November 16, 2008

MADURA PASCA “SURAMADU”

RADAR MADURA
Senin, 10 November 2003.



MADURA PASCA “SURAMADU”



Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura



Sesuai dengan rencana pada tanggal 20 Agustus 2003 yang lalu Presiden RI Megawati Seokarno Putri secara resmi telah mencanangkan pembangunan jembatan Suramadu yang menghubungkan antara Surabaya dengan Madura. Sudah barang tentu momentum ini menambah optimisme semupa pihak (khususnya masyarakat Madura) tentang “impian industrialisasi” yang sudah lebih dari satu dasa warsa dikumandangkan namun selalu tertunda oleh berbagai kendala. Tulisan ini ingin mencoba meprediksikan bagaimana kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat Madura atau dampak-danpak apa saja yang menyertainya setelah jembatan terpanjang di Indonesia ini benar-benar membentang di selat Madura kelak.

Pertama-tama saya ingin mencoba menafsirkan kata “Suramadu” yang telah dipilih sebagai nama jembatan tersebut. Nama ini sudah diketahui secara umum sebagai akronim dari kata Surabaya dan Madura. Akronim ini tidak cukup hanya dipahami sebagai perbedaan nama tempat secara geografis. Namun sangat perlu dan penting memahaminya secara lebih mendalam tentang makna-makna lain yang ada di balik kata Suramadu tersebut. Meskipun harus diakui mungkin ketika akronim tersebut dipilih sebagai nama jembatan belum sempat terlontarkan secara eksplisit atau mungkin juga belum disadari sepenuhnya oleh para pencetusnya tentang makna-makna lainnya yang akan dipaparkan berikut ini.

Dari prespektif ketatabahasaan, kata “Suramadu” sudah jelas mengandung suatu makna relasional antara subyek dan obyek. Sura(baya) sebagai subyek, sedangkan Madu(ra) sebagai obyek. Relasi yang terbentuk itu tentu saja mengandung suatu makna ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam prespektif terori dependensia, relasi tersebut mau tidak mau merujuk pada suatu posisi ketergantungan struktural. Artinya, Surabaya sebagai “subyek” disadari atau tidak harus ditempatkan sebagai wilayah pusat (center area) sedangkan Madura pada posisi sebagai wilayah pinggiran (peripheral area).

Realitas empirik yang selama ini terjadi, Madura baik sebagai suatu unit kesatuan politik, ekonomi, sosial bahkan kebudayaan sangat tergantung pada (paling tidak terpengaruh oleh) Surabaya. Meskipun telah ada Undang-undang No.22/1999 tentang Otonomi Daerah tapi dalam realitas politik yang berlaku Madura tetap berada dalam “kekuasaan” Surabaya sebagai pusat pemerintahan propinsi Jawa Timur. Begitu pula secara ekonomi, ketegantungan Madura terhadap Surabaya tidak dapat dipungkiri. Hampir semua kebutuhan hidup keseharian masih harus dipasok dari Surabaya. Secara sosial-budaya, sudah sulit membedakan antara “gaya hidup” orang Madura dengan orang Surabaya. Padahal secara kultural sebenarnya masih banyak penanda-penanda identitas etnik orang Madura yang dapat menjadi faktor pembeda dengan etnik-etnik lain. Namun semua penanda etnik itu kini telah mulai pudar, dan bahkan sebagian daripadanya telah tidak digunakan lagi.

Apa yang dipaparkan tadi menjadi jelas bahwa Madura selama ini selalu berada pada posisi subordinasi sedangkan Surabaya di posisi superordinasi. Berbagai kajian terhadap pengalaman di berbagai negara (baik di tingkat gobal, nasional, regional, maupun lokal) hubungan relasional dalam prespektif dependensia selalu menguntung pihak pusat (center area), sebaliknya wilayah pinggiran (peripheral area) selalu menjadi obyek sehingga tidak akan pernah mengalami “kemajuan” apa pun.

