April 29, 2010

RIAK SURAMADU MENGGANGGU ORANG MADURA

Oleh A Latief Wiyata

(dimuat di Harian KOMPAS edisi Jawa Timur, 29 April 2010)


Sudah dapat diduga, setelah jembatan Suramadu dibuka secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 10 Juni lalu, salah satu dampaknya arus lalu lintas di kawasan Madura meningkat pesat. Hampir tiap menit kendaraan bermotor lalu lalang di jalanan Pulau Madura, baik itu yang masuk maupun keluar dari pulau ini.


Di malam hari, sorotan lampu-lampu kendaraan bermotor itu berpadu dengan kemilaunya sinar lampu merkuri yang sudah mulai dijajar di sepanjang jalan utama mulai dari wilayah Kabupaten Bangkalan di bagian barat menyusur ke arah timur melewati wilayah Kabupaten Sampang dan Pamekasan yang akhirnya menembus wilayah Kabupaten Sumenep.


Bagaikan seorang gadis yang mulai dipingit untuk disandingkan dengan para investor kelas kakap yang sudah siap menghidupkan mesin-mesin industrinya. Madura benar-benar mulai bersolek. Sekilas keadaan ini menandakan geliat sektor perekonomian mulai terasa. Apalagi dipertegas oleh makin maraknya para pedagang “dadakan” yang memanfaatkan areal di sisi kiri dan kanan jalan utama di kaki jembatan memasuki wilayah Madura.


Saat awal peresmian Suramadu hanya terlihat sederetan pedagang “dadakan” yang menempati areal tak kurang dari 100 meter. Namun, setelah 10 bulan deretan itu kini telah memanjang hampir mencapai 2 kilometer. Gambaran ini makin menumbuhkan harapan orang Madura bahwa taraf kehidupan mereka secara ekonomi akan meningkat pesat oleh pembangunan Suramadu.


Di balik semua itu, jangan dilupakan riak-riak Suramadu tidak selamanya menjanjikan hal positif bagi orang Madura. Paling tidak hal itu telah dirasakan oleh warga desa Amparaan, kecamatan Kokop, kabupaten Bangkalan, yang menolak pengeboran minyak dan gas yang dilakukan oleh PT SPE Petrolium Ltd karena dianggap menggangu kehidupan keseharian mereka. Meski kemudian perusahaan pengeboran ini memindahkan lokasinya ke Desa Batokaban, Kecamatan Konang, berdekatan dengan lokasi awal, ternyata warga di desa ini pun menunjukkan reaksi sama. Para warga mempermasalahkan itu karena rencana eksplorasi di Desa Batokaban tidak terdaftar dalam surat persetujuan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan.


Reaksi serupa juga telah terjadi sebulan lalu ketika ratusan nelayan dari Pulau Mandangin, Kecamatan Kota Sampang dan Kecamatan Camplong, mengepung lokasi pengeboran minyak PT Santos di Sumur Oyong. Para nelayan menganggap pengeboran minyak tersebut semakin mempersempit ruang aktivitas mereka dan merusak alat tangkap ikan serta mengakibatkan putusnya jangkar perahu mereka. Dalam unjuk rasa tersebut para nelayan yang jumlahnya ratusan orang menaiki puluhan kapal tradisional berputar-putar mengelilingi Sumur Oyong dan 2 kapal besar milik PT Santos kemudian mendudukinya seraya berorasi menuntut tanggungjawab perusahaan untuk mengganti segala kerugian yang mereka alami.


Aksi-aksi unjuk rasa tadi mengemuka ketika orang Madura merasakan perlakuan para investor yang telah menggangu rasa keadilan mereka. Dalam suasana keterbukaan pascareformasi, ditambah dengan karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang menonjol yakni spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi aksi-aksi unjuk rasa itu seolah kian mendapat legitimasi.


Meskipun harus diakui dalam konteks karakteristik sosial-budaya orang Madura cenderung terstigma sebagai kelompok masyarakat yang sikap dan perilakunya akrab dengan kekerasan, di balik itu sikap dan perilaku orang Madura justru sangat sopan dan menghargai orang lain bila mereka mendapat perlakuan yang menjunjung rasa keadilan serta tak menyimpang dari etika sopan santun. Kedua sikap dan perilaku yang tampak ekstrim itu berdampingan secara diametral. Karakteristik sosial budaya ini selayaknya sudah diperhitungkan sejak dini oleh para pemilik modal yang akan masuk Madura. Bila hal ini dibiarkan tentu akan sangat mudah menyulut konflik kekerasan.


Konflik kekerasan

Pembangunan Suramadu yang dibanggakan sebagai jembatan orang Madura menuju kehidupan yang lebih baik dari segi kualitas dan martabatnya justru akan kontra produktif. Kehidupan sosial-budaya orang Madura akan terpuruk ketika konflik kekerasan kian merajalela bukan hanya oleh faktor pemicu utama yang selama ini telah diketahui secara umum, yakni membela martabat suami ketika isteri dilecehkan (secara seksual), melainkan oleh ulah para investor yang lebih mementingkan keuntuangan ekonomi semata tanpa memerhatikan kepentingan dan kebutuhan sosial-budaya orang Madura.


Perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menampik segala perubahan kecuali bila harga diri mereka telah dilecehkan oleh berbagai bentuk ulah termasuk menafikan kepentingan ekonomi mereka tak terkecuali yang terkait dengan pembangunan Suramadu.


Sebelum segalanya terlambat, semua pihak yang berkepentingan dengan perkembangan masyarakat Madura yang lebih berkualitas dan bermartabat ke depan sudah selayaknya sejak dini mengingatkan para investor yang mulai menunjukkan kenakalannya. Dialog-dialog yang bermuatan aspek-aspek sosial-budaya harus lebih dikedepankan dan diintensifkan baik melalui jalur-jalur formal maupun informal.


Institusi-institusi social keagamaan yang bertebaran di seluruh kawasan pulau dan telah dijadikan pilar-pilar penyangga dan penopang kehidupan orang Madura merupakan wadah efektif untuk tujuan itu. Sebab, dengan cara ini pemahaman terhadap orang Madura akan lebih pas dan proporsional. Dalam perkataan lain, pahami dan perlakukan orang Madura secara arif dan cerdas sesuai dengan konteks sosial-budaya mereka.


A Latief Wiyata

Dosen Antropologi FISIP Universitas Jember