Juni 15, 2009

Investor Jangan Sampai Memanfaatkan Keuletan Masyarakat Madura

(Dimuat di KORAN TEMPO edisi Jawa Timur, 15 Juni 2009)

Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni lalu menjadi ikon baru masyarakat Jawa Timur. Lihat saja, kemarin. Begitu dilakukan uji coba gratis, warga langsung menyemut, memadati jembatan ini. Mereka berjubel ingin menjajal jembatan yang menghubungkan daratan Surabaya dan Madura ini.

Di awal rencana pembangunannya, sejumlah ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) Bangkalan menentang. Mereka khawatir adanya jembatan ini membawa dampak sosial-budaya bagi masyarakat seperti yang terjadi di Batam.
Namun, dalam perjalanannya, para ulama ini melunak. Mereka mengajukan sembilan syarat, di antaranya pembangunan di Madura harus memiliki ciri Indonesiawi, Madurawi, dan Islami.
Memang pembangunan jembatan ini diharapkan bisa memajukan wilayah Madura sejajar dengan daerah lainnya di Jawa Timur.

Untuk mengetahui sejauh mana kesiapan masyarakat Madura menyongsong perubahan sosial yang terjadi dengan adanya jembatan ini, wartawan Tempo, Jalil Hakim, mewawancarai Antropolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, A. Latief Wiyata, melalui surat elektronik, Kamis pekan lalu. Berikut ini petikan wawancaranya.


Apa yang harus dilakukan oleh empat kepala daerah agar keberadaan jembatan ini bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakatnya?

Sebagai pemegang otoritas pemerintahan formal, para bupati di keempat kabupaten yang ada di Madura bersama jajarannya, paling tidak harus memperhatikan tiga hal.
Pertama, mengawal dan mengawasi proses industrialisasi agar dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua orang Madura. Kedua, melalui otoritas kekuasaan formalnya, para bupati itu sudah seharusnya mempertahankan kedaulatan Madura. Jangan sampai kedaulatan mereka terhegemoni oleh kekuatan-kekuatan uang yang dimiliki para investor kakap.
Ketiga, sedini mungkin harus merancang tata ruang yang bagus agar kelak tidak timbul sengketa-sengketa yang menyangkut penataan dan peruntukan lahan yang tidak tepat antara kepentingan pihak pemerintah daerah sendiri, masyarakat, dan para investor yang pada gilirannya justru merugikan orang Madura.


Seberapa besar pemimpin formal dan nonformal bisa mendorong ke arah kemakmuran itu?

Saya sangat yakin dan optimistis masyarakat Madura ke depan akan kian maju dan meningkat kesejahteraannya andai para elite lokal, terutama elite formal, merupakan figur-figur yang benar-benar teruji secara intelektualitas, moralitas, dan amanah. Di pundak merekalah masa depan orang Madura dipertaruhkan dengan tantangan yang kian berat setelah beroperasinya Jembatan Suramadu.
Intelektualitas menyangkut tidak saja jenjang pendidikan yang disandangnya (kadang hanya teraktualisasi sebagai gelar simbolik semata yang tunamakna), melainkan lebih penting pada bagaimana mengimplementasikan semua pengetahuan serta wawasan intelektualnya dalam kehidupan nyata.
Secara moralitas, figur pemimpin yang dibutuhkan itu harus benar-benar mampu menunjukkan cara berpikir, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas, baik yang berasal dari ajaran agama (Islam) maupun dari nilai-nilai sosial budaya Madura.
Implikasinya nanti tidak akan terdengar lagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sangat aib karena merugikan hampir semua orang Madura. Aspek yang terakhir adalah figur pemimpin itu harus dapat memegang teguh amanah.
Kekuasaan juga sangat sarat aspek moralitas. Ketika seseorang yang kebetulan diberi kesempatan memperolehnya kemudian benar-benar menyadari bahwa kekuasaan itu adalah sebuah amanah dari Yang Mahakuasa, niscaya kekuasaan itu akan bermanfaat bagi semua orang Madura. Sebaliknya, kekuasaan itu pula bisa membuat kehidupan orang Madura bisa menjadi semakin terpuruk. Padahal, keterpurukan ini menurut ajaran agama Islam sangat dekat dengan kekufuran bagi yang bersangkutan.


Anda yakin besarnya investasi yang masuk akan mampu memakmurkan masyarakat Madura?

Saya tidak percaya hal itu sepenuhnya. Berdasarkan perspektif ekonomi, memang semakin besar investasi, akan semakin besar kemungkinan keuntungan yang akan diraih. Namun, pertimbangan ekonomi tidak berdiri sendiri. Apalagi didasarkan pada teori pembangunan bahwa semua proyek industri besar lebih bersifat capital intensive (padat modal) daripada labour intensive (padat karya).
Aspek-aspek sosial budaya patut diperhitungkan. Secara sosiologis, komposisi masyarakat Madura sebagian besar berada pada strata bawah. Selain itu, kemampuan SDM Madura masih relatif rendah sehingga belum dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan akan tenaga kerja industri yang sangat padat modal. Itu artinya, kalaupun orang Madura dapat dimanfaatkan dalam proyek industrialisasi, tidak lebih pada tenaga-tenaga kasar belaka.
Jangan dilupakan, konsep para pemilik modal di mana pun selalu mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan cara antara lain menggunakan tenaga kerja (kasar) dengan upah serendah-rendahnya. Keuletan dan sifat mau bekerja keras orang Madura saya khawatir justru dimanfaatkan oleh para investor. Dalam konteks inilah, pesimisme saya muncul akan terentasnya orang Madura dari lembah kemiskinan.


Apa sebenarnya yang dikhawatirkan oleh masyarakat Madura?

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, dengan adanya Jembatan Suramadu sebagai infrastruktur dari suatu proyek besar, para pemilik modal yang akan mengoperasikan mesin-mesin industri besarnya sudah seharusnya bersikap profesional, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
Andai pengoperasian industri-industri besar itu tidak mengindahkan hal-hal itu, dengan mudah orang Madura akan merasa diperlakukan tidak adil sehingga akan mudah pula menyulut resistensi sosial.
Bila ini terjadi, konflik-konflik yang berujung pada tindakan kekerasan akan mudah meledak. Kasus-kasus Waduk Nipah di Sampang (1993) dan masalah agraria di Pasuruan (2007) merupakan pelajaran penting yang harus dihindari.


Bagaimana dengan dampak ikutan industrialisasi nantinya?

Memang harus diakui, dampak ikutan itu tak mudah untuk ditepis keberadaannya. Sebagai masyarakat yang tingkat religiositasnya tinggi, orang Madura tentu akan sangat memperhatikan dampak itu.
Persoalannya terletak pada para pengelola industrialisasi bekerja sama dengan elite-elite lokal (baik formal maupun nonformal) bagaimana seharusnya mengemas masalah ini agar tidak mengganggu rasa keagamaan orang Madura.
Tidak bisa dimungkiri mengenai "sarana kemaksiatan" seperti klub-klub malam dan sejenisnya. Sebagian orang Madura tentu sudah kenal itu tidak di Pulau Madura.

Juni 13, 2009

Suramadu dan Konflik Kekerasan

Dimuat di KOMPAS, Sabtu, 13 Juni 2009

A. Latief Wiyata


Ide pembangunan Jembatan Surabaya-Madura dicetuskan Prof Dr Ir Sedyatmo tahun 1960 sebagai bagian dari proyek ”menyatukan” Jawa, Bali, dan Sumatera (Kompas, 20/8/2003).

Namun, gagasan awal dari RP Mohammad Noer, sesepuh orang Madura sekaligus mantan Gubernur Jawa Timur. Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) mungkin merupakan satu-satunya proyek yang paling lama dibicarakan dalam diskusi dan seminar.

Diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (10/6), jembatan sepanjang 5.438 meter di atas Selat Madura itu menyatukan Pulau Jawa dan Madura, pembangunannya menelan biaya Rp 4,5 triliun. Kaki jembatannya dari pantai Kenjeran-Surabaya hingga Kecamatan Labang, Kamal, Kabupaten Bangkalan (Madura).


Perubahan sosial

Dalam konteks pembangunan nasional, keberadaan Jembatan Suramadu merupakan bagian dari infrastruktur vital yang akan menunjang ”proyek” besar di baliknya. Namun, hingga kini banyak orang Madura belum tahu proyek apa saja yang hendak dibangun. Meski demikian, janji- janji pemerintah selalu melambungkan harapan orang Madura. Jargon-jargon ekonomis sering terdengar, seperti Madura akan menjadi zona industri (modern) dengan investasi amat besar dan kelak akan menyejahterakan masyarakatnya. Mereka yang selama ini cenderung dimarjinalkan secara ekonomi berharap nasibnya berubah menjadi orang yang mungkin (paling) sejahtera—setidaknya—di Jawa Timur.

Berbagai harapan ini tidak bisa ditolak karena kita paham, begitulah hukum ekonomi. Perlu diingat, berbagai perhitungan ekonomis tidak berdiri sendiri. Beragam kondisi nonekonomis juga patut dipertimbangkan.

Berfungsinya Jembatan Suramadu, cepat atau lambat, akan menimbulkan perubahan sosial warga Madura yang selama ini agraris. Pola kehidupan mereka akan diwarnai masyarakat industri. Para investor seyogianya merespons positif karakteristik sosial budaya warga Madura yang terbuka dan adaptif terhadap suasana dan lingkungan baru.

Karakteristik sosial budaya ini amat kondusif bagi bertumbuh kembangnya aneka industri besar. Bagaimanapun, masuknya pemilik modal besar yang disertai beroperasinya mesin-mesin industri merupakan kondisi-kondisi terbentuknya suasana dan lingkungan baru kehidupan masyarakat Madura kelak.

Meski demikian, beroperasinya mesin-mesin industri besar di Madura tidak akan mengubah karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang menonjol yakni spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi. Karakteristik sosial budaya ini patut diperhitungkan para pemilik modal yang akan masuk Madura.

Pengoperasian mesin-mesin industri besar secara ekonomi tentu lebih bersifat padat modal (capital intensive) daripada padat karya (labor intensive). Dengan kata lain, keberadaan Jembatan Suramadu akan lebih berorientasi pada kepentingan pemilik modal besar daripada kepentingan orang Madura sendiri.

Bila demikian, proporsi terbesar orang Madura yang kemungkinan dapat menikmati berbagai keuntungan ekonomis dari beroperasinya mesin-mesin industri besar tentu hanya berkisar pada tataran pekerja menengah dan pekerja kasar. Kecemburuan sosial amat mudah tersulut bila pengelolaannya tidak memerhatikan prinsip-prinsip profesionalisme dan sarat aroma KKN.


Konflik kekerasan

Meski demikian, orang Madura akan menerima semua itu selama pengelolaannya diyakini profesional dan transparan—dalam arti tidak menipu—dan memegang prinsip-prinsip keadilan. Lebih penting lagi, jangan sampai karakteristik sosial budaya orang Madura yang dikenal sebagai pekerja ulet, tangguh, dan pantang menyerah dimanfaatkan dan dimanipulasi sebagai tenaga kerja murah demi keuntungan investor. Segala bentuk ketidaktransparanan, ketidakadilan, dan manipulasi mudah mereka cium.

Hal itu mudah dipahami karena faktor geografis dan antropologis. Berbeda dengan pulau- pulau lain yang lebih dulu mengalami industrialisasi dalam skala besar, dari segi geografis, luas Pulau Madura sekitar 5.250 km, lebih kecil dari Pulau Bali.

Adapun faktor antropologis menyangkut penduduk Pulau Madura yang amat homogen, baik dari segi etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai sosial budaya. Faktor-faktor ini merupakan media kohesif yang amat erat mengikat mereka sehingga berpengaruh kuat terhadap kepekaan sosial terhadap berbagai perlakuan tidak adil dan semacamnya.

Itu sebabnya secara dini harus disadari sekaligus diantisipasi oleh para pemilik modal besar untuk bersikap dan berperilaku sportif dan profesional dengan penuh kearifan dan bijaksana dalam mengoperasikan mesin-mesin industrinya di Pulau Madura. Bila tidak, terkait sikap dan perilaku sosial budaya orang Madura yang amat spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi, segala bentuk ketidaktransparanan dan ketidakadilan akhirnya mudah akan menjelma menjadi sikap dan tindakan resisten. Bila ini terjadi, tidak mustahil akan amat mudah tersulut menjadi benih-benih konflik kekerasan. Beberapa contoh yang sudah dikenal luas antara lain peristiwa Waduk Nipah di Sampang (1993) dan masalah agraria di Pasuruan (2007).

Andaikan beberapa dari banyak karakteristik sosial budaya Madura itu diperhatikan oleh semua pihak yang berkepentingan, niscaya ke depan segalanya akan berlangsung dengan baik tanpa harus diwarnai munculnya aneka resistensi dan konflik (kekerasan) sebagai wujud dari rasa tidak puas orang Madura.

A Latief Wiyata Antropolog Budaya Madura FISIP Universitas Jember

Maret 23, 2009

Nasib Orang Madura di Balik Jembatan Suramadu

Dimuat di Radar Madura, 23 Maret 2009


Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya
FISIP Universitas Jember



Sejak aw
al ide pembangunannya yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Ir. Sedyatmo tahun 1960, sebagai bagian dari proyek untuk "menyatukan" Jawa, Bali dan Sumatra (Kompas, 20/08/2003) dan awalnya merupakan gagasan orisinal R.P. Mohammad Noer, sesepuh orang Madura sekaligus mantan gubernur provinsi Jawa Timur, mega project sebuah jembatan yang dikenal dengan nama Jembatan Suramadu barangkali merupakan satu-satunya yang paling lama diperbincangkan dan didiskusikan dalam seminar-seminar baik skala lokal, regional, nasional maupun internasional.

Mengingat betapa vital dan urgennya proyek ini bagi pembangunan ekonomi Indonesia, mudah dipahami bila jembatan Suramadu sangat didambakan kehadirannya oleh banyak pihak, khususnya orang Madura. Andai tidak ada aral melintang, pembangunan jembatan Suramadu yang diperkirakan menelan biaya Rp 4,5 trilyun akan selesai dan diresmikan penggunaannya Juni mendatang (Jawa Pos, 12 Maret 2009). Jembatan ini membentang dengan megahnya sepanjang 5.438 meter di atas selat Madura sehingga menyatukan dua kawasan pulau: Jawa dengan Madura. Kaki jembatan di kawasan pulau Jawa berada tepat di bibir pantai Kenjeran, Surabaya sedangkan di area pulau Madura ditempatkan di Labang, Kamal, kabupaten Bangkalan.

Janji-janji pemerintah selaku pemegang otoritas pembangunan jembatan tersebut selalu melambungkan harapan banyak orang Madura. Jargon-jargon ekonomis sudah terlalu sering didengar seperti kawasan Madura akan menjadi zona industri (modern) dengan investasi sangat besar sehingga nantinya akan kian menyejahterakan “semua” orang Madura. Harapan-harapan ini memang tidak harus ditolak, oleh karena semua orang mengerti dan memahami hukum ekonomi memang begitu adanya. Semakin besar investasi, semakin meningkat pula keutungan ekonomik yang akan diraih. Pada gilirannya, semakin banyak orang yang berkesempatan menikmatinya.

Andai teori itu benar adanya, orang Madura yang selama ini cenderung dimarjinalkan terutama secara ekonomi, tentu akan berbalik nasibnya 180 derajat menjadi orang yang mungkin paling sejahtera – setidaknya – di kawasan provinsi Jawa Timur. Realitanya, perhitungan-perhitungan ekonomis tidak selalu berdiri sendiri. Beragam kondisi non-ekonomis patut juga dipertimbangkan. Salah satu di antaranya adalah kondisi kemampuan kepemimpinan (leadership) dari para elit lokal yang ada di seluruh pulau Madura. Pada pundak merekalah pengelolaan semua sumberdaya (manusia dan alam) dipertaruhkan.

Kekuatan dan kemampuan SDM Madura sudah teruji sepanjang sejarah Indonesia. Orang-orang Madura sejak dulu dikenal sebagai pekerja yang sangat ulet, tangguh, penuh semangat, dan pantang menyerah terhadap kondisi-kondisi yang menghadangnya. Bahkan sejak zaman kolonial, orang Madura telah diakui pula sebagai pemberani sehingga penjajah Belanda waktu itu selain memanfaatkannya sebagai pekerja-pekerja dalam pembangunan fisik yang mendukung kepentingannya selama berada di Indonesia, orang Madura dijadikan juga tentara bayaran yang tentu saja sangat menguntungkan pihak penjajah.

Potensi, kemampuan, dan kekuatan SDM Madura yang hebat itu niscaya menjadi modal sosial dan kultural yang amat berharga dalam masa pembangunan di negara ini. Lebih-lebih ketika jembatan Suramadu telah secara resmi dioperasionalkan. Pada saat itu nanti, kondisi masayarakat Madura disadari atau tidak akan mengalami suatu perubahan besar dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini menuntut persayaratan kualitas SDM benar-benar unggul seperti yang dimiliki oleh orang Madura itu.

Potensi, kemampuan, dan kekuatan sumberdaya alam (SDA) Madura pun sudah sangat kentara. Gas alam cair, kandungan minyak bumi, serta kandungan barang-banrang tambang lainnya sudah mulai dilirik oleh berbagai investor kakap baik dari dalam maupun luar negeri. Sekali lagi, andai semua potensi itu dikelola dengan baik, cerdas, dan bermoral demi kepentingan orang Madura, sudah pasti kemakmuran dan kesejahteraan yang selama ini dijanjikan dan dinantikan akan mewujud secara nyata.

Kunci dari semua itu tidak ada lain kecuali terletak pada figur elit-elit Madura yang tepat untuk mengelolanya sekaligus sebagai pemimpin orang Madura ke depan. Kualitas figur pemimpin yang dimaksud harus benar-benar teruji secara intelektualitas, moralitas, dan amanah. Intelektualitas tidak saja menyangkut jenjang pendidikan yang disandangnya (kadang hanya teraktualisasi sebagai gelar simbolik semata yang tuna makna), tetapi lebih penting pada bagaimana mengimplementasikan semua pengetahuan serta wawasan intelektualnya dalam kehidupan nyata.

Secara moralitas, pemimpin yang didambakan itu harus benar-benar mampu menunjukkan cara berpikir, bertindak dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas baik yang berasal dari ajaran agama (Islam) maupun dari nilai-nilai sosial budaya Madura. Implikasi dari aspek moralitas ini ke depan tidak akan terdengar lagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sangat aib karena merugikan hampir semua orang Madura.

Madura ke depan akan semakin cemerlang andai kualitas para elit lokal yang akan memimpin Madura juga memegang teguh amanah. Ibarat sebilah pisau, kekuasaan memiliki makna ambiguitas tergantung pada siapa yang memegang dan bagaimana serta untuk apa digunakan. Kekuasaan juga sangat sarat dengan aspek moralitas. Ketika seseorang yang kebetulan diberi kesempatan memperolehnya kemudian benar-benar menyadari bahwa kekuasaan itu adalah sebuah amanah dari Yang Maha Kuasa, niscaya kekuasaan itu akan bermanfaat bagi semua orang Madura, dan sebaliknya dengan kekuasaan itu pula orang Madura menjadi semakin terpuruk kehidupannya. Padahal keterpurukan ini menurut ajaran agama Islam sangat dekat dengan kekufuran bagi yang bersangkutan. Tegakah para elit-elit di Madura membayangkannya, apalagi mewujudkannya dalam realitas?

Itu sebabnya, pasca pembangunan jembatan Suramadu sangat mendesak kebutuhan orang Madura akan figur-figur pemimpin yang benar-benar berkualitas baik secara intelektualitas, moralitas, dan sekaligus amanah. *

Februari 26, 2009

Pilkada dan Figur Kiai

(Saturday, 26 November 2005) - Written by Administrator - Last Updated

Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
Universitas Jember


Sumenep satu-satunya kabupaten di Madura yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (bupati) secara langsung Juni mendatang. Menurut data di KPUD setempat, sudah terdaftar lima calon bupati yang pada umumnya didominasi oleh figure kiai. Bahkan, antarcalon bupati tersebut masih terikat hubungan kekerabatan. Artinya, terjadi kompetisi antarkiai sekaligus antarkerabat. Fenomena keikutsertaan kiai dalam pencalonan jabatan kiai bukan yang pertama terjadi, setidaknya dalam era reformasi digulirkan sejak hampir satu dasawarsa lalu. Satu-satunya jabatan bupati yang masih diduduki oleh figure bukan kiai hanyalah di kabupaten Sampang. Tiga kabupaten lainnya, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep jabatan tersebut telah diisi oleh figure kiai. Pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni, seorang kiai muda pengasuh Pondok Pesantren Terate, Pandian, Kecamatan Kota Sumenep, sangat menarik untuk dicermati. “Dari awal saya sudah mengatakan bahwa saya ABK (asal bukan kiai). Kiai yang mencalonkan sekarang sudah tidak mampu lagi menjaga tugasnya sebagai ulama”. (Kompas Jatim, 5 April). Pernyataan ini paling tidak mengindikasikan dua hal. Pertama, merupakan alasan mengapa kiai muda tersebut memilih bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilkadal (pemilihan kepala daerah secara langsung). Menurut berita Kompas sikap ini juga diikuti oleh kiai lain. Kedua, meskipun tidak secara eksplisit mengatasnamakan semua kiai, pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni dapat ditafsirkan mengandung makna sebagai indikasi gugatan cultural keagamaan dari kalangan pesantren terhadap fenomena kehidupan sosial-politik di Madura yang selama ini kekuasaan eksekutif didominasi oleh figure kiai (“bupati-kiai”).

Secara politik, syah-syah saja seorang kiai menjabat sebagai bupati. Namun dalam perspektif kultur Madura munculnya “bupati kiai” seakan “menyimpang” dari koridor filosofi orang Madura. Sampai saat ini setiap orang Madura tentu tidak akan melupakan ungkapan bhuppa’-bhabhu’, ghuru, rato sebagai landasan filosofi kehidupan sehari-hari mereka. Selain
orangtua (bhuppa’-bhabhu’) yang menjadi panutan utama, menyusul figure kiai (ghuru), kemudian pemimpin formal (rato). Tugas dan kewajiban utama seorang kiai idealnya sebagai penjaga moral setiap orang Madura. Oleh karenanya tugas dan kewajiban ini lebih diorientasikan pada kehidupan ukhrowi (sacred life). Sedangkan figure rato dalam tataran praksis bermakna sebagai pemimpin formal yang tugas dan kewajibannya lebih beroreintasi pada kehidupan duniawi (profane life). Munculnya “bupati kiai” akan dipandang sebagai “penyimpangan” dari koridor filosofi kehidupan orang Madura oleh karena secara cultural sudah tegas ditentukan antara bidang kehidupan yang menjadi ranah otoritas kiai (rato) dan
ranah kekuasaan bupati (rato). Dalam ungkapan lain dengan jelas diharapkan agar kedua figure itu menempati posisi sesuai dengan otoritasnya (lakona lakone, kennengganna kennengnge).

Tentu saja perangkapan posisi tidak akan dimaknai sebagai “penyimpangan” yang pada akhirnya akan merugikan orang Madura, jika “bupati kiai” yang terpilih dalam pilkadal nanti dapat menunjukkan kinerja dan penampilan elegant selama menjalani masa jabatannya. Secara teoretik tidak terlalu sulit melakukan hal itu yakni dengan memadukan atau
mengintegrasikan kedua bidang otoritas tersebut sesuai dengan makna-makna idealnya. Namun jika dalam implikasi praksisnya justru muncul hal-hal merugikan kepentingan orang Madura, misalnya, yang bersangkutan terjebak oleh berbagai bentuk praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), sudah pasti pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan akan mendapat cercaan dan makian. Berkaitan dengan hal itu sudah barang tentu pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni yang dikutip pada bagian awal tulisan bukan tanpa dasar dan alasan kuat. Bisa jadi penampilan dan kinerja (para) “bupati kiai” Madura – khususnya di Sumenep – selama ini tidak sesuai dengan harapan masyarakat di sana. Sehingga muncul penilaian “traumatik” terhadap calon-calon yang akan bertarung dalam pilkadal sebagai figure-figure
“tidak mampu lagi menjaga tugasnya sebagai ulama”

Jika memang benar demikian adanya, realitas politik yang berkembang selama ini telah menjadi pelajaran cultural amat berharga bagi masyarakat Sumenep. Tidak tertutup kemungkinan juga bagi masyarakat Madura secara keseluruhan jika para “bupati kiai” di dua kabupaten lainnya menunjukkan kinerja dan penampilan tidak terpuji. Dalam kultur Madura pernyataan seorang kiai yang memiliki charisma serta pengaruh sangat kuat pasti akan dimaknai sebagai fatwa yang harus ditaati. Implikasi politis dari pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni tidak mustahil akan berdampak secara langsung terhadap meningkatnya jumlah pemilih golput dalam pilkadal di Sumenep. Namun bisa jadi juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap hal yang sama dalam konteks Madura secara keseluruhan.

Meskipun kualitas pilkadal tidak ditentukan oleh factor kuantitatif pemilih, tingginya jumlah pemilih golput sebagai dampak dari munculnya sikap dan pernyataan seorang kiai maka dalam konteks Madura legitimasi calon bupati yang terpilih nanti tidak akan kuat baik secara politik maupun kultural. Secara politik, sebagai bupati (rato) terpilih namun tidak mendapatkan jumlah suara signifikan bisa dipahami jika kelak kebijakan-kebijakan yang diambilnya tidak akan mendapat dukungan dan akan selalu mendapat batu sandungan bahkan perlawanan dari masyarakat di sana. Lebih-lebih jika kebijakan-kebijakan itu tidak memihak pada kepentingan masyarakat Madura. Secara cultural, dampak yang akan ditanggungnya sangat berat. Tegasnya, kapasitas dan otoritas ke-kiai-annya (sebagai ghuru) semakin pudar bahkan martabat dan kewibawaannya sebagai figure kiai yang selama ini menjadi rujukan dan panutan utama orang Madura – lambat namun pasti – akan hilang.

Dalam konteks ini secara tersirat pernyataan KH. Abdul Rahem Usymuni mengandung makna lain sebagai early warning (peringatan dini) yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh para calon “bupati kiai” yang akan bertarung dalam pilkadal Juni mendatang. Makna pernyataan tersebut sudah sangat jelas arahnya agar filosofi orang Madura
sebagaimana tersirat dan tersurat dalam ungkapan bhuppa’-bhabhu’, ghuru, rato tidak dicemari oleh kepentingankepentingan politik. Tegasnya, meskipun tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban sebagai bupati (rato) sarat dengan dimensi dan kepentingan-kepentingan politik namun sudah seharusnya yang bersangkutan tetap mampu menampilkan dirinya dalam kapasitas sebagai figure ghuru dengan landasan nilai-nilai keagamaan. Hal ini untuk membentengi diri agar tidak terjebak oleh segala bentuk tindakan tidak terpuji dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti misalnya melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masyarakat sudah terlalu muak dengan tindakan tersebut. Padahal dengan munculnya figure-figure kiai dalam kancah politik praktis (baca: sebagai “bupati kiai”) secara ideal dan seharusnya penyelenggaraan pemerintahan menjadi semakin bersih dan baik (clean government and good governance) sehinggamenyejukkan bagi setiap orang Madura di mana pun mereka berada. Bukan justru sebaliknya!

http://152.118.58.226 - Powered by Mambo Open Source Generated: 27 February, 2009, 09:40