Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Desember 12, 2008

Madurese

BookRags.com

November 04, 2005 22:16:55

Madurese

World History Study Guide


The Madurese originate from the 5,304 square kilometer island of Madura, which is part of Indonesia's East Java province. There are about 10 million Madurese, making them the third-largest ethnic group in Indonesia after the Javanese and the Sundanese. However, more than half of the Madurese have moved to other parts of Indonesia, particularly to mainland East Java, where they have integrated with the Javanese. The harsh, arid, and unfertile land of the island of Madura, which can only be used during the rainy season, causes the migration of the Madurese to other areas. Reports show that by 1994, only about 3 million people were left in Madura. Many have also transmigrated to areas such as Kalimantan, Sumatra, and Sulawesi.

Madurese migrants in Indonesian cities are easily identified because they stay exclusively in their own areas, maintaining their language and customs. The Madurese are Muslims and are notable in their adherence to their religious leaders or kiyai (Islamic clerics), who also become their informal political and social leaders. The kiyai have an elevated status for Madurese. The fanatical supporters from East Java province of Indonesia's former cleric president, Abdurrahman Wahid, counted Madurese in their numbers.

Madurese men are protective of their women, and should their wife or girlfriend suffer an offense from another man, then the Madurese man must settle it by carok (a life and death duel) using a clurit (a 30- to 40-centimeter half-circle knife). Madurese men must master carok as a martial art. Those who fully master this martial art are called orang jago and given blater (brave man) status. Traditional music and dances (remo) are regularly held in Madurese society to formally honor members of the blater group.

Migrant Madurese are usually small traders. In west and central Kalimantan, their presence has created difficult relations with the local people such as the Dayak, Malay, and Chinese. There have been a number of pogroms against the Madurese, including the brutal killings in 2001 in which thousands were beheaded in Central Kalimantan province after local Dayak people accused the Madurese of taking their land and of denigrating local customs and cultures.


Further Reading

Wiyata, A. Latief. (2001) "Carok: Institusionalisasi Kekerasan Dalam Masyarakat Madura" (Carok: Institutionalization of Violence in Madurese Society). Ph.D. diss. Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.

This is the complete article.
There are 1.2 pages in Madurese.

Copyright 2000-2005 BookRags, Inc.

November 21, 2008

Kontroversi Kepahlawanan Trunojoyo

Radar Madura, Juni 2003



Kontroversi Kepahlawanan Trunojoyo



Oleh A Latief Wiyata dan
Suryo Tri Saksono




Trunojoyo adalah sebuah fenomena yang sangat akrab dengan masyarakat Madura. Dia dianggap sebagai representasi heroisme pulau Garam. Namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol bukan hanya di kota-kota di Madura tapi juga di kota-kota besar di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Jawa. Tak hanya nama jalan, sebuah universitas negeri satu-satunya di pulau ini pun mengadopsi namanya: Universitas Trunojoyo. Sungguhpun demikian ada sebagian pihak yang masih menyangsikan eksistensinya sebagai pahlawan. Pertanyaannya kemudian benarkah dia seorang pahlawan atau patutkah dia menyandang gelar itu?

Masa kecil Trunojoyo tergolong kurang menyenangkan. Meskipun dia masih terbilang cucu dari Panembahan Cakraningrat I, dia tidak mendapatkan perlakuan selayaknya sebagai cucu seorang raja. Ayahnya, Demang Melaya, adalah seorang diantara sembilan putra yang dilahirkan oleh selir Cakraningrat I. Sehari-harinya Trunojoyo kecil menghabiskan sebagian besar waktunya bermain dengan kerbau kesayangannya yang terkenal sakti. Menginjak dewasa, Trunojoyo tumbuh sebagai pemuda gagah berani. Sebagaimana pemuda seusianya pada waktu itu, sebuah celurit tidak pernah terlepas dari pinggangnya. Perbuatan dan sepak terjangnya memancarkan bakat kepemimpinan luar biasa, sehingga tak mengherankan jika dengan mudah dia dapat menanamkan pengaruhnya kepada siapa saja yang dia hadapi.

Kelihaiannya dalam memimpin ini dia manfaatkan untuk menghimpun kekuatan untuk menggulingkan kepemimpinan Cakraningrat II yang saat itu memegang kendali kekuasaan di Madura. Menurut Trunojoyo apa yang dilakukan Cakraningrat II tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, Cakraningrat I. Raja Madura itu dianggap sebagai bonekanya kerajaan Mataram karena dia lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram daripada mengurusi kerajaannya di Madura.

Gayung bersambut, ide besar yang cukup berbahaya dari Trunojoyo ini mendapat dukungan yang luar biasa dari masyarakat Madura yang sudah lama merasa kurang diperhatikan nasibnya oleh Cakraningrat II. Tanpa perlawanan berarti Cakraningrat II berhasil dilumpuhkan dan diasingkan ke Lodaya Kediri. Lengsernya Cakraningrat II dari singgasana kerajaan diikuti dengan pengukuhan Trunojoyo sebagai penguasa di Madura.

Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Peribahasa ini tampaknya menimpa Trunojoyo. Terdepaknya Cakraningrat II dari kursi kerajaan mengundang amarah besar pihak Mataram yang saat itu dikendalikan oleh Raja Amangkurat I. Sebagai raja boneka yang diharapkan dapat mengemban misi kerajaan Mataram, Cakraningrat II harus diselamatkan. Dibawah pimpinan Amangkurat II tentara Mataram dikirim untuk menggempur kekuatan Trunojoyo.

Pada saat Amangkurat I menantikan keberhasilan perang melawan Trunojoyo, terbetik kabar sangat mengejutkan, pasukan yang dia kirim berbalik arah dan malah menggandeng Trunojoyo untuk menyerbu balik ke Mataram. Sang raja pun melarikan diri ke arah barat dan meninggal di daerah Tegal.

Penggalan sejarah di atas yang dikutip dari tulisan wartawan Radar Madura Risang Bima Wijaya (Radar Madura, 1/10/1999) sarat dengan makna-makna simbolik tentang heroisme meskipun akhirnya dapat melahirkan persepsi, penafsiran dan pemaknaan berbeda tentang pribadi Trunojoyo. Persepsi pertama menganggap Trunojoyo sebagai seorang negarawan sekaligus sebagai politisi yang cerdik. Sifat kenegarawanannya tampak ketika dia menghadapi situasi sulit menimpa rakyat yang tidak diperhatikan oleh Cakraningrat II. Dia tidak terima rakyat Madura ‘dikorbankan’ oleh Cakraningrat II untuk kepentingan Mataram. Dia pun mengambil tindakan cepat; mencopot dan mengasingkan Cakraningrat II. Dia sebenarnya bisa dan sangat mungkin untuk menghabisi nyawa sang raja, tapi itu tidak dia lakukan. Yang dia inginkan adalah rakyat yang makmur dan sejahtera tanpa harus mengorbankan pihak lain.

Permainan politik lumayan cantik dia lakukan ketika dia diserang Mataram. Dengan kemampuan bernegosiasi dia berhasil membalikkan niat Amangkurat II yang semula akan menyerang Trunojoyo justru berubah akan menyerbu kerajaan Mataram. Amangkurat II yang memang sejak semula ingin secepatnya menjadi raja tentu saja sangat bersuka cita dengan tawaran Trunojoyo ini. Dan memang benar, Amangkurat II segera menjadi raja setelah ayahnya Amangkurat I tersingkir dan meninggalkan kerajaan.

Persepsi kedua menganggap Trunojoyo sebagai sosok serdadu dan politikus amat cerdik dan lihai, tapi punya naluri kuat untuk berperang. Naluri ini didukung oleh badan yang kekar serta kesaktian luar biasa. Setiap perselisihan cenderung selalu diselesaikan di medan perang. Selama merasa masih berada dalam koridor kebenaran dia tidak punya rasa takut kepada siapapun, termasuk kepada pemerintah kolonial Belanda. Berulangkali dia berhadapan dengan Belanda dan berbuah kemenangan, meskipun pada akhirnya kalah juga, dan dia terbunuh di tangan mantan sekutunya, Amangkurat II.

“Petualangan” politik Trunojoyo muncul ketika dia melawan regim Cakraningrat II dan kemudian menggulingkannya. Menurut pandangan ini, sebenarnya Trunojoyo dapat menempuh mekanisme penggantian kepemimpinan secara lebih arif dan demokratis. Namun oleh karena instink politiknya tidak tahan melihat cara-cara pemerintahan yang dilakukan oleh Cakraningrat II serta naluri berperang serdadunya yang meluap-luap akhirnya dia menempuh jalan kudeta; jalan yang sangat lazim dilakukan oleh komunitas kerajaan di wilayah nusantara pada waktu itu.

Apapun yang terjadi, Trunojoyo telah menorehkan tinta emas perjalanan sejarah rakyat Madura. Nuansa heroisme sudah terlanjur melekat pada seluruh strata sosial yang tersebar dari Kamal hingga Kalianget. Mampukah persepsi miring seputar Trunojoyo – yang sampai dewasa ini tetap bergaung – meluluhlantakkan paradigma kepahlawanan yang telah lama terukir di tanah garam? Sudah sepatutnya pertanyaan ini disikapi secara arif sebagai bahan refleksi bagi siapa saja yang masih mau menghargai nilai-nilai kepahlawan atau herorisme dari seorang anak bangsa, siapa pun dia!



* A. Latief Wiyata, Ketua LPPM Universitas Trunojoyo
Suryo Tri Saksono, Dosen dan peneliti pada LPPM Universitas Trunojoyo