November 18, 2008

Memahami Kekerasan Orang Madura

Suara Merdeka, 28 April 2002

Oleh: Budi Maryono


Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura

(Dr. A. Latief Wiyata)


Memahami Kekerasan Orang Madura


KATA Madura, celurit, dan carok acap kali diucapkan dalam satu kalimat dengan satu tarikan napas. Gambaran yang muncul kemudian tak lain tentu saja kekerasan. Maka stereotipe karakter orang Madura terumuskan: mudah marah, ringan mengayun celurit, dan tak segan melayangkan nyawa orang lain.


Dari sana pula kata carok terdefinisikan sebagai tindak kekerasan berupa perkelahian atau pembunuhan dengan celurit oleh orang Madura terhadap siapa pun dengan alasan apa saja. Asal marah, penduduk Pulau Garam pastilah "main carok" alias main bunuh!


Kenyataannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr A Latief Wiyata dalam buku ini, tidaklah demikian. Bagi orang Madura, carok bukan pembunuhan bukan pula kejahatan. Dan karena itu juga mereka tak pernah menyebut se mennang (yang menang) sebagai pembunuh se kala (yang kalah), apalagi mengutuknya sebagai penjahat yang keji dan tak berperikemanusiaan.


Carok bagi orang Madura adalah penegakan harga diri dan penyelamatan kehormatan. Bahkan pada kasus tertentu, carok adalah wujud tanggung jawab individu dan keluarga Madura dalam mengembalikan pranata sosial/agama ke keadaan semula, setelah dirusak oleh orang lain lewat perbuatan yang melecehkan dan mempermalukan.


Pencetus Utama

Masyarakat Madura mengenal ungkapan atau pepatah ango'an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada menanggung malu).


Realisasi ungkapan itu bukan bunuh diri melainkan keberanian menghadapi risiko mati lewat carok: perkelahian yang mesti berakhir dengan membunuh atau terbunuh, minimal luka sangat parah. Perkelahian dengan hasil luka ringan tak akan disebut carok tapi hanya atokar (pertengkaran biasa), meski diniatkan sebagai carok.


Apa pun latar belakang konflik, pencetus utama carok memang malu tapi bukan sembarang malu.

Dalam bahasa Madura, ada dua kata yang berarti malu namun memiliki makna dan implikasi berbeda, yaitu todus dan malo. Todus adalah rasa malu akibat perbuatan diri sendiri yang melanggar etika kesopanan, sedangkan malo adalah rasa malu akibat pelecehan yang dilakukan oleh orang lain, sehingga yang bersangkutan merasa tada' ajina (tak berharga lagi). Malo itulah yang membuat orang Madura berkeputusan mengambil jalan carok untuk "menyelesaikan" konflik.


Perbuatan apa yang paling melecehkan harga diri dan menimbulkan malo? Gangguan terhadap istri. Menurut catatan A Latief, semua kasus carok selama lima tahun (1990-1994) di daerah penelitiannya (Kabupaten Bangkalan), namun berlaku juga di seluruh Madura, 60,4% bermotif atau berlatar belakang gangguan terhadap istri. Selebihnya karena salah paham (16,9%), tanah/warisan (6,7%), utang-piutang (9,2%), dan lain-lain (6,8%).


Gangguan terhadap istri atau apalagi perselingkuhan memang merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi laki-laki Madura. Berkaitan dengan data itu, penulis buku ini menyitir ungkapan penyair Madura, D Zawawi Imron: "Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya."


Dalam konteks seperti itu, catat Latief, martabat dan kehormatan istri merupakan manifestasi martabat dan kehormatan suami karena istri adalah bantalla pate (landasan kematian). Dalam ungkapan lain, mengganggu istri sama dengan agaja' nyaba atau "bermain-main" dengan nyawa (sendiri).

Dalam konteks seperti itu pula, malo bisa tereskalasi ke wilayah yang lebih luas, yakni keluarga dan masyarakat.


Penuh Persiapan

Sangat jarang carok terjadi secara spontan: bertemu, bertengkar, lalu saling bunuh. Yang sering terjadi, siapa pun yang berniat carok (baik "jagoan" maupun bukan) selalu mempersiapkan diri dengan sangat cermat.


Dari rapat keluarga untuk menentukan sikap, mengasah celurit, menentukan hari dan jam carok, apagar (mencari jimat), sampai mempersiapkan dana nabang (merekayasa proses peradilan dengan menyuap aparat) setelah carok terjadi.


Dalam rangka persiapan itu ada pula remo, tradisi penyelenggaraan pertemuan para jago. Dalam pertemuan itu, setiap anggota remo memberikan sejumlah uang untuk penyelenggara. Jika penyelenggara berencana menggunakan uang yang terkumpul itu untuk dana nabang, maka remo itu disebut remo carok.

Kenyataan tersebut lebih menunjukkan bahwa carok memang mendapat dukungan sosial-budaya. Dan penelitian selama 10 bulan berlandaskan tradisi antropologi serta pendekatan etnografis yang dilakukan oleh A Latief Wiyata makin menegaskan bahwa carok adalah institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan pendidikan.


Berkat pendekatan etnografis itu, rekonstruksi beberapa kasus carok dalam buku ini begitu "berwarna" sehingga tampak sangat nyata. Latief tak hanya bercerita tentang kejadian tapi juga latar belakang peristiwa. Dia tak hanya menunjukkan siapa yang terlibat namun juga bagaimana lingkungan sosial-ekonomi-budaya mereka.


Maka begitu selesai membaca buku ini, kita tidak cuma akan tahu pengertian yang benar tentang carok tapi juga bakal memahami berbagai hal yang menimbulkan atau melahirkan kekerasan orang Madura, termasuk keadaan alam, kependudukan, mata pencaharian, pola permukiman, dan bahkan desain pakaian tradisional.


Yang membuat buku hasil penyuntingan terhadap disertasi ini lebih terasa lengkap dan detail adalah pemuatan fonologi bahasa Madura, data kriminalitas, kutipan KUHP, skets visualisasi peragaan carok, foto jenis-jenis senjata tajam untuk carok, contoh kartu undangan remo, dan glosarium atau daftar beserta makna kosakata Madura.


Buku ini memang berhasil menjawab berbagai pertanyaan pokok tentang carok. Lebih dari itu, memberikan pula beberapa rekomendasi agar penyelesaian konflik dengan kekerasan itu tidak terus-menerus tereproduksi karena dendam berkelanjutan dari generasi ke generasi.

1 komentar:

  1. Selamat ya pak atas blog nya. Sedikit sekali alumni unej yang produktif menulis plus "melek internet".

    Pak Latif, saya mohon izin memuat tulisan bapak ini di web kauje.net.

    Webmaster http://kauje.net

    BalasHapus