Desember 17, 2008

Pilkada Ulang Jatim 2008

KOMPAS, Selasa, 16 Desember 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Seharusnya tidak ada hambatan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang serta penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan, Madura. Kekhawatiran yang muncul terkait putusan MK itu, dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, lebih merupakan persoalan politik.

”Perdebatan yang sekarang ada lebih menunjukkan putusan itu bukan tak bisa dilaksanakan. Namun, belum mau atau belum tahu cara melaksanakannya,” kata Irman Putra Sidin, ahli hukum tata negara dari Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, Senin (15/12) di Jakarta.

Pernyataan itu dipaparkan Irman pada diskusi tentang dampak putusan MK terhadap Pilkada Jatim. Pembicara lain adalah Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sardini dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Jeirry Sumampow.

Jika perdebatannya terkait dasar hukum untuk melaksanakan putusan itu, lanjut Irman, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat membuat peraturan untuk melaksanakan pilkada ulang di Jatim dengan pertimbangan apa yang ada di putusan MK itu.

Irman menilai putusan MK terkait sengketa Pilkada Jatim sudah baik, sebab mengarah pada materi yang substansial. Dengan demikian, selain segera melaksanakannya, polisi dan Panwas Jatim juga perlu memproses hukum orang yang dalam putusan itu diduga melakukan tindak pidana.

Nur Hidayat mengaku sudah berkoordinasi dengan Panwas Jatim untuk menyelesaikan sejumlah dugaan pelanggaran pidana pada Pilkada Jatim. ”Kami masih mengklarifikasi terhadap sejumlah nama yang disebut dalam putusan MK,” tutur dia.

Nur Hidayat menyesalkan adanya kecenderungan masyarakat untuk langsung melaporkan dugaan pelanggaran yang terjadi ke MK dan tidak melalui Panwas.


Bergantung pada elite

Dari Surabaya, Jatim, dilaporkan, antropolog dari Universitas Jember, Latief Wiyata, menyatakan, kerawanan pada pemungutan suara ulang Pilkada Jatim sangat bergantung pada komitmen dan niat baik elite politik dan pasangan calon kepala daerah. Sebab, kecil kemungkinan masyarakat Madura carok hanya untuk Pilkada Jatim.

Latief menilai, tak satu pun calon kepala daerah Jatim, baik pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf maupun Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono yang merepresentasikan guru atau rato dalam bahasa Madura. Representasi guru atau rato itu bisa dalam konteks agama atau orang Madura sendiri.

”Mereka hanya sama agamanya. Adapun masyarakat jenuh sehingga tingkat kehadiran dalam pemungutan suara ulang kemungkinan lebih rendah dari putaran kedua,” ungkap Latief lagi. (nwo/ina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar