November 19, 2008

Budaya Ladang Kar-karkar

GATRA Nomor 19/V 27 Maret 1999


Budaya Ladang Kar-karkar


Etnis Madura dikenal punya etos kerja tinggi.

Kesuksesan mereka secara sosial ekonomi membuat penduduk asli merasa dipinggirkan.



SEANDAINYA Tugu Perdamaian di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Sambas, itu bisa menangis, ia akan kehabisan air mata. Telah 19 tahun lebih, tugu itu berdiri, namun bentrokan antara penduduk asli dan kaum pendatang tak kunjung henti. Padahal, tugu itu dibangun sebagai simbol perdamaian, untuk mengenang kisah kelabu bentrokan antara warga pendatang dan penduduk asli, November 1979. Dalam peristiwa itu belasan jiwa melayang, dan puluhan rumah ludes ditelan si jago merah.


Kabupaten Sambas kini berpenduduk 800.000 jiwa lebih. Tak kurang 20% dari mereka adalah kaum pendatang, dari etnis Madura, Jawa, dan sebagian Bugis. Di antara mereka, Madura paling menonjol. Penduduk asli Sambas sendiri dari etnis Dayak dan Melayu, yang telah menghuni bumi Kalimantan Barat sejak zaman baheula.


Etnis Dayak dan Melayu sudah beratus tahun hidup berdampingan secara damai, meskipun karakter sosial mereka berbeda. Etnis Dayak konon cenderung berpembawaan keras. Mereka umumnya pemeluk Kristen. Etnis Melayu lebih kalem dan mayoritas beragama Islam. Kedua kelompok ini secara tradisional hidup dalam budaya sawah. Ini terminologi ala budayawan Dr. Kuntowijoyo dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Maksudnya, mereka terbiasa melakukan budi daya padi sawah, dengan segala pernik-perniknya: saluran irigasi, manajemen musim, dan pengelolaan tenaga kerja, yang dipadukan secara harmonis.


Berbeda dengan etnis Madura. Karena terbiasa dengan alam Madura yang kering, mereka lebih akrab dengan tegal, ladang, alias budi daya lahan kering. Untuk mengelola ladang, tak diperlukan manajemen yang rumit, dan tak banyak tenaga kerja. Cukup dikerjakan keluarga. Konsekuensinya, ia menuntut etos kerja tinggi. Muncullah budaya tegal, yang punya karakteristik individu mandiri.


Tak mengherankan, etnis Madura dikenal sebagai pekerja keras, tak hanya di Pulau Madura, melainkan juga ketika mereka bermukim di tempat lain. Pendapat itu dikemukakan Latief Wiyata, MA, yang sedang menyelesaikan disertasi untuk S-3 dengan topik "Konteks Sosial Budaya Carok dalam Masyarakat Madura" di UGM.


Oreng-oreng Madura, dalam riwayatnya, mulai masuk ke Kalimantan Barat, termasuk Sambas, sekitar tahun 1920. Menurut Huub de Jonge, penulis disertasi tentang "Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam", mereka adalah kuli bongkar muat kapal dan pekerja kontrakan dalam membuka dan mengolah daerah-daerah di pedalaman. Berkat keuletannya, etnis Madura banyak yang secara ekonomi akhirnya cukup mapan.


Sekretaris Badan Silaturahmi Ulama Pesantren (Basra) se-Madura, KH Nuruddin A. Rahman, membenarkan sinyalemen itu. "Mereka kini menempati posisi menengah ke atas," kata Nuruddin kepada Gatra. "Lihat saja, orang-orang Madura di Sambas dan Sanggau itu mengusai transportasi dan perdagangan," tuturnya. Jadi, kata Nuruddin lagi, bentrokan itu juga bermuatan motif kecemburuan sosial. Nuruddin sendiri, Desember 1996, bersama sejumlah ulama Madura pernah datang ke Kalimantan Barat, guna mendinginkan kaumnya yang sedang berbenturan dengan etnis Dayak.


Pandangan Nuruddin itu disepakati Latief Wiyata. Menurut Latief, munculnya persepsi miring atas orang Madura di Sambas kali ini lebih didorong motif kecemburuan sosial masyarakat Melayu. Untuk memahami fenomena orang Madura itu, menurut staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Jawa Timur, ada latar belakang budaya yang bisa dicermati. Orang Madura punya prinsip kar-karkar-colpek. Maksudnya, karakter seperti ayam, yang mencakar-cakar rezeki, sedikit demi sedikit, dikumpulkan hingga menjadi banyak.Dalam komunitas masyarakat Madura, ada dorongan kuat menerapkan prinsip itu. Bagi mereka yang merantau, ada desakan dari lingkungan internal untuk selalu berhasil. "Implikasinya, mereka makin tekun. Dan karena itu, ada kecenderungan orang Madura sukses di perantauan," kata Latief.


Ada yang menarik tentang perilaku masyarakat Madura. Meskipun sama-sama berbuat kriminal, carok dan mencuri, respons keluarga dan masyarakat berbeda. Kalau ada orang Madura mencuri, lalu ditangkap dan masuk penjara, keluarganya malu menengok. Masyarakat pun akan mengucilkannya, kelak. Tapi, bila ia masuk bui gara-gara carok untuk membela harga diri dan keluarganya, kerabatnya akan berbondong-bondong membesuknya. Mencuri dan carok sama-sama perbuatan kriminal, tapi berbeda di mata keluarga. "Kalau menyinggung harga diri, orang Madura memberikan reaksi secara spontan," ujar Latief.


Carok, dalam pandangan orang Madura, bukan tindakan kriminal semata. Duel sampai mati ini justru menjadi perilaku kultural demi mempertahankan tatanan sosial yang terganggu atau terancam -- baik dalam konteks individu maupun komunitas. Ia mencontohkan, mengganggu istri orang adalah masalah individual. "Tapi, ini menjadi masalah sosial karena mengganggu tatanan keluarga yang notabene bagian dari tatanan sosial yang lebih luas," katanya.


Adapun orang-orang Madura di perantauan, secara sosiologis, akan menjadi kelompok minoritas. Dan eksistensi sosialnya dipertahankan dengan cara mempererat solidaritas sosial. Akibatnya, jika salah satu diganggu, akan cepat berpengaruh kepada yang lain.

Teori ini bisa berlaku umum, untuk etnis selain Madura, di mana pun. "Tapi, sepanjang pengamatan saya, pada etnis Madura kecenderungan ini lebih kuat," tutur Latief. Itu sebabnya, etnis Madura sering dianggap impulsif, langsung menyatakan apa yang dirasakan, baik senang maupun tidak. Ini juga membuat etnis lain yang berbeda konsep budayanya terkaget-kaget. Karena itu, Latief punya keyakinan bahwa ketika masyarakat Madura bereaksi dalam bentuk kekerasan, ada kemungkinan faktor eksternal memasuki wilayah harga diri mereka.


Yang membuat banyak pihak tak habis mengerti, dalam kasus Sambas ini, baik etnis Melayu maupun Madura, sama-sama pemeluk Islam. Kok mereka bentrok? Latief mengakui bahwa agama menjadi salah satu faktor kohesi, meski bukan berarti semua masalah bisa diselesaikan dengan agama. "Soalnya, selama tetap merambah wilayah harga diri orang-orang Madura, mereka akan makin reaktif," tutur Latief.


Pandangan berbeda datang dari Dr. Chairil Effendi, Ketua Pusat Studi Melayu di Universitas Tanjungpura, Pontianak. Menurut Chairil, bentrokan itu dipicu oleh rasa kecewa dan kejengkelan masyarakat setempat yang sudah lama terpendam. Kemarahan yang dipendam itu akibat ulah segelintir warga pendatang yang bertindak sewenang-wenang. "Masyarakat asli seolah-olah menjadi tamu di rumahnya sendiri," katanya.


Apa yang dipotret Chairil itu diakui Nuruddin. Menurut Sekretaris Basra se-Madura ini, selain ada yang sukses, ada juga warga Madura yang kurang beruntung. "Lalu, sifat sok Madura-nya keluar," katanya. Mereka adalah sekelompok kecil etnis Madura yang tak bisa menempatkan diri di rumah orang. "Mereka itu pendatang yang tak punya pekerjaan, lalu ya ngompas orang lain," kata Nuruddin. Karena yang dikompas adalah etnis Melayu atau Dayak, persoalannya menjadi lain. "Bayangkan, bila satpamnya orang Dayak, tukang kompasnya orang Madura, tawuran antaretnis tak bisa dihindari," katanya.


Akibat ulah sebagian orang Madura yang "sok" itu, ditambah tingkah arogan beberapa orang yang sukses secara sosial ekonomi, persoalan mudah tersulut menjadi bagai api yang membakar rerumputan kering. Itu sebabnya, Nuruddin tak jemu-jemunya mengimbau orang-orang kampong-nya agar membaur dengan masyarakat setempat. "Sebagai tamu, ya tahu dirilah," tuturnya.


Solusinya? Langkah awal yang mesti dilakukan, menurut Chairil, semua pihak menyadari dan menghentikan tindakan yang merugikan harta dan benda tersebut. Sedangkan Latief mengusulkan agar para tokoh masyarakat Madura atau kiai diajak berembuk.


Adapun Dr. Amir Santosa, anggota DPR-RI yang putra asli Madura, mengusulkan konsep harmonisasi hubungan antaretnis. Kalau perlu, bisa agak diskriminatif. Pemerintah daerah, kata Amir, perlu membuat aturan-aturan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh suku-suku yang ada di sana. "Misalnya, orang Madura itu hanya boleh dagang apa saja, punya tanah di mana saja, dan luasnya berapa," ujar Amir kepada Aditya Wicaksono dari Gatra.


Solusi bernuansa politis datang dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Amien Rais. Kerusuhan di Sambas itu, menurut Amien, akibat tidak adanya kesungguhan dari pemerintah dan ABRI untuk menghentikannya. "Ambon belum selesai, kini muncul Sambas," kata Amien. Karena itu, Amien mendesak agar pemerintah dan ABRI sungguh-sungguh menanganinya, dengan menegakkan hukum secara tegas.


Tentu, penegakan hukum yang dimaksud Amien Rais ini tak hanya di musim gegeran. Pelaksanaan hukum yang compang-camping cenderung mendorong orang tak mempercayainya, lalu mengambil tindakan hukum sendiri. *


(Herry Mohammad dan Koesworo Setiawan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar