November 22, 2008

MENCERMATI KONDISI SOSIAL BUDAYA PENGUNGSI SAMPIT

Kompas, Jumat 03 Mei 2002
Dipresentasikan di Seminar Konflik
oleh PMB LIPI, Jakarta April 2002



MENCERMATI KONDISI SOSIAL BUDAYA
PENGUNGSI SAMPIT



A. Latief Wiyata



Korban kerusuhan sosial Sampit – yang akhirnya menjadi pengungsi internal atau Internally Displaced Person (IDP) – tidak saja dapat ditemukan di wilayah Pulau Madura, melainkan juga tersebar di beberapa wilayah Jawa Timur, khususnya di kawasan “Tapal Kuda”. Menurut data statistik sampai dengan 31 Desember 2001 jumlah mereka adalah 125.969 jiwa atau 31.398 kepala keluarga (KK). Khusus di wilayah kabupaten Jember, keadaan per 1 Maret 2002 jumlah mereka tercatat sebanyak 9.680 jiwa atau 3.207 KK. Dari jumlah ini hanya sebagian kecil saja yang berasal dari Aceh, Maluku, dan Timor Timur. Setelah setahun lebih mereka berada di kamp-kamp pengungsian penting sekali untuk melihat kondisi sosial budaya mereka khususnya yang ada di wilayah kabupaten Jember. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tulisan ini akan mengungkapkan beberapa hal yaitu tentang kehidupan keseharian mereka secara sosial dan budaya, persepsi mereka tentang konflik, serta harapan atau aspirasi mereka dalam konteks upaya-upaya menuju ke arah rekonsiliasi.


Kehidupan Sosial Budaya Pengungsi

Dalam konteks identitas etnik terutama menunjuk pada faktor genealogis dan penguasaan bahasa Madura sebagai lingua franca, para pengungsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang lahir dan dibesarkan di Kalimantan, sehingga secara genealogis merupakan keturunan langsung orang Madura yang sudah bermigrasi ke sana sejak berabad-abad lalu. Seiring dengan berjalannya proses waktu perantauan yang panjang, identitas etnik mereka sebagai orang Madura dilihat dari aspek kemampuan atau penguasaan bahasa Madura sudah tidak tampak lagi. Bahasa yang mereka pergunakan dalam pergaulan sosial sehari-hari selama di daerah rantau adalah bahasa Banjar. Ini menunjukkan bahwa proses adaptasi mereka dengan kondisi sosial budaya lokal (Sampit) cukup berhasil. Apalagi, banyak di antara mereka telah melakukan perkawinan antaretnik, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Jumlah kelompok pertama ini cukup dominan dalam komunitas pengungsi yang ada di wilayah kabupaten Jember.

Kelompok kedua adalah mereka yang karena faktor genealogis dapat disebut sebagai etnik Madura Pendhalungan karena lahir dari hasil perkawinan campuran dengan etnik Jawa (ayah Madura, ibu Jawa atau ayah Jawa, ibu Madura). Oleh karenanya, mereka lahir dan dibesarkan di wilayah Jember dan baru beberapa tahun sebelum meletusnya konflik sosial pergi merantau ke Sampit. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini tetap dapat menggunakan bahasa Madura dalam setiap bentuk interaksi atau pergaulan sosial, selain bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (meskipun tidak sefasih orang Jawa).

Setelah satau tahun lebih menjadi pengungsi yang tergolong kelompok pertama mengalami dan merasakan keterasingan di lingkungan sosial dimana mereka hidup. Hal ini terutama disebabkan oleh tidak adanya sanak keluarga dan ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Madura. Gara-gara ketidakmampuan berbahasa Madura ini menyebabkan mereka cenderung kurang diakui dan diapresiasi sebagai orang Madura oleh penduduk lokal di tempat penampungan. Dengan kata lain, salah satu elemen penting yang membentuk ikatan primordial di antara mereka (bahasa Madura) tidak berfungsi. Akibat selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak mampu melakukan interaksi dengan penduduk lokal secara lebih akrab. Padahal, keakraban dalam pergaulan sosial merupakan “obat” tersendiri bagi mereka dalam upaya menghilangkan beban-beban pikiran traumatik atas kejadian di Sampit. Ironis sekali, pengungsian mereka dari bumi Kalimantan justru karena mereka diakui sebagai (keturunan) orang Madura oleh orang-orang Dayak. Dalam konteks ini, penting sekali suatu pengakuan terhadap elemen-elemen yang ikut membentuk ikatan primordial. Sebab identitas etnik dapat direkayasa atau dimanipulasi sesuai dengan konteks kepentingan orang yang bersangkutan ketika melakukan interaksi sosial.

Selain keterasingan secara sosial, mereka juga mengalami keterasingan secara budaya. Sebagai pengungsi yang dilahirkan dan dibesarkan di Kalimantan, tanpa disadari mereka sering menunjukkan sikap dan perilaku yang menurut pandangan dan penilaian orang Madura tidak lazim dan bahkan dianggap tidak sopan. Misalnya, mereka sering mengubah posisi kaki tidak sebagimana lazimnya orang Madura sedang duduk bersila, tanpa menghiraukan orang yang ada di depannya. Padahal mereka melakukan itu tanpa ada maksud untuk berbuat tidak sopan, melainkan semata-mata karena kebiasaan seperti itu selama berada di rantau tidak pernah menimbulkan pandangan dan penilaian negatif. Dengan kata lain, sebagai perantau Madura yang sudah menjadi “orang Kalimantan”, mereka tampaknya sudah tidak mengenal lagi nilai-nilai budaya Madura. Sebagai penduduk “pendatang”, mereka secara berangsur-angsur terus berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budaya setempat. Sampai kapan mereka harus melakukan hal itu dan berada pengungsian, tidak ada yang dapat memastikan. Meskipun pada tanggal 3 Februari 2002 di kota Batu, Malang telah dicetuskan tekad mufakat masyarakat Kalimantan oleh tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan, yang menjamin bahwa kepulangan kembali para pengungsi ke Kalimantan akan dilakukan mulai tahun ini secara bertahap. Namun, dalam realitasnya jaminan itu hanyalah mimpi belaka. Apalah artinya suatu kesepakatan jika tidak direalisasikan secara konkret dan konsekuen oleh para perumusnya dan pihak-pihak penentu kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah.

Persoalan sosial budaya yang dipaparkan di atas tidak dirasakan dan dialami oleh para pengungsi kelompok kedua. Pada dasarnya, mereka bukan sebagai pengungsi melainkan sebagai perantau yang terpaksa pulang kembali ke kampung halamannya akibat kerusuhan sosial Sampit. Bahkan ada di antara para pengungsi ini yang justru merasa menyesal diakui sebagai orang Madura selama berada di Kalimantan. Akibat dari pemberian identitas etnik Madura itu, ia harus terusir dari Sampit.

Selain persoalan sosial-budaya, baik kelomok pertama maupun kedua mengalami persolaan di bidang ekonomi. Kerusuhan sosial yang terjadi lebih dari satu tahun yang lalu telah membuat kehidupan mereka secara ekonomi berbalik 1800. Bahkan banyak di antara mereka mengaku sampai saat ini masih belum percaya atas kenyataan hidup yang kini terjadi. Jika sebelumnya mereka dapat memenuhi kebutuhan kehidupannnya dari hasil kerja di bidang pertanian, perdagangan, dan sebagainya kini mereka benar-benar menjadi pengangguran dan tidak produktif. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan pihak swasta/asing, serta rasa kedermawanan orang-orang atau keluarga yang ditempatinya dan masyarakat di sekitarnya.



Persepsi tentang Kerusuhan Sosial

Pada umumnya para pengungsi mempunyai persepsi yang sama tentang kerusuhan sosial di Sampit. Menurut mereka, kerusuhan sosial itu bukan semata-mata kerusuhan antaretnik melainkan kerusuhan yang bernuansa keagamaan karena dalam kerusuhan itu yang menjadi korban banyak di antaranya adalah para kiyai beserta santri-santrinya. Selain itu, mereka menganggap dirinya semata-mata sebagai korban, bukan pelaku. Sebab, selama ini mereka tidak merasakan terlibat konflik dengan penduduk lokal di Kalimantan. Pemicu keributan selama ini menurut mereka adalah para preman yang hidupnya secara sosial banyak menyimpang dari norma-norma yang ada. Para preman ini datang ke Sampit sejak akhir tahun 80-an, bukan yang dilahirkan di Sampit. Ironisnya, justru para preman ini hampir tidak ada yang menjadi korban pembantian karena mereka telah lebih dahulu melarikan diri ke Madura atau tempat-tempat lain di Jawa. Lebih mengherankan lagi bagi para pengungsi, karena para pelaku pembantaian itu sama sekali bukan orang-orang Dayak tetangga atau kenalan mereka, melainkan orang-orang Dayak yang didatangkan – secara berangsur-angsur – dari luar daerah Sampit.

Para pengungsi hampir sepakat jika nanti timbul konflik babak kedua, hal ini akan ditafsiri sebagai konflik agama. Jika substansi konflik demikian, skala konflik sosial yang bakal terjadi akan kian meluas karena melibatkan berbagai kelompok etnik yang diikat oleh kesamaan identitas keagamaan. Hal ini penting untuk dipahami karena secara faktual orang Madura sudah hampir tidak ada lagi yang tinggal di Kalimantan Tengah sehingga sulit untuk memobilisasi massa hanya berdasarkan identitas etnik. Jika hal ini benar-benar terjadi, kerusuhan sosial akan menjadi lebih keras dan skalanya lebih luas karena telah bersifat lintas etnik. Bahkan kerusuhan demikian akan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama, seperti terjadi di Maluku. Pada gilirannya, korban-korban akan lebih bervariasi, selain harta benda dan nyawa, juga kerusakan di bidang moral, etika, dan nilai-nilai kemanusian lainnya. Hal-hal demikian lambat atau cepat pasti akan mengancam integrasi bangsa. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mengambil langkah-langkah secepatnya mengantisipasi kian meluasnya isu tentang kemungkinan terjadinya konflik etnik lanjutan berbasis agama.


Harapan atau Aspirasi tentang Upaya Rekonsiliasi

Karena pada umumnya para pengungsi Sampit berpandangan bahwa mereka bukanlah pelaku melainkan hanya sebagai korban kerusuhan, maka upaya rekonsiliasi menjadi aneh dalam pikiran mereka. Mereka tidak merasa memiliki persoalan sengketa dengan orang Dayak, khususnya Dayak lokal. Karena menjadi korban, mereka merasa tidak perlu dilibatkan sebagai pihak yang harus melakukan rekonsiliasi. Kalaupun harus ada upaya rekonsilisasi, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para pemuka atau tokoh Madura dan Dayak untuk melakukannya. Namun demikian, mereka mengajukan beberapa prasyarat penting yang intinya adalah sebagai berikut. Pertama, orang-orang Dayak yang didatangkan dari luar daerah Sampit kemudian menjadi pelaku pembantaian orang-orang Madura harus segera dikeluarkan dari kota Sampit. Karena sejak kepergian orang Madura dari kota itu, mereka tetap berada di sana dan banyak di antara mareka justru menempati rumah-rumah serta menguasai harta benda milik orang-orang Madura. Selama mereka masih tetap dibiarkan bertahan di sana, tertutup kemungkinan bagi orang Madura yang sekarang menjadi pengungsi untuk kembali ke Sampit dan sekitarnya. Kedua, segera bubarkan paramiliter ”Pansus” (Pasukan Khusus) orang-orang Dayak yang bertugas melakukan sweeping KTP dan mengawasi kedatangan orang Madura ke Sampit. Keberadaan pasukan paramiliter ini hanya akan memperpanjang waktu konflik sehingga penyelesaian masalah konflik dan pengungsi kian berlarut-larut. Ketiga, pihak aparat keamanan harus netral, bertindak tegas, dan profesional. Pemihakan aparat keamanan terhadap orang Dayak sebagaimana dilakukan pada saat terjadi kekerasan sosial di Sampit tahun lalu harus diakhiri. Dengan demikian, ada kepastian terhadap jaminan keamanan orang-orang Madura. Keempat, kembalikan dan hargai hak-hak para pengungsi, baik hak sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Terutama hak-hak mereka untuk hidup bersama dan hak memiliki harta benda yang mereka peroleh secara sah selama bertahun-tahun.

Akhirnya penting diajukan suatu pertanyaan: sudahkah semua pihak yang cinta perdamaian memahami paparan di atas? Hanya hati nurani mereka yang paling dalam yang dapat menjawabnya.***

KERICUHAN DI DPR DAN KERAPAN SAPI


KERICUHAN DI DPR DAN KERAPAN SAPI




Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura

Universitas Jember



Rupanya sangat sulit menghilangkan ingatan public tentang kericuhan para anggota DPR ketika bersidang membahas kenaikan harga BBM tgl. 16 Maret lalu. Buktinya, harian Kompas edisi Minggu (27/3/2005) masih memuat beberapa tulisan secara eksklusif tentang hal itu. Belum lagi artikel-artikel yang dimuat pada hari-hari sebelumnya. Semuanya bernada geram, dan menyesalkan terjadinya peristiwa itu. Namun apa hendak dikata, peristiwa kericuhan 16 Maret sudah terlanjur terekam dalam setiap hati sanubari rakyat dan sejarah perpolitikan nasional.


Sejak era reformasi, kericuhan tersebut memang bukan yang pertama kali terjadi sehingga Gus Dur (panggilan akrab Abdurahman Wahid, mantan presiden RI) pernah menjuluki lembaga legislative yang terhormat ini sebagai taman kanak-kanak. Kejadian 16 Maret lalu menjadi antiklimaks yang membuat geram hampir seluruh rakyat karena kemudian ternyata lembaga yang terhormat ini memutuskan “menerima” kenaikan harga BBM. Dalam bahasa rakyat yang sempat saya tangkap, “buat apa ribut-ribut sampai bertengkar, toh pada akhirnya bukan aspirasi rakyat yang diperjuangkan”.


Tulisan ini tidak akan mempersoalkan hasil keputusan tersebut, melainkan mencoba mencermati lebih dalam makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, saya merasa perlu melakukan sedikit pendeskripsian atau pemaparan tentang peristiwa pertunjukan tradisional dalam masyarakat dan kebudayaan Madura yang dikenal dengan sebutan kerapan sapi. Secara cultural, peristiwa kerapan sapi sarat dengan makna-makna simbolik tentang keperadaban. Dengan cara ini saya mencoba membangun refleksi sekaligus upaya penyadaran – paling tidak pada diri saya sendiri – tentang makna keperadaban tadi.


Kerapan sapi merupakan suatu “adu kekuatan” antara dua pasang sapi – ada kalanya tiga pasang – yang sengaja diadakan untuk menentukan pasangan sapi mana yang paling kencang larinya di arena tanah lapang sepanjang sekitar 100 meter. Sapi-sapi yang ikut dalam kontestasi ini bukan sapi biasa sebagaimana ditemui di ladang-ladang petani ketika membajak tanah, atau sapi-sapi lain yang sering dilihat orang. Sapi-sapi kerapan adalah sapi dari jenis tertentu yang postur tubuhnya sangat anggun, kulitnya bersih bersinar, berwarna kecoklat-coklatan, dan mempunyai daya kekuatan (lari) yang mengagumkan. Pemeliharaan pun tidak sembarangan. Setiap pagi dan sore harus dimandikan secara rutin menggunakan air bersih (jika tidak ada sumber air dari PDAM, dibuatkan sumur tersendiri). Jadi bukan dimandikan di sungai yang airnya keruh apalagi di kubangan yang amat kotor seperti biasa dilakukan pada sapi-sapi untuk keperluan aktivitas pertanian dan ekonomi lainnya. Ini semua dimaksudkan untuk menjaga agar kesehatan sapi kerapan tetap terpelihara. Setiap kali dimandikan, badan sapi diurut-urut oleh seseorang yang memang memiliki keahlian untuk itu.


Belum cukup sampai di situ, sapi kerapan masih membutuhkan perawatan ekstra dengan biaya tidak sedikit. Jika dikalkulasi, biaya untuk perawatan seekor sapi kerapan – menurut seorang tokoh kerapan sapi di Bangkalan – mencapai tidak kurang dari Rp 100.000,- per harinya. Selain makanan rumput dari jenis pilihan yang diperoleh dari ladang yang khusus ditanam untuk itu, setiap hari sapi kerapan harus diberi minum jamu, berupa telur ayam berkualitas baik. Sekali minum tidak kurang dari 25 telur untuk setiap ekor sapi. Selain telur, sapi juga diberi minuman bir atau minuman energi lain (yang biasa diminum oleh para atlet atau siapa saja yang ingin badannya tetap segar, yang sekarang sedang marak dipasarkan dengan berbagai merek). Setiap kali minum minuman energi itu, sapi kerapan menghabiskan sekitar satu sampai dua liter setiap harinya. Bahkan masih ditambah dengan minuman susu segar serta madu. Minuman susu, telur, madu dan yang lainnya itu harus diberikan secara rutin setiap pagi dan sore baik menjelang, pada saat berlangsungnya kerapan maupun setelah pelaksanaan lomba.


Kandang sapi kerapan dibuat secara khusus, baik menyangkut kualitas bahannya maupun bentuk bangunannya, sehingga terkesan tidak berbeda dengan bangunan rumah hunian penduduk. Bahkan kandang-kandang sapi kerapan yang dimiliki oleh seorang tokoh terkenal mutu dan bentuk bangunannya lebih baik daripada rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Setiap kandang berisi beberapa ekor sapi, yang penempatannya terpisah satu sama lain dalam “kamar-kamar” berukuran 2x4 meter. Setiap kamar difasilitasi oleh penerangan lampu listrik minimal berkekuatan 25 watt yang harus terus dinyalakan sepanjang malam. Bahkan jika cuaca sedang jelek, lampu harus tetap dinyalakan agar suasana “kamar” tidak gelap. Oleh karena begitu banyaknya macam fasilitas yang diperoleh seekor sapi kerapan dengan biaya yang relative sangat mahal sampai-sampai ada ungkapan dalam masyarakat Madura bahwa “biaya merawat seeokor sapi kerapan lebih besar daripada biaya merawat seorang isteri”.


Pertanyaannya kemudian, mengapa orang Madura pemilik sapi kerapan mau berkorban demikian besar hanya untuk memelihara seekor sapi kerapan? Jawabannya tentu tidak dapat diukur oleh parameter ekonomik. Bagi orang Madura, memiliki sapi kerapan merupakan kebanggaan tersendiri, karena secara social-budaya sapi kerapan sarat dengan makna simbolik bagi pemiliknya. Sapi kerapan merupakan lambang status social dan kekuasaan. Yang bersangkutan akan terangkat status sosialnya sebagai seorang tokoh yang disegani dan dihormati. Lebih-lebih jika pemilik sapi kerapan itu adalah seorang blater. Kepemilikan sapi kerapan akan semakin mempertegas kapasitas ke-blater-annya. Perlu dijelaskan secara social-budaya seorang blater merujuk pada figure seseorang selain terkenal karena kapasitasnya sebagai jagoan (dalam arti pemberani, suka berjudi, dan semacamnya) sehingga memiliki pengaruh sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di lingkungannya. Oleh karena itu, dalam masyarakat dan kebudayaan Madura terdapat dua tokoh yang otoritas social-budayanya sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan orang Madura. Mereka adalah pertama, kiyai yang otoritasnya berdasarkan legimitasi Ilahiyah, dan kedua, para blater yang otoritasnya berdasarkan semata-mata legitimasi social-budaya. (lihat Wiyata, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS, 2002).


Bagimana kaitannya dengan kericuhan yang terjadi di gedung DPR 16 Maret lalu? Jelas sekali amat kontras perbedaan makna-makna simbolik yang terkandung di antara keduanya. Pada peristiwa kerapan sapi di Madura, sapi-sapi justru memberikan rasa bangga pada pemiliknya (apalagi jika sapi-sapi kerapan tersebut menang dalam lomba). Bagi penontonnya kerapan sapi merupakan suatu hiburan cultural yang amat mengasyikkan. Peristiwa kericuhan di gedung DPR 16 Maret lalu sungguh sangat ironic bagi sebuah peristiwa persidangan politik yang mempertaruhkan nasib seluruh rakyat Indonesia. Apalagi melibatkan wakil-wakil rakyat dengan kedudukan sangat terhormat. Peristiwa tersebut telah membuat banyak rakyat Indonesia menjadi geram atau menimbulkan perasaan-perasaan lain semacam itu. Padahal, sudah seharusnya semua rakyat Indonesia merasa bangga terhadap para anggota DPR yang mereka pilih dalam pemilihan umum secara langsung, umum bebas, rahasia, dan jujur serta adil. Kebanggaaan mereka pasti akan semakin bertambah jika para wakil rakyat yang terhormat itu “menang dalam setiap lomba” (baca: selalu memerhatikan aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat dalam setiap sidang).


Berdasarkan pemaparan dan pemahaman akan makna-makna simbolik tadi, kiranya dapat dibangun suatu bahan refleksi sekaligus penyadaran – paling tidak bagi diri saya pribadi. Apakah kita sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Kuasa dengan segala kelebihan yang dianugerahkan olehNya namun tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lain, tidak atau masih belum sanggup menunjukkan sikap dan perilaku keperadaban yang dapat menyenangkan sekaligus memberikan kebanggaan pada setiap orang lain? Dalam konteks lingkungan social lebih luas, mengapa di negeri ini masih harus selalu terjadi peristiwa konflik kekerasan yang melibatkan kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas baik yang bersifat vertical maupun horizontal? Kini sudah saatnya semua itu harus segera diakhiri. Karena, setiap bentuk konflik kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Justru yang terjadi malah sebaliknya: mereproduksi masalah dan bentuk-bentuk konflik kekerasan baru!


Jember, 27 Maret 2005

TRADISI MUDIK YANG POLITIS


TRADISI MUDIK YANG POLITIS



Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura

Ketua LPPM Universitas Trunojoyo

Bangkalan, Madrura



Mudik artinya “pulang kampung” baik bagi perantau yang sudah lama meninggalkan kampung halaman maupun orang-orang yang sudah menjadi mukimin di tempatnya yang baru sehingga sebenarnya mereka sudah enggan untuk kembali ke kampungnya. Tapi karena sudah menjadi tradisi yang mengikat secara sosial dan budaya serta terkait dengan ritualisme religius (Idul Fitri atau Natal dan Tahun Baru), mau tidak mau mereka harus mudik juga. Sebagaimana orang-orang di kebudayaan lain, melewati petengahan bulan Ramadhan tahun ini, orang-orang Madura yang berada di rantau mulai bersiap-siap dan seakan berlomba dengan waktu untuk secepatnya mudik di kala Lebaran.


Kiranya sudah tidak perlu dianalisis lebih lanjut bahwa tradisi mudik dalam konteks ritual keagamaan pada umumnya bertujuan untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan “kewajiban-kewajian” sebagai pemeluk agama (Islam), seperti sholat Iedul Fitri bersama keluarga, mempererat tali silaturrahim sekaligus bermaaf-maafan sesama sanak keluarga atau nyekar ke makam para leluhur. Namun begitu, penting untuk melihat tradisi mudik ini dari perspektif lain di luar itu.


Jika diamati secara seksama ada dua golongan besar perantau Madura yang melakukan mudik yaitu “massa” dan “elit”. Kelompok “massa” adalah kelompok terbesar dan yang tersebar hampir di seluruh pelosok nusantara. Mereka pada umumnya bergelut dengan jenis-jenis pekerjaan kasar atau berkutat di sektor-sektor informal. Namun ada sebagian dari mereka bekerja di sektor-sektor formal pada tingkatan “menengah”. Bagi kelompok “massa” tujuan merantau yang terpenting lebih berdimensi ekonomi. Artinya, mereka harus bekerja keras memeras keringat dengan semangat ketekunan dan keuletan demi mencapai tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik. Oleh karena itu, simbol-simbol kesuksesan secara materi lebih dipentingkan. Tidak heran jika mereka ketika mau mudik sudah mempersiapkan berbagai jenis benda (materi) yang dapat digunakan sebagai simbolisasi keberhasilan. Mulai dari pakaian, kendaraan bermotor, perhiasan emas, dan semacamnya.


Simbol-simbol ini sangat penting sebagai alat bagi mereka untuk memanipulasi makna-makna agar di kampung halaman nanti mendapat pengakuan sekaligus legitimasi sosial sebagai orang “sukses”. Ada kalanya sebagian dari mereka karena begitu bersemangatnya untuk mengejar pengakuan dan legitimasi sosial tentang predikat kesuksesannya di rantau, tidak segan-segan menempuh “jalan pintas”. Mereka rela meminjam dan menyewa (tentu saja dengan nilai sewa lebih tinggi daripada hari-hari biasa) segala macam simbol-simbol material untuk mereka pakai selama masa mudik kemudian dikembalikan setelah mereka tiba kembali di tempat rantau.


Dengan demikian, jika kelompok “massa” harus mudik tiada yang lebih penting bagi mereka selain bertujuan menunjukkan kepada sanak keluarga, kerabat dan sejawat di kampung halaman tentang cerita sukses (secara material) yang sudah diraihnya selama merantau. Lain halnya apa yang terjadi dengan dengan kelompok “elit”.


Kelompok “elit” ini merupakan sebagian kecil dari seluruh perantau Madura yang sudah menikmati kesuksesan tidak saja yang bercorak material (ekonomi) tapi juga sudah masuk pada ranah politik (praktis). Mereka telah berhasil meraih posisi-posisi strategis di tataran pemerintahan baik sebagai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka tersebar mulai di tingkat regional sampai nasional. Dalam konteks sosial-budaya dan religiusitas, tujuan mereka mudik tentu saja tidak banyak berbeda dengan para perantau Madura dalam kelompok ”massa” seperti telah diuraikan di muka. Namun, oleh karena keberhasilan kelompok “elit” di rantau sudah merengkuh ranah politik (praktis) maka mudah diduga kepentingan-kepentingan politik akan mewarnai tujuan mudik mereka. Apalagi dalam euforia situasi dan kondisi politik nasional sangat memungkinkan putra-putra daerah memiliki ruang gerak sangat luas untuk “bermain-main” politik di daerah asalnya.


Dalam konteks Madura, yang kebetulan musim mudik kali ini berbarengan dengan berlangsungnya proses suksesi di tingkat lokal – paling paling tidak di dua kabupaten (Pamekasan dan Bangkalan) – maka tidak tertutup kemungkinan para perantau elit ini memanfaatkan kesempatan mudik untuk tujuan-tujuan politik mereka. Apakah itu berkaitan langsung dengan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok atau kerabatnya. Misalnya, melalui “otoritas” dan “kapabilitas” politik yang mereka miliki tidak terlalu sulit bagi mereka untuk dapat memobilisasi orang-orang Madura di tingkat grass root agar mau mendukung kepentingan-kepentingan politik mereka pada proses suksesi yang kini sedang marak itu.


Secara politik, tentu saja upaya mereka sah-sah saja karena hakikat politik itu sendiri secara substansial dan konseptual adalah “perebutan” kekuasaan baik demi kepentingan pribadi yang merebutnya maupun demi kepentingan-kepentingan orang-orang di sekelilingnya (kelompok).


Jika memang tengara ini tidak terlalu meleset dari kenyataan, maka konsep dan makna mudik tidak lagi sesempit seperti yang selama ini dipikirkan orang. Melainkan, boleh dikatakan sudah terartikulasi ke ranah yang lebih luas dari sekedar dimensi sosial-budaya dan keagamaan. Yaitu telah merambah ranah politik (praktis). Bila demikian halnya, sejatinya mudik sudah harus dikatakan telah menjadi alat atau media untuk memenuhi dan merealisasikan motif-motif atau ambisi-ambisi politik. Maka, tidak mengherankan jika pada musim mudik kali ini di Madura muncul pula apa yang disebut dengan “mudik politis”. Bagaimana kelanjutan alur cerita “mudik politis” ini, marilah kita tunggu bersama-sama!!!



BANGKALAN, 04 APRIL 2003

PILKADAL DAN FIGUR KIAI Suatu refleksi dari perspektif kultur Madura

PILKADAL DAN FIGUR KIAI
Suatu refleksi dari perspektif kultur Madura


Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura
Universitas Jember


Sumenep satu-satunya kabupaten di Madura yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (bupati) secara langsung (pilkadal) Juni 2005 mendatang. Menurut data di KPUD setempat, sudah terdaftar lima calon bupati yang pada umumnya didominasi oleh figure kiai. Bahkan, antarcalon bupati tersebut masih terikat hubungan kekerabatan. Artinya, terjadi kompetisi antarkiai sekaligus antarkerabat. Fenomena keikutsertaan kiai dalam pencalonan jabatan non-kiai bukan yang pertama terjadi, setidaknya dalam era reformasi digulirkan sejak hampir satu dasawarsa lalu. Satu-satunya jabatan bupati yang masih diduduki oleh figure bukan kiai hanyalah di kabupaten Sampang. Tiga kabupaten lainnya, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep jabatan tersebut telah diisi oleh figure kiai.

Pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni, seorang kiai muda pengasuh Pondok Pesantren Terate, Pandian, Kecamatan Kota Sumenep, sangat menarik untuk dicermati. “Dari awal saya sudah mengatakan bahwa saya ABK (asal bukan kiai). Kiai yang mencalonkan sekarang sudah tidak mampu lagi menjaga tugasnya sebagai ulama”. (Kompas Jatim, 5 April 2005). Pernyataan ini paling tidak mengindikasikan dua hal. Pertama, merupakan alasan mengapa kiai muda tersebut memilih bersikap golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilkadal (pemilihan kepala daerah secara langsung). Menurut berita Kompas sikap ini juga diikuti oleh kiai lain. Kedua, meskipun tidak secara eksplisit mengatasnamakan semua kiai, pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni dapat ditafsirkan mengandung makna sebagai indikasi gugatan cultural keagamaan dari kalangan pesantren terhadap fenomena kehidupan sosial-politik di Madura yang selama ini kekuasaan eksekutif didominasi oleh figure kiai (“bupati-kiai”).

Secara politik, syah-syah saja seorang kiai menjabat sebagai bupati. Namun dalam perspektif kultur Madura munculnya “bupati kiai” seakan “menyimpang” dari koridor filosofi orang Madura. Sampai saat ini setiap orang Madura tentu tidak akan melupakan ungkapan bhuppa’-bhabhu’, ghuru, rato sebagai landasan filosofi kehidupan sehari-hari mereka. Selain orangtua (bhuppa’-bhabhu’) yang menjadi panutan utama, menyusul figure kiai (ghuru), kemudian pemimpin formal (rato). Tugas dan kewajiban utama seorang kiai idealnya sebagai penjaga moral setiap orang Madura. Oleh karenanya tugas dan kewajiban ini lebih diorientasikan pada kehidupan ukhrowi (sacred life). Sedangkan figure rato dalam tataran praksis bermakna sebagai pemimpin formal yang tugas dan kewajibannya lebih beroreintasi pada kehidupan duniawi (profane life). Munculnya “bupati kiai” akan dipandang sebagai “penyimpangan” dari koridor filosofi kehidupan orang Madura oleh karena secara cultural sudah tegas ditentukan antara bidang kehidupan yang menjadi ranah otoritas kiai (rato) dan ranah kekuasaan bupati (rato). Dalam ungkapan lain dengan jelas diharapkan agar kedua figure itu menempati posisi sesuai dengan otoritasnya (lakona lakone, kennengganna kennengnge).

Tentu saja perangkapan posisi tidak akan dimaknai sebagai “penyimpangan” yang pada akhirnya akan merugikan orang Madura, jika “bupati kiai” yang terpilih dalam pilkadal nanti dapat menunjukkan kinerja dan penampilan elegant selama menjalani masa jabatannya. Secara teoretik tidak terlalu sulit melakukan hal itu yakni dengan memadukan atau mengintegrasikan kedua bidang otoritas tersebut sesuai dengan makna-makna idealnya. Namun jika dalam implikasi praksisnya justru muncul hal-hal merugikan kepentingan orang Madura, misalnya, yang bersangkutan terjebak oleh berbagai bentuk praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), sudah pasti pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan akan mendapat cercaan dan makian. Berkaitan dengan hal itu sudah barang tentu pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni yang dikutip pada bagian awal tulisan bukan tanpa dasar dan alasan kuat. Bisa jadi penampilan dan kinerja (para) “bupati kiai” Madura – khususnya di Sumenep – selama ini tidak sesuai dengan harapan masyarakat di sana. Sehingga muncul penilaian “traumatik” terhadap calon-calon yang akan bertarung dalam pilkadal sebagai figure-figure “tidak mampu lagi menjaga tugasnya sebagai ulama”

Jika memang benar demikian adanya, realitas politik yang berkembang selama ini telah menjadi pelajaran cultural amat berharga bagi masyarakat Sumenep. Tidak tertutup kemungkinan juga bagi masyarakat Madura secara keseluruhan jika para “bupati kiai” di dua kabupaten lainnya menunjukkan kinerja dan penampilan tidak terpuji. Dalam kultur Madura pernyataan seorang kiai yang memiliki charisma serta pengaruh sangat kuat pasti akan dimaknai sebagai fatwa yang harus ditaati. Implikasi politis dari pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni tidak mustahil akan berdampak secara langsung terhadap meningkatnya jumlah pemilih golput dalam pilkadal di Sumenep. Namun bisa jadi juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap hal yang sama dalam konteks Madura secara keseluruhan.

Meskipun kualitas pilkadal tidak ditentukan oleh factor kuantitatif pemilih, tingginya jumlah pemilih golput sebagai dampak dari munculnya sikap dan pernyataan seorang kiai maka dalam konteks Madura legitimasi calon bupati yang terpilih nanti tidak akan kuat baik secara politik maupun kultural. Secara politik, sebagai bupati (rato) terpilih namun tidak mendapatkan jumlah suara signifikan bisa dipahami jika kelak kebijakan-kebijakan yang diambilnya tidak akan mendapat dukungan dan akan selalu mendapat batu sandungan bahkan perlawanan dari masyarakat di sana. Lebih-lebih jika kebijakan-kebijakan itu tidak memihak pada kepentingan masyarakat Madura. Secara cultural, dampak yang akan ditanggungnya sangat berat. Tegasnya, kapasitas dan otoritas ke-kiai-annya (sebagai ghuru) semakin pudar bahkan martabat dan kewibawaannya sebagai figure kiai yang selama ini menjadi rujukan dan panutan utama orang Madura – lambat namun pasti – akan hilang.

Dalam konteks ini secara tersirat pernyataan KH. Abdul Rahem Usymuni mengandung makna lain sebagai early warning (peringatan dini) yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh para calon “bupati kiai” yang akan bertarung dalam pilkadal Juni mendatang. Makna pernyataan tersebut sudah sangat jelas arahnya agar filosofi orang Madura sebagaimana tersirat dan tersurat dalam ungkapan bhuppa’-bhabhu’, ghuru, rato tidak dicemari oleh kepentingan-kepentingan politik. Tegasnya, meskipun tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban sebagai bupati (rato) sarat dengan dimensi dan kepentingan-kepentingan politik namun sudah seharusnya yang bersangkutan tetap mampu menampilkan dirinya dalam kapasitas sebagai figure ghuru dengan landasan nilai-nilai keagamaan. Hal ini untuk membentengi diri agar tidak terjebak oleh segala bentuk tindakan tidak terpuji dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti misalnya melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masyarakat sudah terlalu muak dengan tindakan tersebut. Padahal dengan munculnya figure-figure kiai dalam kancah politik praktis (baca: sebagai “bupati kiai”) secara ideal dan seharusnya penyelenggaraan pemerintahan menjadi semakin bersih dan baik (clean government and good governance) sehingga menyejukkan bagi setiap orang Madura di mana pun mereka berada. Bukan justru sebaliknya!


JEMBER, 10 APRIL 2005

November 21, 2008

BENARKAH ORANG MADURA KERAS?

Makalah dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura,
di hotel ”Utami Sumekar” Sumenep, 9-11 Maret 2007.



BENARKAH ORANG MADURA KERAS?



Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya
Universitas Jember




Pertanyaan dalam judul di atas sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Bahkan karena keyakinannya itu, mereka kemudian merasa tidak berani mengunjungi pulau Madura. Lebih tragis lagi, mereka tidak mau berinteraksi dengan orang Madura. Kalaupun ada kemauan untuk itu, mereka paling tidak harus berpikir seribu kali sebelumnya.

Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnik lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnik Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun.

Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol).

Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura. Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz, makna (nilai-nilai) kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sekilas sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Namun, apakah memang benar demikian?

Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti). Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya.

Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mera ngoda, koneng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk).

Sama halnya dengan kesukaan terhadap warna sebagai refleksi dari unsur-unsur kebudayaan Madura, dalam hal kesukaan orang Madura terhadap rasa atau taste terhadap masakan selalu menujukkan hal yang sama. Pada dasarnya selera (taste) merupakan juga bagian dari refleksi simbolik nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, orang Madura hanya lebih mengenal rasa accèn (asin) dan manès (manis). Bagi orang Madura kedua rasa tersebut sangat disukai. Artinya jika mereka menyebut rasa asin terhadap suatu jenis masakan, maka yang dimaksud adalah rasa yang benar-benar asin. Barangkali hanya di masyarakat Madura dikenal “lauk” buja cabbhi, yaitu campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setengah halus sebagai pelengkap dan sekaligus penyedap makanan pokok.Garam yang digunakan adalah garam murni yang tidak memerlukan campuran lain sehingga rasa asinnya sangat kental. Begitu pula dengan rasa manis. Rasa yang sifatnya ”setengah-setengah” sepertinya tidak pernah disukai.

Contoh lain adalah ketika orang Madura akan membangun rumah sangat memperhatikan secara tegas posisi atau letaknya. Hampir dipastikan posisi atau letak bangunan rumah jangan sampai mèsong (tidak mengarah pada arah mata angin ”utama” – barat, timur, utara dan selatan). Bangunan rumah yang posisi atau letaknya mèsong dianggap kurang pada tempatnya bahkan menyimpang dari kelaziman dan kepatutan. Bukan hanya letak dan posisi bangunan rumah, perilaku-perilaku menyimpang (deviance attitudes) dalam kehidupan keseharian disebut juga sebagai kalakowan mèsong. Itu sebabnya, petuah orang tua orang Madura pada anak-anaknya adalah: ajjha’ andi’ kalakowan mèsong atau mon alako pateppa’, jha’ song- mèsong.

Dengan mengemukakan masalah kesukaan terhadap selera tentang warna dan rasa (masakan) serta letak dan posisi rumah hal ini merefleksikan bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura adalah tegas. Itu sebabnya, pada setiap kesempatan berinteraksi dengan orang lain perangai, sikap dan perilaku demikian akan selalu muncul (dengan sendirinya). Bentuk-bentuk dari ketegasan ini adalah perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku ”basa-basi”.

Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dapat dilihat ketika mereka merespons hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang Madura tidak menyukai akan sesuatu hal, maka ketidak-sukaan itu dikemukakan secara spontan tanpa didahului (dikemas, apalagi direkayasa) dengan pernyataan basa-basi. Begitu pun sebaliknya, jika orang Madura merasa suka atau senang terhadap sesuatu hal, tanpa basa-basi pula mereka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifitas.

Namun harus diakui, bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura yang pada dasarnya sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif ini kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergerser menjadi ”kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajhina (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya).

Perangai, sikap dan perilaku ”keras” yang kadangkala muncul secara tanpa disadari atau disengaja sebelumnya oleh karena adanya kondisi-kondisi yang membentuknya, secara kultural memang diakui adanya. Namun, secara kultural pula perangai, sikap dan perilaku tersebut harus tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar sehingga kemudian harus memancarkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan mon kerras, pa akerrès. Makna ungkapan ini, walau bagaimanapun ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura hendaknya harus mampu diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian dengan memancarkan pesona kewibawaan. Oleh karena itu, ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura harus dimaknai bukan kekerasan destruktif melainkan kekerasan konstruktif yang berwibawa. Oleh karena itu, penilaian orang luar bahwa orang Madura memiliki perangai, sikap dan perilaku keras merupakan penilaian yang kurang proporsional dan kentekstual berdasarkan karakteristik sosial budaya Madura. Sejatinya penilaian harus lebih diarahkan pada pemaknaan kekerasan yang konstruktif dan berwibawa.

Untuk mewujudkan penilaian demikian, bagi orang Madura sendiri perlu penyadaran bahwa kekerasan destruktif bukanlah suatu perangai, sikap dan perilaku yang dikehendaki oleh nilai-nilai sosial budaya Madura. Upaya internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai ”kekerasan” kontsruktif yang berwibawa sudah sangat mendesak untuk dilakukan terutama oleh para elit-elit (sosial-budaya) lokal. Selain sangat mendesak, juga penting dilakukan secara berkelanjutan agar ke depan citra masyarakat dan kebudayaan Madura tidak lagi tercemari oleh stereotype yang sangat merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura. Bila demikian halnya, eksistensi masyarakat dan kebudayaan Madura ke depan akan semakin berkembang secara positif dan elegan di tengah-tengah masyarakat etnik lain dalam bingkai ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu, damai, aman, tentram, dan sejahtera.


Parsanga, Songennep
9 Maret 2007

Masih tegang akibat carok

BBC INDONESIA.com
Diperbaharui pada: 13 Juli, 2006
Published 12:40 GMT


Masih tegang akibat carok



Situasi di desa Bujur Tengah, Madura, dilaporkan masih tegang, sehari setelah terjadi carok masal di daerah tersebut, meski polisi sudah dikerahkan ke lokasi.
Aksi carok yang menewaskan tujuh orang dan melukai tiga lainnya itu dipicu oleh perebutan tanah kas desa oleh dua tokoh masyarakat desa tersebut.
Untuk menenangkan keadaan, Kepolisian Pamekasan menerjunkan hingga 300 personil ke desa Bujur Tengah.

Kepala kepolisian Pamekasan AKBP Adang Ginanjar mengatakan saat ini aparat berupaya keras mendamaikan kedua kelompok agar tidak kembali bertarung. "Namun hingga saat ini polisi belum melakukan penahanan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam peristiwa berdarah itu," tambah AKBP Adang Ginanjar.

Pakar budaya Madura Abdul Latief Wiyata mengatakan budaya carok adalah ajang warga Madura untuk mengadu kekuatan secara kestaria guna mempertahankan harga diri. Menurutnya aksi carok pada hari Rabu dipicu oleh pertarungan kekuasaaan antara dua tokoh masyarakat di desa Bujur Tengah. Suasana di desa itu sendiri hingga kini dilaporkan masih dalam keadaan mencekam meski polisi dari Pamekasan telah dikerahkan.


PLTN Madura dan 'Keganjilan' Penelitian

Surya Online, Senin, 20 September 2004


PLTN Madura dan 'Keganjilan' Penelitian


Oleh Amirullah



Kebocoran reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Mihama di Prefektur Fukui, Jepang, bulan lalu mengindikasikan bahwa pemanfaatan energi atom bagi umat manusia secara damai masih belum sepenuhnya aman. Akibat kecelakaan ini ternyata cukup fatal, karena telah menyebabkan empat korban tewas (Kompas, 10/8/2004).

Ironisnya kebocoran ini terjadi di sebuah negara yang sebelumnya dikenal sudah sangat maju dan memiliki teknologi pemanfaatan nuklir tercanggih di Asia, bahkan di dunia. Menjadi aneh kemudian jika Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) merencanakan membangun PLTN di Madura. Bahkan dalam rangka mengonkretkan niat ini, BATAN sudah melaksanakan kerja sama penelitian melibatkan sejumlah perguruan tinggi (PT).

PLTN Madura diestimasikan akan dioperasikan pada 2015. Hal ini terkait dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia melalui Batan dengan KAERI (Korean Atomic Energy Research Institute) Korea Selatan pada 10 Oktober 2001. PLTN Madura rencananya akan dibangun di Kecamatan Sokabanah, Ketapang (Kabupaten Sampang) atau Pasongsongan (Kabupaten Sumenep). Dalam rangka sosialisasi, BATAN telah menggandeng Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Brawijaya (LPM Unibraw) dan delapan dosen dari empat perguruan tinggi di Madura, yaitu Universitas Trunojoyo (Unijoyo) Bangkalan, STKIP Sampang, Universitas Madura, Pamekasan, dan Universitas Wiraraja, Sumenep. Namun, pada 24 April 2004 lalu, Unijoyo menyatakan menarik diri dari tim tersebut, berkat penolakan disertai aksi mogok makan 13 mahasiswanya.

Konsistensi lain ditunjukkan Dr. A. Latief Wiyata karena berani mempertaruhkan jabatan dengan mengundurkan diri dari Kepala LPPM Unijoyo. Sikap antropolog Madura ini diambil sebagai salah satu bentuk protes terhadap rencana kehadiran PLTN serta keikutsertaan Unijoyo dalam penelitian pengembangan energi nuklir di Madura.


PLTN di Negara Maju

Pembangunan PLTN Madura mungkin dapat menjadi solusi cukup bagus. Salah satunya untuk meminimalisir ketergantungan kebutuhan energi listrik pulau ini melalui Saluran Kabel Transmisi Laut 150 kV Jawa-Madura. Saat ini negara kita sedang berada dalam tahap "uji-coba" pemanfaatan nuklir sebagai sumber daya energi (SDE) alternatif dengan mengambil tempat Madura. Hal ini menjadi aneh, karena "tren" menunjukkan negara-negara maju mulai meninggalkan pemanfaatan SDE ini. Dalam jurnal berjudul Alternative to Economic Globalization-A Better World is Possible-A Report of the International Forum on Globalization (halaman 157) terungkap bahwa beberapa negara industri maju khususnya yang sudah piawai dalam teknologi nuklir dan telah bertahun-tahun mengoperasikan PLTN memutuskan untuk menghentikan pemanfaatan SDE ini, negara-negara tersebut antara lain (Kompas, 12/7/2004):

(1) Italia, seusai terjadi kecelakaan di Chernobyl bekas negara Uni Soviet (sekarang Rusia) memutuskan menutup kelima reaktor nuklir yang dimilikinya antara tahun 1987-1990 melalui suatu referendum (keputusan politik minta persetujuan rakyat). (2) Swedia, melalui referendum tahun 1980 menyatakan akan menutup 12 PLTN yang menghasilkan setengah dari total tenaga listrik yang dibangkitkan. PLTN pertama ditutup pada tahun 2002, sedangkan yang kedua dilakukan pada tahun 2003. Penambahan kapasitas dengan pembangkit baru selanjutnya dilakukan dengan konservasi dan pembangunan pembangkit listrik tenaga angin. (3) Belgia, pada tahun 1999 menyatakan pada periode 2005-2015 akan menutup 7 PLTN yang menghasilkan hampir 60 persen listrik yang dibangkitkan. (4) Belanda, pada tahun 2003 menutup kedua PLTN yang dimiliki. (5) Jerman, pada tahun 2000 menyatakan akan menutup semua PLTN pada tahun 2021, sejumlah 19 pembangkit yang menghasilkan 30 persen kebutuhan listrik nasional negara tersebut. PLTN ini selanjutnya akan digantikan pembangkit bertenaga angin. Bahkan Inggris, sebagai negara pioner pembangunan PLTN dan pemilik pembangkit terbanyak yakni Amerika Serikat (AS) sebanyak 109 power station dengan daya terpasang 98 700 MW, paling besar di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir sudah tidak lagi membangun PLTN.

Pertimbangan apa yang mendorong negara Barat mengambil keputusan resign dari PLTN? Set-back perkembangan pembangunan PLTN pada negara industri tidak hanya disebabkan oleh bayangan menakutkan terhadap ancaman kesehatan dan keselamatan masyarakat umum, tetapi juga oleh disebabkan ketidaklayakan ekonominya. Menurut sebuah artikel ilmiah Nuclear Risk: How will Supply stack up to Demand (Kurt Schreiber, RWE Neukem GmbH, 3 Juni 2002), di Berlin Jerman, biaya bahan bakar dari PLTN tipe pressure water reactor (PWR) atau reaktor air tekan kurang lebih berada pada angka 0,93-1,13 sen euro/kWh atau berkisar 1,12-1,36 sen dolar AS/kWh. Statistik ekonomis menunjukkan pada tingkat harga batubara 22-32 dolar AS per ton (nilai panas 5300 kcal per kg), biaya bahan bakar dari PLTU batu bara berada pada besaran 1,0-1,5 sen dolar AS per kWh.

Tidak hanya itu PLTN juga membutuhkan investasi awal yang tidak murah. Biaya pembangunan PLTN dapat mencapai 2-3 kali biaya pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara. Berdasarkan uraian ini jelas PLTN mahal, sehingga negara industri maju memutuskan meninggalkan penggunaan energi atom dan tidak melanjutkan proyek PLTN melalui sebuah keputusan politik. Langkah ini terpaksa harus dilakukan dalam rangka guna menghindari bahaya ancaman kesehatan dan keselamatan bagi masyarakat luas.


Keganjilan Hasil Penelitian

Jika dari segi kesehatan, keselamatan umum, dan ekonomis PLTN jelas-jelas tidak menguntungkan, cukup ironis jika ada perguruan tinggi di Madura yang "mendukung" pembangunan pembangkit ini dengan ikut terjun langsung sebagai tim peneliti yang disponsori Batan. Hasil penelitian terkait dengan realiasasi PLTN Madura yang terangkum dalam Laporan Akhir Penelitian Tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Unibraw tentang "Penerimaan Masyarakat dan Forum Sosialisasi Hasil Studi Terhadap Penilaian Ekonomi Sistem Energi Nuklir dan Produksi Listrik dan Air Bersih Desalinasi di Madura", ternyata menunjukkan adanya "keganjilan".

Dalam laporan ini (tabel 33, halaman 117) tertulis bahwa 65, 83 persen masyarakat Madura menjawab tidak mungkin PLTN dibangun di Madura, 13,33 persen menjawab tidak tahu, dan 20, 83 persen sisanya menjawab mungkin. Pertanyaannya sekarang, mengapa materi pertanyaan tidak terfokus kepada penerimaan riil PLTN oleh masyarakat Madura? Misalnya dengan mengajukan pertanyaan apakah Anda (orang Madura) setuju, tidak-setuju, atau ragu-ragu (tidak tahu) Madura dibangun PLTN, berikut alasannya. Dan kenyataannya, dalam laporan penelitian ini tidak ada tabel yang memuat parameter tersebut. Dengan model pertanyaan "versi" peneliti, nampak ada upaya "kamuflase" opini dan pembenaran sistematis bahwa rakyat Madura memang mendukung PLTN.

Jika 20,83 persen masyarakat Madura menjawab mungkin PLTN dibangun di Madura, apakah secara otomatis yang 20,83 persen ini setuju (mendukung)? Atau jika 65,83 menyatakan tidak mungkin, apakah mereka pasti tidak setuju (menolak)? Belum tentu juga, karena hasil penelitian ini tidak ada yang mengatur hasil tersebut (berapa persen yang setuju, tidak setuju, atau ragu-ragu).

Dalam penelitian ini (halaman 156) juga diuraikan bahwa proses pembangunan PLTN-Dasalinasi di Indonesia dilakukan melalui beberapa tahapan yakni: (1) promosi dan persiapan pembangunan (BATAN), (2) konsultasi dengan DPRD, (3) izin investasi (BKPM), (4) izin lingkungan (AMDAL oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup), (5) izin keselamatan nuklir (BAPETEN), (6) izin kelistrikan dan RKUD (BAPETAL dan PEMDA), (7) izin lokasi (Pemda) dan (8) pemilihan konstruksi (BUMN, Koperasi, Swasta).

Coba kita bandingkan dengan prosedur pembangunan PLTN di negara maju. Menurut Bennet, bekas pejabat International Atomic Energy Agency (IAEA) atau Lembaga Energi Atom International dalam artikelnya yang berjudul Nuclear Power Programmes in Developing Countries: Promotion & Financing, Bulletin IAEA, Vol 29, No 4, 1987, Wina Austria, di negara maju proses pengambilan keputusan yang lazim ditempuh dalam pembangunan proyek PLTN dilakukan melalui tahapan: (1) penyusunan perencanaan, (2) studi kelayakan (feasibility), (3) jajak pendapat penerimaan masyarakat, (4) pembahasan pembiayaan proyek, (5) penyiapan sarana dan tenaga kerja, dan (6) penyusunan kontrak sebelum pembangunan proyek dimulai.

Nah, dari dua tahapan ini, terlihat bahwa pembangunan PLTN di Indonesia khususnya di Madura telah "mengeleminasi" salah satu bagian terpenting yakni pelaksanaan jajak pendapat penerimaan masyarakat. Padahal penerimaan masyarakat (setuju atau tidak setuju) merupakan elemen utama bagi keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan baru. Kalaupun tahapan ini ada, jajak pemdapat penerimaan masyarakat harus didasarkan pada metode yang jelas, dimengerti dan diterima seluruh masyarakat dari segala jenjang pendidikan. Sebab pada penelitian PLTN (halaman 128), reponden penelitian hanya diambil dari masyarakat dengan katagori pendidikan menengah dan tinggi.

Permasalahannya hingga kini, mayoritas penduduk Madura hanya berjenjang pendidikan menengah ke bawah. Disamping itu dampak pembangunan PLTN tentu akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Pulau Garam. Hal penting lain adalah pelaksanaan jajak pendapat harus diawasi agar berjalan secara bebas dan jujur untuk mencegah terjadinya manipulasi suara rakyat.

Paparan penulis di atas menunjukkan bahwa pada kenyataanya PLTN mempunyai mudharat lebih besar dibandingkan manfaatnya. Kalau potensi energi lain dan ramah lingkungan misalnya, angin, solar sel, biomassa, dan ombak masih tersedia secara melimpah. Mengapa Batan harus mengembangkan energi nuklir dan bersikeras mewujudkan PLTN di Madura? Lumrah, jika kemudian ide ini ditentang oleh sebagian besar masyarakat Madura khususnya mahasiswa, LSM dan kalangan legislatif (DPRD Bangkalan). Sayangnya pihak yang seharusnya akan terkait langsung dengan kehadiran PLTN yakni empat pemerintah kabupaten (pemkab) di Madura masih belum begitu "antusias" menyikapi "skenario" BATAN tersebut. Apakah mereka menerima atau menolak PLTN? (*)


Amirullah, Pengajar Sistem Tenaga Listrik, Jurusan Teknik Elektro Universitas Bhayangkara Surabaya

MANUSIA MADURA: PANDANGAN HIDUP, PERILAKU, DAN ETOS KERJA


Makalah dipresentasikan dalam Semiloka “Penguatan Identitas Budaya Lokal”
diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur,
di Hotel Inna Tretes, Prigen, Pasuruan, tgl. 5-6 September 2007.




MANUSIA MADURA:
PANDANGAN HIDUP, PERILAKU, DAN ETOS KERJA




Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
FISIP Universitas Jember




PENDAHULUAN
Berapa sebenarnya jumlah orang Madura? Sampai saat ini belum ada data akurat yang bisa dijadikan rujukan. Orang Madura tidak saja dalam pengertian mereka yang berdomisili di pulau Madura, termasuk juga mereka yang bertebaran di luar pulau. Sebagai pegangan sementara, menurut data statistic Sensus Penduduk 2000 yang pertama kali memasukkan informasi tentang etnisitas diketahui bahwa penduduk etnis Madura di seluruh Indonesia adalah 6.771.727 jiwa atau 3,02% dari total penduduk Indonesia (201.092.238 jiwa). Perkembangan jumlah penduduk masing-masing kabupaten dari 1930 sampai 2000 dapat dilihat pada tabel berikut.



Slide 14

Tabel Jumlah Penduduk Madura 1930-2000


Kabupaten

1930

1961

1990

2000

Bangkalan

-

574.348

750.780

805.048

Sampang

-

484.886

703.138

750.046

Pamekasan

-

396.413

628.308

689.225

Sumenep

-

694.547

933.746

985.981

Total

-

2.150.194

4.015.972

3.230.300

Etnis Madura di Jawa Timur

-

-

-

6.281.058

Etnis Madura seluruh Indonesia

4,3 juta

-

-

6.771.727


Sumber:

1). Data Penduduk Per Kabupaten diakses dari website http://jatim.bps.go.id/

pada tgl. 02 Agustus 2004. (Data diolah kembali).

2). Suryadinata et.al. Penduduk Indonesia Etnis dan Agama Dalam Era

Perubahan Politk. Jakarta: LP3ES. 2003.



Pada tabel di atas nampak bahwa jumlah penduduk Madura di pulau Madura pada tahun 2000 adalah 3.230.300 jiwa, sedangkan jumlahnya di seluruh propvinsi Jawa Timur sebesar 6.281.058 jiwa dan di seluruh Indonesia adalah 6.771.727 jiwa. Ini berarti bahwa dalam lingkup nasional terdapat 3.541.427 (52,29%) orang Madura merantau ke luar pulau Madura. Dari jumlah ini 3.050.758 (86,14%) perantau Madura terkonsentrasi di wilayah "Tapal Kuda", selebihnya 490.669 (13,86%) orang Madura tersebar di 29 provinsi yang lain. Angka ini cukup fantastik, karena lebih dari separuh orang Madura merantau atau berdomisili di luar pulau Madura. Lebih fantastik lagi, jika terdata secara akurat jumlah orang Madura yang merantau ke luar negeri (Malaysia, Brunei Darus Salam, Singapore, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya).

Ada satu hal penting untuk dicermati kembali pada tabel di atas yang memperlihatkan dengan jelas pertumbuhan penduduk etnis Madura dalam kurun waktu 70 tahun (dari tahun 1930 s/d tahun 2000) ternyata sangat rendah, yaitu hanya sebesar 0,65%. Sehingga secara nasional urutan etnis Madura mengalami penurunan dari urutan ketiga (setelah etnis Jawa dan Sunda) pada tahun 1930 menjadi urutan keempat (setelah Jawa, Sunda, dan Melayu).

Sejak kapan orang Madura mendiami pulau Madura? Sampai saat ini belum ada data historis yang akurat. Salah satu legenda yang bersumber dari tulisan Zainalfattah (1951: 7-13) menyebutkan bahwa “orang pertama” yang mendiami pulau Madura sekaligus awal ditemukannya pulau Madura sekitar tahun 929 Masehi.

Pada waktu itu, seorang puteri dari sebuah kerajaan di pulau Jawa bernama Mendangkamulan tanpa sebab yang jelas diketahui telah hamil. Mengetahui kondisi puterinya demikian sang raja marah dan menyuruh seorang patihnya bernama Pranggulang untuk membunuh sang puteri. Tapi upaya pembunuhan itu selalu gagal sehinggga akhirnya sang puteri melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Raden Sagoro. Sedangkan patih Pranggulang tidak berani kembali ke keraton dan merubah namanya menjadi Kiyai Polèng. Menurut legenda itu, Raden Sagoro dan ibunya kemudian dihanyutkan ke tengah laut dengan sebuah ghitèk (rangkaian kayu yang berfungsi sebagai perahu). Akhirnya Raden Sagoro dan ibunya terdampar di sebuah daratan yang ternyata kelak dikenal dengan nama gunung Gegger (wilayah kabupaten Bangkalan). Daratan ini disebut “madu oro” yang mempunyai arti pojok di ara-ara atau pojok menuju ke arah yang luas. Dari kata “madu oro” inilah konon asal mula kata Madura. Raden Sagoro dan ibunya disebut dalam legenda itu sebagai penghuni pertama pulau Madura.


PANDANGAN HIDUP
Pandangan hidup orang Madura tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam yang mereka anut. Suatu fakta sosiologis tak terbantahkan bahwa hampir seluruh orang Madura adalah penganut agama Islam. Ketaatan mereka pada agama Islam sudah merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura. Ini terindikasikan pada pakaian mereka yaitu sampèr (kain panjang), kebaya, dan burgo’ (kerudung) bagi kaum perempuan, sarong (sarung) dan songko’ (kopiah atau peci) bagi kaum laki-laki sudah menjadi lambang keislaman khususnya di wilayah pedesaan (Rifai, 2007: 446). Oleh karena itru, identitas keislaman merupakan suatu hal yang amat penting bagi orang Madura.

Amien Rais dalam seminar “Islam dan Budaya Madura” yang diselenggarakan dalam rangka Festifal Istiqlal II di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (1996) mengungkapkan kegagumannya pada ketaatan yang kuat orang Madura pada agama Islam. “Sejak masa kecil sudah diceritakan orang padanya bahwa tidak orang Madura yang baik saja yang bakal sangat marah jika dikatakan tidak muslim, sebab yang jahat pun akan bersikap serupa”. Ini artinya, orang Madura yang jahat pun masih membuka ruang untuk disinari oleh nur (cahaya) kebenaran Islam sehingga pada saatnya nanti tidak mustahil mereka akan insyaf akan perilakunya yang selama ini tidak dibenarkan oleh ajaran agamanya.

Sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya, pandangan hidup orang Madura menuntunnya untuk menjalani kehidupan demi pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk itulah kegiatan aèkhtèyar (berikhtiar, berupaya) menjadi sangat penting bagi orang Madura, sebab pendekatan ini akan memperbesar kemungkinan pencapaian semua keinginan dan tujuan (Munir 1985: 228).

Orang Madura sangat sadar bahwa ‘hidup’ itu tidak hanya berlangsung di dunia sekarang ini tetapi juga diteruskan kelak di akhirat. Itu sebabnya orang Madura sangat yakin bahwa amal mereka di dunia ini akan dapat dijadikan bekal buat kehidupannya di akhirat kelak. Ibadah agama dilaksanakan dengan penuh ketekunan dan ketaatan karena dilandasi kesadaran dan keyakinan bahwa ngajhi bandhana akhèrat (mengaji bekal atau modal di akhirat).

Selain itu, hidup tidak akan ada artinya jika orang Madura dipermalukan atau harus menanggung malu (malo) terutama yang menyangkut harga diri (Wiyata, 2002, 2006). Ini sejalan dengan pepatah ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata (lebih baik mati berkalang tanah daripada harus hidup menanggung malu). Bila demikian, secara tersirat orang Madura pada dasarnya tidak akan mempermalukan orang lain selama mereka juga diperlakukan dengan baik (ajjha’ nobi’an orèng mon aba’na ta’ enda’ ètobi’).

Pandangan hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham akan makna yang terkandung di dalamnya? Saya yakin, jawabannya tidak. Menurut pengamatan saya selama ini, paling-paling yang mereka pahami adalah kepatuhan orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian pada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak – melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam.

Jika makna ungkapan tadi hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur tertentu secara hierarhikal maka implikasi praksisnya menuntut orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan dan ruang sekecil apa pun agar orang Madura dipatuhi. Jika begitu, artinya sepanjang hidupnya orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Patuh pada siapa? Kepatuhan pada kedua orangtua kandung memang sudah jelas dan tegas. Tapi untuk patuh pada figur yang kedua apalagi yang ketiga harus ada jawaban yang juga jelas dan tegas. Siapa mereka? Apakah figur ghuru itu harus orang Madura atau dari etnis lain? Begitu pun tentang kepatuhan pada figur rato. Siapakah dia? Orang Madurakah? Atau orang dari etnis lain? Bagaimana implementasi sosio-kulturalnya bagi kehidupan orang Madura? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab secara jelas dan tegas.

Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi digugat-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya adalah mutlak. Mungkin yang berbeda hanya dalam hal cara bagaimana dan dalam bentuk apa seorang anak mengimplementasikan kepatuhannya selama menjalani jalur kehidupannya di dunia yang fana ini. Kemutlakan ini ditopang sepenuhnya oleh aspek genealogis. Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh pada kedua orangtua kandungnya maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan mempunyai anak pula kelak. Jadi ada semacam siklus yang berkesinambungan.

Bagaimana dengan kepatuhan orang Madura pada figur ghuru? Oleh karena peran dan fungsi ghuru lebih pada tataran moralitas dan masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura sebagai penganut agama Islam yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi. Namun, apakah ada siklus yang berlaku sama seperti kepatuhan pada figur kedua orangtua? Tentu saja tidak. Sebab, tidak semua orang Madura memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menjadi figur ghuru. Meskipun banyak anggapan bahwa figur ghuru dapat diraih oleh seseorang karena faktor genealogis (keturunan). Namun demikian, pada kenyatannya tidak semua keturanan (anak kandung) dari figur ghuru akhirnya mengikuti jejak orangtua kandungnya. Artinya, pada tataran ini makna kultural dari ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato masih belum menjamin memberi ruang dan kesempatan lebih luas pada orang Madura untuk mengubah statusnya sebagai orang yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali patuh!

Bagaimana halnya dengan figur rato? Siapa pun dapat menjadi figur ini entah itu berasal dari etnis Madura sendiri maupun dari etnis lain. Sebab figur rato adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis melainkan semata-mata karena faktor achievement (prestasi). Bila demikian, siapa pun yang dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura dapat mencapai presatasi ini. Oleh karena itu, figur rato pun kemudian menjadi barang langka. Dalam konteks ini dan dalam bahasa yang lebih lugas, mayoritas orang Madura sepanjang hidupnya sepertinya masih tetap harus berkutat pada posisi “subordinasi”. Harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh!

Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa penting bagi semua orang Madura untuk tidak secara tergesa-gesa mengartikan makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato semata-mata sebagai hierarhi kepatuhan pada figur-figur tertentu sebagai lazimnya selama ini dipahami oleh hampir semua orang. Sebab jika demikian, makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato justru hanya akan menjerumuskan orang Madura untuk selalu berada pada posisi terhegemoni yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh sepanjang hidupnya. Pertanyaannya kemudian, kapankah orang Madura dapat mengubah posisinya menjadi figur yang harus dipatuhi? Hanya dalam konteks sebagai figur bhuppa’ bhabhu’ orang Madura ada saatnya menjadi figur yang harus dipatuhi setelah mereka menikah dan menjadi orangtua bagi anak-anaknya.

Pada figur ghuru masih kecil kemungkinan untuk itu. Satu-satunya akses yang lebih luas adalah pada posisi sebagai figur rato (dalam artian yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada konsep sebagai birokrat di lingkungan pemerintahan melainkan pada bidang-bidang lain). Satu-satunya persyaratan untuk itu adalah upaya peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan sehingga pada saatnya pasti orang Madura akan dapat juga meraih status sosial berdasarkan prestasi (achievement) dan menjadi figur yang dipatuhi. Dengan kata lain, pada saat itulah yang bersangkutan telah memiliki kekuasaan.

Bagaimana halnya dengan rato-rato di Madura, khususnya kepala daerah atau bupati? Sejak era reformasi digulirkan jabatan ini telah dipegang oleh figur-figur yang berlatar belakang kiai (ghuru). Bahkan untuk kabupaten Sumenep sudah memasuki masa jabatan kedua sejak awal tahun ini. Satru-satunya kabupaten yang baru akan melaksanakan pilkada secara langsung pada tahun ini dengan calon-clon dari figur kiai adalah Sampang. Awalnya akan dilaksanakan Agustus namun karena beberapa alasan ditunda akhir Nopember.

Munculnya figur-figur bupati yang berasal dari lingkungan sosial kiai, (sebut saja: “bupati-kiai”) jelas akan menimbulkan perubahan (posisi) sosial sangat fundamental dalam konteks struktur kehidupan budaya Madura. Yakni yang semula posisi mereka sebagai figur ghuru berubah ke posisi figur rato. Perubahan posisi sosial secara fundamental ini penting untuk dicermati paling tidak menyangkut dua hal.

Pertama, figur ghuru dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan berperan sebagai figur panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang berkaitan dengan aspek-aspek moralitas dan keagamaan. Dengan demikian, dalam pandangan dunia (world view) orang Madura figur ghuru lebih merupakan reprensentasi tentang kehidupan “ukhrowi” (sacred world). Figur rato tiada lain sebagai representasi dari kehidupan “duniawi” (profane world) yang dalam implimentasi praktisnya kelak akan selalu berkutat dengan tugas-tugas dan kewajiban sebagai “aktor politik praktis” dalam menjalankan roda pemerintahan di seluruh wiilayah kabupaten Madura. Perubahan posisi sosial semacam ini tentunya telah dipahami dan disadari sejak dini oleh yang bersangkutan. Sebab, peralihan atau perubahan posisi sosial tidak sekedar peralihan dan perubahan itu sendiri tanpa makna-makna kultural yang kemudian terimplementasi dalam perilaku-perilaku simbolik dan harus dipahami oleh semua pihak.

Kedua, bagi masyarakat Madura sudah pasti akan muncul respons kultural terhadap fenomena ini. Sesuai dengan konteks budaya Madura mereka tentu dituntut berpikir secermat dan secerdas mungkin untuk memutuskan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku ketika sedang atau akan berhadapan dengan figur rato yang sekaligus figur ghuru. Pada saat dan situasi apa serta kepada figur yang mana mereka harus lebih taat dan patuh, oleh karena dalam diri figur bupati-kiai melekat dua peran dan fungsi yang berbeda. Ada kemungkinan dalam situasi seperti itu mereka akan mengalami “kebingungan kultural”. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka salah satu dampaknya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sang bupati-kiai untuk membangun ketaatan dan patuhan yang benar-benar “utuh dan ihklas” dari warga masyarakat.

Dalam konteks itu, para bupati-kiai yang secara politik dan legal formal telah ditasbihkan menjadi rato mau tidak mau dituntut harus dapat bersikap dan berperilaku secara jelas dan tegas sesuai dengan konteks dan setting sosial-politik dan budaya yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan situasi apa harus berperan dan berfungsi sebagai figur ghuru dan pada saat dan situasi sosial budaya mana pula harus berfungsi dan berperan sebagai figur rato. Jika tidak, bukan hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan kultural, melainkan bisa jadi justru dirinya sendiri akan mengalami hal yang sama. Bila demikian, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah tidak akan berjalan secara efektif dan effisien.

Namun tidak tertutup kemungkinan para bupati-kiai justru bisa jadi menyikapinya dengan sikap dan perilaku dalam bentuk “dwi fungsi”. Yakni dalam sikap dan perilakunya berfungsi dan berperan sebagai figur ghuru sekaligus sebagai rato dalam segala macam situasi baik yang bersifat sosial-budaya-keagamaan maupun bersifat politik formal dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat diperlukan suatu kearifan agar tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi antara kedua figur itu yang akibatnya akan sangat kontra produktif bagi pelaksanaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah.

Mungkin hal lain yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah semangat dan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang memadai demi terlaksananya semua kegiatan dan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah dengan sebaik-baiknya. Kemampuan leadership ini selain penting untuk menjalankan semua aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah juga penting untuk membangun kapatuhan dan ketaatan (dalam bahasa lain dukungan dan partisipasi aktif) dari setiap warga masyarakat demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah Madura ke depan. Ini terkait dengan upaya menumbuh kembangkan semangat demokratisasi serta menciptakan clean government dan good governance. Semuanya itu harus benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh setiap warga masyarakat Madura yang ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan mereka tidak saja secara lahiriah tetapi juga bathiniah.

Terakhir penting untuk diingat, bahwa dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon bhagus, pabhagas, mon soghi pasogha’. Dalam pengertian luas, jika orang Madura telah memiliki harta (kekuasaan) dan menjadi figur rato (karena telah mencapai prestasi tertentu) hendaknya harus tetap santun dan berwibawa. Caranya janganlah bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter, tidak menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena mentang-mentang dirinya telah menjadi figur yang harus dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan dalam mengimplementasikan kekuasaannya. Padahal pada dasarnya kekuasaan itu adalah amanah. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang kebetulan memiliki kekuasaan sehingga menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andhap asor (sopan santun, arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam kebudayaan Madura. Pertanyaannya kemudian, bisakah para rato yang ada di Madura, bersikap dan berperilaku demikian? Jawabannya haruslah bisa, jika mereka masih mau mengaku dan diakui sebagai orang Madura yang beretika, berfalsafah, dan berbudaya Madura!


PERILAKU
Touwen-Bouwsma (1989:159) dengan mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda tahun 1922 mengatakan bahwa: “Orang Madura dan pisaunya adalah satu; tangannya selalu siap untuk merampas dan memotong. Dia sudah terlatih untuk menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam menggunakan arit. Tanpa arit ini dia tidak lengkap, hanya setengah laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan.” Senada dengan hal ini De Jonge (1995:13) menyatakan pula bahwa “jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.”

Baik Touwen-Bouwsma maupun De Jonge nampaknya sependapat bahwa penggunaan kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karenanya, orang luar sering menganggap ciri khas Madura adalah carok dan menyebut orang Madura sebagai “orang carok” (De Jonge 1993:1; Smith 1997:58). Berkaitan dengan hal itu, muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam dan suka melakukan tindakan kekerasan (De Jonge 1995:13; Touwen-Bouwsma 1989:162). Pertanyaannya kemudian, benarkah orang Madura keras?

Pertanyaan ini sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Bahkan karena keyakinannya itu, mereka kemudian merasa tidak berani mengunjungi pulau Madura. Lebih tragis lagi, mereka tidak mau berinteraksi dengan orang Madura. Kalaupun ada kemauan untuk itu, mereka paling tidak harus berpikir seribu kali sebelumnya.

Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnis Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun. Istilah andhap asor, sudah merupakan salah satu butir penting dalam baburughan beccè’ (tatakrama yang baik) dalam masyarakat Madura.

Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol).

Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura. Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz (1973), makna nilai-nilai kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Namun, apakah memang benar demikian?

Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti). Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mèra ngoda, konèng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk).

Sama halnya dengan kesukaan terhadap warna sebagai refleksi dari unsur-unsur kebudayaan Madura, dalam hal kesukaan orang Madura terhadap rasa atau taste terhadap masakan selalu menujukkan hal yang sama. Pada dasarnya selera (taste) merupakan juga bagian dari refleksi simbolik nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, orang Madura hanya lebih mengenal rasa accèn (asin) dan manès (manis). Bagi orang Madura kedua rasa tersebut sangat disukai. Artinya jika mereka menyebut rasa asin terhadap suatu jenis masakan, maka yang dimaksud adalah rasa yang benar-benar asin. Barangkali hanya di masyarakat Madura dikenal lauk buja cabbhi, yaitu campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setengah halus sebagai pelengkap dan sekaligus penyedap makanan pokok.Garam yang digunakan adalah garam murni yang tidak memerlukan campuran lain sehingga rasa asinnya sangat kental.

Begitu pula dengan rasa manis. Rasa yang sifatnya ”setengah-setengah” sepertinya tidak pernah disukai.
Contoh lain adalah ketika orang Madura akan membangun rumah. Mereka sangat memperhatikan secara tegas posisi atau letaknya. Hampir dipastikan posisi atau letak bangunan rumah jangan sampai mèsong (tidak mengarah pada arah mata angin ”utama” – barat, timur, utara dan selatan). Bangunan rumah yang posisi atau letaknya mèsong dianggap kurang pada tempatnya bahkan menyimpang dari kelaziman dan kepatutan. Bukan hanya letak dan posisi bangunan rumah, perilaku-perilaku menyimpang (deviance attitudes) dalam kehidupan keseharian disebut juga sebagai kalakowan mèsong. Itu sebabnya, petuah orang tua orang Madura pada anak-anaknya adalah: ajjha’ andi’ kalakowan mèsong atau mon alako pateppa’, jha’ song- mèsong (jika bekerja haruslah dengan cara-cara yang benar, janganlah melakukan kegiatan yang menyimpang dari aturan-aturan atau norma-norma).

Dengan mengemukakan masalah kesukaan terhadap selera tentang warna dan rasa (masakan) serta letak dan posisi rumah hal ini merefleksikan bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura adalah tegas. Itu sebabnya, pada setiap kesempatan berinteraksi dengan orang lain perangai, sikap dan perilaku demikian akan selalu muncul (dengan sendirinya). Bentuk-bentuk dari ketegasan ini adalah perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku ”basa-basi”.

Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dapat dilihat ketika mereka merespons hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang Madura tidak menyukai akan sesuatu hal, maka ketidak-sukaan itu dikemukakan secara spontan tanpa didahului (dikemas, apalagi direkayasa) dengan pernyataan basa-basi. Begitu pun sebaliknya, jika orang Madura merasa suka atau senang terhadap sesuatu hal, tanpa basa-basi pula mereka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifitas.

Namun harus diakui, bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura yang pada dasarnya sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif ini kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergerser menjadi ”kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajhina (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya). Misalnya, kasus-kasus carok yang terjadi akibat pelecehan harga diri tidak dapat dilepaskan dengan kondisi seperti ini.

Perangai, sikap dan perilaku ”keras” yang kadangkala muncul secara tanpa disadari atau disengaja sebelumnya secara kultural memang diakui adanya. Hal ini oleh karena adanya relasi dengan kondisi-kondisi yang membentuknya. Namun, secara kultural pula perangai, sikap dan perilaku tersebut harus tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar sehingga kemudian harus memancarkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan mon kerras, pa akerrès. Makna ungkapan ini, walau bagaimanapun ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura hendaknya harus mampu diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian dengan memancarkan pesona kewibawaan. Oleh karena itu, ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura harus dimaknai bukan kekerasan destruktif melainkan kekerasan konstruktif yang berwibawa. Oleh karena itu, penilaian orang luar bahwa orang Madura memiliki perangai, sikap dan perilaku keras merupakan penilaian yang kurang proporsional dan kentekstual berdasarkan karakteristik sosial budaya Madura. Sejatinya penilaian harus lebih diarahkan pada pemaknaan kekerasan yang konstruktif dan berwibawa.

Untuk mewujudkan penilaian demikian, bagi orang Madura sendiri perlu penyadaran bahwa kekerasan destruktif bukanlah suatu perangai, sikap dan perilaku yang dikehendaki oleh nilai-nilai sosial budaya Madura. Upaya internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai ”kekerasan” kontsruktif yang berwibawa sudah sangat mendesak untuk dilakukan terutama oleh para elit-elit (sosial-budaya) lokal. Selain sangat mendesak, juga penting dilakukan secara berkelanjutan agar ke depan citra masyarakat dan kebudayaan Madura tidak lagi tercemari oleh stereotip yang sangat merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura. Bila demikian halnya, eksistensi masyarakat dan kebudayaan Madura ke depan akan semakin berkembang secara positif dan elegan di tengah-tengah masyarakat etnis lain dalam bingkai ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu, damai, aman, tentram, dan sejahtera.


ETOS KERJA
Etos dapat diartikan sebagai sikap, pandangan, pedoman atau tolok ukur yang ditentukan dari dalam diri sendiri seseorang atau sekelompok orang dalam berkegiatan (Rifai, 2007:347). Dengan demikian, etos merupakan dorongan yang bersifat internal. Namun dorongan ini sudah melalui proses konstruksi dan rekonstruksi selama yang bersangkutan menjalani kehidupan sosialnya. Padahal, nilai-nilai agama Islam senantiasa menjadi dasar segala aspek kehidupan sosial budaya mereka. Itu sebabnya, etos kerja orang Madura sangat erat dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.

Etos kerja orang Madura yang telah dikenal sangat tinggi karena secara naluriah bagi mereka bekerja merupakan bagian daripada ibadahnya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianutnya. Oleh karena itu tidak ada pekerjaan yang bakal dianggapnya hina selama kegiatannya tidak tergolong maksiat sehingga hasilnya akan halal dan diridai Allah. Kesempatan bisa bekerja akan dianggapnya sebagai rahmat Tuhan, sehingga mendapat pekerjaan merupakan panggilan hidup yang bakal ditekuninya dengan sepenuh hati (Rifai, 2007:347).

Etos kerja yang sangat tinggi ini dibarengi dengan keuletan yang sama. Hal ini terbukti pada para migran atau perantau Madura. Pengalaman saya meneliti konflik antara Dayak/Melayu dengan Madura (lebih dikenal dengan Konflik Sambas, 1999) menunjukkan bahwa perantau Madura yang menjadi korban dan ditampung di Stsdion Pontianak sebagai pengungsi menunjukkan etos kerja dan keuletan yang sangat tinggi dalam bekerja. Pada mulanya, kondisi mereka sangat memprihatinkan, karena mereka hidup seadanya dan hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan LSM-LSM. Namun apa yang terjadi setelah sekitar tiga bulan mereka menjadi pengungsi, “mereka sudah mampu membangun kios-kios di tempat pengungsian”. Bahkan beberapa di antaranya sudah mampu membeli kendaraan bermotor. Salah seorang teman saya penduduk kota Pontianak sempat menyatakan kegagumannya pada keuletan pengungsi Madura korban konflik. “Saya tidak habis pikir, mereka pada awalnya benar-benar sangat miskin, namun sekarang (maksudnya setelah tiga bulan setelah konflik) mereka sudah mampu membangun rumah-rumah sederhana serta kios-kios dan juga membeli kendaraan bermotor”, demikian dia berkata.

Motivasi untuk semakin giat dan ulet bekerja semakin muncul ketika orang Madura berada di luar lingkungan komunitasnya (baik di tingkat wilayah Madura, apalagi di luar wilayah Madura). Alasannya, mereka dalam melakukan pekerjaan itu merasa ta’ ètangalè atau ta’ èkatèla’ orèng (tidak terlihat oleh sanak keluarga atau tetangga). Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa orang Madura semakin ulet dan tekun ketika mereka merasa bebas dari pengamatan lingkungan sosialnya. Itu sebabnya, pekerjaan apa pun asalkan dianggap halal, pasti akan dilakukannya, lebih-lebih ketika mereka berada di rantau.

Untuk menggambarkan keuletan, kerajinan, dan semangat tinggi orang Madura dalam melakukan pekerjaan, Rifai (2007:348) menyenarai beberapa kata dalam bahasa Madura yang memiliki arti dan makna itu. Beberapa diantaranya, adalah:
 bharenteng (sangat giat),
 bhajeng (rajin),
 cakang (cekatan),
 parèkas (penuh prakarsa), tangginas (cepat bertindak.
 abhabbha’ (bekerja dengan mengerahkan semua kemampuan yang ada),
 abhantèng tolang (membanting tulang),
 acèko (giat bekerja dengan gerakan tangan yang sibuk),
 acèmeng (sibuk bekerja hingga tidak bisa tinggal diam),
 apokpak (sibuk mengerjakan dua atau lebih pekerjaan sekaligus),
 asèpsap (bekerja sambil berlari kian ke mari).

Pada kenyataannya masih banyak lagi kata-kata dalam bahasa Madura yang merujuk pada makna dan arti tentang etos kerja yang ulet, rajian, penuh semangat, dan semacamnya. Sayangnya (atau: hebatnya!) banyak dari kata-kata itu tidak ditemukan padanannya atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal di daerah-daerah lain di negeri ini.

Selanjutnya Rifai (2007: 249) menuturkan bahwa ketika melakukan pekerjaan pekerja Madura akan selalu menunjukkan sikap ce’ ngadhebbha da’ lalakonna (sangat bersungguh-sungguh melaksanakan pekerjaannya), sehingga dengan rajin dan hati senang dapat melaksanakan tugasnya. Dalam kondisi semacam itu, ia akan sangat papa dha’ pangghabayan, artinya paham benar pada pekerjaannya sehingga dapat melaksanakan dengan penuh percaya diri, tidak kenal lelah, tidak kikuk, atau gugup.

Dengan etos kerja demikian, orang Madura tidak akan takut untuk bekerja keras atau harus menghadapi pekerjaan berat sekalipun. Semuanya akan dikerjakan sekuat tenaga sampai berhasil. Hasil kerja keras semacam ini disebut hasèlla pello konèng (peluh kuning). Karena sudah terbiasa bekerja keras, kalau ada kesulitan ia pasti akan abhalunteng (berupaya keras) untuk mengatasi masalahnya serta mencapai keinginannya.

Cara kerja orang Madura sangat dituntut agar tidak tergesa-gesa sehingga hasilnya justru sangat mengecewakan. Keadaan seperti ini diungkapkan dalam pepatah gancang kala ka bilis atau gancang ta’ nyapo’ ka bilis (cepat tetapi kalah pada semut). Sebaliknya, orang Madura dalam bekerja hendaknya meniru rayap atau ngangguy èlmona raprap. Artinya meskipun kelihatan cara kerjanya lamban namun hasilnya sungguh di luar dugaan dan sangat memuaskan.

Selain itu, orang Madura memang percaya bahwa bekerja itu harus efektif dan efisien. Orang tidak perlu melakukan pekerjaan sia-sia yang tidak ada gunanya sama sekali, seperti ditegaskan dengan pepatah aghulai maddhu, abujai saghara (menggulai madu, menggarami laut), atau ngokèr dhalika (mengukir geladak tempat tidur – yang hasilnya tidak akan dilihat orang sebab tertutup tikar atau kasur). Pekerjaan yang tidak membuahkan hasil sama sekali diibaratkan pula dengan peribahasa mara ketthang mèga’ balang (seperti kera menangkap belalang – dua ekor hasil tangkapan pertama dikepitnya di kedua ketiaknya; ketika menjulurkan lengannya buat menangkap yang ketiga dan keempat terlepaslah kedua belalang yang sudah dikepitnya; karena terkejut gagallah upayanya menambah tangkapannya itu, sehingga sia-sialah semua pekerjaannya).

Selain ulet, rajin juga merupakan etos kerja orang Madura yang sudah dikenal oleh masyarakat luar. Ungkapan kar-karkar colpè’ (mengais terus mematuk) sangat tepat melukiskan sifat rajin orang Madura. Makna ungkapan ini, layaknya seekor ayam yang mencakar-cakar tanah (kar-karkar) mencari makanan “sebutir demi sebutir”, kemudian butir demi butir hasil yang didapat dipatuk (colpè’) dan ditelannya. Oleh karena keuletan yang disertai kerajinannya itu, mudah dipahami jika orang Madura tidak mudah putus asa, meskipun hasilnya sedikit mereka akan tekun bekerja sampai akhirnya memperoleh apa yang diinginkan.

Etos kerja lainnya sebagaimana penuturan Rifai (2007: 446) adalah orang Madura tidak akan menyia-nyiakan apalagi sampai membuang waktu dalam hidupnya yang pendek serta sangat berharga sehingga tidak akan mèndu ghabay (menduakalikan pekerjaan). Sejalan dengan itu, orang Madura sangat efisien terhadap waktu dalam bekerja sebagaimana terungkap dalam pepatah atolo ngèras mandi (berkeramas sambil mandi). Malahan dalam mengerjakan sesuatu orang Madura selalu bersikap du’-nondu’ mèntè tampar (duduk menunduk memintal tali). Ungkapan ini bermakna bahwa meskipun kelihatan duduk menunduk namun orang Madura tetap ulet dan rajin melakukan kegiatan yang bermanfaat. Selanjutnya, orang Madura juga sangat yakin terhadap hasil sesuai dengan apa yang dikerjakan: mon atanè atana’, mon adhagang adhaging (siapa yang bertani bertanak nasi, siapa yang mau berdagang atau bekerja, maka dia akan memperoleh hasilnya).

Itulah beberapa paparan yang menyangkut pandangan hidup, perilaku dan penghayatan orang Madura tentang hakikat karya dan etos kerja.


Jakarta, 31 Agustus 2007



SENARAI RUJUKAN

De Jonge, Huub
1993 “Gewelddadige Eigenrichting op Madura” dalam H. Slaats (ed.). Liber Amicorum Moh. Koesnoe. Surabaya: Airlangga Umiversity Press.

1995 “Stereotypes of the Madurese” dalam Van Dijk, K., De Jonge, H. dan Touwn-Bouwsma, E. (eds.). Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Press.

Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures. Hammersmith, London: Fontana Press.

Mansurnoor, I.A.
1990 Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Munir, M.
1985. Adat istiadat yang berhubungan dengan upacara dan ritus kematian di
Madura. Dalam: Koentjaraningrat (penyunting). Ritus Peralihan di Indoensia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rifai, Mien Ahmad
2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.

Smith, Glenn
1997 “Carok Violence in Madura. From Historical Conditions to Contemporary Manifestations”, dalam Folk Journal of the Danish Ethnographic Society (39). Copenhagen.

Suryadinata, Leo et.al.
2003. Penduduk Indonesia Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politk. Jakarta: LP3ES.

Touwen-Bouwsma, E.
1989 “Kekerasan di Madura” dalam Huub de Jonge (ed.). Agama Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Press.

Wiyata, A. Latief
2002 & 2006 Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.

Zainalfattah, R.
1951 Sedjarah Tjaranya Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannya. Pamekasan: The Paragon Press. @LW