih “terpendam” atau sangat mungkin sudah mulai “terlupakan” atau “dilupakan”. Bahkan, dalam konteks yang sama, untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankan eksistensi serta keberlangsungan sekaligus pengembangan nilai-nilai luhur budaya Madura di masa kini dan mendatang sudah merupakan tanggungjawab dan kewajiban kultural setiap individu yang mengaku sebagai orang Madura di mana pun mereka berada.

Jika semuanya ini benar-benar dilakukan maka nilai-nilai luhur budaya Madura akan tetap eksis dan mengemuka sebagai referensi utama bagi setiap orang Madura dalam hal berpikir, bersikap dan berperilaku. Lebih-lebih ketika mereka harus membangun dan menjalin interaksi sosial dengan orang-orang di luar kebudayaan Madura. Dengan demikian stigma yang selama ini melekat lambat laun akan terhapus sehingga masyarakat dan kebudayaan Madura tidak akan lagi tersubordinasi dan termarginalkan. Bahkan, ke depan tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat masyarakat dan kebudayaan Madura justru akan muncul sebagai salah satu alternatif referensi bagi masyarakat dan kebudayaan lain.
Mengapa tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar