Juli 27, 2010

GELIAT SURAMADU KIAN TERASA

(dimuat di Kompas Jatim, 27 Juli 2010)


Geliat jembatan Suramadu yang membentang sepanjang 5.48 Km di atas selat Madura kian terasa. Selain makin padatnya arus lalu lintas di ruas jalan utama Madura, pedagang “dadakan” yang memanfaatkan area di tepi akses keluar/masuk Madura makin memanjang. Sepintas suasana itu seolah mencerminkan kemeriahan sebuah pesta rakyat Madura, misalnya ketika setiap kali digelar lomba kerapan sapi atau acara-acara tradisional lainnya. Barangkali memang demikian adanya, orang Madura kini sedang berpesta pora menyambut dan menikmati keberadaan jembatan terpanjang di Indonesia itu.

Kemeriahan itu makin terasa ketika jalur utama yang membentang dari wilayah barat ke arah timur kini sudah terasa sesak oleh banyaknya kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ironis sekali, kepadatan arus lalu lintas yang amat pesat sama sekali tidak bisa diikuti oleh perluasan jalan. Kalaupun tampak ada upaya pelebaran jalan di beberapa ruas namun itu tidak lebih dari sekadar upaya agar jalur di ruas itu tidak terlalu padat.

Padahal jenis kendaraan yang keluar masuk Madura dari berbagai jenis dan ukuran, mulai dari sepeda motor sampai kendaraan-kendaraan dengan kapasitas besar seperti bus dan truk trailer. Itu sebabnya, peristiwa kecelakaan lalu lintas yang tidak jarang merenggut nyawa, menjadi berita biasa di media massa lokal. Jatuhnya korban-korban lalu lintas ini sudah seharusnya segera disikapi dengan tindakan-tindakan antisipatif. Namun, pertanyaannya adakah yang merasa terpanggil untuk bertanggung jawab atas semuanya itu?

Geliat Suramadu ternyata berimbas pula pada aspek kultural. Sebagaimana telah diutarakan kini jalur-jalur lalu lintas utama di pulau ini semakin padat oleh hilir mudiknya bus-bus pariwisata yang berasal dari berbagai daerah di Jawa. Bus-bus itu beriring-iringan mengangkut para peziarah yang akan menuju tempat-tempat yang selama ini dianggap keramat, seperti pasarean raja-raja Sumenep di kawasan Asta Tinggi dan makam ulama terkenal yang ada di pulau Talango, sebuah pulau kecil yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari Pelabuhan Kalianget dan dapat ditempuh hanya 10 menit dengan perahu bermotor.

Bukan hanya di wilayah Kabupaten Sumenep, tempat-tempat keramat di tiga wilayah kabupaten lain juga menjadi tujuan mereka. Selain itu, tujuan peziarah juga mengunjungi (atau nyekar) kepada kiyai-kiyai kharismatik Madura yang tersebar mulai dari wilayah barat di Kabupaten Bangkalan hingga ke wilayah Kabupaten Sumenep di kawasan timur Madura. Akhir-akhir ini menjelang tibanya bulan suci Ramadhan kunjungan para peziah kian meningkat. Sepertinya selama 24 jam bus-bus pariwisata tiada henti berlalu lalang.

Secara kultural kehadiran para peziarah ini memberikan warna yang semakin tegas bahwa Madura memang merupakan “pulau religius” yang penduduknya hampir semuanya sebagai penganut agama Islam. Bila sebelumnya ada juga peziarah yang datang, dengan beroperasinya Suramadu kemudahan akses menuju Madura menjadi motivasi kuat bagi peziarah untuk datang ke pulau ini. Dalam konteks ini tujuan intrinsik yang ikut menjadi pendorong tentu saja keinginan mereka untuk dapat menikmati menyebrang di atas jembatan terpanjang di Indonesia.

Dampak kultural lainnnya, ikatan kekerabatan orang Madura cenderung makin menguat. Mobilitas orang Madura baik yang ada di pulau ini maupun mereka yang khususnya yang tersebar di berbagai daerah di Jawa semakin tinggi. Kunjungan-kunjungan antarkerabat menjadi kian sering dilakukan yang semuanya menambah eratnya ikatan kekeluargaan di antara mereka.

Dorongan untuk melakukan ini sudah menjadi kebutuhan kultural bagi orang Madura. Ungkapan “mapolong tolang” (berusaha mengumpulkan “tulang-belulang” yang selama ini tercerai berai akibat dari berbagai alasan) kini seakan menemukan penyaluran. Tidak sedikit keluarga yang selama ini “kehilangan” sanak keluarga (matè obhur) kini terajut kembali. Bahkan suatu keluarga yang selama ini terpisah dengan salah seorang anaknya selama hampir tiga dasawarsa karena bekerja dan berdomisili di Kalimatan Tengah kini mereka sudah dapat bertemu dan berkumpul kembali.

Walaupun hikmah-hikmah kultural itu tadi tidak dapat dipungkiri, namun semua pihak harus tetap waspada akan dampak-dampak industrialisasi besar yang sudah kian terasa keberadaannya. Terbukti di beberapa ruas jalur utama Madura sudah mulai kelihatan kesibukan dan hiruk pikuk alat-alat berat beroperasi untuk pembangunan infrastruktur.

Di beberapa kawasan pantai jalur Sampang-Pamekasan kini terlihat sudah mulai ditimbuni oleh tanah dan batu-batu karang yang tujuannya apalagi kalau bukan untuk membangun berbagai prasarana industrialisasi. Pertanyaannya, apakah penimbunan atau tindakan reklamasi pantai itu justru tidak akan merusak ekosistem? Andai memang dapat merusak, apa tindakan dari pihak-pihak yang memiliki otoritas tentang hal itu untuk mencegahnya? Senyampang masih dini, tindakan-tindakan pencegahan harus segara dilakukan.

Jangan sampai hikmah kultural yang memang sangat positif bagi kehidupan sosial orang Madura justru pada akhirnya harus dikalahkan oleh dampak-dampak negatif industrialisai yang selama ini memang dikenal sangat tamak dan rakus demi meraup keuntungan ekonomi semata.

A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya dan
Ketua Tim Proyek SCBD Kabupaten Sampang

April 29, 2010

RIAK SURAMADU MENGGANGGU ORANG MADURA

Oleh A Latief Wiyata

(dimuat di Harian KOMPAS edisi Jawa Timur, 29 April 2010)


Sudah dapat diduga, setelah jembatan Suramadu dibuka secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 10 Juni lalu, salah satu dampaknya arus lalu lintas di kawasan Madura meningkat pesat. Hampir tiap menit kendaraan bermotor lalu lalang di jalanan Pulau Madura, baik itu yang masuk maupun keluar dari pulau ini.


Di malam hari, sorotan lampu-lampu kendaraan bermotor itu berpadu dengan kemilaunya sinar lampu merkuri yang sudah mulai dijajar di sepanjang jalan utama mulai dari wilayah Kabupaten Bangkalan di bagian barat menyusur ke arah timur melewati wilayah Kabupaten Sampang dan Pamekasan yang akhirnya menembus wilayah Kabupaten Sumenep.


Bagaikan seorang gadis yang mulai dipingit untuk disandingkan dengan para investor kelas kakap yang sudah siap menghidupkan mesin-mesin industrinya. Madura benar-benar mulai bersolek. Sekilas keadaan ini menandakan geliat sektor perekonomian mulai terasa. Apalagi dipertegas oleh makin maraknya para pedagang “dadakan” yang memanfaatkan areal di sisi kiri dan kanan jalan utama di kaki jembatan memasuki wilayah Madura.


Saat awal peresmian Suramadu hanya terlihat sederetan pedagang “dadakan” yang menempati areal tak kurang dari 100 meter. Namun, setelah 10 bulan deretan itu kini telah memanjang hampir mencapai 2 kilometer. Gambaran ini makin menumbuhkan harapan orang Madura bahwa taraf kehidupan mereka secara ekonomi akan meningkat pesat oleh pembangunan Suramadu.


Di balik semua itu, jangan dilupakan riak-riak Suramadu tidak selamanya menjanjikan hal positif bagi orang Madura. Paling tidak hal itu telah dirasakan oleh warga desa Amparaan, kecamatan Kokop, kabupaten Bangkalan, yang menolak pengeboran minyak dan gas yang dilakukan oleh PT SPE Petrolium Ltd karena dianggap menggangu kehidupan keseharian mereka. Meski kemudian perusahaan pengeboran ini memindahkan lokasinya ke Desa Batokaban, Kecamatan Konang, berdekatan dengan lokasi awal, ternyata warga di desa ini pun menunjukkan reaksi sama. Para warga mempermasalahkan itu karena rencana eksplorasi di Desa Batokaban tidak terdaftar dalam surat persetujuan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan.


Reaksi serupa juga telah terjadi sebulan lalu ketika ratusan nelayan dari Pulau Mandangin, Kecamatan Kota Sampang dan Kecamatan Camplong, mengepung lokasi pengeboran minyak PT Santos di Sumur Oyong. Para nelayan menganggap pengeboran minyak tersebut semakin mempersempit ruang aktivitas mereka dan merusak alat tangkap ikan serta mengakibatkan putusnya jangkar perahu mereka. Dalam unjuk rasa tersebut para nelayan yang jumlahnya ratusan orang menaiki puluhan kapal tradisional berputar-putar mengelilingi Sumur Oyong dan 2 kapal besar milik PT Santos kemudian mendudukinya seraya berorasi menuntut tanggungjawab perusahaan untuk mengganti segala kerugian yang mereka alami.


Aksi-aksi unjuk rasa tadi mengemuka ketika orang Madura merasakan perlakuan para investor yang telah menggangu rasa keadilan mereka. Dalam suasana keterbukaan pascareformasi, ditambah dengan karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang menonjol yakni spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi aksi-aksi unjuk rasa itu seolah kian mendapat legitimasi.


Meskipun harus diakui dalam konteks karakteristik sosial-budaya orang Madura cenderung terstigma sebagai kelompok masyarakat yang sikap dan perilakunya akrab dengan kekerasan, di balik itu sikap dan perilaku orang Madura justru sangat sopan dan menghargai orang lain bila mereka mendapat perlakuan yang menjunjung rasa keadilan serta tak menyimpang dari etika sopan santun. Kedua sikap dan perilaku yang tampak ekstrim itu berdampingan secara diametral. Karakteristik sosial budaya ini selayaknya sudah diperhitungkan sejak dini oleh para pemilik modal yang akan masuk Madura. Bila hal ini dibiarkan tentu akan sangat mudah menyulut konflik kekerasan.


Konflik kekerasan

Pembangunan Suramadu yang dibanggakan sebagai jembatan orang Madura menuju kehidupan yang lebih baik dari segi kualitas dan martabatnya justru akan kontra produktif. Kehidupan sosial-budaya orang Madura akan terpuruk ketika konflik kekerasan kian merajalela bukan hanya oleh faktor pemicu utama yang selama ini telah diketahui secara umum, yakni membela martabat suami ketika isteri dilecehkan (secara seksual), melainkan oleh ulah para investor yang lebih mementingkan keuntuangan ekonomi semata tanpa memerhatikan kepentingan dan kebutuhan sosial-budaya orang Madura.


Perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menampik segala perubahan kecuali bila harga diri mereka telah dilecehkan oleh berbagai bentuk ulah termasuk menafikan kepentingan ekonomi mereka tak terkecuali yang terkait dengan pembangunan Suramadu.


Sebelum segalanya terlambat, semua pihak yang berkepentingan dengan perkembangan masyarakat Madura yang lebih berkualitas dan bermartabat ke depan sudah selayaknya sejak dini mengingatkan para investor yang mulai menunjukkan kenakalannya. Dialog-dialog yang bermuatan aspek-aspek sosial-budaya harus lebih dikedepankan dan diintensifkan baik melalui jalur-jalur formal maupun informal.


Institusi-institusi social keagamaan yang bertebaran di seluruh kawasan pulau dan telah dijadikan pilar-pilar penyangga dan penopang kehidupan orang Madura merupakan wadah efektif untuk tujuan itu. Sebab, dengan cara ini pemahaman terhadap orang Madura akan lebih pas dan proporsional. Dalam perkataan lain, pahami dan perlakukan orang Madura secara arif dan cerdas sesuai dengan konteks sosial-budaya mereka.


A Latief Wiyata

Dosen Antropologi FISIP Universitas Jember

Juni 15, 2009

Investor Jangan Sampai Memanfaatkan Keuletan Masyarakat Madura

(Dimuat di KORAN TEMPO edisi Jawa Timur, 15 Juni 2009)

Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni lalu menjadi ikon baru masyarakat Jawa Timur. Lihat saja, kemarin. Begitu dilakukan uji coba gratis, warga langsung menyemut, memadati jembatan ini. Mereka berjubel ingin menjajal jembatan yang menghubungkan daratan Surabaya dan Madura ini.

Di awal rencana pembangunannya, sejumlah ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) Bangkalan menentang. Mereka khawatir adanya jembatan ini membawa dampak sosial-budaya bagi masyarakat seperti yang terjadi di Batam.
Namun, dalam perjalanannya, para ulama ini melunak. Mereka mengajukan sembilan syarat, di antaranya pembangunan di Madura harus memiliki ciri Indonesiawi, Madurawi, dan Islami.
Memang pembangunan jembatan ini diharapkan bisa memajukan wilayah Madura sejajar dengan daerah lainnya di Jawa Timur.

Untuk mengetahui sejauh mana kesiapan masyarakat Madura menyongsong perubahan sosial yang terjadi dengan adanya jembatan ini, wartawan Tempo, Jalil Hakim, mewawancarai Antropolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, A. Latief Wiyata, melalui surat elektronik, Kamis pekan lalu. Berikut ini petikan wawancaranya.


Apa yang harus dilakukan oleh empat kepala daerah agar keberadaan jembatan ini bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakatnya?

Sebagai pemegang otoritas pemerintahan formal, para bupati di keempat kabupaten yang ada di Madura bersama jajarannya, paling tidak harus memperhatikan tiga hal.
Pertama, mengawal dan mengawasi proses industrialisasi agar dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua orang Madura. Kedua, melalui otoritas kekuasaan formalnya, para bupati itu sudah seharusnya mempertahankan kedaulatan Madura. Jangan sampai kedaulatan mereka terhegemoni oleh kekuatan-kekuatan uang yang dimiliki para investor kakap.
Ketiga, sedini mungkin harus merancang tata ruang yang bagus agar kelak tidak timbul sengketa-sengketa yang menyangkut penataan dan peruntukan lahan yang tidak tepat antara kepentingan pihak pemerintah daerah sendiri, masyarakat, dan para investor yang pada gilirannya justru merugikan orang Madura.


Seberapa besar pemimpin formal dan nonformal bisa mendorong ke arah kemakmuran itu?

Saya sangat yakin dan optimistis masyarakat Madura ke depan akan kian maju dan meningkat kesejahteraannya andai para elite lokal, terutama elite formal, merupakan figur-figur yang benar-benar teruji secara intelektualitas, moralitas, dan amanah. Di pundak merekalah masa depan orang Madura dipertaruhkan dengan tantangan yang kian berat setelah beroperasinya Jembatan Suramadu.
Intelektualitas menyangkut tidak saja jenjang pendidikan yang disandangnya (kadang hanya teraktualisasi sebagai gelar simbolik semata yang tunamakna), melainkan lebih penting pada bagaimana mengimplementasikan semua pengetahuan serta wawasan intelektualnya dalam kehidupan nyata.
Secara moralitas, figur pemimpin yang dibutuhkan itu harus benar-benar mampu menunjukkan cara berpikir, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas, baik yang berasal dari ajaran agama (Islam) maupun dari nilai-nilai sosial budaya Madura.
Implikasinya nanti tidak akan terdengar lagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sangat aib karena merugikan hampir semua orang Madura. Aspek yang terakhir adalah figur pemimpin itu harus dapat memegang teguh amanah.
Kekuasaan juga sangat sarat aspek moralitas. Ketika seseorang yang kebetulan diberi kesempatan memperolehnya kemudian benar-benar menyadari bahwa kekuasaan itu adalah sebuah amanah dari Yang Mahakuasa, niscaya kekuasaan itu akan bermanfaat bagi semua orang Madura. Sebaliknya, kekuasaan itu pula bisa membuat kehidupan orang Madura bisa menjadi semakin terpuruk. Padahal, keterpurukan ini menurut ajaran agama Islam sangat dekat dengan kekufuran bagi yang bersangkutan.


Anda yakin besarnya investasi yang masuk akan mampu memakmurkan masyarakat Madura?

Saya tidak percaya hal itu sepenuhnya. Berdasarkan perspektif ekonomi, memang semakin besar investasi, akan semakin besar kemungkinan keuntungan yang akan diraih. Namun, pertimbangan ekonomi tidak berdiri sendiri. Apalagi didasarkan pada teori pembangunan bahwa semua proyek industri besar lebih bersifat capital intensive (padat modal) daripada labour intensive (padat karya).
Aspek-aspek sosial budaya patut diperhitungkan. Secara sosiologis, komposisi masyarakat Madura sebagian besar berada pada strata bawah. Selain itu, kemampuan SDM Madura masih relatif rendah sehingga belum dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan akan tenaga kerja industri yang sangat padat modal. Itu artinya, kalaupun orang Madura dapat dimanfaatkan dalam proyek industrialisasi, tidak lebih pada tenaga-tenaga kasar belaka.
Jangan dilupakan, konsep para pemilik modal di mana pun selalu mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan cara antara lain menggunakan tenaga kerja (kasar) dengan upah serendah-rendahnya. Keuletan dan sifat mau bekerja keras orang Madura saya khawatir justru dimanfaatkan oleh para investor. Dalam konteks inilah, pesimisme saya muncul akan terentasnya orang Madura dari lembah kemiskinan.


Apa sebenarnya yang dikhawatirkan oleh masyarakat Madura?

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, dengan adanya Jembatan Suramadu sebagai infrastruktur dari suatu proyek besar, para pemilik modal yang akan mengoperasikan mesin-mesin industri besarnya sudah seharusnya bersikap profesional, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
Andai pengoperasian industri-industri besar itu tidak mengindahkan hal-hal itu, dengan mudah orang Madura akan merasa diperlakukan tidak adil sehingga akan mudah pula menyulut resistensi sosial.
Bila ini terjadi, konflik-konflik yang berujung pada tindakan kekerasan akan mudah meledak. Kasus-kasus Waduk Nipah di Sampang (1993) dan masalah agraria di Pasuruan (2007) merupakan pelajaran penting yang harus dihindari.


Bagaimana dengan dampak ikutan industrialisasi nantinya?

Memang harus diakui, dampak ikutan itu tak mudah untuk ditepis keberadaannya. Sebagai masyarakat yang tingkat religiositasnya tinggi, orang Madura tentu akan sangat memperhatikan dampak itu.
Persoalannya terletak pada para pengelola industrialisasi bekerja sama dengan elite-elite lokal (baik formal maupun nonformal) bagaimana seharusnya mengemas masalah ini agar tidak mengganggu rasa keagamaan orang Madura.
Tidak bisa dimungkiri mengenai "sarana kemaksiatan" seperti klub-klub malam dan sejenisnya. Sebagian orang Madura tentu sudah kenal itu tidak di Pulau Madura.