November 16, 2008

"SURAMADU" TIDAK SEKADAR NAMA TANPA MAKNA

KOMPAS JATIM, 20/8/2003)


"SURAMADU" TIDAK SEKADAR NAMA TANPA MAKNA

Dr. A. Latief Wiyata

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Trunojoyo, Bangkalan - Madura


Jika ada aral melintang pada hari Rabu ini (20/8), Presiden Megawati Soekarnoputri akan mencanangkan pembangunan jembatan Surabaya - Madura (Suramadu). Pencanangan tersebut akan dimulai dengan pembangunan pondasi jembatan di Tambak Wedi Surabaya kemudian di Labang, Madura (Kompas Jatim, 13/8)

Momentum ini menambah optimisme tentang kepastian pembangunan jembatan yang telah tertunda-tunda entah beberapa kali sejak direncanakan lebih dari sepuluh tahun lalu. Tulisan ini ingin mengulas tentang makna simbolis yang terkandung dalam kata "Suramadu" yang telah dipilih sebagai nama jembatan harapan semua pihak.
Barangkali dari ulasan nanti, muncul refleksi-refleksi "baru" sehingga menjadi suatu bentuk wacana publik yang positif demi keberhasilan pembangunan jembatan itu.

Kata "Suramadu" sudah diketahui secara umum sebagai singkatan dari kata"Surabaya" dan kata "Madura". Dari perspektif ketatabahasaan kata "Suramadu" jelas membentuk suatu pengertian tentang perpaduan atau hubungan antara subyek dengan obyek.
Dengan kata lain "Sura" sebagai "subyek". Bila demikian, tidak terlalu salah jika ditafsirkan yang menjadi subyek adalah "Surabaya" sedangkan "Madura" sebagai obyek dengan segala aspek dan resikonya.

Apalagi jika kata tersebut ditafsirkan dan dimaknai dari perspektif hubungan "pusat-pinggiran" (center-peripheral retations) maka semakin jelaslah bahwa yang menjadi center adalah Surabaya, sebaliknya Madura mau tidak mau harus diposisikan sebagai peripheral area.

Oleh karena itu, singkatan dari kedua kata yang membentuk "Suramadu" bukan hanya sekedar nama yang menunjukkan dua tempat yang secara geografis berbeda letaknya. Jika mau direnungkan secara lebih dalam dan lbih jujur, kedua kata tersebut paling tidak mengandung tiga makna lain yaitu makna ekonomis, politis, dan sosial budaya.

Dalam prospektif pembangunan ekonomi sudah banyak bukti-bukti empirik baik dalam lingkup global maupun lingkup nasional/regional center peripheral realtions selalu menunjukkan hubungan yang tidak seimbang dan sangat timpang antara center area disatu pihak dengan peripherial area di pihak yang lain. Ini artinya, center karena memiliki segala sarana dan prasarana yang memadai bahkan sangat kuat akan selalu memperoleh keuntungan ekonomi yang sangat melimpah.

Sebaliknya, peripherial area karena kelemahannya dalam berbagai hal pasti tidak akan pernah merasakan hal yang sama - untuk tidak mengatakan selalu "terhisap" oleh kekuatan center sehingga situasi dan kondisi demikian mau tidak mau harus diterima sebagai konsekuensi posisinya yang selalu berada pada tataran subordinasi. Pada gilirannya, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi (development and economic growth) hanya akan dinikmati secara signifikan dan sepihak oleh center area. Sebaliknya; kalaupun peripheral area diharapkan mengalami perkembangan dan pertumbuhan ekonomi namun porsinya tidak akan lebih dari tingkatan "kecipratan" saja.

Selanjutnya, dalam prespektif politik Surabaya sebagai center area jelas tidak dapat dipungkiri posisinya yang tetap berada pada tataran superordinasi. Meskipun dalam era otonomi daerah Madura memiliki kewenangan lebih luas dalam menurus dan mengatur daerahnya, sebagai bagian dari provinsi Jawa Timur Madura dalam hal-hal tertentu masih tetap harus "tunduk" dan "patuh" pada keputusan-keputusan kebijakan-kebijakan Surabaya (apalagi pusat di Jakarta). Kenyataan ini diperkuat oleh pengakuan seorang aparat birokrasi di jajaran Pemkab Bangkalan yang kebetulan ikut menangani pembebasan tanah untuk proyek pembuatan jembatan Suramadu.

Secara sosial - budaya, Surabaya bagi sebagian besar masyarakat Madura merupakan "pintu masuk" ke lingkungan sosial - budaya Jawa. Interaksi sosial yang terjadi antara orang Madura dengan orang Jawa melalui "pintu masuk" ini sudah jelas akan menimbulkan sentuhan-sentuhan budaya.

Dalam ajang persentuhan budaya tersebut disadari atau tidak orang Madura akan terperangkap pada posisi subkordinasi yang kemudian akan merasa termarginalkan karena budaya Jawa selama ini sudah dianggap dan diakui sebagai dominat culture. Dalam konteks ini, Madura mau tidak mau akan tetap terposisikan pada tataran subordinasi yang selalu termarginalkan (lihat tulisan saya Madura Termarginalkan di Kompas Jatim edisi 23 Agustus 2001)


Berdasarkan sekelumit pembahasan tadi maka menjadi jelas bahw "Suramadu" bukan hanya sekedar nama tanpa makna. Ironisnya makna kata "Suramadu" justru dapat ditafsirkan sebagai suatu situasi dan kondisi yang secara ekonomis, politis dan sosial - budaya cenderung lebih menguntungkan center daripada peripheral area.


Oleh karena itu, melalui tulisan ini kiranya penting direnungkan dan dipertimbangkan kembali apakah tidak sebaiknya nama jembatan itu diganti dengan nama lain yang lebih bermakna positif bagi perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura. Misalnya, pakai saja nama "Jembatan Trunojoyo", sebagai wujud kearifan pihak center untuk memberikan apresiasi positif terhadap pahlawan orang Madura. Dengan menggunakan nama pahlawan Madura tujuan "mulia" proyek pembangunan jembatan akan benar-benar terwujudkan atau paling tidak menimbulkan suatu rasa kebanggan bagi orang Madura.

Hal ini jelas bukan suatu alasan yang mengada-ada karena pada dasarnya tujuan pembangunan jembatan tersebut selalu dimaksudkan sebagai sarana untuk perkembangan dan kemanjuan masyarakat Madura. Artinya keberadaan jembatan itu nanti harus mampu menempatkan Madura pada posisi yang sederajat dengan apa yang selama ini telah dianggap sebagai center area. Bukannya keberadaan jembatan tersebut justru semakin memosisikan Madura pada tataran peripheral area yang semakin menyedihkan dan mengenaskan.

Tentu saja, pemikiran refleksi ini hanyalah suatu tawaran tentang sebuah alternatif untuk "nama jembatan" dari sekian banyak nama yang lain dan masih bisa diperdebatkan. Oleh karenanya, nama alternatif yang disodorkan ini tentu akan menjadi suatu wacana publik yang barangkali penting dan perlu dipikirkan dan perlu dipikirkan serta direnungkan secara lebih cerdas, arif dan bijaksana oleh semua pihak, tidak terkecuali oleh para penentu kebijakan-kebijakan yang terkait dengan proyek pembangunan jembatan tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar