November 21, 2008

PLTN Madura dan 'Keganjilan' Penelitian

Surya Online, Senin, 20 September 2004


PLTN Madura dan 'Keganjilan' Penelitian


Oleh Amirullah



Kebocoran reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Mihama di Prefektur Fukui, Jepang, bulan lalu mengindikasikan bahwa pemanfaatan energi atom bagi umat manusia secara damai masih belum sepenuhnya aman. Akibat kecelakaan ini ternyata cukup fatal, karena telah menyebabkan empat korban tewas (Kompas, 10/8/2004).

Ironisnya kebocoran ini terjadi di sebuah negara yang sebelumnya dikenal sudah sangat maju dan memiliki teknologi pemanfaatan nuklir tercanggih di Asia, bahkan di dunia. Menjadi aneh kemudian jika Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) merencanakan membangun PLTN di Madura. Bahkan dalam rangka mengonkretkan niat ini, BATAN sudah melaksanakan kerja sama penelitian melibatkan sejumlah perguruan tinggi (PT).

PLTN Madura diestimasikan akan dioperasikan pada 2015. Hal ini terkait dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia melalui Batan dengan KAERI (Korean Atomic Energy Research Institute) Korea Selatan pada 10 Oktober 2001. PLTN Madura rencananya akan dibangun di Kecamatan Sokabanah, Ketapang (Kabupaten Sampang) atau Pasongsongan (Kabupaten Sumenep). Dalam rangka sosialisasi, BATAN telah menggandeng Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Brawijaya (LPM Unibraw) dan delapan dosen dari empat perguruan tinggi di Madura, yaitu Universitas Trunojoyo (Unijoyo) Bangkalan, STKIP Sampang, Universitas Madura, Pamekasan, dan Universitas Wiraraja, Sumenep. Namun, pada 24 April 2004 lalu, Unijoyo menyatakan menarik diri dari tim tersebut, berkat penolakan disertai aksi mogok makan 13 mahasiswanya.

Konsistensi lain ditunjukkan Dr. A. Latief Wiyata karena berani mempertaruhkan jabatan dengan mengundurkan diri dari Kepala LPPM Unijoyo. Sikap antropolog Madura ini diambil sebagai salah satu bentuk protes terhadap rencana kehadiran PLTN serta keikutsertaan Unijoyo dalam penelitian pengembangan energi nuklir di Madura.


PLTN di Negara Maju

Pembangunan PLTN Madura mungkin dapat menjadi solusi cukup bagus. Salah satunya untuk meminimalisir ketergantungan kebutuhan energi listrik pulau ini melalui Saluran Kabel Transmisi Laut 150 kV Jawa-Madura. Saat ini negara kita sedang berada dalam tahap "uji-coba" pemanfaatan nuklir sebagai sumber daya energi (SDE) alternatif dengan mengambil tempat Madura. Hal ini menjadi aneh, karena "tren" menunjukkan negara-negara maju mulai meninggalkan pemanfaatan SDE ini. Dalam jurnal berjudul Alternative to Economic Globalization-A Better World is Possible-A Report of the International Forum on Globalization (halaman 157) terungkap bahwa beberapa negara industri maju khususnya yang sudah piawai dalam teknologi nuklir dan telah bertahun-tahun mengoperasikan PLTN memutuskan untuk menghentikan pemanfaatan SDE ini, negara-negara tersebut antara lain (Kompas, 12/7/2004):

(1) Italia, seusai terjadi kecelakaan di Chernobyl bekas negara Uni Soviet (sekarang Rusia) memutuskan menutup kelima reaktor nuklir yang dimilikinya antara tahun 1987-1990 melalui suatu referendum (keputusan politik minta persetujuan rakyat). (2) Swedia, melalui referendum tahun 1980 menyatakan akan menutup 12 PLTN yang menghasilkan setengah dari total tenaga listrik yang dibangkitkan. PLTN pertama ditutup pada tahun 2002, sedangkan yang kedua dilakukan pada tahun 2003. Penambahan kapasitas dengan pembangkit baru selanjutnya dilakukan dengan konservasi dan pembangunan pembangkit listrik tenaga angin. (3) Belgia, pada tahun 1999 menyatakan pada periode 2005-2015 akan menutup 7 PLTN yang menghasilkan hampir 60 persen listrik yang dibangkitkan. (4) Belanda, pada tahun 2003 menutup kedua PLTN yang dimiliki. (5) Jerman, pada tahun 2000 menyatakan akan menutup semua PLTN pada tahun 2021, sejumlah 19 pembangkit yang menghasilkan 30 persen kebutuhan listrik nasional negara tersebut. PLTN ini selanjutnya akan digantikan pembangkit bertenaga angin. Bahkan Inggris, sebagai negara pioner pembangunan PLTN dan pemilik pembangkit terbanyak yakni Amerika Serikat (AS) sebanyak 109 power station dengan daya terpasang 98 700 MW, paling besar di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir sudah tidak lagi membangun PLTN.

Pertimbangan apa yang mendorong negara Barat mengambil keputusan resign dari PLTN? Set-back perkembangan pembangunan PLTN pada negara industri tidak hanya disebabkan oleh bayangan menakutkan terhadap ancaman kesehatan dan keselamatan masyarakat umum, tetapi juga oleh disebabkan ketidaklayakan ekonominya. Menurut sebuah artikel ilmiah Nuclear Risk: How will Supply stack up to Demand (Kurt Schreiber, RWE Neukem GmbH, 3 Juni 2002), di Berlin Jerman, biaya bahan bakar dari PLTN tipe pressure water reactor (PWR) atau reaktor air tekan kurang lebih berada pada angka 0,93-1,13 sen euro/kWh atau berkisar 1,12-1,36 sen dolar AS/kWh. Statistik ekonomis menunjukkan pada tingkat harga batubara 22-32 dolar AS per ton (nilai panas 5300 kcal per kg), biaya bahan bakar dari PLTU batu bara berada pada besaran 1,0-1,5 sen dolar AS per kWh.

Tidak hanya itu PLTN juga membutuhkan investasi awal yang tidak murah. Biaya pembangunan PLTN dapat mencapai 2-3 kali biaya pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara. Berdasarkan uraian ini jelas PLTN mahal, sehingga negara industri maju memutuskan meninggalkan penggunaan energi atom dan tidak melanjutkan proyek PLTN melalui sebuah keputusan politik. Langkah ini terpaksa harus dilakukan dalam rangka guna menghindari bahaya ancaman kesehatan dan keselamatan bagi masyarakat luas.


Keganjilan Hasil Penelitian

Jika dari segi kesehatan, keselamatan umum, dan ekonomis PLTN jelas-jelas tidak menguntungkan, cukup ironis jika ada perguruan tinggi di Madura yang "mendukung" pembangunan pembangkit ini dengan ikut terjun langsung sebagai tim peneliti yang disponsori Batan. Hasil penelitian terkait dengan realiasasi PLTN Madura yang terangkum dalam Laporan Akhir Penelitian Tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Unibraw tentang "Penerimaan Masyarakat dan Forum Sosialisasi Hasil Studi Terhadap Penilaian Ekonomi Sistem Energi Nuklir dan Produksi Listrik dan Air Bersih Desalinasi di Madura", ternyata menunjukkan adanya "keganjilan".

Dalam laporan ini (tabel 33, halaman 117) tertulis bahwa 65, 83 persen masyarakat Madura menjawab tidak mungkin PLTN dibangun di Madura, 13,33 persen menjawab tidak tahu, dan 20, 83 persen sisanya menjawab mungkin. Pertanyaannya sekarang, mengapa materi pertanyaan tidak terfokus kepada penerimaan riil PLTN oleh masyarakat Madura? Misalnya dengan mengajukan pertanyaan apakah Anda (orang Madura) setuju, tidak-setuju, atau ragu-ragu (tidak tahu) Madura dibangun PLTN, berikut alasannya. Dan kenyataannya, dalam laporan penelitian ini tidak ada tabel yang memuat parameter tersebut. Dengan model pertanyaan "versi" peneliti, nampak ada upaya "kamuflase" opini dan pembenaran sistematis bahwa rakyat Madura memang mendukung PLTN.

Jika 20,83 persen masyarakat Madura menjawab mungkin PLTN dibangun di Madura, apakah secara otomatis yang 20,83 persen ini setuju (mendukung)? Atau jika 65,83 menyatakan tidak mungkin, apakah mereka pasti tidak setuju (menolak)? Belum tentu juga, karena hasil penelitian ini tidak ada yang mengatur hasil tersebut (berapa persen yang setuju, tidak setuju, atau ragu-ragu).

Dalam penelitian ini (halaman 156) juga diuraikan bahwa proses pembangunan PLTN-Dasalinasi di Indonesia dilakukan melalui beberapa tahapan yakni: (1) promosi dan persiapan pembangunan (BATAN), (2) konsultasi dengan DPRD, (3) izin investasi (BKPM), (4) izin lingkungan (AMDAL oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup), (5) izin keselamatan nuklir (BAPETEN), (6) izin kelistrikan dan RKUD (BAPETAL dan PEMDA), (7) izin lokasi (Pemda) dan (8) pemilihan konstruksi (BUMN, Koperasi, Swasta).

Coba kita bandingkan dengan prosedur pembangunan PLTN di negara maju. Menurut Bennet, bekas pejabat International Atomic Energy Agency (IAEA) atau Lembaga Energi Atom International dalam artikelnya yang berjudul Nuclear Power Programmes in Developing Countries: Promotion & Financing, Bulletin IAEA, Vol 29, No 4, 1987, Wina Austria, di negara maju proses pengambilan keputusan yang lazim ditempuh dalam pembangunan proyek PLTN dilakukan melalui tahapan: (1) penyusunan perencanaan, (2) studi kelayakan (feasibility), (3) jajak pendapat penerimaan masyarakat, (4) pembahasan pembiayaan proyek, (5) penyiapan sarana dan tenaga kerja, dan (6) penyusunan kontrak sebelum pembangunan proyek dimulai.

Nah, dari dua tahapan ini, terlihat bahwa pembangunan PLTN di Indonesia khususnya di Madura telah "mengeleminasi" salah satu bagian terpenting yakni pelaksanaan jajak pendapat penerimaan masyarakat. Padahal penerimaan masyarakat (setuju atau tidak setuju) merupakan elemen utama bagi keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan baru. Kalaupun tahapan ini ada, jajak pemdapat penerimaan masyarakat harus didasarkan pada metode yang jelas, dimengerti dan diterima seluruh masyarakat dari segala jenjang pendidikan. Sebab pada penelitian PLTN (halaman 128), reponden penelitian hanya diambil dari masyarakat dengan katagori pendidikan menengah dan tinggi.

Permasalahannya hingga kini, mayoritas penduduk Madura hanya berjenjang pendidikan menengah ke bawah. Disamping itu dampak pembangunan PLTN tentu akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Pulau Garam. Hal penting lain adalah pelaksanaan jajak pendapat harus diawasi agar berjalan secara bebas dan jujur untuk mencegah terjadinya manipulasi suara rakyat.

Paparan penulis di atas menunjukkan bahwa pada kenyataanya PLTN mempunyai mudharat lebih besar dibandingkan manfaatnya. Kalau potensi energi lain dan ramah lingkungan misalnya, angin, solar sel, biomassa, dan ombak masih tersedia secara melimpah. Mengapa Batan harus mengembangkan energi nuklir dan bersikeras mewujudkan PLTN di Madura? Lumrah, jika kemudian ide ini ditentang oleh sebagian besar masyarakat Madura khususnya mahasiswa, LSM dan kalangan legislatif (DPRD Bangkalan). Sayangnya pihak yang seharusnya akan terkait langsung dengan kehadiran PLTN yakni empat pemerintah kabupaten (pemkab) di Madura masih belum begitu "antusias" menyikapi "skenario" BATAN tersebut. Apakah mereka menerima atau menolak PLTN? (*)


Amirullah, Pengajar Sistem Tenaga Listrik, Jurusan Teknik Elektro Universitas Bhayangkara Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar