November 19, 2008

Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura

Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri

Orang Madura



Penulis: A. Latief Wiyata

LkiS, Yogyakarta

2002, 278 hlm+ i-xxi




Ditinjau oleh: A. Latief Bustami

(Universitas Negeri Malang)

ANTROPOLOGI INDONESIA 67, 2002


Ketika mendengar kata ‘Madura’, mungkin akan terbayang di sebagian besar orang carok— dengan clurit yang tajam dan meneteskan darah—soto, sate, dan ramuan Madura. Di antara keempat hal itu, caroklah yang sering menimbulkan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Di sisi lain, penilaian orang tentang carok sering terjebak dalam stereotip orang Madura yang keras perilakunya, kaku, menakutkan, dan ekspresif. Stereotip ini sering mendapatkan pembenaran ketika terjadi kasus-kasus kekerasan dengan aktor utama orang Madura.


Padahal, peristiwa itu sebenarnya bukan semata-mata masalah etnis, melainkan juga menyangkut masalah ekonomi, sosial, dan politik yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan. Penilaian orang secara stereotip ini pernah dikaji oleh Huub de Jonge (l995) dengan menganalisis arsip-arsip Belanda abad ke-19.


Buku ini–yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan tentang carok–merupakan tulisan etnografi pertama tentang enam kasus carok di Bangkalan. Sebagaimana lazimnya tulisan awal, tulisan ini belum sempurna karena membutuhkan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dengan tunjangan data mutakhir. Penulis nampak terjebak pada bias kebudayaan Madura, yaitu bias kebudayaan patriarki dan bias kebudayaan pertanian padi. Dominasi kebudayaan patriarki tercermin dalam ungkapan tentang carok oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi’ (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan), dan ‘mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura’ (jika tidak berani carok jangan mengaku sebagai orang Madura).


Kebudayaan padi nampak diulas secara kuat ketika penulis menganalisis kondisi pertanian Madura yang dinyatakan kurang subur (hlm. 33–34). Padahal, Madura mempunyai ekologi yang spesifik dan subur untuk tanaman jagung, tembakau, dan tanaman keras lainnya (Farjon 1980; Kuntowijoyo 1980; de Jonge 1989). Penulis sebagai the other belum menjelaskan kesulitan dalam pengumpulan data tentang carok dari informan perempuan yang sangat sensitif. Pengalaman penulis pada waktu melakukan penelitian tentu sangat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lainnya.


Pengertian carok paling tidak harus mengandung lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antarlaki-laki, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri), perasaan malu (malo), adanya dorongan, dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan perasaan bangga bagi pemenangnya (hlm. 184–185). Menurut hemat saya, carok sebagai media kultural untuk menunjukkan kejantanan dengan kekerasan fisik menjadi tidak jelas jika dihubungkan dengan nyelep (menyerang musuh dari belakang atau samping ketika musuh sedang lengah). Carok sebagai pembelaan terhadap harga diri yang terlecehkan menjadi ‘tuna makna’ kalau hanya dihubungkan dengan kehormatan perempuan.


Carok bukan hanya penegakan kehormatan yang berhubungan dengan penghinaan terhadap istri, melainkan juga berhubungan dengan gangguan terhadap mantan istri yang telah dicerai, air, rumput, dan pelecehan agama. Carok dipandang oleh sebagian pelakunya sebagai suatu alat untuk memperoleh kekuasaan. Penulis belum menjelaskan apakah sebenarnya perbedaan carok dengan berkelahi (atokar, akeket)? Bukankah keduanya berusaha untuk membela kehormatan? Di sisi lain, sketsa carok di halaman 250 menyesatkan, karena bertentangan dengan pengertian carok.


Sayangnya, dalam buku ini carok dianalisis dalam konteks kebudayaan Madura yang generik, sehingga kehilangan variasi. Terjadi pula pengingkaran terhadap perubahan (Rutherford 1990; Borofsky 1994; Denzin l997; Abdullah 1999; Denzin dan Lincoln 2000; Spillman 2002; Inda dan Rosaldo 2002). Analisis tentang respon masyarakat terhadap carok, pelaku carok, dan pemicu carok, semuanya dikonstruksi secara homogen. Respon masyarakat terhadap penyelesaian konflik cenderung sama, yaitu dengan cara carok dan nabang (merekayasa proses pengadilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa dengan orang lain).


Implikasi lebih lanjut dari konstruksi kebudayaan generik adalah diidentikkan pelaku caroknya dengan orang kecil, petani dengan kebudayaan mapas (menggunakan bahasa kasar). Pelakunya selalu laki-laki yang mengenakan pesa’ dan gombor— baju dan celana tradisional untuk laki-laki—dan mengenakan benggel (gelang kaki) untuk perempuan sebagai simbol bahwa istri selalu berada dalam pengawasan yang ketat dari suami, dan lokasinya relatif terpencil.


Padahal, salah satu kasus carok adalah seorang pegawai negeri yang tidak dijelaskan lebih lanjut karena hanya bersifat kasuistik (hlm. 51). Pemicu carok selalu dikaitkan dengan harga diri dan rasa malu. Harga diri dan penggunaan kekuatan fisik mempunyai relasi yang sangat erat dalam masyarakat Madura, karena penampilan fisik diyakini sebagai penjelmaan dari harga diri. Dengan demikian, menghina harga diri sama artinya dengan melukai seseorang secara fisik (cf Kiefer 1972).


Dalam konteks kekinian, orang Madura menerapkan kebudayaan hibrid dan diferensiasi. Carok bukan satu-satunya institusionalisasi kekerasan dan penyelesaian konflik. Apakah semua permasalahan yang berhubungan dengan harga diri (malo) diselesaikan dengan carok? Terjadinya carok tergantung dari pengaruh timbal balik antara alasan, konteks, situasi setempat, waktu, dan sifat-sifat orang yang terlibat. Interaksi antarkondisi memang seringkali mengakibatkan terjadinya carok. Akan tetapi, tindakan kekerasan ini kadang-kadang dapat dihindari atau tidak terjadi sama sekali (de Jonge 2002:xiii). Di halaman 210 penulis menyatakan bahwa sebagian kecil korban carok dikubur di halaman rumah. Bekas pakaian yang dipakai korban ketika carok berlangsung tetap disimpan. Ini adalah salah satu simbol dalam proses transmisi kekerasan untuk balas dendam bagi keturunannya (reproduksi kekerasan).


Berdasarkan tulisan itu, muncul pertanyaan apakah ada data pendukung untuk menguatkan tulisan tersebut? Dalam pernyataan itu ada kejanggalan pengungkapan bukti. Bukankah benda-benda yang digunakan carok dijadikan sebagai barang bukti, termasuk baju-baju itu oleh aparat penegak hukum? Kejanggalan yang lain adalah terjadinya reproduksi kekerasan yang berhubungan dengan meningkatnya pelaku carok.


Padahal, data statistik mutakhir menunjukkan adanya kecenderungan penurunan penyelesaian kekerasan dengan carok. Penulis mempunyai cukup waktu untuk mengungkap data itu selama enam tahun terhitung dari tahun 1995–2001. Di sisi lain, analisis penulis tentang carok mengingkari perubahan yang dipicu oleh mekanisme integrasi pasar dan ekspansi pasar yang diimplementasikan melalui ritual pembangunan (Harrison dan Huntington 2000), padahal carok dipengaruhi oleh perubahan itu.


Karya ini belum tuntas dalam analisis tentang relasi antara kyai dan carok. Carok membutuhkan persiapan dan prasyarat religio magisme yang melibatkan kyai. Kehadiran ulama tidak mampu mencegah carok. Setelah carok selesai, barulah kyai mendamaikan pelaku carok itu. Meskipun kyai, sebagai figur pemimpin informal, memiliki peran polymorphic, tetapi carok tetap saja berlangsung. Artinya, otoritas dan kewibawaan kyai kurang efektif untuk meredam terjadinya carok. Berkaitan dengan itu, pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah posisi dan peran kyai pada masyarakat Madura? Bagaimanakah peran keyakinan keagamaan, dan di manakah keberadaan Islam?


Keberadaan keluarga pelaku carok baik sebagai ‘pemenang’ maupun ‘korban’, membutuhkan kajian lebih lanjut. Bagi istri dari korban carok akan terjadi perubahan dalam rumah tangganya, yaitu kehilangan kepala rumah tangga. Begitu pula bagi istri dari pemenang carok yang suaminya berada di penjara. Setelah peristiwa itu, masing-masing istri berperan sebagai kepala rumah tangga.


Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan yang layak dibaca dan diperlukan guna

mengurangi bias terhadap kebudayaan Madura, khususnya tentang carok. Sejatinya buku ini merupakan hasil suntingan dari disertasi penulis yang sarat dengan informasi etnografi Madura yang selama ini relatif jarang dibandingkan dengan etnografi Jawa dan Bali.



Kepustakaan

Abdullah, I. 2000 ‘Dari Bounded System ke Borderless Society: Krisis Metode Antropologi dalam Memahami Masyarakat Masa Kini’, Antropologi Indonesia 22(60):11–18.

Borofsky, R. (peny.)

1994 Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill, Inc.

De Jonge, H.

l989 Madura Dalam Empat Jaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam: Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta: P.T. Gramedia.

1995 ‘Streotypes of the Madurese’, dalam K. van Dijk, H. de Jonge, dan E. Touwn-Bousma (peny.) Across Madura Straits: The Dynamics of an Insular Society . Leiden: KITLV Press. Hlm. 7–24.

2002 ‘Kata Pengantar’, dalam A.L. Wiyata. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LkiS. Hlm. xi–xiv.



4 komentar:

  1. sejujurnya saya bangga terlahir di Madura, selain karena di sana bermuara ragam yang membanggakan, terlepas stigma (carok) yang membalutinya. setelah membaca etnografi ini, saya mulai sadar akan kekutan budaya Madura.
    sekali lagi saya sampaikan dengan penuh keihklasan, saya bangga menjadi anak madura, dan saya sampaikan terima kasih dan apresiai yang sebesar-besarnya kapada Bapak Latief.
    saya berharap bapak mau memberikan sepotong dua potong ilmu kepada saya, terkait penelityian etnografi.
    wassalam,,,

    BalasHapus
  2. Saya paling tidak setuju madura diidentikkan dengan caro apalagi sakera. Madura paling menghargai etika dan sopan santun. Belajarlah sama sejarah jangan hanya membuat tulisan yang berasal dr mulut ke mulut atau dongeng.

    BalasHapus
  3. Carok, clurit dan sakera sengaja dihembuskan oleh belanda agar suku madura dihinakan dan dijauhi suku lain. Orang madura bukan tukang carok. Orang madura berjiwa prajurit dan sejarah telah mencatat bahwa pasukan kerajaan madura barat disegani kerajaan lain dan sering membuat kocar kacir tentara belanda. Clurit bukan senjata asli madura. Yang benar adalah keris dan tombak. Sakera hanya mandor tebu di pasuruan. Kesatria kita yang benar trunojoyo dan cakraningrat iv.

    BalasHapus
  4. Carok, clurit dan sakera sengaja dihembuskan oleh belanda agar suku madura dihinakan dan dijauhi suku lain. Orang madura bukan tukang carok. Orang madura berjiwa prajurit dan sejarah telah mencatat bahwa pasukan kerajaan madura barat disegani kerajaan lain dan sering membuat kocar kacir tentara belanda. Clurit bukan senjata asli madura. Yang benar adalah keris dan tombak. Sakera hanya mandor tebu di pasuruan. Kesatria kita yang benar trunojoyo dan cakraningrat iv.

    BalasHapus