November 21, 2008

MADURA YANG PATUH DAN FENOMENA “BUPATI-KIAI”

Medio Indonesia, Oktober 2006



MADURA YANG PATUH

DAN FENOMENA “BUPATI-KIAI”



Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura

Universitas Jember dan

Dosen Pascasarjana

Universitas Mercu Buana, Jakarta



Semua orang Madura pasti tahu tentang ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham akan makna yang terkandung di dalamnya? Saya yakin, jawabannya tidak. Menurut pengamatan saya selama ini, paling-paling yang mereka pahami adalah kepatuhan orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian pada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak – melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam. Tulisan ini mencoba mengungkapkan hasil renungan saya tentang hal itu.


Jika makna ungkapan tadi hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur tertentu secara hierarhikal maka implikasi praksisnya menuntut orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan dan ruang sekecil apa pun agar orang Madura dipatuhi. Jika begitu, artinya sepanjang hidupnya orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Patuh pada siapa? Kepatuhan pada kedua orangtua kandung memang sudah jelas dan tegas. Tapi untuk patuh pada figur yang kedua apalagi yang ketiga harus ada jawaban yang juga jelas dan tegas. Siapa mereka? Apakah figur ghuru itu harus orang Madura atau dari etnik lain? Begitu pun tentang kepatuhan pada figur rato. Siapakah dia? Orang Madurakah? Atau orang dari etnik lain? Bagaimana implementasi sosio-kulturalnya bagi kehidupan orang Madura? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab secara jelas dan tegas.


Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi digugat-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya adalah mutlak. Mungkin yang berbeda hanya dalam hal cara bagaimana dan dalam bentuk apa seorang anak mengimplementasikan kepatuhannya selama menjalani jalur kehidupannya di dunia yang fana ini. Kemutlakan ini ditopang sepenuhnya oleh aspek genealogis. Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh pada kedua orangtua kandungnya maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan mempunyai anak pula kelak. Jadi ada semacam siklus yang berkesinambungan.


Bagaimana dengan kepatuhan orang Madura pada figur ghuru? Oleh karena peran dan fungsi ghuru lebih pada tataran moralitas dan masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura sebagai penganut agama Islam yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi. Namun, apakah ada siklus yang berlaku sama seperti kepatuhan pada figur kedua orangtua? Tentu saja tidak. Sebab, tidak semua orang Madura memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menjadi figur ghuru. Meskipun banyak anggapan bahwa figur ghuru dapat diraih oleh seseorang karena faktor genealogis (keturunan). Namun demikian,.pada kenyatannya tidak semua keturanan (anak kandung) dari figur ghuru akhirnya mengikuti jejak orangtua kandungnya. Artinya, pada tataran ini makna kultural dari ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato masih belum menjamin memberi ruang dan kesempatan lebih luas pada orang Madura untuk mengubah statusnya sebagai orang yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali patuh!


Bagaimana halnya dengan figur rato? Siapa pun dapat menjadi figur ini entah itu berasal dari etnik Madura sendiri maupun dari etnik lain. Sebab figur rato adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis melainkan semata-mata karena faktor achievement (prestasi). Bila demikian, siapa pun yang dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura dapat mencapai presatasi ini. Oleh karena itu, figur rato pun kemudian menjadi barang langka. Dalam konteks ini dan dalam bahasa yang lebih lugas, mayoritas orang Madura sepanjang hidupnya sepertinya masih tetap harus berkutat pada posisi “subordinasi”. Harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh!


Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa penting bagi semua orang Madura untuk tidak secara mentah-mentah mengartikan makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato sebagai hierarhi kepatuhan pada figur-figur tertentu sebagai lazimnya selama ini dipahami oleh hampir semua orang. Sebab jika demikian, makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato justru hanya akan menjerumuskan orang Madura untuk selalu berada pada posisi terhegemoni yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh sepanjang hidupnya. Pertanyaannya kemudian, kapankah orang Madura dapat mengubah posisinya menjadi figur yang harus dipatuhi? Hanya dalam konteks sebagai figur bhuppa’ bhabhu’ orang Madura ada saatnya menjadi figur yang harus dipatuhi setelah mereka menikah dan menjadi orangtua bagi anak-anaknya.


Pada figur ghuru masih kecil kemungkinan untuk itu. Satu-satunya akses yang lebih luas adalah pada posisi sebagai figur rato (dalam artian yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada konsep sebagai birokrat dilingkungan pemerintahan melainkan pada bidang-bidang lain). Satu-satunya persyaratan untuk itu adalah upaya peningkatan kapasistas diri melalui pendidikan sehingga pada saatnya pasti orang Madura akan dapat juga meraih status sosial berdasarkan prestasi (achievement) dan menjadi figur yang dipatuhi. Dengan kata lain, pada saat itulah yang bersangkutan telah memiliki kekuasaan.


Bagaimana halnya dengan rato-rato di Madura, khususnya kepala daerah atau bupati? Sejak era reformasi digulirkan jabatan ini telah dipegang oleh figur-figur yang berlatar belakang kiai (ghuru). Bahkan untuk kabupaten Sumenep sudah memasuki masa jabatan kedua sejak awal tahun ini. Satru-satunya kabupaten yang baru akan melaksanakan pilkada secara langsung pada tahun ini dengan calon-clon dari figur kiai adalah Sampang. Awalnya akan dilaksanakan Agustus namun karena beberapa asalan ditunda akhir Nopember.


Munculnya figur-figur bupati yang berasal dari lingkungan sosial kiai, (sebut saja: “bupati-kiai”) jelas akan menimbulkan perubahan (posisi) sosial sangat fundamental dalam konteks struktur kehidupan budaya Madura. Yakni yang semula posisi mereka sebagai figur ghuru berubah ke posisi figur rato. Perubahan posisi sosial secara fundamental ini penting untuk dicermati paling tidak menyangkut dua hal.


Pertama, figur ghuru dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan berperan sebagai figur panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang berkaitan dengan moralitas (keagamaan). Dengan demikian, dalam pandangan dunia (world view) orang Madura figur ghuru lebih merupakan reprensentasi tentang kehidupan “ukhrowi (sacred world). Figur rato tiada lain sebagai representasi dari kehidupan “duniawi” (profane world) yang dalam implimentasi praktisnya kelak akan selalu berkutat dengan tugas-tugas dan kewajiban sebagai “aktor politik praktis” dalam menjalankan roda pemerintahan di seluruh wiilayah kabupaten Madura. Perubahan posisi sosial semacam ini tentunya telah dipahami dan disadari sejak dini oleh yang bersangkutan. Sebab, peralihan atau perubahan posisi sosial tidak sekedar peralihan dan perubahan itu sendiri tanpa makna-makna kultural yang kemudian terimplementasi dalam perilaku-perilaku simbolik dan harus dipahami oleh semua pihak.


Kedua, bagi masyarakat Madura sudah pasti akan muncul respons kultural terhadap fenomena ini. Sesuai dengan konteks budaya Madura mereka tentu dituntut berpikir secermat dan secerdas mungkin untuk memutuskan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku ketika sedang atau akan berhadapan dengan figur rato yang sekaligus figur ghuru. Pada saat dan situasi apa serta kepada figur yang mana mereka harus lebih taat dan patuh, oleh karena dalam diri figur bupati-kiai melekat dua peran dan fungsi yang berbeda. Ada kemungkinan dalam situasi seperti itu mereka akan mengalami “kebingungan kultural”. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka salah satu dampaknya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sang bupati-kiai untuk membangun ketaatan dan patuhan yang benar-benar “utuh dan ihklas” dari warga masyarakat.


Dalam konteks itu, para bupati-kiai yang secara politik dan legal formal telah ditasbihkan menjadi rato mau tidak mau dituntut harus dapat bersikap dan berperilaku secara jelas dan tegas sesuai dengan konteks dan setting sosial-politik dan budaya yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan situasi apa harus berperan dan berfungsi sebagai figur ghuru dan pada saat dan situasi sosial budaya mana pula harus berfungsi dan berperan sebagai figur rato. Jika tidak, bukan hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan kultural, melainkan bisa jadi justru dirinya sendiri akan mengalami hal yang sama. Bila demikian, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah tidak akan berjalan secara efektif dan effisien.


Namun tidak tertutup kemungkinan para bupati-kiai justru bisa jadi menyikapinya dengan sikap dan perilaku dalam bentuk “dwi fungsi”. Yakni dalam sikap dan perilakunya berfungsi dan berperan sebagai figur ghuru sekaligus sebagai rato dalam segala macam situasi baik yang bersifat sosial-budaya-keagamaan maupun bersifat politik formal dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat diperlukan suatu kearifan agar tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi antara kedua figur itu yang akibatnya akan sangat kontra produktif bagi pelaksanaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah.


Mungkin hal lain yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah semangat dan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang memadai demi terlaksananya semua kegiatan dan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah dengan sebaik-baiknya. Kemampuan leadership ini selain penting untuk menjalankan semua aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah juga penting untuk membangun kapatuhan dan ketaatan (dalam bahasa lain dukungan dan partisipasi aktif) dari setiap warga masyarakat demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah Madura ke depan. Ini terkait dengan upaya menumbuh kembangkan semangat demokratisasi serta menciptakan clean government dan good governance. Semuanya itu harus benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh setiap warga masyarakat Madura yang ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan mereka tidak saja secara lahiriah tetapi juga bathiniah.


Terakhir penting untuk diingat, bahwa dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon kerras, pa-akerrès. Artinya jika orang Madura telah memiliki kekuasaan dan menjadi figur rato (karena telah mencapai prestasi tertentu) hendaknya harus tetap berwibawa. Caranya janganlah bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter, tidak menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena mentang-mentang dirinya telah menjadi figur yang harus dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan dalam mengimplementasikan kekuasaannya. Padahal pada dasarnya kekuasaan itu adalah amanah. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang kebetulan memiliki kekuasaan sehingga menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andhap asor (sopan santun, arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam kebudayaan Madura. Pertanyaannya kemudian, bisakah para rato yang ada di Madura, bersikap dan berperilaku demikian? Jawabannya haruslah bisa, jika mereka masih mau mengaku dan diakui sebagai orang Madura yang beretika, berfalsafah, dan berbudaya Madura!


Jakarta, 20 September 2006



Tidak ada komentar:

Posting Komentar