Dengan telah diresmikannya tiang pancang pembangunan jembatan Surmadu oleh Presden RI Megawati Soekarno Putri beberapa waktu lalu, harapan akan terwujudnya suatu “era industrialisasi” di Madura mulai bergemuruh lagi. Bukan hanya di Madura sendiri, tapi hampir di semua pertemuan baik ilmiah atau tidak, selalu saja ada orang memperbincangkannya. Bahkan ketika saya selama dua minggu yang lalu berada Manila dan Tokyo untuk menghadiri suatu lokakarya (yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan proyek jembatan Suramadu), di sela-sela pembicaraan baik dengan orang Indonesia sendiri atau para pengamat Indonesia di kampus-kampus Tokyo selalu terselip pertanyaan tentang bagaimana kelanjutan pembangunan Suramadu. Secara garis besar saya dapat menangkap ada sementara yang pesimistik sedangkan yang lain sangat optimis jembatan tersebut dapat terealisasi.

Terlepas dari pandangan-pandangan tersebut saya akan mencoba menganilisis berbagai hal sebagaimana disebutkan dalam awal tulisan ini. Jembatan Suramadu jika kelak benar-benar terwujud tentu akan menjadi “tali penghubung” antara Madura dan Surabaya (atau sebaliknya). Melalui jembatan ini tentu saja “jarak gerografis” menjadi kian dekat dibandingkan dengan jalur pelayaran ferry yang selama ini dioperasikan. Pada gilirannya, mobilitas penduduk Madura semakin intens, demikian pula mobilitas perekonomian yang akan masuk ke dan keluar dari Madura.

Namun penting dipertanyakan, apakah kedekatan jarak geografis tadi memang merupakan kebutuhan mayoritas orang Madura? Kalau kita cermati arus migrasi orang Madura setiap hari di pelabuhan Ujung-Kamal memang hampir tidak pernah berhenti selama 24 jam penuh. Dengan terbangunnya jembatan Suramadu apakah intensitas migrasi orang Madura akan kian meningkat secara drastis? Jawabannya bisa ya atau tidak. Ya, jika para migran Madura memang membutuhkan jembatan itu sehingga keberadaan jembatan lebih memudahkan mereka menyeberang ke Jawa. Namun, apakah semua orang Madura bisa memanfaatkan jembatan itu? Tentu saja tidak. Sebagaimana diketahui secara umum, dalam operasionalnya nanti jembatan Suramadu hanya boleh digunakan oleh kendaraan roda empat dengan membayar sejumlah uang (tol). Dalam konteks ini, berarti bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang secara ekonomi memiliki tingkat kehidupan lebih baik yang dapat memanfaatkan jembatas tersebut. Sedangkan kebanyakan orang Madura yang selama ini melakukan migrasi sebagaimana terlihat di pelabuhan Ujung-Kamal adalah mereka yang termasuk golongan bawah yang kemungkinan besar tidak akan memanfaatkan jembatan tersebut. Konon kabarnya, lalu lintas penyebarangan ferry yang selama ini beroperasi antara pelabuhan Ujung-Kamal akan tetap dipertahankan meskipun jembatan Suramadu sudah terwujud.

Dalam konteks jalur perekonomian apakah keberadaan jembatan Suramadu dengan serta merta dapat meningkatkan tingkat kehidupan ekonomi orang Madura? Ini suatu pertanyaan yang harus dipikirkan sejak awal. Memang betul, lalu lintas perekonomian yang akan masuk ke dan ke luar dari Madura akan semakin intensif. Namun, apakah intensitas ini tidak akan mempunyai implikasi semakin kuatnya ketergantungan Madura terhadap Surabaya (ketergantungan pheriperal area terhadap center area)? Sebab, dalam realitasnya perekonomian Madura pada umumnya bertumpu pada kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisional sehingga kemampuan daya saing dalam pasaran (baik tingkat regional, nasional, apalagi internasional) masih sangat rendah sehingga memerlukan banyak persyaratan untuk dapat berkompetisi dengan produk-produk perekonomian daerah lain. Salah satu kendala yang sangat perlu dan penting diperhatikan adalah masalah sumberdaya manusia (SDM) Madura. SDM ini perlu segera dibenahi dan diberdayakan. Mampukah semua pihak berpacu dalam waktu tentang masalah ini sedangkan pembangunan jembatan yang bersifat fisik sudah dapat diperhitungkan secara kongkrit kapan dimulai dan kapan selesainya.

Pembenahan dan pemberdayaan SDM Madura memerlukan suatu semangat, ketulusan, keikhlasan, ketekunan, keuletan, dan kesungguhan dari para pengambil kebijakan (politik) serta semua komponen masyarakat di seluruh Madura. Padahal upaya ini memerlukan proses waktu yang sangat panjang. Dalam konteks ini kita sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika proyek jembatan Suramadu yang direncanakan selesai dalam jangka waktu tiga tau lima tahun dari sekarang tidak dapat “dikejar” percepatannya oleh pembenahan dan pemberdayaan SDM Madura. Jika demikian, tidak terlalu salah jika banyak orang beranggapan (atau terpaksa harus beranggapan) bahwa keberadaan jembatan Suramadu hanya akan dimanfaatkan oleh para pemilik modal yang secara ekonomi sudah siap beroperasi di Madura.

Kalau begitu kapankah orang Madura dapat menikmati “buah” pembangunan jembatan Suramadu? Jawabannya tentu terpulang kepada para pengambil kebijakan baik di tingkat Pusat maupun di tingkat lokal Madura termasuk semua elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap Madura, apakah kebijakan-kebijakan yang sedang dan akan ditempuh guna menyongsong pembangunan jembatan Suramadu betul-betul visioner demi kepentingan orang Madura ke depan. Jika tidak, kegelisahan, kecemasan, atau kerisauan klasik akan terus muncul bahwa orang Madura hanya akan menjadi “penonton” dari semua pentas drama pembangunan perekonomian yang mulai digelar berdasarkan skenario pembangunan jembatan Suramadu.

Secara sosial-budaya, terjadinya mobilitas penduduk yang semakin intens akan menyebabkan “jarak sosial” antara orang Madura dengan orang “luar” semakin dekat pula. Bahkan secara kulturalpun akan terjadi intesitas pergesekan yang dapat berdampak positif maupun negatif. Posistif dalam arti nilai-nilai kultural baru dapat memperkokoh nilai-nilai tradisional Madura yang sudah ada, seperti misalnya etos kerja yang menuntut profesionalisme dan kedisiplinan tinggi dapat dengan mudah dicerap oleh orang Madura yang selama ini sudah dikenal sebagai pekerja ulet dengan semangat tinggi sebagaimana tercermin dari suatu ungkapan kar-karkar colpe’ (layaknya seekor ayam yang tidak jemu-jemu dan penuh semangat serta ketekunan mengais-ngais makanan satu demi satu sampai akhirnya kenyang).


Dampak negatif tentu saja tidak dapat dihilangkan. Misalnya, apresiasi orang Madura terhadap bahasa Madura sebagai lingua franca akan semakin berkurang. Realitas yang ada sekarang ini sudah menunjukkan hal tersebut secara jelas. Keluar-keluarga baru Madura ada kecendurang kuat tidak menggunakan bahasa Madura sebagai lingua franca dalam kehidupan sehari-hari, mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia meskipun dari segi ketatabahasaan sangat amburadul. Dengan semakin intensnya interaksi sosial orang Madura dengan orang luar Madura, mudah diprediksikan bahwa lambat laun bahasa Madura akan ditinggalkan. Jika ini terjadi, sungguh sangat disayangkan karena hal ini mengindikasikan telah terjadi bencana kultural yang sangat dahysat. Orang Madura tidak dapat lagi mengekspresikan pikiran-pikirannya secara baik dan benar sesuai konteks nilai budaya Madura jika mereka harus menggunakan bahasa lain daripada bahasa Madura. Sebab, bahasa merupakan perwujudan (teks) dari semua pikiran-pikiran orang dalam suatu kebudayaan tertentu.


Sebagai akhir dari tulisan ini, tentu saja sangat diharapkan hal-hal negatif yang dikemukan di atas cukup sekedar digunakan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai “warning” bagi semua pihak agar keberadaan jembatan Suramadu nantinya benar-benar membawa manfaat bagi orang Madura, bukan sebaliknya orang Madura justru semakin termaginalkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar