DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Juli 2005: 9 - 16
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
PENGARUH RITUAL CAROK TERHADAP PERMUKIMAN TRADISIONAL MADURA
Retno Hastijanti
Dosen Universitas 17 Agustus 1945
Mahasiswa Pendidikan Program Doktor, Jurusan Arsitektur, ITS
e-mail: lintang_bayu@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian tentang kekerasan, banyak dilakukan dalam disiplin ilmu sosial dan psikologi. Salah seorang yang meneliti kekerasan adalah Dr.A.Latief Wiyata, dengan bukunya Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2002).Buku ini ditulis berdasarkan disertasinya. Dijelaskan bahwa carok diteliti sebagai masalah, dalam konteks sosial-kultural, sosial-ekonomis dan historis. Karenanya, penulis memfokuskan salah satunya pada pola permukiman yang tersebar.Berdasarkan hal tersebut, terlihat adanya indikasi pengaruh ritual carok terhadap permukiman tradisional Madura, yang merupakan bentukan arsitektur tradisional Madura. Melalui kajian terhadap buku ini, ingin dipahami bagaimana pengaruhritual carok dalam permukiman tradisional Madura, secara arsitektural. Dan kemudian melalui analisis wacana, secara khusus, dapat disimpulkan bahwa ritual carok mempengaruhi kwalitas intensitas ikatan elemen-elemen permukimantradisional Madura. Secara umum, disimpulkan bahwa permukiman tradisional sebagai suatu bentuk arsitektur tradisional berperan untuk melestarikan suatu ritual tradisi kekerasan.
Kata kunci: Carok, Elemen Permukiman, Permukiman Tradisional Madura
ABSTRACT
Most of Urban violence researches have been done in social-psychology context. One of it is the book by Dr.A.latief Wiyata (2002), Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. This book bases on his dissertation on socialcultural; social-economic; and histories context. One of his focuses is on the spreading of Madurese traditional settlement pattern. Based on that, there is an indication that carok ritual has been related to the Madurese traditional settlement.Through the study that is based on the book, is need to be understood that the carok ritual has influenced the Maduresetraditional settlement, architecturally. And by discourse analysis it is found that carok ritual has influenced the quality of traditional settlement element intensity, specifically. Then, it is concluded that traditional architecture has a role asviolence tradition conservation.
Keywords: Carok, Settlement Element, Madurese Traditional Settlement.
PENDAHULUAN
Penelitian tentang kekerasan, telah banyak dilakukan dalam sudut tinjau disiplin ilmu sosial dan
psikologi. Baik berupa kekerasan politik, konflik antara kelompok etnis atau religi, maupun geraka separatis militan. Selain itu, ada juga penelitian yang terfokus pada bentuk kekerasan yang bersifat tradisi. Salah seorang yang tergerak untuk meneliti kekerasan yang termasuk pada kategori kedua itu adalah Dr.A.Latief Wiyata, dengan bukunya yang
berjudul “Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura” (2002). Buku ini ditulis berdasarkan disertasi dari penulis.
Pada kata pengantar yang ditulis oleh Dr.Huub de Jonge, ditekankan bahwa buku ini telah menjawab beberapa pertanyaan pokok tentang carok, seperti: apakah carok; apakah perbedaan antara kekerasan ini dan kejahatan lain; kapan orang Madura mengambil jalan kekerasan ini; apakah artinya kejadian ini bagi mereka; apakah akibat carok terhadap pelaku, korban dan sanak keluarganya; dan mengapa tindakan ini ditoleransi–bahkan kadang kala mendapat dukungan
oleh sebagian besar masyarakat Madura. Dikatakan pula bahwa, penelitian ini merupakan studi pertama yang berdasarkan penelitian lapangan, yaitu studi etnografis sangat rinci tentang enam kasus pembunuhan di Bangkalan, bagian paling Barat Pulau Madura.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa carok tidak diteliti sebagai masalah yang berdiri
sendiri, tetapi justru di dalam konteks sosial-kultural, sosial-ekonomis dan historis. Karena itu, penulis memfokuskan pada antara lain sumber mata pencaharian yang langka di Madura, pola permukiman yang tersebar, hubungan social, norma dan nilai tradisional, orientasi keagamaan, dan tradisi kekerasan yang sudah lama ada di pulau ini. Berdasarkan hal ini, maka dapat dilihat adanya indikasi pengaruh ritual carok terhadap permukiman tradisional Madura, yang merupakan bentukan arsitektur tradisional Madura.
Permukiman tradisional Madura, sebagai wadah bagi berlangsungnya proses bermukim, maka ia
merupakan wadah bagi berlangsungnya kehidupansosial-kultural masyarakat Madura. Karenanya, ia akan mencerminkan semua hal yang terkait dengan aktifitas ritual sosial dan budaya penghuninya.
Melalui kajian terhadap buku tentang carok dari Dr.A.Latief Wiyata (2002), ingin dipahami bagaimana pengaruh aktifitas carok, sebagai salah satu aktifitas ritual sosial dan budaya tradisional, dalam permukiman tradisional Madura, secara arsitektural.
PENGARUH TINDAK KEKERASAN DAN
PERILAKU AGRESIF TERHADAP ARSITEKTUR
Berbicara mengenai arsitektur, niscaya akan terkait dengan ruang. Ruang menjelma dalam
berbagai pola dan tatanan, yang dikelola dan disusun oleh arsitektur (Lawson, 2001:6). Sehingga, terlihat hubungan yang erat antara arsitektur dan ruang.Hubungan tersebut tidak sesederhana seperti tampaknya, namun keberadaannya tak terelakkan. Isi ruang, merujuk pada manusia sebagai pemilik dan/atau pemakai ruang tersebut. Seperti hubungan antara arsitektur dan ruang, maka hubungan antara ruang dan manusia juga tak terelakkan. Baik dari segi fisik, sosial maupun psikologi. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka dalam penggunaan ruang, ia tidak sendiri, tetapi berkelompok.
Dalam psikologi-sosial, Breakwell (1997) menengarai bahwa struktur geografi dan bentukan
arsitektur dari suatu ruang, merupakan dua sub-faktor dari faktor interaksi yang dapat menjadi pemicu bagi suatu tindak kekerasan. Faktor lainnya adalah lokasi; waktu dan peristiwa; jumlah orang yang hadir; dan kwalitas interaksi antara orang-orang tersebut. Selain itu, lingkungan terbangun juga dapat menjadi target dari tindak kekerasan sedangkan kerusakan yang terjadi pada lingkungan terbangun, merupakan tujuan dari aktifitas tersebut. Nan Ellin (1997) dan Kim
Dovey (1999) telah membuktikan bahwa secara arsitektural, bangunan dan lingkungan dapat menjadi tidak hanya penyebab tetapi juga target dari adanya kerusuhan pada suatu konflik. Pada penelitian tentang kekerasan di perkotaan karena konflik etnis, dengan studi kasus konflik etnis di Sampit, Hastijanti (2004), menyimpulkan bahwa ternyata arsitektur mempunyai peran dalam suatu peristiwa kerusuhan. Disini, arsitektur tidak hanya menjadi, pemicu dan target dari perilaku agresif pelaku tindak kekerasan pada peristiwa kerusuhan, tetapi juga menjadi pengarah dan wadah bagi perilaku agresif tersebut.
METODE PENELITIAN
Kajian yang akan dilakukan, merupakan kajian kritis terhadap wacana yang terkait dengan ritual
carok, dalam konteks sosial-budaya; sosial-ekonomis; dan historis. Wacana yang dimaksud adalah berupa wacana tulisan dengan judul “Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura”, yang merupakan hasil penelitian etnografis yang mendalam dari Dr.A.Latief Wiyata (2002). Menurut Laine Berman1 Teori yang dianut oleh analisis wacana (dari segi antropologis linguistik dan analisis wacana kritis) menegaskan bahwa bahasa adalah sumber budaya dan wacana adalah praktis budaya. Melalui bahasa, budaya diciptakan, diberi arti,dipelajari, dibentuk, dan direproduksi. Melalui bahasa kita menegakkan hubungan antara sistembudaya dan berbagai bentuk tatanan sosial. Kita juga bisa melihat secara langsung keberadaan (posisi)
sekelompok manusia di dalam tatanan sosial tersebut, dan pengertian mereka terhadap hunia/lingkungan sekelilingnya. Karenanya, dirasa tepat untuk menerapkan analisis wacana kritis dalam konteks sosioarsitektur (etno-arsitektur) untuk mencapai tujuan dari kajian ini.
Sebagai tahap awal dalam strategi kajian, dilakukan pembacaan teliti terhadap buku terkait, untuk kemudian dilakukan pemilahan terhadap data arsitektural yang ada. Yaitu, dengan mencari bentukan-bentukan arsitektur yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan ritual
carok. Prioritas kajian adalah pada bentukanarsitektur yang merupakan elemen dan sub elemen
permukiman tradisional Madura, tanpa mengesampingkan elemen dan sub elemen non-tradisional permukiman Madura. Pada akhirnya, dilakukan diskusi dan pembahasan untuk memahami pengaruh ritual carok terhadap permukiman tradisional Madura.
Untuk mendapatkan variable elemen permukiman yang dimaksud, digunakan pemahaman
terhadap elemen dan sub elemen permukiman tradisional yang terangkai secara struktural sebagai suatu village structure yang dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss (1963) dalam Structural Anthropology. Elemen fisik dari village structure adalah rumah, kelompok rumah dan bangunan lain, serta ruang luar (jalan, halaman, lapangan) penunjang berlangsungnya ritual budaya setempat. Dengan demikian, maka, kajian yang akan dilakukan, difokuskan pada elemen dan sub elemen fisik tersebut.
RITUAL CAROK
Diterangkan bahwa carok merupakan institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura
yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan pendidikan. Tetapi, selain itu, pada dasarnya juga terdapat pengaruh dari faktor politik, yaitu lemahnya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat. Sehingga, masyarakat Madura memilih melakukan carok, karena hal ini dianggap lebih memenuhi rasa keadilan mereka. Dengan kata lain carok juga merupakan kekurangmampuan para pelaku carok mengekspresikan budi bahasa, oleh karena mereka lebih mengedepankan perilakuperilaku agresif secara fisik untuk menghilangkan nyawa orang-orang yang dianggap musuh, sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi (h.231).
Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan
harga diri – terutama gangguan terhadap istri (perempuan) – yang menyebabkan orang Madura
malo. Dalam konteks ini, carok sebagai institusionalisasi kekerasan mencerminkan monopoli kekuasaan suami (laki-laki) terhadap istri (perempuan). Monopoli ini antara lain ditandai oleh adanya perlindungan secara berlebihan (over protection) terhadap istri (perempuan) seperti tampak pada pola permukiman taneyan lanjang, tata cara penerimaan tamu (khususnya laki-laki), cara berpakaian dan
Carok, juga dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi
sebagai orang jago dalam lingkungan komunitas
tindakan kekerasan berikutnya. Dalam konteks ini, carok bukan merupakan cara penyelesaian konflik melainkan lebih merupakan proses reproduksi kekerasan yang akan selalu menimbulkan tindakan – tindakan kekerasan baru (carok turunan) (h.233).
Ada 2 jenis cara carok (h.100). Yang pertama
dengan sengaja mendatangi rumah musuh untuk menantangnya. Orang yang ngonggai pasti memiliki keberanian yang luar biasa dan persiapan yang matang. Oleh karena itu, cara ini lebih dihargai daripada cara kedua, yaitu nyelep. Nyelep, yaitu melakukan carok dengan cara mencari kelengahan musuh dan menyerang secara tiba-tiba dari arah
Kasus-kasus carok, dari data yang diperoleh,
terhadap istri. Selain itu juga ada yang berlatar belakang masalah salah paham (16,9%); masalah
tanah/warisan (6,7%); masalah utang piutang (9,2%); dan masalah lain di luar itu, seperti melanggar kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan sebagainya
Persiapan untuk melakukan carok, termasuk
tampeng sereng, dan banda (h.189). Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan diri secara fisik dan mental.
Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda).
ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-mantra
biaya hidup sanak keluarga (istri dan anak) yang
Untuk
Tanggapan keluarga pemenang carok, pada
umumnya membenarkan alasan carok itu dilakukan
dan merasa bangga (h.222). Sedangkan semua
keluarga korban carok menaruh dendam kepada si
pembunuh, dan dendam ini serasa wajib untuk
dilampiaskan/dibalaskan oleh pihak keluarga lainnya
yang terikat dalam suatu sistem kekerabatan.
Terutama taretan dalem. Jika pelaku lebih dari 1
orang, maka pasti pelaku carok dibantu oleh taretan
dalem. Jika terjadi carok balasan oleh pihak yang
kalah terhadap pihak yang menang, kemungkinan
yang akan melaksanakan itu pertama adalah orang
tua. Jika tidak mampu, maka kemungkinan lain
adalah saudara kandung atau sepupu. (hal:199).
Ikatan kekerabatan antara sesama anggota keluarga,
lebih erat dari garis keturunan ayah, sehungga
cenderung mendominasi. Dalam konsep kekerabatan
orang Madura, hubungan persaudaraan mencakup
sampai empat generasi ke atas dan ke bawah dari ego
(skema 1) (h.52).
Skema 1: Kategori Kerabat
Sumber: Wiyata, A.Latief W. (2002:54)
ELEMEN PERMUKIMAN TRADISIONAL
MADURA, YANG TERKAIT DENGAN
RITUAL CAROK
a. Kampong Meji
Pada lokasi kegiatan penelitian di daerah
Bangkalan, ditemukan banyak permukiman yang
disebut kampong meji, yaitu kumpulan atau kelompok
permukiman penduduk desa yang satu sama
lainnya terisolasi (h.39). Jarak antara satu permukiman
dengan permukiman lainnya sekitar satu
sampai dua kilometre. Keterisolasian kelompok
permukiman ini menjadi semakin nyata oleh adanya
pagar keliling dari bambo yang sengaja ditanam.
Antara kelompok permukiman yang satu dengan
yang lain biasanya hanya dihubungkan oleh jalan
desa atau jalan setapak. Pada setiap desa, khususnya
di kawasan luar kota, biasanya dapat ditemukan
antara lima sampai sepuluh kampong meji. Makin
luas dan jauh desa tersebut dari pusat kota (kabupaten
atau kecamatan), maka akan semakin banyak jumlah
kampong meji.
Setiap permukiman kampong meji biasanya
terdiri dari empat sampai delapan rumah yang
dibangun dalam bentuk memanjang, membujur dari
Barat ke Timur, dan selalu menghadap ke Selatan
(h.40). Jika jumlah rumah lebih dari delapan – karena
sempitnya lahan – maka deretan rumah biasanya
dibangun dalam bentuk melingkar. Masing-masing
rumah bisa ditempati lebih dari satu keluarga, yaitu
pihak orang tua ditambah keluarga anak perempuan
mereka yang telah berumah tangga.
Konsekwensi sosial kampong meji terutama
adalah solidaritas antar penghuni manjadi sangat kuat
(h.41). Sehingga, pelecehan harga diri terhadap satu
anggota keluarga akan dimaknai sebagai pelecehan
terhadap semua keluarga. Sebaliknya, dalam lingkup
yang lebih luas, ikatan solidaritas antara sesama
penduduk desa cenderung rendah. Ini menyebabkan
semakin besar peluang terjadinya disintegrasi sosial
atau konflik, dan indikasi bahwa kondisi sosial di
pedesaan Madura sejak dahulu tidak memberikan
rasa aman bagi penduduknya. Dan carok merupakan
hal yang sangat potensial.
Indikasi adanya kondisi sosial yang tidak aman,
juga terlihat pada semua bentuk arsitektur rumah
tradisional yang hanya memiliki satu pintu bagian
depan, sehingga tidak ada jalan lain bagi keluar
masuk. Bahkan untuk menuju ke dapur yang
letaknya di depan rumah, juga hanya melalui pintu
tersebut. Posisi pintu selalu ditempatkan di bagian
Selatan. Oleh karena posisi tidur orang Madura selalu
membujur Utara – Selatan, dan menempatkan kepala
di arah Utara seperti layaknya orang mati ketika
dikuburkan, maka hal ini berarti pada saat tidur pun,
orang Madura selalu dapat mengawasi pintu rumahnya.
Ini disimpulkan, sebagai suatu realitas budaya
yang dapat dimaknai bahwa setiap saat, orang
Madura tetap selalu waspada terhadap keamanan
lingkungannya.
Dalam kasus terjadinya carok, sub elemen dari
kampong meji yang terkait langsung dengan ritual
ini, penjelasannya berhubungan dengan cara melakukan
carok. Yang pertama adalah dengan jalan nyelep,
yaitu menyerang secara tiba-tiba dari belakang atau
dari samping, dan yang kedua, ngonggai, menantang
langsung dengan datang ke rumah pelaku carok
lainnya. Sehingga, disini terlihat adanya keterkaitan
aktivitas carok dengan ‘jalan’, utamanya pada
peristiwa nyelep, yang terjadi:
1. Di perempatan jalan. Seringkali juga pertemuan
antara lintasan kereta api dengan jalan umum
(hal.115; hal.118).
2. Di jalan umum/jalan desa (hal.131; hal:143)
Selain itu, juga halaman, jalan maupun
lapangan tempat berlangsungnya remo, utamanya
remo carok. Tatanan arena dalam penyelenggaraan
remo, juga spesifik, karena untuk mencegah
terjadinya carok spontan (gambar 1). Ini bisa dilihat
dari adanya tempat penitipan senjata tajam yang
selalu ada di lokasi.
Gambar 1. Tatanan arena dalam penyelenggaraan remo
Sumber: Wiyata, A.Latief (2002:77)
b. Tanean Lanjang
Selain kampong meji, ada pola permukiman
tanean lanjang (h.42). Apabila dilihat dari sejarah
dan susunan keluarga yang bermukim di dalamnya,
tanean lanjang hanya dibangun oleh suatu keluarga
yang memiliki banyak anak perempuan. Dalam
sistem perkawinan, tanean lanjang mencerminkan
kombinasi antara uksorilokal dan matrilokal atau
uxorimatrilocal. Artinya, anak perempuan yang telah
menikah tetap tinggal di pekarangan orang tuanya,
sementara anak lelaki yang sudah menikah pindah ke
pekarangan istri atau mertuanya. Selain itu, untuk
membangun suatu pola permukiman tanean lanjang
hanya dapat dilakukan oleh keluarga yang mampu
secara ekonomi. Oleh karena itu, berbeda dengan
kampong meji, jumlah tanean lanjang dalam satu
desa biasanya tidak lebih dari tiga atau bahkan bisa
jadi tidak terdapat satu pun. Memperhatikan struktur
formasi dan dasar pembentukan pola permukiman
tanean lanjang, tampak jelas bahwa dalam ideologi
keluarga Madura, anak perempuan memperoleh
perhatian dan proteksi secara khusus. Secara cultural,
tiap orang tua mempunyai kewajiban membuatkan
satu rumah bagi setiap anak perempuan yang
dilahirkan (h.44).
Setiap tanean, punya langgar atau surau di
ujung halaman bagian Barat sebagai simbolisasi
lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang Islam
ketika melaksanakan ibadah sholat. Bangunan ini,
selain punya fungsi yang bermakna religiusitas,
secara kultural juga memiliki fungsi sebagai tempat
menerima semua tamu laki-laki. Tujuan utama
menempatkan semua tamu laki-laki di surau adalah
untuk mencegah kemungkinan terjadinya perilaku
negatif bernuansa seksualitas akibat adanya pertemuan
antara tamu laki-laki dengan anggota keluarga
perempuan dari pihak tuan rumah (h.45).
Dalam kasus terjadinya carok, sub elemen dari
tanean lanjang yang terkait langsung adalah: tanean
itu sendiri, langgar, rumah tinggal dan pagar.
Tanean para pelaku carok yang kalah, digunakan
sebagai tempat dikuburnya korban carok yang kalah
(h.232). Pelaku carok yang mati, langsung dikuburkan
di tempat penguburan umum oleh sanak
keluarganya sebagaimana layaknya penguburan
orang mati bukan karena carok. Akan tetapi, jika
korban tersebut termasuk oreng jago, tempat
penguburannya tidak di tempat penguburan umum,
melainkan di sekitar rumah tinggalnya (h.210).
Alasannya, selain merasa malu kepada tetangga
karena kalah carok, juga dimaksudkan agar sanak
keluarga tetap ingat akan peristiwa carok itu.
Keluarga juga akan tetap menyimpan benda-benda
lain yang digunakan dalam pelaksanaan carok,
seperti pakaian dan senjata yang tetap dibiarkan
berlumuran darah, yang dimaksudkan untuk
melestarikan dendam pada anak cucu (h.215). Selain
itu, tanean, juga sebagai wadah untuk melakukan
carok yang dilakukan dengan cara ngonggai.
Langgar digunakan untuk mencegah terjadinya
carok. (Ruang-ruang di dalam) Rumah tinggal, juga
merupakan wadah bagi berlangsungnya carok
(h.148), yang juga dilakukan dengan cara ngonggai.
Pagar luar (biasanya dari tanaman) tanean lanjang,
merupakan batas terluar bagi istri untuk melakukan
kontak dengan lelaki lain. Sehingga disini pagar bisa
diartikan tidak hanya merupakan batas fisik, tetapi
juga batas sosial-budaya yang dapat mencegah atau
bisa juga memicu terjadinya carok .
c. Unit usaha kerajinan logam (pandai besi) dan
Pasar Desa
Disamping pertanian, aktivitas-aktivitas di
bidang usaha kerajinan merupakan sumber pendapatan
alternatif. Aktivitas di bidang usaha kerajinan,
khususnya berupa kerjinan pembuatan senjata tajam
cukup menonjol (h.36). Menurut data yang diambil
dari Bangkalan Dalam Angka 1994, selama tahun
itu, terdapat 139 unit usaha kerajinan logam atau
pandai besi yang antara lain memproduksi senjata
tajam. Di Beberapa pasar desa (ibu kota kecamatan),
setiap hari pasaran selalu terdapat beberapa pedagang
yang secara khusus menjual hasil usaha kerajinan
tersebut. Setiap pedagang senjata tajam selain
menggelar berbagai jenis senjata tajam yang biasa
digunakan untuk kegiatan pertanian dan rumah
tangga, juga menyediakan sekita 10–15 celurit yang
biasa digunakan untuk carok. Jenis celurit yang
paling popular adalah are’ takabuwan. Selain itu ada
pula yang disebut dangosok, tekos bu-ambu, lancor,
bulu ajam, kembang turi, monteng, sekken, lading
pangabisan, calo’, birang, koner, larkang, dan
tombak.
Celurit untuk carok, selalu ditaruh secara
tersembunyi di balik tempat penjualan. Hal ini
dimaksudkan agar mereka terhindar dari operasi
yang biasa dilakukan oleh aparat kepolisian.
Meskipun demikian, orang yang memerlukan celurit
itu dengan mudah membelinya setelah berbisik-bisik
dengan pihak pedagang (h.37).
Jika pada satu pasar desa, setiap hari pasaran,
terdapat 10 orang pedagang senjata tajam, maka
berarti pada saat itu tersedia 100-150 celurit khusus
untuk kepentingan carok. Oleh karena hari pasaran
berlangsung dua hari dalam seminggu, berarti selama
seminggu akan tersedia 200-300 celurit. Di seluruh
Kabupaten Bangkalan, terdapat 18 wilayah kecamatan.
Berarti, dalam satu minggu terdapat sekitar
3.600 – 5.400 celurit. Menurut pengakuan beberapa
pedagang, mereka setiap hari pasaran, dapat menjual
rata-rata antara dua atau tiga celurit. Sehingga, setiap
minggunya akan terjual sekitar 40–60 celurit untuk
satu pasar, atau 720–1040 celurit untuk se-Kabupaten
Bangkalan. Ini mengindikasikan bahwa carok di
Madura, khususnya di daerah penelitian, disimpulkan,
bukan lagi suatu kemungkinan tetapi dapat
dikatakan sebagai keniscayaan (h.38).
d. Pondok Pesantren
Masyarakat Madura mempunyai stratifikasi
sosial yang berdasarkan genealogis (keturunan) dan
berdasarkan dimensi agama. Untuk stratifikasi
berdasarkan genealogis, mereka mengenal parjaji
(atas), ponggaba (menengah) dan oreng dume’/oreng
kene’ (bawah). Sedangkan untuk stratifikasi berdasarkan
dimensi agama, dikenal santre (santri) dan
banne santre (bukan santri) (h.45). Kelompok santre
bisa terdiri dari parjaji dan oreng kene’, begitu pula
dengan kelompok banne santre. Dalam konteks ini,
kiai (keyae) merupakan kelompok masyarakat yang
berada di lapisan sosial atas, sedangkan santre di
lapisan bawah. Diantara keduanya, terdapat
bindarah, yang dianggap sebagai kelompok lapisan
menengah. Keyae, menunjuk kepada orang-orang
yang dikenal sebagai pemuka agama atau ulama
karena menguasai ilmu agama Islam. Peranan dan
fungsinya selain sebagai pembina umat, juga disebut
sebagai penerus para nabi dalam mengajarkan ilmuilmu
agama kepada santri dalam suatu lembaga
pondok pesantren (h.47).
Lingkungan pondok pesantren, merupakan
suatu unit komunitas kecil yang didalamnya sudah
tersedia fasilitas-fasilitas serta prasarana dan sarana,
baik untuk kehidupan sosial maupun keagamaan.
Setiap saat, keyae selalu mendapat kunjungan orangorang,
baik dari dalam lingkungan desa setempat
maupun dari wilayah lain, termasuk dari luar
Madura. Umumnya, mereka meminta berkah untuk
keselamatan. Bagi para (calon) pelaku carok, selain
minta “restu”, juga meminta “pagar diri”(dimantrai)
dan minta azimat untuk keselamatan dan kekebalan
(keseluruhan aktifitas itu disebut nyabis). Dalam
konteks carok, peranan para keyae cukup dominan
utamanya jika menyangkut persoalan pelecehan
kehormatan istri (h.48).
ELEMEN PERMUKIMAN NONTRADISIONAL
MADURA, YANG TERKAIT
DENGAN RITUAL CAROK
Kantor Polisi dan Penjara
Setelah carok berakhir, biasanya pelaku yang
menang langsung menuju ke kantor polisi terdekat.
Maksud dan tujuan utamanya adalah untuk meminta
perlindungan dari kemungkinan terjadinya serangan
balasan oleh pihak keluarga korban (h.209). Pelaku
carok tersebut, selanjutnya ditahan guna kepentingan
proses penyidikan. Dalam proses hukum ini, dikenal
upaya nabang (h.208), yaitu merekayasa proses
peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang
kepada oknum–oknum aparat peradilan agar
hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa
carok dengan orang lain. Dan proses ini dimulai saat
ia telah melaporkan diri ke kantor polisi (h.215).
Tujuan upaya ini adalah meringankan hukuman
(menjadi kurang dari 5 tahun) dan merekayasa
pelaku carok, dalam arti siapa yang harus
bertanggung jawab dalam menjalani hukuman
penjara. Tujuan ini dalam realitasnya adalah
mengganti pelaku carok dengan orang lain, biasanya
oleh saudara atau kerabatnya (h.216).
PERAN ELEMEN PERMUKIMAN DALAM
RITUAL CAROK
Dari data tentang bangunan-bangunan yang
terkait dengan pelaksanaan ritual carok, didapat
klasifikasi berdasarkan urutan ritual carok.
Bangunan-bangunan yang termasuk dalam unit
usaha kerajinan logam/pande besi dan pasar desa,
merupakan elemen permukiman yang terkait dengan
pra-rencana ritual carok. Sedangkan kampong meji,
tanean lanjang dan pondok pesantren, merupakan
elemen permukiman yang diperlukan pada saat
persiapan dan pelaksanaan carok. Selanjutnya, kantor
polisi dan penjara, yang dalam hal ini merupakan
elemen non tradisional dari permukiman Madura,
merupaka elemen yang terkait dengan pasca ritual
carok.
Urutan pelaksanaan ritual carok, juga menjelaskan
tentang peran elemen-elemen permukiman
dalam aktifitas ini (gambar 2). Elemen Permukiman
yang secara tidak langsung terkait dengan ritual
carok adalah bangunan-bangunan pada unit kerajinan
logam / pandai besi dan pasar desa (tradisional), yang
dapat disimpulkan sebagai pendukung terjadinya
ritual carok; serta kantor polisi dan penjara (elemen
non-tradisional), yang dapat disimpulkan sebagai
pencegah terjadinya ritual carok. Sedangkan elemen
permukiman yang terkait langsung dengan ritual
carok adalah kampong meji, tanean lanjang dan
pondok pesantren.
Kampong meji, selain sebagai tempat berlangsungnya
carok, juga merupakan institusi sosial yang
mendukung terjadinya ritual carok, dengan adanya
pengakuan dari masyarakat kampong tersebut
terhadap pemenang carok (dianggap sebagai oreng
jago). Tanean lanjang, merupakan tempat berlangsungnya
dan tempat pelestari ritual carok (gambar 2).
Selain itu, ia juga merupakan institusi sosial pendukung
terjadinya carok, karena, selain pengakuan
oreng jago dari keluarga se-tanean, maka keluarga
tersebut juga merupakan institusi sosial yang
mendukung terjadinya aktifitas nabang. Pondok
pesantren, yang merupakan representasi eksistensi
keyae, mendukung terjadinya aktifitas nyabis,
sebagai syarat pelaksanaan ritual carok.
Dari sini kemudian, terlihat peran tanean
(halaman di tengah) sebagai elemen ruang paling
provokative dalam ritual carok. Bila tanean dilihat
sebagai pusat ruang yang ada, maka kita akan
melihat bahwa bangunan disekelilingnya adalah
batas ruang. Dan kemudian kita melihat adanya batas
ruang yang berlapis-lapis pada pola permukiman ini,
yaitu:
Lapis pertama adalah bangunan-bangunan rumah
tinggal – musholla – dapur;
Lapis kedua adalah bangunan-bangunan kandang
– halaman belakang rumah;
Lapis ketiga adalah pagar pembatas (biasanya
berupa tanaman/pagar hidup).
Ini membuktikan bahwa pola permukiman tanean
lanjang merupakan pola permukiman yang digunakan sebagai tempat bertahan (defensible space). Sehingga, bisa dibaca bahwa keadaan lingkungan sekitar permukiman ini dianggap ‘tidak aman’ oleh penghuni tanean lanjang.
Gambar 2. Analisa terhadap tanean lanjang.
Sumber: hasil analisa
KESIMPULAN
Ritual carok, yang merupakan institusionalisasi
kekerasan dalam masyarakat Madura dan memiliki
relasi sangat kuat dengan faktor budaya, ternyata
membentuk suatu ikatan yang kuat diantara elemenelemen
permukimannya, utamanya pada elemen
permukiman tradisional Madura. Berdasarkan ritual
carok, maka elemen permukiman yang termasuk
dalam elemen permukiman tradisional Madura
(Madurese village structure) tidak hanya tanean
lanjang, tetapi juga kampong meji, pondok pesantren,
unit kerajinan logam, dan pasar desa. Kwalitas
intensitas pengaruh ritual carok terhadap elemenelemen
permukiman tradisional Madura tersebut
sangat besar. Sehingga kehadiran serta keberadaan /
eksistensi seluruh elemen permukiman tradisional
pendukung ritual carok, berpotensi untuk memicu –
mewadahi–melestarikan tradisi kekerasan masyarakat
Madura. Melalui kajian ini, pada akhirnya didapat
temuan lain, terkait adanya pengaruh kekerasan dan
tindakan agresif, terhadap arsitektur, utamanya
arsitektur tradisional yaitu arsitektur tradisional
sebagai pelestari dari tradisi ritual kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Breakwell, Glynis M., Coping with Aggressive
Behaviour, The British Psychological Society,
Dovey, Kim, Framing Places. Mediating Power in
Built Form, Routledge,
Ellin,
Fear and Vice Versa’ dalam Architecture of
Fear. Ed: Ellin, Nan,
Press,
Hastijanti, Retno, Understanding The Role Of
Architecture In The Riots Of Ethnic Conflict,
Case Study: Sampit ethnic conflict, Central
Environment, Department of Architecture,
Faculty of Civil Engineering and Planning,
Vol.2.no.3, ITS,
Lawson,
Architectural Press, Oxfort, 2001.
Wiyata, A.Latief, Carok, Konflik Kekerasan dan
Harga Diri Orang Madura, LkiS Yogyakarta,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar