November 17, 2008

PROSES DAN PROSPEK EVOLUTIF ADAPTASI BUDAYA MADURA DI BUMI KALIMANTAN DALAM KERANGKA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA INDONESIA

PROSES DAN PROSPEK EVOLUTIF
ADAPTASI BUDAYA MADURA DI BUMI KALIMANTAN
DALAM KERANGKA PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA INDONESIA



Oleh: A. Latief Wiyata
Universitas Jember





Belum kering air mata kesedihan keluarga orang-orang Madura korban pembantaian pada tragedi Sambas (Kalimantan Barat, 1996-1997), tragedi Sampit (Kalimantan Tengah) meletus di minggu ketiga Februari 2001. Meskipun banyak versi tentang jumlah korban – konon ada yang menyebut telah mencapai angka ribuan – yang terdiri tidak hanya kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan dan anak-anak. Mereka dibantai oleh orang-orang Dayak secara kejam dan biadab. Sudah pasti tragedi ini tidak boleh terulang kembali bukan hanya dalam konteks mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan lebih daripada itu karena tragedi tersebut sudah berada di luar jangkuan nalar setiap manusia yang masih memiliki hati nurani dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.

Sebagaimana tragedi Sambas, tragedi Sampit pada awalnya dipicu oleh konflik individual kemudian tereskalasi menjadi konflik komunal yang pada akhirnya menjadi tindakan kekerasan (communal violence). Ironisnya, dengan adanya tragedi-tragedi ini stereotip negatif orang Madura seperti mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, mudah marah atau suka mekakukan tindakan kekerasankembali diungkit-ungkit oleh banyak kalangan baik para pengamat masalah-masalah sosial budaya maupun para pejabat pemerintahan. Padahal jika mau jujur tidak ada masyarakat mana pun yang steril dari stereotip negatif. Hal ini mudah dipahami oleh karena tidak semua orang dari suatu masyarakat dalam kebudayaan mana pun yang dijamin dapat mengaktualisasikan secara konsisten nilai-nilai budaya yang dianut bersama (shared cultural values) dalam bentuk sikap dan perilaku kesehariannya.

Meskipun demikian, patut disesalkan jika stereotip negatif dari suatu masyarakat tertentu justru sengaja diungkapkan dan dibesar-besarkan sebagai alat justifikasi atau membenarkan dan mengunggulkan sikap dan perilaku masyarakat yang lain (etnosentrisme). Jika hal ini terjadi, dalam konteks upaya rekonsiliasi terhadap setiap bentuk konflik – yang dianggap bernuansa etnisitas – akan menjadi sia-sia. Tulisan ini akan mengungkapkan dan mendeskripsikan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura sebagai bahan refleksi bagi orang luar Madura untuk memahami sikap dan perilaku orang Madura secara lebih proporsional dan kontekstual.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di bagian mana pun dari wilayah Negara Kesatuan RI dapat ditemukan orang Madura baik dalam kelompok besar maupun kecil. Hal ini menandakan bahwa daerah tujuan merantau orang Madura mencakup seluruh pelosok tanah air dan telah berlangsung beberapa abad yang lalu. Pada umumnya daerah tujuan utama orang Madura merantau adalah ke pulau Jawa, kemudian ke pulau Kalimantan. Untuk membedakan antara keduanya, oleh orang Madura pulau Kalimantan sering disebut sebagai Jaba Daja (Jawa Utara).

Hal ini mudah dipahami oleh karena secara geografis pulau Kalimatan berada di sebelah utara pulau Madura. Ada kalanya juga orang Madura menyebut pulau Jawa sebagai Jaba Laok (Jawa Selatan). Sebagaimana pada umumnya perantau, tujuan utama merantau orang Madura adalah berdimensi ekonomik yaitu untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Pada perkembangannya (sebagaimana akan diuraikan pada bagian yang lain) tidak luput dari dimensi sosial-budaya.

Jika orang Madura pergi merantau maka yang akan dituju pertama kali adalah sanak keluarganya yang lebih dahulu berada atau bermukim di sana. Sebagai pendatang baru – terutama bagi mereka yang pada dasarnya berasal dari kelompok sosial ekonomi marjinal mereka tetap membutuhkan tempat penyanggah sebelum berhasil meraih penghidupan yang lebih baik. Selain pertimbangan dari faktor sosial ekonomi ini, secara kultural orang Madura mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga dan memelihara ikatan kekerabatan di antara sanak keluarganya di mana pun mereka berada lebih-lebih di perantauan. Hal ini demi menjaga agar setiap dan sesama anggota keluarga tidak akan kaelangan obur artinya tidak akan berada dalam susana kegelapan sehingga tidak tahu lagi siapa sanak keluarga atau kerabatnya.

Akibat semua ini mudah dipahami apabila pola pemukiman orang-orang Madura di perantauan selalu cenderung mengelompok.. Realitas ini tidak serta merta dapat ditafsirkan dan dimaknai bahwa perantau Madura merupakan kelompok eksklusif – yang enggan menjalin relasi sosial dengan orang dari masyarakat lain. Tersebarnya para perantau Madura di berbagai daerah di Indonesia dalam suasana kehidupan yang rukun dan penuh kedamaian dengan penduduk setempat dalam kurun waktu beberapa generasi membuktikan bahwa proses adaptasi dan integrasi sosial orang Madura di perantauan cukup berhasil.

Kewajiban kultural tersebut semakin mendapat penguatan oleh luasnya cakupan wilayah kerabat (taretan) dalam kehidupan masyarakat Madura. Sebagaimana pada masyarakat di kebudayaan lain, konsep kerabat atau sanak keluarga (taretan) pada masyarakat Madura selain mengacu pada hubungan genealogis juga mengacu pada hubungan perkawinan (taretan ereng). Yang perlu dipahami bahwa bagi masyarakat Madura konsep kerabat mencakup sampai empat keturunan dari ego baik ke atas maupun ke bawah (ascending and descending generations). Semua kerabat ini dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu taretan dalem (kerabat inti atau core kin), taretan semma’ (kerabat dekat atau close kin) dan taretan jau (kerabat jauh atau peripheral kin). Masing-masing kategori mempunyai tingkatan kedekatan atau keakraban yang berbeda: kategori pertama sangat dekat atau akrab, kemudian menjadi lebih longgar pada kategori-kategori berikutnya. Di luar ketiga karegori ini barulah disebut sebagai oreng lowar (orang luar atau “bukan saudara”).

Upaya untuk menjaga dan memelihara ikatan kekerabatan yang dianggap telah mulai longgar atau hampir putus misalnya karena proses perjalanan waktu ditandai juga oleh adanya tradisi melakukan perkawinan antar anggota keluarga atau kin group endogamy. Meskipun demikian, tidak semua kerabat dapat dinikahi karena ada perkawinan antar anggota keluarga yang harus dihindari yaitu antara anak dari saudara laki-laki sekandung (sapopo) atau antara anak dari dua perempuan sekandung (sapopo) yang disebut arompak balli atau tempor balli. Menurut kepercayaan masyarakat Madura jika pernikahan tersebut dilangsungkan maka akan membawa mala petaka bagi yang bersangkutan. Adanya larangan tersebut merupakan kesempatan sangat terbuka bagi orang Madura – termasuk para perantau – untuk melakukan perkawinan dengan orang bukan kerabat atau dengan orang dari masyarakat dan kebudayaan lain. Dalam konteks inilah perantauan orang Madura berdimensi sosial-budaya.

Oleh karena institusi perkawinan yang melahirkan sebuah keluarga pada dasarnya merupakan wujud dari terjalinnya hubungan sosial yang sangat kuat sehingga dapat melampaui batas-batas sosial-budaya suatu masyarakat, maka realitas empirik tentang terjadinya perkawinan silang budaya antara perantau orang Madura dengan penduduk setempat mau tidak mau harus dimaknai bahwa proses adaptasi dan integrasi sosial mereka dengan penduduk asli telah lama berlangsung dan membawa hasil. Keberhasilan dalam proses adaptasi dan integrasi sosial ini tentu saja sangat berkaitan secara signifikan dengan salah satu nilai sosial-budaya Madura lainnya yang menuntut setiap orang Madura selalu dapat menempatkan dirinya dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan sosial-budaya manapun sebagaimana tercermin dalam ungkapan lakona lakone, kennengnga kennengnge. Arti harafiah ungkapan ini adalah: kerjakan dengan baik apa yang menjadi pekerjaanmu, dan tempati dengan baik pula apa yang telah ditetapkan sebagai tempatmu.

Masih dalam kaitannya dengan kekerabatan, bagi masyarakat Madura orang yang sama sekali tidak mempunyai ikatan atau hubungan baik secara genealogis maupun melalui institusi perkawinan dapat juga dianggap sebagai kerabat. Dalam konteks ini berlaku ungkapan oreng daddi taretan. Artinya, orang yang sama sekali tidak mempunyai kedua macam hubungan tersebut akan dianggap dan diperlakukan sebagai kerabat (taretan) – bahkan bisa jadi lebih daripada itu – jika kualitas hubungan sosial yang terjalin benar-benar dilandasi oleh keikhlasan dan ketulusan. Implementasi dari hubungan sosial semacam ini, orang Madura tidak akan segan-segan melakukan apa saja (kalau perlu nyawa pun akan diserahkan) untuk menjaga tetap terpeliharanya relasi sosial yang telah terjalin itu. Sebaliknya, jika terjadi pelecehan harga diri sehingga orang Madura merasa malo maka yang terjadi adalah perlawanan amat keras sekaligus hancurnya hubungan sosial telah dibangun itu

Keberhasilan lain dari perantau Madura secara ekonomik yang ditandai dengan tingkatan kehidupan yang lebih baik daripada rata-rata tingkatan kehidupan penduduk asli sudah secara umum diakui karena keuletan orang Madura dalam mencari nafkah. Keuletan ini merupakan manifestasi dari ungkapan kar-karkar colpe’ yang dipegang teguh oleh orang Madura dalam mencari nafkah. Lebih jelasnya, orang Madura akan selalu berperilaku layaknya seekor ayam yang mencakar-cakar tanah mencari makanan meskipun yang didapat hanya sedikit tapi terus saja dilakukan penuh semangat dan keuletan sampai akhirnya kenyang. Bahkan keuletan saja tidak cukup, orang Madura telah membuktikan dirinya sebagai pelaku ekonomi sangat berani dalam berkompetisi secara terbuka dengan pemodal besar.

Misalnya ketika mereka secara terang-terangan melakukan transaksi bisnis (jual-beli) emas di depan toko emas, atau menjajakan perangko (termasuk amplop dan kertas surat) di kawasan kantor pos dengan rasa percaya diri dan tanpa rasa takut akan menderita kerugian. Padahal kemungkinan barang dagangannya tidak akan laku sangat besar. Lebih daripada itu, etos kerja ini selalu dilandaskan pada semangat religiusitas. Artinya, dalam upaya mencari nafkah orang Madura lebih mengutamakan kualitas (baca: halal) daripada kuantitas yang mengabaikan semangat itu. Realitas sosial-budaya ini tidak selayaknya disikapi dalam bentuk kecemburuan sosial. Bahkan sebaliknya keberhasilan tersebut dapat dijadikan faktor pemicu untuk bersaing secara terbuka dan jujur pula oleh kelompok-kelompok masyarakat lain.

Berdasarkan paparan di atas akhirnya dapat diambil beberapa titik penting bahwa dari sebagian karakteristik sosial-budaya Madura yang tercermin dalam sikap dan perilaku orang Madura pada dasarnya menjadi landasan dan semangat bagi terbentuknya adaptasi dan integrasi sosial dengan orang-orang di luar Madura. Jika terjadi penyimpangan maka hal itu adalah suatu hal yang tidak perlu dijadikan alasan untuk menggeneralisasi sikap dan perilaku negatif semua orang Madura melainkan – sekali lagi – seyogyanya dipahami secara proporsional dan kontekstual sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya Madura.

Deskripsi ini jelas dengan tidak serta merta dan mudah digunakan untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang tercabik-cabik oleh berbagai ragam konflik. Masih diperlukan kesabaran, kearifan dan kemauan untuk kerja keras oleh semua pihak dalam kurun waktu yang tidak pendek. Dengan kata lain, masih diperlukan suatu proses evolutif dan gradual sehingga kedamaian dan keharmonisan hidup setiap orang dari beragam nilai-soaial budaya yang hidup dalam negara kita tercinta ini benar-benar menjadi kenyataan. Semoga.


Jakarta, 19 Maret 2001.


(Telah dipresentasikan di forum “Musyawarah Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan” yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Jakarta 22 Maret 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar