November 17, 2008

STRATEGI HIDUP BERMASYARAKAT YANG MENDORONG KEDAMAIAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA

STRATEGI HIDUP BERMASYARAKAT
YANG MENDORONG KEDAMAIAN
DITINJAU DARI PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA



Dr. A. Latief Wiyata
(Antropolog Budaya Madura)
Universitas Trunojoyo





Figur Panutan dan “Pandangan Dunia” (World View).
Selama ini orang Madura sudah akrab dengan ungkapan buppa’-babu’-guru-rato (orangtua/ayah-ibu; guru, dalam hal ini lebih merujuk kepada figur kiali/ulama; dan raja/pemerintah atau pemimpin formal. Sebagaimana banyak ditafsirkan, figur panutan dan loyalitas utama orang Madura pertama adalah kepada kedau orangtua (ayah dan ibu), kemudian kepada guru atau ulama/kiai, dan terakhir kepada raja (pemerintah). Namun demikian, ungkapan ini tidak sekedar mencerminkan figur-figur panutan dan loyalitas orang Madura, melainkan lebih daripada itu tersirat makna-makna folisofis-religius yang sangat dalam.

Ungkapan tersebut menyiratkan suatu makna bahwa dalam kehidupan ini terdapat tiga komponen penting. Komponen pertama adalah orangtua (ayah-ibu) yang dalam kehidupan sosial-budaya harus dimaknai sebagai representasi dari institusi keluarga; kedua, adalah figur ulama/kiyai sebagai wujud dan representasi dari dunia ukhrowi (sacred world); ketiga adalah figur raja/pemimpin formal/pemerintah yang harus dipandang sebagai wujud atau representasi dunia profan (profane world).

Ketiga komponen ini harus dipandang sebagai satu entitas dan harus berperan dan berfungsi sesuai dengan kapasitas dan otoritasnya baik dari dimensi sosial-budaya maupun keagamaan. Jika di antara ketiganya terjadi distorsi tentang peran dan fungsinya, maka arah kehidupan orang Madura akan terganggu. Akibatnya, mereka akan terjebak pada situasi dan kondisi “anomie” dalam dimensi yang sama.

Lebih daripada itu, ungkapan tersebut juga mengandung makna bahwa arah dan tujuan kehidupan orang Madura – di mana pun mereka berada yang berawal dari kehidupan rumahtangga (keluarga) – harus senantiasa mengarah kepada dua muara yang satu sama lain harus menunjukkan adanya keseimbangan yaitu antara kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrowi. Dengan demikian, makna hidup bagi orang Madura tidak saja bersifat duniawi (materiil) melainkan sekaligus juga bersifat ukhrowi (spritual keagamaan). Realitas antropo-religiusitas ini tampaknya akan semakin mendapat penguatan ungkapan yang mengandung makna keuletan dalam bekerja (abantal omba’, asapo’ angen) kemudian diredifinisi dan direvitalisasi menjadi abantal syahadat, asapo’ iman.


Hubungan Sosial
Sebagaimana dalam kebudayaan lain, masyarakat Madura mengenal juga hubungan pertemanan (friendship relations) atau kanca baik antarwarga Madura atau dengan warga dari etnik lain. Mereka yang dikategorikan sebagai kanca adalah orang-orang yang saling terikat oleh hubungan sosial dan emosional. Jika kualitas hubungan yang terjalin sebatas hubungan pertemanan biasa orang Madura menyebutnya kanca biyasa, tapi jika kualitas hubungan menjadi akrab disebut kanca rapet. Bahkan jika kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat akrab sehingga hampir tidak berbeda dengan hubungan persaudaraan maka kanca biyasa atau kanca rapet dapat dianggap dan diperlakukan juga sebagai anggota keluarga atau taretan. Bentuk hubungan pertemanan semacam ini disebut oreng daddi taretan.

Semangat pertemanan merupakan cermin dari tuntunan budaya yaitu agar senantiasa bersikap dan berperilaku andap asor yaitu suatu tuntunan agar senantiasa menjaga etika kesopanan dan keramahtamahan dalam segala bentuk interaksi sosial, tidak terkecuali dengan orang-orang dari etnik lain. Semuanya ini penting untuk selalu dikedepankan karena dalam konteks interaksi dengan etnik-etnik lain sikap dan perilaku andap asor harus disertai pula dengan cara berbahasa yang baik yang orang Madura menyebutnya harus abhasa. Tentu saja kebalikan dari abasa adalah mapas.

Sejauh mungkin mapas harus dihindari, karena kesalahan menerapkan bentuk tingkatan bahasa ini ketika berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak saja merupakan kesalahan linguistik melainkan juga kesalahan sosial. Bahkan secara kultural kesalahan tersebut, terutama penerapan mapas yang tidak proposional, sangat dikecam karena dinilai sebagai perilaku janggal (tidak mengerti sopan santun). Sebagaimana dalam bahasa Jawa dengan mapas orang Madura dapat secara leluasa mengutarakan segala keinginan dan kehendaknya termasuk melontarkan caci-maki, sumpah serapah, dan sejenisnya.

Jika semuanya yang disebutkan tadi benar-benar dimanifestasikan niscaya akan terbangun suatu kehidupan penuh kedamaian, keharmonisan, dan kesejukan bagaikan di bawah pohon beringin yang rindang yang dalam bahasa Madura disebut rampa’ naong, beringen korong.

Sikap dan perilaku andap asor akan semakin lengkap jika diiikuti pula dengan nilai-nilai budaya semacam yang terungkap dalam suatu ungkapan mon kerras paakerres. Artinya, walaupun dalam suatu pertemanan (interaksi sosial) mengahtuskan orang Madura agar bersikap “keras” namun sikap ini hendaknya tetap menunjukkan pula kapasitas ketegasan dan kewibawaan. Dengan demikian, konflik-konflik dapat dihindari sedini mungkin. Jadi bukan “asal keras” yang akibatnya hanya akan merugikan semua pihak.

Dalam berinteraksi dengan orang-orang lain (intraetnik dan antaretnik) biasanya akan muncul gesekan-gesekan sehingga menyebabkan orang Madura merasa malo. Dalam bahasa Madura selain kata malo juga terdapat kata todus. Dalam bahasa Indonesia kedua kata ini selalu diterjemahkan sebagai malu. Tapi, dalam konteks kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus mempunyai pengertian yang sangat berbeda.

Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan perasaan todus. Pada dasarnya todus lebih merupakan suatu ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu karena adanya berbagai kendala yang bersifat sosial-budaya. Misalnya, menurut adat kebiasaan yang berlaku di Madura seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Semua menantu akan merasa todus jika berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika hal itu dilakukan maka secara sosial menantu tersebut kemudian akan disebut sebagai orang ta’ tao todus (tidak tahu malu) atau janggal (tidak mengerti etika kesopanan).

Dengan demikian, todus muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturan-aturan normatif. Sebaliknya, malo muncul sebagai akibat dari perlakuan orang lain sehingga yang bersangkutan merasa dilecehkan harga dirinya. Dalam kondisi demikian kiranya perlu direnungkan kembali ungkapan ango’an poteya tolang, etembang poteya mata. Jika dikaitkan dengan ungkapan sebelumnya (mon kerras, paakerres) kiranya reaksi atau perlawanan karena perasaan malo yang biasanya keras bisa diredam secara arif dengan dengan lebih menunjukkan kewibawaan. Sebagai warga dari suatu negara hukum, menyerahkan semuanya itu pada proses hukum merupakan cermin dari sikap dari perilaku yang sangat arif dan bijaksana.

Orang Madura juga memiliki tuntunan agar dapat membawakan diri kapan dan di mana pun mereka berada, sebagaimana terungkap dalam ungkapan lakona lakone, kennengnga kennengnge. Ini menunjukkan bahwa dalam bekerja orang Madura harus profesional, sehingga tidak heran jika di mana-mana orang Madura selalu dikenal sebagai pekerja ulet. Akibatnya, jarang orang Madura yang merantau ke negeri orang mengalami kegagalan, justru pada umumnya mereka menjadi orang-orang sukses.

Selain itu, orang Madura juga dikenal mengerti profesinya, jika bukan keahliannya mereka biasanya enggan untuk menekuni pekerjaan itu. Oleh karena keberhasilan ini, banyak orang lain yang merasa iri atau dengki. Selama hal itu disikapi dengan cara-cara yang baik, misalnya berkompetisi secara sehat, tentu tidak akan menimbulkan permasalahan. Cara-cara berkompetisi secara sehat justru akan semakin memicu gairah kerja orang Madura untuk lebih giat dan ulet demi meraih keberhasilan yang lebih besar. Keuletan dan kegigihan orang Madura dalam bekerja (mencari nafkah) terungkap dalam ungkapan kar-karkar colpe’ (bagaikan seekor ayam yang tidak henti-hentinya mencakar-cakar tanah untuk memperoleh makanan meskipun yang diperoleh hanya sedikit demi sedikit).


Komunikasi Antaretnik dan Kelompok Sosial
Sangat penting untuk diperhatikan, dalam setiap pergaulan sosial atau interaksi sosial antaretnik dan kelompok sosial, selalu diperlukan upaya pemahaman akan makna-makna simbolik dari setiap sikap dan perilaku orang lain. Sebab, semua sikap dan perilaku tersebut hanyalah simbol-simbol yang mengandung banyak makna. Dalam konteks ini penting untuk menghindari etnosentrisme, tapi menganut relativisme budaya.

Oleh karena konsep kebudayaan pada dasarnya juga menyangkut sistem komunikasi, yaitu proses mengkomunikasikan simbol-simbol yang sarat dengan nilai-nilai maka setiap pendukung suatu nilai budaya harus saling menjalin dan membangun komunikasi dengan pendukung dari nilai budaya lain. Dalam proses komunikasi itu simbol-simbol saling dipertukarkan agar makna-makna yang terkandung di dalamnya dapat difahami secara kontekstual. Dengan demikian, harus pula diupayakan adanya komunikasi atau dialog dua arah secara terus menerus antara nilai budaya dari etnik yang satu dengan nilai budaya dari etnik yang lain. Sebab, tidak mustahil di dalam nilai-nilai budaya dari masing-masing etnik itu terkandung nilai-nilai yang bersifat universal, meskipun mungkin satu sama lain memiliki perbedaan. Biasanya perbedaan itu hanya sebatas penafsiran dan penekanan bukan perbedaan pada substansinya.

Untuk memahami makna simbolik tentang nilai-nilai budaya lain memang diperlukan suatu proses sosial sekaligus proses pembelajaran yang memerlukan banyak waktu. Kontak-kontak sosial yang dilandasi oleh semangat pertemanan (sebagaimana disebutkan diatas, antara lain) merupakan faktor signifikan untuk mempercepat proses pemahaman itu demi menuju kehidupan sosial yang penuh kedamaian. ***



Catatan:
Materi ini disusun untuk Acara “Pelatihan Resolusi Konflik dalam rangka Pengembangan Pendidikan Kedamaian Melalui Pesantren” yang diselenggarakan oleh KONSORSIUM KEADILAN DAN KEDAMAIAN Malang, pada tanggal 15-20 Juli 2003 di Pondok Pesantren Ummul Quro Putri, Plakpakan, Pangaporan, Pamekasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar