November 17, 2008

UNIVERSALITAS HAK-HAK AZASI MANUSIA DAN BUDAYA LOKAL

UNIVERSALITAS HAK-HAK AZASI MANUSIA
DAN BUDAYA LOKAL


A. Latief Wiyata



Secara substantif filosofis konsep HAM mengandung faham universalisme yang pada dasarnya menyangkut hak-hak sipil dan politik. Selain itu, konsep HAM yang telah disepakati sebagai konvensi internasional melalui Deklarasi PBB (1948) oleh banyak kalangan cenderung dimaknai sebagai implementasi dari nilai-nilai yang lebih mementingkan hak-hak individu (individualisme). Secara teoretik faham individualisme dipandang bertentangan dengan nilai-nilai budaya tradisional lokal yang lebih bercorak kolektivisme. Dalam kehidupan sosial yang kolektivistik eksistensi dan perlindungan terhadap setiap individu bukan merupakan tanggungjawab pribadi melainkan menjadi tanggungjawab masyarakat.

Artinya, setiap individu tidak perlu lagi memikirkan hak-hak asazi manusia. Meskipun demikian, menurut Franz Magnis-Suseno dalam salah satu tulisannya “Hak-hak Azasi Manusia, Kontekstual atau Universal? (Majalah Prisma 11/XXIII), dalam prakteknya faham individualisme HAM tidak bermakna sebagai pengingkaran terhadap kehidupan kolektif, melainkan justru menjadi dasar terbentuknya solidaritas dan kepedulian sosial dalam masyarakat. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana nilai-nilai budaya lokal dapat mengakomodasi dan menyemangati nilai-nilai universalitas HAM yang dianggap lebih mementingkan semangat individualistik? Tulisan ini mencoba memberikan jawabannya dari perspektif antropologi.

Sejauh ini terdapat empat macam pandangan tentang HAM yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pertama, pandangan universal absolut yang menganggap bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal sehingga implementasinya tanpa harus memperhitungkan kondisi-kondisi sosial budaya lokal setempat. Kedua, pandangan universal relatif yang melihat HAM selain sebagai persoalan universal namun demikian masih harus memperhitungkan aturan-aturan internasional yang sudah berlaku sebelumnya. Ketiga, pandangan partikularistik absolut yang memaknai HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa yang tidak dapat dicampuri oleh negara-negara lain. Pandangan ini sering menimbulkan kesan antara lain chauvinistik dan egoistik. Keempat, pandangan partikularistik relatif, yang melihat HAM selain sebagai nilai-nilai universal juga merupakan masalah masyarakat setempat dalam arti dalam penerapannya masih harus memperhatikan kondisi sosial budaya lokal.

Terlepas dari keempat pandangan tersebut, implementasi nilai-nilai HAM yang universalitistik dalam realitanya pasti akan mengalami proses persentuhan dengan nilai-nilai budaya lokal yang masih bercorak tradisional. Agar dalam proses persentuhan tersebut tidak menimbulkan konflik-konflik peradaban maka sudah seharusnya nilai-nilai HAM bertumpu pula pada konsep pluralisme budaya. Sebab, dalam konsep pluralisme budaya terdapat makna pengakuan dan apresiasi yang sama terhadap eskistensi setiap nilai-nilai budaya dari masyarakat mana pun.

Meskipun demikian, secara empirik faham pluralisme akan menghapadi paling tidak tiga bentuk reaksi, yaitu (1) etnosentrisme adalah bentuk reaksi yang tidak mau tahu tentang nilai budaya lain dan kebenaran hanya ada pada nilai-nilai budaya sendiri, pandangan ini bisa disebut juga sebagai fundamentalisme budaya; (2) relativisme budaya adalah bentuk reaksi yang menganggap bahwa setiap nilai-nilai budaya pada dasarnya baik dan cocok bagi pendukungnya. Namun sekiranya nilai-nilai budaya lain dianggap baik dan cocok dengan nilai budaya sendiri tidak ada salahnya jika nilai-nilai budaya tersebut dicerap dan begitu pula sebaliknya; (3) sinkretisme budaya merupakan reaksi yang mencampur adukkan semua nilai-nilai budaya yang ada sebagai satu-satunya referensi. Hal ini berbeda dengan relativisme budaya, disini seakan telah terjadi proses dialektis karena sosok masing-masing nilai-nilai budaya tidak tampak lagi tapi berubah menjadi sosok “budaya baru”.

Tampaknya dari ketiga reaksi tersebut yang lebih cocok dan sesuai dengan implementasi HAM adalah relativisme budaya. Oleh karena konsep kebudayaan pada dasarnya juga menyangkut sistem komunikasi, yaitu proses mengkomunikasikan simbol-simbol yang sarat dengan nilai-nilai maka setiap pendukung suatu nilai budaya harus saling menjalin dan membangun komunikasi dengan pendukung dari nilai budaya lain. Dalam proses komunikasi itu simbol-simbol saling dipertukarkan agar makna-makna yang terkandung di dalamnya dapat difahami secara kontekstual.

Dengan demikian, nilai-nilai HAM yang dalam implementasinya akan selalu berhadapan dengan budaya lokal harus pula diupayakan adanya komunikasi atau dialog dua arah secara terus menerus antara keduanya. Sebab, tidak mustahil di dalam masing-masing budaya lokal terkandung nilai-nilai yang bersifat universal, meskipun mungkin satu sama lain memiliki perbedaan. Biasanya perbedaan itu hanya sebatas penafsiran dan penekanan bukan perbedaan pada substansinya. Oleh karena itu, mempertentangkan antara nilai-nilai budaya lokal (yang selalu dianggap sangat kolektivistik) dengan nilai-nilai HAM yang universalistik dan individualistik merupakan tindakan kontra produktif terhadap implemantasi HAM itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya semangat dan kesadaran akan nilai-nilai universalistik dalam arti kehidupan kultural yang merujuk pada nilai-nilai kebersamaan sudah dimiliki sejak berabad-abad lamanya dan telah menjadi jati diri bangsa. Hal ini terbukti semua komunitas etnik yang ada memiliki ungkapan yang makna substantifnya menunjukkan hal tersebut. Misalnya, ungkapan rampa’ naong baringen korong terdapat dalam etnik Madura. Arti harfiahnya, rindang bagaikan di bawah rerimbunan pohon beringin.

Adapun makna kulturalnya adalah kesederajatan dalam kehidupan yang teduh atau hamonis. Ungkapan-ungkapan senada yang lain adalah tagak samo tinggi, duduak samo randah (Minangkabau: berdiri sama tinggi, duduk sama rendah); ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak (Sunda: kalau ke tempat mandi ke jamban yang sama, kalau pergi ke darat harus ke daerah yang daerah yang sama; maksudnya harus selalu menjalin kebersamaan); poangka-angkata (Buton: saling mengangkat derajat sesama anggota masyarakat); ulnit anvil arumud (Maluku Tenggara: kulit ari membungkus tubuh, maksudnya hatus berpegang tegauh pada nilai-nilai kemanusiaan); dan masih banyak lagi dapat ditemukan ungkapan-ungkapan senada di etnik-etnik lain.

Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai budaya lokal pada dasarnya dapat memberi inspirasi sekaligus landasan implementatif terhadap semangat nilai-nilai universalitas HAM yang acap kali dianggap lebih mementingkan faham individualisme. Dengan kata lain, semangat dan nilai-nilai HAM dapat diimplementasikan tanpa akan menjumpai banyak kendala selama individu-individu dari setiap kelompok etnik tetap konsisten terhadap nilai-nilai budayanya. Meskipun ada kalanya nilai-nilai budaya lokal yang sangat beragam itu terkesan “bertentangan” dengan nilai-nilai universalitas HAM, seyogianya tidak dikotomisasikan secara ekstrim. Sebab biasanya hanya perbedaan sebatas penafsiran dan penekanan, bukan pada subtansi. Agar nilai-nilai HAM dapat diimplementasikan sesuai dengan makna dan substansi yang dikandungnya, tidak ada salahnya perspektif relativisme kultural lebih dipertimbangkan daripada perspektif-perspektif lain. ***



1 komentar: