Desember 29, 2008

Carok Nabhang dan Pemberantasan Korupsi

Oleh: Beta Chandra Wisdata*
Artikel politik ini dimuat di Majalah Fokus, Pamekasan-Madura edisi 6 Tahun ke II, 2008

--------->Gebrakan memberantas korupsi oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pemerintah kerapkali didengar di telinga kita. Setelah mengeluarkan inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan pencanangan Gerakan Aksi Nasional Anti Korupsi mengindikasikan upaya kesungguhan pemerintah menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik sekaligus bersih (good governance-clean government).

--------->Program nasional tersebut tentu saja layak kita apresiasi bersama. Kita sering mendengar kecaman dan ungkapan sarkasme masyakat melihat "hasil jerih" para koruptor menghabiskan uang negara (baca: rakyat). Negeri yang menjanjikan kehidupan gemah ripah loh jinawi karena begitu subur dan kaya akan sumberdaya alam sampai detik ini tidak kunjung menjadi kenyataan. Keterpurukan serta segala bentuk kebobrokan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan keniscayaan yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia ketika para pengelola dan penyelenggara pemerintahan serta elemen masyarakat tertentu “lupa” ketika melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) termasuk segala bentuk penyelewengan lainnya.

--------->Memang ada beberapa pihak yang kemudian menilai sinis gebrakan pemberantasan korupsi pemerintah itu. Ada yang menuding gerakan tersebut "tebang pilih". Artinya hanya lawan politik SBY saja yang kemudian diciduk dan disidangkan. Sementara para kroninya jalan terus melakukan korupsi. Parahnya lagi tak sedikit aparat internal pemerintah yang merupakan bagian inti dari pemberantasan korupsi justru "bermain mata" dengan para koruptor. Kasus Artalytas Suryani setidaknya bisa dijadikan sedikit bukti betapa lemahnya institusi pemerintah.

--------->Lepas daripada itu, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulas pro dan kontra terhadap Gebrakan Presiden SBY yang dinyatakan dalam bentuk sinisme dan optimisme di kalangan masyarakat. Nampaknya penting pula untuk membahas implikasi kebijakan politik Presiden SBY tersebut dalam kaitannya dengan carok, suatu konflik kekerasan dalam masyarakat Madura yang sampai saat ini tetap berlangsung sebagai fakta sosial-budaya.

--------->Menurut hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk disertasi (lihat: Wiyata, 2002, Yogyakarta: LKiS) carok tidaklah berdiri sendiri melainkan terkait secara relasional dengan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM). Dengan demikian, masing-masing kondisi memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan carok di Madura.

--------->Salah satu kondisi itu adalah perilaku sementara aparat judisial (penegak hukum) yang memanfaatkan carok sebagai komoditas. Komoditisasi carok kemudian memunculkan istilah nabang yaitu suatu bentuk penyuapan yang dilakukan oleh pelaku carok (khususnya yang dapat membunuh lawannya) terhadap aparat judicial untuk merekayasa proses penyidikan. Rekayasa ini mulai dari tahap awal hingga vonis hukuman dijatuhkan.

--------->Dengan nabang, para pelaku carok dapat mempengaruhi penerapan sanksi hukum menjadi lebih ringan. Sanksi hukum bagi pelaku carok seperti yang tercantum dalam pasal-pasal 338 dan 340 KUHP dengan pidana hukuman mati atau dipenjara seumur hidup atau 20 tahun dalam kenyataannya menjadi jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman tersebut. Selain itu, dengan upaya nabang para aparat yudicial dapat memanipulasi pelaku carok. Artinya, pelaku carok yang sebenarnya dapat digantikan oleh orang lain yang masih merupakan kerabat dari pelaku carok tersebut untuk menanggung sanksi hukum.

--------->Bagi aparat judicial upaya nabang jelas menguntungkan secara ekonomik. Sementara, bagi pelaku carok itu sendiri justru menguntungkan secara sosial-budaya. Predikat sebagai oreng jago (jagoan) semakin tegas, oleh karena selain telah dapat mengalahkan – dengan cara menghabisi nyawa – musuhnya, mereka telah dapat pula mengalahkan kekuasaan para aparat judisial. Secara politik, semua keberhasilan tersebut menjadi alat untuk mencapai kekuasaan (means of power). Pertanyaannya kemudian, akankah Gebrakan Presiden SBY dalam memberantas korupsi dapat juga berimbas pada aparat judisial yang terlibat upaya nabang dalam konteks carok? Jawabannya terletak dari komoditisasi carok dalam konteks Gebrakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiada lain merupakan bentuk korupsi yang harus dibasmi pula. Meskipun, secara formal, tidak menggerogoti uang negara namun perilaku sementara aparat judicial seperti itu jelas dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power) demi keuntunguan ekonomik pribadi yang bersangkutan. Implikasinya secara formal adalah penerapan sanksi hukum tidak dapat dijalankan secara konsisten sesuai dengan KUHP sehingga menguntungkan para pelaku carok.

--------->Secara sosial, ulah sementara aparat yudisial tersebut sangat melecehkan rasa keadilan masyarakat. Lebih daripada itu, suatu ironi, dengan adanya nabang aparat judisial melalui kekuasaan yang dimilikinya bukannya ikut menegakkan supremasi hukum. Melainkan justru melangkahi secara tidak langsung. Padahal, dalam konteks pemberantasan korupsi yang telah menjadi prioritas utama Presiden SBY, semua aparat judisial harus benar-benar bersih dari segala bentuk perilaku penyalahgunaan wewenang Meskipun terjadinya carok mempunyai hubungan relasional yang sangat kuat dengan kondisi-kondisi lain seperti dinyatakan pada bagian awal tulisan.

--------->Dalam konteks itu, jika komoditisasi kriminalitas melalui upaya nabang tidak diberantas maka implikasinya akan semakin melestarikan konflik kekerasan dalam masyarakat Madura. Padahal, dengan carok – yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang –merupakan pelanggaran paling berat terhadap hak azasi manusia. Gebrakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana janjinya pada semua rakyat Indonesia untuk melakukan perubahan (ke arah yang lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya). Tentu saja jangan hanya terfokus pada pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) demi terbentuknya atau terciptanya good governance-clean government. Meskipun hal itu telah menjadi prioritas utama, namun dalam masa pemerintahan ke depan SBY harus tetap lebih memperhatikan setiap bentuk pelanggaran HAM agar tidak semakin menjadi-jadi di negeri ini. Sebab, pada prinsipnya, negara menjamin penjunjungan hukum sesuai konteks HAM agar masalah kasus sosial-budaya tidak berkembang ke masalah diskrimiasi Suku, Agama, Ras dan Antar Bangsa (SARA).


* pemerhati masalah politik dan staff pengajar STE Mandala Jember.
artikel ini diambil dari http://beta-chandra-wisdata.blogspot.com/
-------------------------------------------------------------------------------------

Komentar dari saya :
terlihat bahwa saudara Beta Chandra Wisdata seorang dosen STE MANDALA JEMBER memahami secara benar melihat konteks Carok dari sudut pandang Politik.
Peristiwa Nabhang, dan Carok misalnya, memiliki hubungan kuat dengan budaya kekuasaan yaitu korupsi. Oleh karenanya, pemahaman Carok harus dilihat sesuai konteksnya dan harus berhati-hati menjelaskan untuk terhindar tumpang tindih makna, sebagaimana para pengamat lain (diluar ruang lingkup spesialisasi kajian yang diminati tidak hanya politik melainkan sosial, ekonomi, religi lebih-lebih budaya) sering mengartikan carok tidak pada konteksnya. Carok dianggap berdiri sendiri. Apalagi, Carok dilihat sebagai peristiwa melanggar kaidah hukum saja yang tentu itu tidak cukup karena lagi-lagi harus dikembalikan kepada tinjauan secara antropologis (lihat : Carok, A. Latief Wiyata, LKIS 2004).

Desember 2008

A. LATIEF WIYATA
(Antropolog)

Desember 17, 2008

Pilkada Ulang Jatim 2008

KOMPAS, Selasa, 16 Desember 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Seharusnya tidak ada hambatan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang serta penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan, Madura. Kekhawatiran yang muncul terkait putusan MK itu, dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, lebih merupakan persoalan politik.

”Perdebatan yang sekarang ada lebih menunjukkan putusan itu bukan tak bisa dilaksanakan. Namun, belum mau atau belum tahu cara melaksanakannya,” kata Irman Putra Sidin, ahli hukum tata negara dari Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, Senin (15/12) di Jakarta.

Pernyataan itu dipaparkan Irman pada diskusi tentang dampak putusan MK terhadap Pilkada Jatim. Pembicara lain adalah Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sardini dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Jeirry Sumampow.

Jika perdebatannya terkait dasar hukum untuk melaksanakan putusan itu, lanjut Irman, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat membuat peraturan untuk melaksanakan pilkada ulang di Jatim dengan pertimbangan apa yang ada di putusan MK itu.

Irman menilai putusan MK terkait sengketa Pilkada Jatim sudah baik, sebab mengarah pada materi yang substansial. Dengan demikian, selain segera melaksanakannya, polisi dan Panwas Jatim juga perlu memproses hukum orang yang dalam putusan itu diduga melakukan tindak pidana.

Nur Hidayat mengaku sudah berkoordinasi dengan Panwas Jatim untuk menyelesaikan sejumlah dugaan pelanggaran pidana pada Pilkada Jatim. ”Kami masih mengklarifikasi terhadap sejumlah nama yang disebut dalam putusan MK,” tutur dia.

Nur Hidayat menyesalkan adanya kecenderungan masyarakat untuk langsung melaporkan dugaan pelanggaran yang terjadi ke MK dan tidak melalui Panwas.


Bergantung pada elite

Dari Surabaya, Jatim, dilaporkan, antropolog dari Universitas Jember, Latief Wiyata, menyatakan, kerawanan pada pemungutan suara ulang Pilkada Jatim sangat bergantung pada komitmen dan niat baik elite politik dan pasangan calon kepala daerah. Sebab, kecil kemungkinan masyarakat Madura carok hanya untuk Pilkada Jatim.

Latief menilai, tak satu pun calon kepala daerah Jatim, baik pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf maupun Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono yang merepresentasikan guru atau rato dalam bahasa Madura. Representasi guru atau rato itu bisa dalam konteks agama atau orang Madura sendiri.

”Mereka hanya sama agamanya. Adapun masyarakat jenuh sehingga tingkat kehadiran dalam pemungutan suara ulang kemungkinan lebih rendah dari putaran kedua,” ungkap Latief lagi. (nwo/ina)

Desember 13, 2008

Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura (1 of 4)

Akademika 65 (Julai) 2004: 91-110

MOHAMAD FAUZI B. SUKIMI

Pusat Pengajian Sosial, Pembangunan dan Persekitaran
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
43600 UKM Bangi

ABSTRAK

Carok adalah tindakan ‘agresif’ yang dilakukan oleh orang Madura terhadap individu lain demi mempertahankan atau meraih semula harga dirinya. Oleh yang demikian, carok sangat akrab dengan manusia Madura dan kedua-duanya seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Makalah ini tidak bertujuan membahas atau menilai carok dari sudut pandang moral. Sebaliknya, makalah ini hanya mengupas fenomena carok dari sudut pandang pihak berkuasa dan pengalaman seharian orang Madura tentang pengertian carok, faktor penyebab, pelaku carok, dan bentuk-bentuk carok. Perbincangan turut menyentuh nilai dan norma masyarakat Madura yang mendukung carok, sehingga akhirnya menjadi unsur penting dalam pembentukan identiti manusia Madura. Seiring dengan kehadiran ramai pekerja asing yang berasal dari Pulau Madura, Indonesia, makalah ini diakhiri dengan kupasan ringkas tentang kemungkinan fenomena carok di Malaysia.



ABSTRACT

Carok and the Formation of Madurese Identity Sociologically, carok can be perceived as aggresive behaviour of the Madurese towards others in regaining back his intergrity. As such, carok is a value that is deeply rooted and closely associated with the Madurese society. This paper aims to explore and critically evaluate the cultural meaning of carok among the Madurese from the authority perspective as well as from the Madurese everydaydefined, vis-à-vis, casual relations, the actors, and the forms or types of carok. This paper will also briefly discuss the norms and values of the Madurese society that upholds the carok, which has become a fundamental element in shaping the Madurese indentity. This paper does not intend to debate and justify carok from the moral ground. Finally, in accordance with the recent development and presence of migrant workers from Madura Island in Malaysia, this paper will end with a brief discussion on the existence of carok in Malaysia.



PENGENALAN

Sesuatu keunikan seringkali dijadikan elemen penting bagi memperkatakan identiti, sama ada identiti individu ataupun identiti kelompok. Ciri fizikal, corak dan gaya berpakaian, pola perilaku, dan aktiviti-aktiviti budaya yang memperlihatkan keunikan berbanding hal-hal yang dianggap lazim oleh orang lain, sering dianggap sebagai elemen yang mencerminkan identiti. Bagi orang Melayu di Malaysia misalnya, agama Islam, raja dan bahasa Melayu dianggap sebagai asas kepada pembentukan identiti Melayu (Shamsul 1996). Di samping ketiga unsur tersebut, unsur-unsur lain turut berperanan dalam mencorakkan identiti Melayu. Pemakaian songkok dan baju Melayu misalnya, dianggap sebagai unsur pakaian yang mencerminkan identiti orang Melayu.

Mengenai masyarakat Madura di Indonesia, Kuntowijoyo (2002) dan Andang (2004) telah menyimpulkan bahawa Islam dan ulama atau kiai adalah elemen yang penting dalam kehidupan orang Madura. Agama Islam dibawa masuk ke Pulau Madura pada abad ke-15 dan 16 oleh para pengikut Wali Songo, terutamanya pengikut Sunan Giri dari Gresik. Pengaruh agama Islam terhadap unsur kehidupan masyarakat Madura dapat dilihat terutamanya pada hubungan yang erat antara ulama dengan anggota masyarakat.1 Besarnya peranan Islam dan ulama atau kiai di dalam kehidupan orang Madura tidak hanya diperakui oleh masyarakat umum tetapi juga pihak pemerintah Indonesia. Dalam konteks rancangan pembangunan misalnya, pihak ulama atau kiai lah yang lazim dirujuk untuk mengetahui pandangan atau aspirasi masyarakat Madura.

Selain kedua-kedua unsur tersebut, bahasa dan budaya Madura merupakan unsur yang penting untuk membezakan golongan tersebut daripada kumpulan etnik lain yang terdapat di Jawa Timur. Tidak dapat dinafikan bahawa bentuk budaya masyarakat Madura adalah hampir sama seperti masyarakat Jawa.2 Bahkan, ditinjau dari perspektif yang lebih luas, budaya Madura dikatakan termasuk dalam lingkaran kebudayaan Jawa-Bali-Madura-Sunda. Namun begitu, budaya Madura mempunyai bentuk dan jiwa tersendiri, yang sebahagiannya dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan bentuk muka bumi yang kasar serta gersang. Perbezaan ketara yang dapat dilihat dengan jelas adalah dari segi bahasa. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahawa agama Islam, ulama atau kiai dan bahasa Madura merupakan unsur atau asas utama kepada pembentukan identiti Madura.

Selain ketiga-ketiga unsur tersebut, terdapat unsur lain yang turut menyumbang kepada pembentukan identiti Madura. Hal ini kerana, unsur yang mencerminkan identiti suatu kelompok etnik tidak hanya disedari dan diakui oleh anggota kelompok etnik terbabit, tetapi adakalanya diiktiraf dan diterima oleh kelompok lain. Dalam kehidupan seharian misalnya, sikap dan mentaliti orang Madura dianggap berbeza berbanding orang Jawa. Untuk sekian lamanya, orang Madura terkenal dengan sikap berterus terang dan lurus. Hal tersebut terlihat pada cara mereka berbicara, iaitu dengan nada yang kuat. Oleh yang demikian, pada pandangan orang luar, orang Madura sering dianggap kasar dan tidak berbudi bahasa. Bahkan, berdasarkan tinjauan kepustakaan dan temu bual secara informal dengan beberapa informan dapat disimpulkan bahawa terdapat Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura 93 stereotaip umum yang mengatakan bahawa orang Madura adalah bersifat ‘panas baran’ dan ‘cepat meluap’ perasaannya. Sifat-sifat tersebut dikatakan wujud sebagai refleksi kepada keadaan persekitaran yang kering, gersang dan panas di Pulau Madura. Namun begitu, di sebalik sifat yang agak negatif tersebut, orang Madura juga dikatakan pandai berjenaka, bersifat tekun, cepat menyesuaikan diri dan secara keseluruhan tampak menarik. Orang Madura dapat menjadi kawan yang setia apabila didekati dengan cara yang baik, tetapi sekiranya kita mengkhianatinya maka berhati-hatilah dengan tindakan mereka yang di luar jangkaan itu.

Di samping stereotaip tentang orang Madura tersebut, dalam kehidupan seharian orang Madura terdapat beberapa aspek yang dikatakan berciri khas atau milik Madura seperti soto Madura, sate Madura, karapan sapi, carok, remo dan ojung. Di Indonesia, ‘carok’ dianggap sebagai sesuatu yang khas milik kelompok etnik Madura. Dalam kelompok etnik lain, tidak dikenal apa yang
disebut sebagai carok. Hanya etnik Bugis sahaja yang dianggap mempunyai pola perilaku yang hampir menyerupai carok, iaitu fenomena yang disebut sebagai ‘siri’ (Pelras 1996).

Sehubungan itu, makalah ini cuba mengupas tentang fenomena ‘carok’ di kalangan orang Madura. Makalah ini tidak bertujuan membahas atau menilai carok dari sudut pandang moral. Sebaliknya, makalah ini hanya mengupas fenomena carok dari sudut pandang pihak berkuasa dan pengalaman seharian orang Madura tentang pengertian carok, faktor penyebab, pelaku carok, bentuk-bentuk carok, dan tanggapan masyarakat Madura terhadap carok.

Pada dasarnya, tulisan ini merupakan sebahagian daripada laporan projek penulisan tesis yang bertemakan identiti masyarakat Madura di Malaysia. Bagi mendapatkan gambaran tentang masyarakat Madura yang berada di Malaysia, kajian dengan kaedah etnografi telah dijalankan di sebuah kawasan perumahan orang Madura di Kampung Teras Jernang, Bangi, Selangor. Manakala tentang carok pula, maklumat awal mengenainya telah diperolehi daripada bahan atau data sekunder. Di Malaysia, sangat sedikit bahan bertulis tentang orang Madura, apalagi tentang carok. Bagi memperdalam pemahaman dan memperolehi lebih banyak bahan bertulis tentang orang Madura, penulis telah berkunjung ke Jakarta, Pulau Madura dan Jember di Jawa Timur pada bulan Julai dan Ogos 2004. Kunjungan ke Pulau Madura turut disertai dengan kajian kepustakaan ke beberapa institusi pendidikan dan perpustakaan di Jakarta seperti ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Universitas Indonesia, juga di Jember iaitu di Pusat Kajian Budaya Jawa dan Madura, Universitas Jember. Kajian kepustakaan ini sangat penting bagi memperolehi sebarang maklumat dalam apa juga bentuk sama ada bahan bercetak, elektronik, magnetik dan bahan dari sumber online atau offline. Di samping itu, penulis berusaha untuk mendapatkan data-data primer dengan melakukan temu bual secara informal terhadap beberapa orang informan berkaitan identiti etnik Madura baik dari sudut pandang everyday-defined atau authority-defined. Sesuai dengan keterbatasan itulah, maka makalah ini cuba mengupas secara ringkas tentang carok sebagai elemen identiti Madura.



IDENTITI DAN ETNISITI

Sebelum mengupas lebih jauh tentang carok sebagai elemen identiti orang Madura, elok sekiranya pembaca dijelaskan tentang pendekatan yang penulis guna untuk memahami konsep identiti. Identiti merupakan satu persoalan atau konsep yang dapat dilihat sama ada dari sudut pandangan yang sederhana atau yang lebih kompleks. Hal ini kerana identiti sebagai satu konsep dapat dilihat sebagai satu objek yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi, identiti dapat dilihat sebagai suatu fenomena yang ‘natural’, ‘kaku’, dan tidak perlu diperdebatkan. Pada masa yang sama, ia juga dapat dilihat sebagai fenomena yang bersifat ‘cair’, boleh berubah-ubah, dan diperdebatkan.

Dalam perspektif liberal, identiti dalam konteks hubungan antara individu dengan masyarakat bukanlah satu hal yang rumit. Dikatakan demikian kerana setiap individu mempunyai ciri atau sifat yang sama sehingga menjadikan mereka mempunyai simbol atau ‘identiti’ sebagai anggota kepada suatu kelompok tertentu dalam masyarakat (Rouse 1995). Namun begitu, perkembangan terkini dalam bidang antropologi terutama dalam kajian budaya memberikan hujah yang berbeza. Identiti dilihat sebagai satu proses pembentukan atau konstruksi sosial yang tidak stabil, yang berlaku di dalam satu jaringan hubungan kekuasaan (Nonini & Ong 1997). Oleh yang demikian, identiti tidak harus dilihat sebagai essence atau inti yang tidak berubah kerana identiti mempunyai hubungan atau kaitan dengan pelbagai faktor. Dalam pengertian tersebut, identiti merupakan sesuatu yang dibentuk dan bukan telah terbentuk secara semula jadi (becoming rather than being) (Hall 1989). Ia juga tidak tertakluk kepada masa dan ruang (Shotter 1993), dan dibentuk atau dikonstruksi secara sosial (Jackson & Penrose 1993).

Sesuai dengan perspektif konstruksi sosial, pembentukan identiti sebagai suatu fenomena sosial dapat difahami dengan melihatnya dalam konteks dua realiti sosial. Pertama, realiti authority-defined, iaitu realiti yang didefinisikan oleh pihak yang berada dalam struktur kekuasaan yang dominan. Kedua, realiti sosial everyday-defined, iaitu realiti yang dialami sendiri oleh individu dalam kehidupan sehariannya. Kedua-dua realiti sosial tersebut wujud secara seiringan pada sebarang waktu (Shamsul 1996). Dalam kehidupan seharian kedua-dua realiti tersebut saling berkaitan dan secara berterusan saling mempengaruhi. Oleh yang demikian, kedua-duanya mungkin mempunyai persamaan atau sebaliknya. Hal ini kerana realiti sosial everyday-defined merujuk kepada sesuatu yang dialami, manakala realiti sosial authority-defined hanyalah hasil pemerhatian dan interpretasi. Oleh yang demikian, identiti yang dipunyai oleh seseorang mungkin bersifat ganda, iaitu di satu sisi adalah hasil dari apa yang dinyatakan oleh authority-defined. Pada sisi yang lain pula, identitinya itu diperolehi melalui pengalaman hariannya atau everyday-defined, elemen identiti dari sumber lain turut dijadikan rujukan.

Salah satu sumber identiti seseorang adalah identiti etnik. Secara ringkas, pemahaman tentang konsep etnisiti mungkin dapat dibahagikan kepada dua, iaitu perspektif primordialis dan perspektif situasionis. Menurut perspektif primordialis, etnisiti adalah sesuatu yang diwarisi (ascribed), sangat dalam akarnya, diberikan sebagai suatu yang diwariskan sewaktu lahir dan secara keseluruhan tidak dapat diubah (van den Berghe 1978: 401). Perspektif situasionis pula melihat etnisiti sebagai suatu fenomena yang muncul hasil interaksi yang berterusan antara keadaan alami suatu komuniti lokal, peluang-peluang ekonomi yang ada, dan warisan bangsa atau agama kelompok tertentu (Yancey et al. 1976: 397). Berdasarkan perspektif ini, manusia dilihat sebagai agen yang secara aktif membuat pilihan dan secara strategik mempersembahkan dan menonjolkan lambang-lambang etniknya dengan cara yang dianggap sesuai. Oleh yang demikian, identiti etnik hanya berupa ‘benda’ atau simbol yang ditentukan berdasarkan manipulasi dan persembahan yang berbeza-beza, sehingga ia bukanlah sematamata suatu refleksi diri yang sebenar (Chan & Tong 1993: 143).

Rosaldo (1988) pula berhujah bahawa identiti tidaklah secara mutlak merupakan suatu yang ekspresif (primordial) atau instrumental (situasional). Lazimnya kedua-duanya berlaku secara seiring. Perspektif ini tidak jauh berbeza dengan pandangan Fishman (1977) yang berpendapat bahawa etnisiti merupakan fenomenologikal antara unsur-unsur warisan (ascription) dan unsur-unsur yang menjadi pilihan sendiri (self-selection). Dalam pengertian tersebut, affiliasi etnik dapat dilihat sebagai terletak di sepanjang garisan panjang di mana seseorang mengorganisasi dan mengkategorikan dirinya, dari keanggotaan yang dipilih sehingga kepada keanggotaaan yang diberikan oleh orang lain terhadapnya (Horowitz 1975: 55).

Berdasarkan perbincangan di atas, dapat dikatakan bahawa identiti etnik boleh bersumberkan apa yang diwarisi oleh seseorang daripada keluarga dan kelompoknya (seperti yang dikemukakan oleh primordialis) atau identiti yang telah ditentukan oleh pihak tertentu (pihak negara misalnya) ke atasnya (seperti yang dikemukakan oleh konstruktivis). Namun begitu, berdasarkan realiti yang dilalui oleh seseorang sama ada realiti authority-defined atau realiti everyday-defined, setiap orang mempunyai peluang dan hak untuk memilih dan mengekspresikan identity-of-intent-nya sesuai dengan keadaan, keinginan dan keperluannya. Dengan kata lain, atas alasan apa sekalipun setiap individu mempunyai pilihan untuk menampilkan identiti yang dirasakan mempunyai atau menjanjikan peluang atau keuntungan tertentu di masa akan datang. Pilihan terhadap identiti mana yang akan dipegang sangat penting misalnya, dalam kehidupan bernegara-bangsa (nation-state). Dalam kehidupan bernegara-bangsa ini, kelompok etnik mana yang dianggap sebagai kelompok majoriti atau minoriti dalam membentuk negara-bangsa itu adalah sangat penting kerana ia mempunyai kaitan dengan aspek ekonomi dan politik. Dalam hal inilah pemahaman identiti etnik berdasarkan realiti sosial everyday-defined atau authority-defined dapat digunakan sebagai asas untuk menganalisis bagaimana sesuatu unsur identiti etnik diekspresikan, diubah atau bahkan ditinggalkan sesuai dengan identityof- intent yang ada dalam diri individu terbabit.


Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura (2 of 4)

Akademika 65 (Julai) 2004: 91-110


MOHAMAD FAUZI B. SUKIMI

Pusat Pengajian Sosial, Pembangunan dan Persekitaran

Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan

Universiti Kebangsaan Malaysia

43600 UKM Bangi


PULAU MADURA SEPINTAS LALU


Mungkin tidak ramai yang tahu dengan pasti dari mana orang Madura berasal dan lokasi sebenarnya kedudukan Pulau Madura. Dari sudut kedudukan dan administrasi, Pulau Madura merupakan sebahagian daripada Provinsi Jawa Timur. Pulau tersebut terletak di timur Pulau Jawa, iaitu di sebelah pantai utara. Pulau Madura berukuran 160 km dari timur ke barat dan 35 km dari utara ke selatan dengan jumlah luas secara keseluruhan sekitar 4,250 km persegi (www.info-indo.com/java/madura).


Pulau Madura dibahagikan kepada empat kabupaten (daerah) iaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Selain pulau besar, terdapat 67 lagi pulau-pulau kecil yang lain. Daripada jumlah tersebut 66 buah pulau menjadi sebahagian daripada Kabupaten Sumenep. Manakala sebuah pulau lagi termasuk dalam Kabupaten Sampang. Selain itu terdapat dua buah pulau yang kedudukannya agak jauh (sekitar 240 km) dari Pulau Madura, iaitu Pulau Karamian yang terletak di sebelah utara dan Pulau Sekala yang terletak di timur Pulau Madura.


Keadaan laut di sebahagian besar Pulau Madura adalah bersih, jernih dan tidak terlalu dalam sehingga dapat memaparkan kehidupan laut, seperti yang dapat dilihat di sekitar Pulau Mamburit. Lazimnya, pantai di kebanyakan pulau adalah berpasir putih seperti yang terdapat di Pulau Siring Kemuning, Camplong, Slopeng, Lombang, Saobus, Memburit, Saur, Pagerungan dan kepulauan Kangean. Namun begitu, terdapat juga pulau yang diliputi oleh tumbuh-tumbuhan pantai yang tebal di perairannya.


Berbanding dengan daerah lain di Jawa Timur, tanah di Pulau Madura adalah kurang subur. Tanah di Pulau Madura adalah berbatu dan kering. Keadaan inilah yang mendidik orang Madura untuk menjadi orang yang ‘panjang akal’ dan cepat menyesuaikan diri, iaitu dua ciri orang Madura yang sangat dikenali.


Pulau Madura dapat dicapai dengan feri yang perjalanannya memakan masa selama 30 minit dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Pelabuhan Kamal di barat daya Pulau Madura. Feri yang mengangkut pelbagai bentuk kenderaan, penumpang dan barang-barang bertolak dari kedua pelabuhan tersebut setiap 15 minit, dan telah dianggap sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan Pulau Madura dan Pulau Jawa.


Dari sudut demografi, pada bulan Mei 1992, jumlah penduduk Jawa Timur adalah 31,708,003 orang. Daripada keseluruhan jumlah penduduk Jawa Timur, penduduk Pulau Madura berjumlah 2,877,194 orang. Daripada jumlah tersebut pula, seramai 1,509,431 orang adalah wanita sementara seramai 1,367,763 orang adalah lelaki. Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik setempat, jumlah penduduk Madura pada tahun 1994 telah meningkat kepada 2,979,596 orang (Latief Wiyata 2002: 34).


Meskipun Pulau Madura merupakan sebahagian daripada Jawa Timur, Pulau tersebut dihuni oleh kelompok etnik yang mempunyai bahasa dan adat yang tersendiri. Selain dikenali sejak berabad yang lalu sebagai pelayar yang handal, orang Madura juga terkenal sebagai orang yang kuat bekerja, kasar dan mempunyai semangat yang tinggi. Kesemua ciri keperibadian tersebut sangat sesuai dengan cuaca yang panas dan keadaan muka bumi Pulau Madura yang kering.


Sehingga akhir tahun 1970-an, kehidupan orang Madura adalah sangat sederhana. Kebanyakan mereka terlibat dalam kegiatan penternakan, perikanan dan perniagaan kecil. Sejak akhir-akhir ini, sesuai dengan kemajuan teknologi kemudahan infrastruktur seperti jalanraya, bekalan air, elektrik, telekomunikasi dan pengangkutan darat serta laut di Pulau Madura telah meningkat. Hasilnya, keadaan ekonomi masyarakat Madura dikatakan telah mengalami peningkatan berbanding 20 tahun yang lalu.



CAROK SEBAGAI ELEMEN IDENTITI MADURA


Dalam laporan Mohammad Bakir, seorang wartawan Kompas tentang orang Madura menyebutkan bahawa untuk memahami masyarakat Madura memang gampang-gampang susah (Kompas 17 November 2000). Gampang atau mudah kerana sifat masyarakat Madura yang terbuka. Susah kerana tidak semua orang dapat memahami masyarakat Madura secara lengkap dan benar. Berdasarkan sejarah pertembungan masyarakat Madura dengan kelompok etnik lain, mereka cukup dikenali sebagai orang yang giat dan tekun bekerja serta mudah beradaptasi. Orang Madura juga sangat terkenal sebagai orang yang sangat berpegang kepada agama. Namun begitu, pada masa yang sama mereka juga sangat terkenal dengan kekerasan seperti carok. Maka timbul soalan bagaimana sikap beragama boleh berdampingan dengan kekerasan? Untuk memahami lebih lanjut tentang orang Madura tentunya tidak cukup dengan hanya mendengar stereotaip tentang mereka. Bagi tujuan itulah, pada perbincangan berikut kupasan tentang carok akan dibuat bagi memahami bagaimana akhirnya carok menjadi salah satu unsur identiti dalam kehidupan orang Madura.



PENGERTIAN CAROK DAN FAKTOR PENYEBAB


Carok adalah istilah yang berasal dari bahasa Madura yang bermaksud berkelahi atau bergaduh. Tidak dapat dinafikan bahawa perkelahian terdapat berlaku dalam mana-mana masyarakat sekalipun. Lalu mengapakah carok menjadi suatu fenomena yang sinonim dengan orang Madura dan bahkan menimbulkan kegerunan? Carok sebagai suatu bentuk perkelahian agak menarik kerana ia melibatkan penggunaan senjata tajam khas Madura iaitu clurit. Oleh kerana itulah, carok dapat ditafsirkan sebagai tindakan secara fizikal yang diambil oleh seseorang untuk menewaskan atau membunuh seorang musuh dengan menggunakan clurit (Touwen-Bouwsma 1989).


Clurit merupakan senjata tajam yang berbentuk bulan sabit. Lazimnya clurit adalah tidak lebih daripada salah satu alat dalam kegiatan pertanian. Namun begitu, sesuai dengan bentuknya, ia juga sangat berkesan untuk mencederakan orang lain. Begitu eratnya orang Madura dengan clurit sehingga terdapat jenaka mengenainya, seperti berikut:


Dalam satu operasi tentera, seorang pegawai tentera mendapati seorang prajurit yang merupakan orang Madura membawa clurit. Dengan penuh sangsi pegawai tersebut bertanya kepada prajurit berkenaan. “Mengapa kamu bawa clurit? Kan kamu sudah diberi pistol?” Dengan penuh yakin prajurit tersebut menjawab. “Memang betul pak sudah ada pistol tapi kalau pake pistol kan ngak pasti kena…kalau pake clurit… pasti kena!”


Di samping penggunaan clurit, carok mengundang perhatian kerana telah menjadi suatu kelaziman atau pola perilaku, yang mempunyai fungsi budaya di dalam masyarakat Madura. Dengan kata lain, carok telah diterima pakai sebagai cara terakhir bagi menyelesaikan sesuatu persengketaan yang bertitik tolak dari masalah harga diri.


Lazimnya, perasaan malo (malu) atau terhina yang menyebabkan seseorang itu melakukan carok, iaitu apabila harga dirinya diperlecehkan oleh orang lain (Latief Wiyata 2002; Soetandyo 1986). Dengan kata lain, orang Madura yang merasa malu kerana harga dirinya telah diperlecehkan akan merasakan perlu untuk melakukan carok terhadap orang yang menghinanya. Perasaan malu yang mendorong kepada perbuatan carok tidak selalunya muncul secara sepihak tetapi adakalanya melibatkan kedua belah pihak.


Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, status seseorang tidak dapat dipisahkan daripada peranan dan status dalam struktur sosial. Peranan dan status sosial seseorang itu pula tidak hanya disedari oleh individu terbabit tetapi harus diakui oleh ahli masyarakat yang lain, sehingga dalam setiap hubungan sosial setiap ahli harus saling menghargai satu sama lain. Menurut Latief Wiyata (2002: 171), bagi orang Madura tindakan tidak menghargai atau tidak mengakui peranan dan status sosial seseorang sama ertinya dengan memperlakukan seseorang itu sebagai orang yang tada’ ajina (benar-benar tidak punya harga diri lagi) dan selanjutnya menimbulkan perasaan malo. Dengan kata lain, bagi orang Madura, jatuhnya harga diri atau maruah diri dianggap sama ertinya dengan jatuhnya status diri di mata masyarakat.


Orang Madura yang merasa harga dirinya sudah digugat akan cenderung melakukan tindakan balas terhadap orang yang menghinanya sebagai usaha untuk memulihkan harga dirinya. Tindakan yang diambil cenderung sangat agresif dan lazimnya adalah tindakan menyerang dengan senjata tajam iaitu clurit sehingga ‘musuh’ tercedera atau yang paling ekstrim adalah terbunuh. Ungkapan ango’an poteya tolang etembang poteya mata (biar putih tulang jangan putih mata) adalah ungkapan yang sering diguna pakai bagi menyatakan betapa orang Madura lebih rela mati daripada harus menanggung malo.


Apakah perkara yang boleh menyebabkan orang Madura merasa malo sehingga akhirnya melakukan carok? Beberapa informan yang ditemu bual menyatakan bahawa terdapat tiga perkara iaitu pertama, apabila isteri mereka diganggu; kedua, apabila harta mereka diganggu; dan ketiga, apabila keinginan mereka untuk melaksanakan perintah agama ditegah. Antara ketiga-tiga perkara tersebut, tindakan mengganggu isteri orang, bermukah atau berzina dengan isteri orang merupakan bentuk pelecehan harga diri yang paling menyakitkan hati bagi lelaki Madura.


Sehubungan itu, mereka menganggap tiada cara lain untuk menebus maruah yang telah tercabar kecuali membunuh orang yang telah menjatuhkan maruahnya itu. Sikap ini dapat dilihat berdasarkan ungkapan yang berbunyi, “saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang mengganggu isteri saya berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya” (Imron 1986:11). Dengan kata lain, martabat dan kehormatan isteri adalah manifestasi martabat dan kehormatan suami. Oleh kerana itu, isteri dianggap sebagai bantalla pate (landasan kematian) sehingga tindakan mengganggu isteri orang disebut sebagai agaja’ nyaba yang maksudnya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa (Latief Wiyata 2002: 173).


Menurut Latief Wiyata (2002) lagi, di mata orang Madura fungsi institusi perkahwinan tidak hanya berkaitan dengan reproduksi dan sosialisasi, tetapi juga berfungsi sebagai manifestasi kelakian atau maskuliniti. Dalam hal ini, seorang lelaki Madura hanya akan merasa dirinya lelaki apabila telah berkahwin dengan seorang wanita. Oleh yang demikian, menurut Latief Wiyata (2002) tidak sedikit lelaki Madura yang merasa perlu untuk mempunyai isteri lebih dari seorang untuk menonjolkan maskulinitinya. Bahkan, bagi seorang lelaki yang telah dikenali sebagai seorang jago, poligami seolah-olah suatu kemestian untuk mengukuhkan kejaguhannya. Dalam konteks inilah dapat difahami bahawa tindakan mengganggu isteri orang dianggap sebagai penghinaan yang sangat menyakitkan seorang lelaki (suami) dan menimbulkan perasaan malo yang tak terhingga kecuali membunuh orang yang berkenaan.


Tindakan mengganggu isteri orang tidak hanya dianggap sebagai suatu tindakan yang merendahkan harga diri sang suami tetapi juga dianggap merosakkan aturan sosial (arosak atoran). Dalam hal ini, suami malo kerana dianggap gagal melindungi isteri, keluarga suami pula malo kerana dianggap gagal memilih menantu yang baik, manakala keluarga isteri malo kerana dianggap gagal mendidik anak. Oleh kerana itu, dapat difahami mengapa carok mendapat dukungan daripada keluarga atau masyarakat.


Beberapa kajian terdahulu seperti oleh Latief Wiyata (2002) dan Soetandyo (1986) juga menunjukkan bahawa selain alasan isteri diganggu orang, carok juga boleh berpunca daripada malo akibat kemampuan diri seseorang tidak diakui oleh teman-temannya. Dalam hal ini, orang Madura yang tidak atau belum membalas dendam bagi ahli keluarganya yang mati dibunuh orang, seringkali dianggap bukan sebagai orang angko (berani). Dorongan untuk melakukan carok sebagai balas dendam didorong oleh ungkapan “aotang pesse majar pesse, aotang nyaba majar nyaba”, yang bermaksud ‘hutang wang dibayar wang, hutang nyawa dibayar nyawa’.


Orang Madura juga akan mencemoh seorang lelaki yang harga dirinya sudah dilecehkan tetapi tidak berani melakukan carok sebagai tidak laki-laki (lo’ lake’). Bahkan terdapat ungkapan “mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng Madura” (jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura). Oleh yang demikian, orang Madura melakukan carok tidak hanya kerana tidak mahu dianggap pengecut tetapi juga agar tetap diakui oleh penduduk sekelilingnya sebagai orang Madura. Dalam hal ini, Latief Wiyata (2002: 178) berpendapat bahawa carok juga dapat diertikan sebagai salah satu cara orang Madura untuk mengekspresikan identiti etniknya. Dengan kata lain, carok tidak hanya dapat dilihat sebagai tindakan agresif yang boleh menyebabkan kecederaan parah atau kematian, tetapi juga sebagai tindakan yang penuh dengan makna sosial budaya yang harus pula difahami sesuai dengan konteksnya.


Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura (3 of 4)

Akademika 65 (Julai) 2004: 91-110

Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura

MOHAMAD FAUZI B. SUKIMI

Pusat Pengajian Sosial, Pembangunan dan Persekitaran
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan
Universiti Kebangsaan Malaysia
43600 UKM Bangi


PELAKU, BENTUK CAROK DAN TANGGAPAN TERHADAPNYA

Menurut Denkers (dalam Jonge 1993:4), umumnya orang Madura yang melakukan carok adalah lelaki, yang bererti seorang lelaki menentang lelaki lain, bukan lelaki menentang wanita, apalagi wanita menentang wanita yang lain. Apabila berlaku pembunuhan atau tindakan kekerasan oleh seorang lelaki terhadap seorang wanita, atau oleh seorang wanita terhadap wanita yang lain, peristiwa tersebut tidak disebut sebagai carok tetapi sebagai atokar (perkelahian) atau mate’e oreng (pembunuhan biasa). Oleh kerana itu, bagi orang Madura carok adalah urusan lelaki semata-mata dan bukan urusan wanita. Hal tersebut dipertegas dengan ungkapan oreng lake’ mate acarok, orang bine’ mate arembi yang bermaksud lelaki mati kerana carok, perempuan mati kerana melahirkan anak (Latief Wiyata 2002: 177).

Tidak semua tindakan agresif yang dilakukan oleh orang Madura dapat dianggap sebagai carok. Pada umumnya, tindakan agresif yang menyebabkan mangsa hanya mengalami luka ringan hanya disebut oleh orang Madura sebagai atokar atau perkelahian biasa. Carok hanya merujuk kepada tindakan yang menyebabkan mangsa luka parah atau mati. Bahkan lazimnya, pelaku carok hanya akan merasa puas, lega dan bangga sekiranya mangsa mengalami kecederaan parah atau mati.

Carok dapat dilakukan dengan pelbagai cara. Pertama, carok dengan cara nyelep adalah tindakan menyerang musuh secara serang hendap, iaitu menyerang secara mengejut dari belakang dan dengan sekali tebas membelah perut atau memotong urat nadi leher (Touwen-Bouwsma 1980). Cara nyelep dianggap lebih mudah untuk menewaskan lawan, namun cara ini dianggap sebagai tindakan pengecut (kerji) atau tidak kesatria. Oleh yang demikian, carok nyelep merupakan suatu usaha yang terancang untuk membunuh seseorang atau menyebabkan kecederaan parah, dengan menggunakan kesempatan sewaktu mangsa dalam keadaan lalai, dengan tujuan untuk melepaskan rasa dendam atau rasa sakit hati akibat dipermalukan oleh mangsa di khalayak umum (Soetandyo 1984).

Cara kedua, ialah dengan menentang musuh secara berhadapan dan tindakan ini boleh dilakukan di mana-mana sahaja. Ketiga, carok yang disebut sebagai ngonggai, yang mana pihak yang ingin melakukan carok harus mengunjungi rumah lawannya lalu mencabar untuk bertarung secara berdepan. Carok dalam cara kedua dan ketiga tersebut lebih mendekati apa yang dinyatakan oleh Abdurrahman (1977) tentang carok iaitu sebagai suatu perkelahian yang menggunakan senjata tajam antara seorang individu dengan individu lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain, yang terlebih dahulu dipersetujui tentang tempat dan waktu carok akan dilangsungkan. Namun begitu menurut informan, carok yang seperti ini sudah jarang berlaku. Carok yang sering berlaku adalah bentuk carok nyelep.

Cara yang keempat ialah carok yang disebut sebagai gu’-teggu’ sabbu’. Dalam cara ini pelaku carok saling memegang seutas tali pinggang dengan tangan kiri dan pada masa yang sama tangan kanan mereka saling menghayun celuritnya.6 Apapun cara yang dipilih, dalam setiap peristiwa carok pasti akan berakhir dengan cedera parah atau kematian. Biasanya carok yang dilakukan dengan cara nyelep akan menyebabkan orang yang diserang mati, sedangkan penyerang hanya cedera ringan atau tidak cedera sama sekali. Manakala dalam carok gu’-teggu’ sabbu’ kedua-dua pelaku carok mungkin akan sama-sama mendapat kecederaan parah atau mati.

Lazimnya pemenang sesuatu peristiwa carok adalah mereka yang dapat menewaskan lawannya sama ada dengan menyebabkan kematian atau cedera parah. Jika salah seorang tidak terbunuh, maka pemenang akan ditentukan berdasarkan siapakah yang hanya mengalami kecederaan yang sedikit. Pemenang carok akan mendapat gelaran oreng jago. Sekiranya oreng jago melakukan carok buat kali kedua atau seterusnya dan memperoleh kemenangan, maka kemenangan tersebut akan memperkukuhkan lagi gelaran yang telah disandangnya itu.

Carok dapat dilakukan secara terancang mahupun spontan. Carok secara spontan adalah carok yang dilakukan apabila berlaku perselisihan yang bersangkutan dengan masalah harga diri. Dalam hal ini pihak yang merasa malo akan terus menyerang pihak lawan dengan apa juga senjata atau alat yang ada di sekitarnya. Carok juga dapat dilakukan melalui perancangan atau strategi yang rapi. Dalam hal ini, pelaku carok akan mengintip mangsa untuk menentukan masa dan tempat yang sesuai untuknya bersembunyi dan kemudian melakukan carok secara nyelep (serang hendap).

Seseorang yang ingin melakukan carok dan seterusnya menjadi jagoan carok harus bersedia atau melengkapkan dirinya. Menurut Latief Wiyata (2002:189), terdapat tiga prasyarat yang harus dipenuhi iaitu kadigdajan (kemampuan diri), tampeng sereng, dan banda (dana). Kadigdajan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan persiapan diri baik secara fizikal mahupun mental. Persiapan secara fizikal adalah berkaitan dengan kemahiran teknik dan ilmu membela diri. Persiapan atau prasyarat secara mental adalah lebih kepada persoalan apakah orang tersebut mempunyai keberanian (angko) atau tidak. Dalam hal ini, pengalaman seseorang yang pernah melakukan carok adalah sangat penting untuk memastikan dirinya dapat mempertahankan gelaran sebagai seorang jago.

Seringkali, seseorang yang akan melakukan carok tidak hanya mengharapkan kekuatan fizikal sahaja tetapi turut mengharapkan kekuatan yang bersifat non-fizik atau supra natural. Persediaan inilah yang disebut sebagai tampeng sereng. Bagi mempunyai kekuatan non-fizik, seseorang memerlukan apagar (pendinding) yang dapat diperolehi dengan bantuan dukun carok atau kiaeh (kiyai). Dukun carok akan melakukan proses ‘pengisian’ mantera atau jampijampian ke badan pelaku carok. Adakalanya pelaku carok akan diajar dengan bacaan ayat tertentu, mantera atau wirid (zikir) yang kemudian harus diamalkan setiap hari atau sebelum melakukan tindakan carok. Terdapat tiga bentuk mantera atau azimat iaitu:
1. azimat yang membuatkan orang menjadi berani dan selalu siap sedia untuk bertempur yang disebut sebagai nylateng;
2. nyepet pula adalah mantera atau azimat yang membuat orang menjadi kebal; dan
3. mesem adalah azimat atau mantera yang menyebabkan pihak lawan menjadi luluh hati atau menjadi tidak marah.

Daripada sekian ramai dukun carok di Desa Kolpo, Kabupaten Sumenep, terdapat tiga orang dukun carok yang cukup terkenal, iaitu Ki Kabbul, Pak Radung dan saudaranya Pak Saud. Komuniti tempatan yakin bahawa ketigatiga dukun tersebut memiliki ilmu yang diwarisi daripada ayah masing-masing. Orang yang datang untuk meminta bantuan atau berguru dengan ketiga-tiga dukun tersebut tidak hanya datang dari Batuputih atau Batang-Batang tetapi juga dari luar daerah tersebut seperti dari Waru, Pamekasan atau Banyuates, Sampang (Kompas 17 Nov. 2000).

Meskipun zaman telah banyak berubah dan semakin menjadi moden, tetapi sebahagian besar warga Madura masih tetap akrab dengan carok dan tindakan- tindakan kekerasan yang lain. Tersinggung sedikit sahaja, mereka boleh melakukan tindakan nekad atau bahkan carok. Soalan yang bermain di fikiran orang luar adalah mengapa orang Madura yang terkenal sebagai orang taat beragama masih melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti carok. Hal ini kerana, dari sudut agama Islam alasan untuk membela harga diri setelah merasa dihina atau diperlekeh oleh orang lain tidak dapat diterima sebagai asas bagi melakukan carok.

Di kalangan orang Madura, mereka mempunyai logika masing-masing untuk terus terlibat dengan carok. Menurut salah seorang jagoan carok iaitu Pak Enda dari Desa Kolpo, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, antara alasan beliau terlibat dengan carok adalah untuk memberi pengajaran kepada individu tertentu yang bersikap sombong. Bagi Pak Enda, tidak seorang pun boleh bersikap semahunya terhadap sesama manusia. “Kaula ngocak, mon oreng sombong kodu eberi pangajaran, sopaja tak terros e kaandi” yang bermaksud, “saya selalu bilang, kalau orang sombong itu harus diberi pengajaran agar kesombongan itu tidak menjadi wataknya (Kompas 17 Nov. 2000).

Selain alasan untuk menundukkan kesombongan lawan, ada juga memberikan alasan lain untuk terlibat dengan carok. Dalam hal ini, jagoan carok yang bernama Sosro berkata: “manossa paneka coma gaduan otang nyaba ka se Kobasa. Manabi takok mate, artena abak dibik neka tak nyerra’a otang” (kepada Tuhan, manusia itu hanya punya utang nyawa, bukan harta atau yang lain. Jadi, kalau takut mati, artinya kita tidak mahu membayar hutang kita kepada Tuhan). Apa yang diungkap Sosro telah menjadi pegangan hampir semua penduduk Desa Kolpo, Kabupaten Sumenep. Jika harga diri telah disentuh, nyawa bukan sesuatu yang harus dipertahankan. Justeru harga diri itu yang mesti dibela, walaupun nyawa sebagai pertaruhannya (Kompas 17 November 2000). Demikian nilai yang dipegang oleh sebahagian orang Madura dalam konteks carok.

Pelbagai alasan yang dikemukakan untuk menerangkan kenapa seseorang itu melakukan carok telah menimbulkan rasa gerun di kalangan anggota masyarakat luar Madura. Tidak sedikit orang luar yang mempunyai rasa gerun terhadap orang Madura sehingga takut untuk berhadapan dengan mereka. Apabila ditanyakan mengapa mereka merasa takut, pasti jawapannya adalah berkaitan carok. Oleh yang demikian, carok telah menjadi unsur penting di kalangan orang luar dalam mendeskripsikan orang Madura. Berhubung dengan rasa takut mereka terhadap orang Madura dan carok, seorang informan mengatakan bahawa: Lah dulu, bapak saya bilang di Madura ini kalau kentut di depan orang aja bisa dicarok! Lah kan ngeri. Masa hanya kerana kentut udah dicarok!

Meskipun di mata masyarakat Madura carok dan atokar adalah dua perkara yang berbeza, tetapi dari sudut authority-defined terutama di mata institusi penegak undang-undang di Indonesia (polis dan badan kehakiman), keduanya tetap dianggap sebagai tindakan jenayah yang melanggar undang-undang. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), carok dikategorikan sebagai pembunuhan (fasal 338 dan 340) atau penganiayaan berat (fasal 351,353,354 dan 355), manakala atokar dikategorikan sebagai penganiayaan ringan (fasal 352).

Dalam kebanyakan kes carok, ternyata pelaku carok tidak cuba melarikan diri setelah melakukan carok, sebaliknya menyerahkan dirinya kepada pihak polis. Tindakan ini dilakukan bukanlah kerana mereka telah sedar dengan kesalahan yang telah dilakukan, sebaliknya adalah kerana takut dengan tindakan balas dendam yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga mangsa.

Secara keseluruhan, Latief Wiyata (2002: 184-185), merumuskan pengertian carok, iaitu suatu tindakan atau percubaan membunuh (kerana adakalanya hanya berupa tindakan menyerang yang menyebabkan kecederaan) dengan menggunakan senjata tajam (umumnya menggunakan clurit) dan dilakukan oleh seorang lelaki (tidak pernah wanita) terhadap seorang lelaki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga dirinya (baik secara individu mahupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga), terutama berkaitan dengan masalah kehormatan isteri sehingga membuat malo. Di dalam masyarakat Madura, carok telah mendapat sokongan dan persetujuan sosial. Bererti masyarakat tidak memandang hina atau salah kepada pelaku carok yang membela maruahnya yang tercemar. Carok juga telah menjadi alat budaya bagi pelaku yang ingin memperolehi gelaran sebagai oreng jago, sehingga kejayaan dalam carok menimbulkan perasaan puas dan lega, bahkan bangga kepada pelakunya. Secara ringkas dapat disimpulkan bahawa pengertian carok harus mengandungi lima unsur, iaitu:

1. tindakan atau cubaan membunuh antara pelaku lelaki,
2. pelecehan harga diri terutama berkaitan kehormatan isteri,
3. perasaan malo,
4. adanya dukungan serta persetujuan sosial, dan
5. perasaan puas dan bangga bagi pemenangnya.


Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura (4 of 4)

Akademika 65 (Julai) 2004: 91-110


Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura


MOHAMAD FAUZI B. SUKIMI

Pusat Pengajian Sosial, Pembangunan dan Persekitaran

Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan

Universiti Kebangsaan Malaysia

43600 UKM Bangi



CAROK DI MALAYSIA


Sejak sebelum abad ke-19, Tanah Melayu (Malaysia) menjadi salah satu destinasi utama para migran dari Indonesia. Sehubungan itu, tidak dapat dinafikan fenomena carok turut terjadi di Malaysia seiring dengan kemasukan migran dari Pulau Madura. Namun begitu, kajian-kajian terdahulu tentang migrasidari Indonesia ke Malaysia pada era pra kemerdekaan tidak memperlihatkan data tentang penghijrahan orang Madura (lihat misalnya kajian Khazin Mohd. Tamrin 1984; Tunku Shamsul Bahrain 1964). Kajian-kajian terdahulu hanya menunjukkan bahawa kelompok etnik yang berhijrah ke Malaysia adalah seperti orang Minang, orang Boyan, orang Bugis, orang Jawa.


Sesuai dengan perkembangan semasa, kemasukan pekerja asing terutama dari Indonesia terus mengalir ke Malaysia. Dalam era pasca kemerdekaan, kemasukan pekerja asing dalam jumlah yang sangat ketara sejak tahun 1970-antelah menjadi faktor yang mewarnai pelbagai sektor dalam ekonomi Malaysia. Sehingga tahun 2000, permit kerja yang telah dikeluarkan kepada pekerja asing (pekerja yang tidak mahir dan separuh mahir) oleh Jabatan Imigresen adalah melebihi 893,000 orang. Pekerja asing yang mahir dan profesional pula tercatat sekitar 50,000 orang. Terdapat pula sekitar 18,714 orang pekerja asing yan gagal untuk memperbaharui permit mereka dan seramai 72,000 orang yang laridaripada majikan mereka. Manakala pekerja asing tanpa izin pula dianggarkan antara 50,000 hingga 100,000 orang. Oleh yang demikian, secara keseluruhan terdapat lebih dari satu juta orang pekerja asing di Malaysia (Azizah Kasim 2001).


Seiring dengan aliran kemasukan pekerja asing ke Malaysia yang berlangsung sejak tahun 1970-an, kajian-kajian terkini mengenai pekerja asing telah menunjukkan kehadiran orang Madura. Kajian oleh Mahfuza Mustafa (1992) tentang penyesuaian diri imigran Indonesia terhadap persekitaran di Kg. Bakar Batu dan Kg. Tok Siak, Johor Baru misalnya, menunjukkan bahawa jumlah orang Madura adalah 38 peratus daripada sekitar 400 orang imigran Indonesia yang terdapat di kawasan kajian. Kajian oleh Choy Sook Fen (1997) tentang jaringan sosial pekerja binaan Indonesia di Mahkota Park, Melaka menunjukkan bahawa orang Madura adalah sebanyak 10 peratus daripada tenaga kerja yang bekerja di lokasi tersebut. Manakala kajian oleh Lee Yok Fee (1995) menunjukkan bahawa jumlah orang Madura adalah di sekitar 21.6 peratus daripada keseluruhan buruh binaan yang bekerja di Taman Kajang Utama, Kajang. Kajilidikan yang dilakukan terhadap pekerja Indonesia di Lembah Klang pada tahun 1995 pula menunjukkan bahawa daripada 376 orang responden yang ditemui terdapat sekitar 35.2 peratus adalah orang Madura (Hairi Abdullah 1997; Mohamed Salleh Lamry 1997).


Meskipun tiada data terperinci mengenai jumlah sebenar orang Madura yang bekerja di Malaysia, dapat dikatakan bahawa kehadiran orang Madura sudah mula dirasakan. Menurut beberapa orang informan, orang Madura mula datang ke Malaysia untuk bekerja pada awal tahun 1980-an. Sebelum itu, orang Madura lebih suka berhijrah ke Pulau Jawa terutama di Jawa Timur dan ke Kalimantan. Menurut responden, kini jumlah orang Madura yang sedang dan akan bekerja di Malaysia akan semakin bertambah kerana masyarakat Madura sudah mula mengenali Malaysia sebagai satu destinasi yang menjanjikan peluang kerja yang baik.


Seiring dengan kehadiran orang Madura di Malaysia, sebahagian besar orang Madura yang telah ditemu bual mengakui bahawa mereka pernah mendengar tentang berlakunya carok di kalangan pekerja Indonesia di Malaysia. Menurut mereka, hal tersebut tidak menghairankan kerana carok sudah menjadi sebahagian daripada hidup orang Madura. Malangnya, tidak mudah untuk mendapatkan data terperinci tentang kejadian carok di Malaysia. Hal ini kerana data tentang kadar jenayah yang membabitkan pekerja asing Indonesia tidak memperinci tentang kelompok etnik. Oleh yang demikian tidak ditemukan data yang menunjukkan berapa peratus orang Madura yang terlibat dengan kes jenayah. Namun demikian, isu carok pernah mendapat perhatian pihak NTV7 yang menyiarkan liputan tentangnya melalui acara Edisi Siasat pada awal tahun 2004. Dalam siaran tersebut dikupas tentang beberapa kes bunuh yang disyaki melibatkan orang Madura. Dalam siaran tersebut, pihak Polis telah menunjukkan clurit sebagai senjata yang digunakan untuk membunuh. Liputan ini sedikit sebanyak membayangkan keresahan masyarakat Malaysia tentang kes bunuh atau carok yang banyak berlaku di kalangan pekerja asing.


Apapun alasan yang melatarbelakanginya, seperti yang dikaitkan dengan undang-undang di Indonesia, dari sudut authority defined carok tetap dilihat sebagai suatu tindakan jenayah yang bertentangan dengan undang-undang Malaysia. Sekiranya tindakan carok telah menyebabkan mangsa terbunuh, maka pelaku carok boleh didakwa di bawah Seksyen 302 Kanun Keseksaan yang jika disabit kesalahan akan dijatuhkan hukuman gantung sampai mati. Pelaku carok akan didakwa cuba membunuh dan menyebabkan kecederaan parah di bawah Seksyen 307 Kanun Keseksaan sekiranya mangsa mengalami cedera parah. Bagi tindakan yang menyebabkan kecederaan atau kecederaan parah, pelaku carok boleh didakwa di bawah Seksyen 321 atau 322 Kanun Keseksaan, yang membawa kepada hukuman penjara atau denda atau kedua-duanya.


Secara umum, orang Madura yang ditemui mengakui bahawa mereka harus menghormati undang-undang Malaysia. Mereka juga mengakui bahawa undang-undang di Malaysia adalah jauh lebih ‘keras’ berbanding undang-undang di tanahair mereka. Namun begitu, mereka tidak menolak kemungkinan bahawa carok tetap akan berlangsung sekiranya terdapat orang Madura yang merasa harga dirinya telah dilecehkan atau digugat. Pada masa yang sama, mereka tidak menolak kemungkinan kes pembunuhan yang melibatkan penggunaan clurit (sehingga dianggap sebagai carok) yang dilakukan oleh mereka yang dapat dianggap sebagai blater atau samseng. Seorang responden misalnya mengatakan bahawa: “… mereka sih mau mudah dapat wang”. Sehubungan itu, mereka juga menyatakan rasa kesal kerana hal tersebut dapat memberikan gambaran yang negatif terhadap orang Madura lain yang memang benar-benar ingin mencari rezeki di rantau orang.




KESIMPULAN


Sejak sekian lama, carok tampak tidak dapat dipisahkan daripada masyarakat Madura. Carok cukup sinonim dengan orang Madura biar di mana pun mereka berada, sama ada di daerah tanah tumpah darah mereka ataupun di daerah lain seperti di Malaysia. Carok jugalah yang menyebabkan anggota masyarakat lain merasa gerun apabila berhadapan dengan orang Madura. Di Pontianak, Kalimantan Barat misalnya, carok lah yang menyebabkan preman atau samseng Batak tidak berkutik.


Carok sebagai suatu fenomena sosial dapat ditafsirkan dari dua sudut yang berbeza. Dari sudut pandang authority-defined (yang bertitik tolak dari kaca mata pihak yang berkuasa), carok tentunya dianggap bertentangan dengan peradaban manusia. Oleh yang demikian carok dianggap sebagai suatu tindakan jenayah yang perlu dihentikan.


Carok di mata orang Madura tentunya ditafsirkan berdasarkan pengalaman, nilai dan norma yang menyelubungi kehidupan mereka. Dari sudut pandang everyday-defined, orang Madura membezakan antara kes bunuh dan carok. Sesuatu kejadian yang berakhir dengan pembunuhan dianggap sebagai kes bunuh atau jenayah apabila ia berlaku tidak berlandaskan alasan membela maruah diri. Kejadian bunuh yang didalangi oleh blater atau samseng misalnya tidak dapat dikatakan sebagai carok. Manakala kejadian bunuh yang dilakukan dengan alasan membela maruah, maka barulah kejadian membunuh itu dinamakan carok.


Apa yang pasti, dari aspek citra atau identiti orang Madura, carok telah menyebabkan wujudnya anggapan bahawa orang Madura hanya mengenal kekerasan dan tidak mengenal kelembutan atau kehalusan dalam budayanya. Anggapan tersebut tentunya tidak benar memandangkan dalam budaya Madura juga terdapat unsur-unsur yang menunjukkan kehalusan. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam sastera Madura (lihat kajian Zawawi Imron 1989) dan muzik serta seni pertunjukan Madura (lihat Helene Bouvier 1989).


Dari segi lain, carok tidak hanya mencorakkan identiti Madura tetapi turut mempunyai nilai ekonomi. Clurit yang erat kaitannya dengan carok telah dijadikan bahan cenderahati. Di kios-kios dalam kompleks pelabuhan Kamal, Pulau Madura misalnya terdapat pelbagai ukuran replika clurit yang dijual sebagai cenderahati. Bahkan clurit yang asli pun boleh dibeli sekiranya kena pada tempatnya.



RUJUKAN


A. Latief Wiyata. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.

Yogyakarta: LKIS.

Andang Subaharianto. et al. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur. Malang: Bayumedia.

Azizah Kasim. 2001. Trans-National Migration Within and Among the Asean Member Countries: Issues and Challenges for Malaysia. Kertas kerja dibentangkan di Asean Universities Student Leaders Conference, di Universiti Malaysia Sabah, Kota Kinabalu, Sabah, 20 – 23 Mei.

Bouvier, H. 1989. Musik dan Seni Pertunjukan di Kabupaten Sumenep. Dlm. Jonge, Huub de (ed.). Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali.

Chan, K. B. & Tong, C. K. 1993. Rethinking Assimilation and Ethnicity: The Chinese in Thailand. International Migration Review 27: 140-68.

Choy Sook Fen. 1997. Jaringan Sosial Pekerja Binaan Indonesia di Mahkota Park Melaka. Latihan Ilmiah. Jabatan Antropologi dan Sosiologi, FSSK, UKM. (Tidak diterbitkan).

Fishman, J. A. 1977. Language and Ethnicity. Dlm. Giles, H. (ed). Language, Ethnicity and Inter-Group Relations. London: Academic Press.

Hairi Abdullah. 1997. Jaringan Social di Kalangan Pekerja Indonesia di Lembah Klang. Dalam M. Arif Nasution (ed.). Mereka yang ke Seberang: Proses Migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia. Medan: USU Press.Hall, S. 1989. Cultural Identity and Cinematic Representation. Framework 36: 68-81.

Horowitz, D. 1975. Ethnic Identity. Dlm. Glazer, N. & D. P. Moynihan (eds). Ethnicity: Theory and Experience. Cambridge, MA: Harvard University.

Imron, D. Z. 1986. Menggusur Carok. Kertas kerja yang dibentangkan pada seminar ‘Carok, Sebuah Fenomena Masyarakat Madura’, anjuran Harian Memorandum, Surabaya, 23 Mac.

Jackson, P. & Penrose, J. (eds.). 1993. Constructions of Race, Place and Nation. London:UCL Press; Minneapolis: University of Minnesota Press.

Jonge, Huub de. 1989. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam. Jakarta: Gramedia.

Jonge, Huub de (ed.). 1989. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali.

Khazin Mohd. Tamrin. 1984. Orang Jawa di Selangor: Penghijrahan dan Penempatan 1880-1940. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kompas. 17 November 2000.

Lee Yok Fee. 1995. Migrasi dan Penyesuaian Buruh Binaan Indonesia: Satu Kajian Kes di Daerah Hulu Langat. Latihan Ilmiah. Jabatan Antropologi dan Sosiologi, FSSK, UKM. (Tidak diterbitkan).

Mahfuza Mustapha. 1992. Penyesuaian Imigran Indonesia Terhadap Persekitaran:Satu Kajian Kes di Jalan Kubur, Kg. Bakar Batu dan Jalan Seguntung, Kg. Tok Siak, Johor Baru. Latihan Ilmiah. Jabatan Antropologi dan Sosiologi, FSSK, UKM. (Tidak diterbitkan).

Mohamed Salleh Lamry. 1997. Migrasi dan Pembandaran: Kesan Migrasi Pekerja Indonesia di Lembah Klang, Malaysia. Dlm. M. Arif Nasution (ed.). Mereka yang ke Seberang: Proses Migrasi Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia. Medan: USU Press.

Nonini, D. M. & Ong, A. 1997. Chinese Transnationalism as an Alternative Modernity. Dlm. Ong, A. & D. Nonini (eds.). Ungrounded Empires: The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism. Pelras, C. 1996. The Bugis. Oxford: Blackwell.

Shamsul A. B. 1996. Debating About Identity in Malaysia: A Discourse Analysis. Southeast Asian Studies 34(3).

Shotter, J. 1993. Cultural Politics of Everyday Life. Buckingham: Open University

Press.

Soetandyo Wignjosoebroto. et al. 1986. Carok: Suatu Studi Cara Penyelesaian Sengketa di Tengah Masyarakat yang Sedang Bertransisi. Laporan penyelidikan, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.

Touwen-Bouwsma. 1989. Kekerasan di Masyarakat Madura. Dlm. Jonge, Huub de (ed.). Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali.

Tunku Shamsul Bahrin. 1964. Indonesian in Malaya. Tesis, University of Sheffield.

Van den Berghe, P. L. 1978. Race and Ethnicity: A Sociological Perspective. Ethnic and Racial Studies 1(4): 401-411.

www.info-indo.com/java/madura.

Yancey, W. L., Ericksen, E. P. & Juliani, R. N. 1976. Emergent Ethnicity: A Review and Carok Sebagai Elemen Identiti Manusia Madura 109 Reformation. American Sociological Review 41: 391-403.

Zawawi Imron. 1989. Sastra Madura: Yang Hilang Belum Berganti. Dlm. Jonge, Huub de (ed.). Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali.***