November 18, 2008

Madura, Carok, dan Polisi

KOMPAS Kamis, 14 Juni 2001

Madura, Carok, dan Polisi




KALAU banyak orang menganggap berurusan dengan polisi ujung-ujungnya duit, demikian juga pada carok. Meski tak ada kaitan langsung, carok, polisi, dan uang, punya relasi yang cukup kuat. Dari penelitian Dr Latief Wiyata bahkan disebutkan, polisi punya peran yang cukup signifikan dalam melestarikan tradisi kekerasan yang harus berakhir dengan kematian ini.

Dalam tradisi carok dikenal upaya nabang yakni merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum aparat agar hukuman jadi ringan, di samping ungkapan ja- kacarok mon tak andi banda (jangan melakukan carok, kalau tidak bermodal). Modal berapa pun tidak jadi masalah, sebab pemenang carok secara sosiologis dan kultural akan mendapat tempat lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Setelah menang carok, seseorang biasanya langsung menyerahkan diri ke polisi. Selain untuk menyatakan bertanggung jawab, pemenang ini secara ti-dak langsung juga ingin meminta perlindungan polisi dari upaya balas dendam keluarga yang kalah (mati). "Jika bisa melakukan nabang, makin lengkaplah cerita sukses sang pemenang," ujar Latief yang meraih gelar doktor dengan disertasi "Carok: Institusionalisasi Kekerasan Dalam Masyarakat Madura", di Universitas Gadjah Mada, Senin (11/6).

Uang juga dibutuhkan oleh keluarga yang tewas, yang kebanyakan meninggalkan istri dan anak. Dari penelitian Latief, dalam waktu dua sampai enam bulan, merasa sangat terpukul atas kekalahan atau tepatnya kematian, yang menimpa suami. Padahal, dalam tradisi Madura, laki-laki merupakan sumber pendapatan keluarga.

Upaya nabang biasa dilakukan oleh jagoan carok, yang sebelumnya telah hidup di penjara atau mereka yang tahu seluk beluk proses hukum sampai ke pengadilan. Bahkan, tidak jarang yang bertindak sebagai calo nabang adalah oknum aparat desa sendiri. Berapa tarif nabang akan sangat ditentukan status sosial pelaku.

Tidak heran jika pada hampir setiap kasus carok, hukuman bagi pemenang tidak lebih dari lima tahun, jauh dari ketentuan KUHP yang mengancam pelaku pembunuhan berencana dengan hukuman 20 tahun. "Proses nabang merupakan bagian justifikasi atau pembenaran dari carok yang dilakukan masyarakat, hingga akhirnya ikut melestarikan budaya kekerasan ini," ujar Latief.

Dari gambaran di atas, terlihat nyata bagaimana carok memiliki dimensi ekonomis selain dimensi kekuasaan (means of power). Seperti ditulis antropolog asal Belanda, Elly Touwem Bouwsma bahwa tindakan kekerasan atau carok terkait erat dengan dua peristiwa, pemilihan kepala desa dan remo, sebuah pesta tempat berkumpulnya para blater (jagoan) yang bertujuan mengumpulkan uang. Menurut Bouwsma, lewat remo seseorang dapat memperkenalkan kapasitas dirinya yang sekaligus bisa memperoleh pengakuan secara sosial.

Bahkan, menurut Latief, tujuan penyelenggaraan remo sering dikaitkan dengan peristiwa carok. Biasanya, remo jenis ini digelar bila salah seorang anggotanya memenangkan carok dan ingin melakukan nabang. Tetapi, tidak mustahil uang yang terkumpul dari remo juga sebagai persiapan bagi salah seorang anggotanya yang sudah punya niatan ingin carok.

Gambaran di atas hanya ingin menegaskan bagaimana carok menjadi subsistem dari sistem sosial di Madura. Tetapi, kapan carok mulai menjadi bagian hidup orang Madura, tidak satu pun ilmuwan yang bisa menjelaskan. Mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda 1922, Bouwsma mengatakan, orang Madura dan pisaunya adalah satu. Dia sudah terlatih menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam menggunakan arit. Tanpa arit dia tidak lengkap, hanya setengah laki-laki.

Ungkapan senada dimunculkan Huub de Jonge, sosiolog asal Universitas Nijmehen (Belanda). Jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya. Jonge melihat kekerasan itu mulai tumbuh sekitar awal abad 19 ketika kaum ningrat dan penguasa terjerumus dalam kehidupan konsumerisme yang segala pembiayaannya ditanggung rakyat.

Dalam buku Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society, Jonge menjelaskan, sejak itu kewibawaan penguasa menurun, kepercayaan kepada pemegang hukum adat hilang, sehingga muncul berbagai ketidakpastian yang selanjutnya menyebabkan maraknya tindakan sewenang-wenang di masyarakat. Pada gilirannya, angka kejahatan terus meningkat dibanding masa-masa sebelumnya. Mengutip laporan Brest van Kempen, seorang pejabat pemerintahan kolonial di Bangkalan, Jonge menyebutkan antara tahun 1847-1849 setiap hari terjadi pembunuhan dan mayat-mayat korban selalu dibuang di alun-alun kota.

Jonge dapat memahami mengapa pada pertengahan abad 19 ribuan warga Madura setiap tahunnya mengungsi atau menyeberang ke Pulau Jawa. Mereka ingin menghindari segala bentuk penekanan, penindasan dan pemerasan. "Kondisi Madura sepertinya tidak terurus dan kondisi keamanan menyedihkan, pengadilan tidak berfungsi sehingga tiap orang main hakim sendiri," ujar Jonge yang menjadi kopromotor Latief.

Berbeda dengan Jonge dan Bouwsma, G Smith mengatakan, carok telah ada di Madura ketika pulau ini di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Smith melihat tindakan main hakim sendiri dan carok tidak bisa dilepaskan dengan pola atau struktur pemukiman keluarga Madura yang terpisah. Dalam pola pemukiman seperti ini, kontrol sosial menjadi longgar hingga membuka kemungkinan terjadinya tindak ke-kerasan.

Dengan perkembangannya, carok tidak bisa hanya dipahami sebagai sebuah institusi yang melulu menekankan aspek kekerasan. Sebagaimana tradisi siri' pada masyarakat Bugis dan Makassar, atau maisug pada masyarakat Sulu (Filipina), tindakan kekerasan selalu terkait dengan kehormatan dan harga diri. Pada ketiga suku di atas, Madura, Bugis, Makassar, dan Sulu, tindakan kekerasan mendapat pembenaran secara kultural dan bahkan mendapat persetujuan sosial jika tindakan itu bertujuan mempertahankan harga diri dan kehormatan.

Bagi orang Madura, carok tidak bisa dilepaskan dari rasa malo yang muncul akibat perlakuan yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas seseorang. Jika malo telah muncul, maka orang Madura akan merasa tada' ajina (tak ada lagi har-ganya). Untuk mengatasi rasa malo itu, tidak ada lain kecuali tindakan kekerasan atau carok. Tembang pote mata, angor mate katelak tolang (Lebih baik mati terlihat tulang daripada hidup berputih mata atau menanggung malu). Berbeda dengan tradisi siri', masyarakat Madura tidak mengenal institusi yang menjadi media rekonsiliasi antara pelaku carok.

Tradisi carok di Madura juga terkait erat dengan lembaga perkawinan. Penyair asal Sume-nep (Madura), D Zawawi Imron menemukan sebuah ungkapan yang bisa menjelaskan kaitan antara carok dan lembaga per-kawinan. "Saya kawin, dinikah-kan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang mengganggu isteri saya, berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya."

Dalam ungkapan berbeda, mengganggu isteri orang sering diungkapkan dengan kalimat pendek agaja' nyaba (bermain-main dengan nyawa). Bagi warga Madura, seorang laki-laki ba-ru menemukan dirinya sebagai seorang laki-laki bila telah kawin, bahkan poligami bisa menjadi simbol bagi kejagoan seseorang.

Dalam realitasnya, biasanya orang pedesaan di Madura sudah menjodohkan anaknya yang masih berumur di bawah lima tahun (balita) dengan anak ang-gota keluarga dekatnya, mapolong tolang (mengumpulkan tulang). Selain itu cara ini dilakukan untuk melindungi kehormatan keluarga jika anak perempuannya nanti tidak segera mendapat jodoh.

Dalam pandangan warga pedesaan Madura, perempuan akan disebut ta' paju lake (tidak laku) hanya beberapa tahun setelah mendapat haid pertama antara umur 12-15 tahun. Pemahaman seperti ini sejalan dengan sikap yang cenderung over protective kaum laki-laki terhadap perempuannya.

Dengan pemahaman seperti itu, sangat logis apabila tindakan mengganggu isteri orang merupakan pelecehan harga diri orang tersebut. Rasa malo makin menjadi-jadi sebab akan muncul anggapan bahwa suami merasa gagal memberi perlindungan terhadap isteri. Sehing-ga, rasa malo itu tidak hanya pada diri suami tetapi keluarga dan akhirnya lingkungan sosial.

Bagi seorang laki-laki Madura, mati sebab carok adalah sebuah kewajaran yang tersimpul dari ungkapan reng bine' mate arembi' mon reng lake' mate acarok (perempuan mati karena melahirkan, laki-laki mati karena carok). Menyamakan cara kematian, dari perspektif gender, tentu tidaklah tepat mengingat melahirkan merupakan kodrat setiap perempuan, tetapi carok hanyalah manifestasi suatu realitas sosial.

Seorang laki-laki yang terlecehkan tetapi tidak mau carok dianggap tidak laki-laki (tak lakek), bahkan di sebagian tempat orang yang tidak berani carok dianggap bukan orang Madura. Ungkapan ini bisa berarti bahwa carok merupakan cara orang Madura mengekspresikan identitas etnisnya.

***

BAGAIMANA menjelaskan posisi ulama dan Islam dalam tradisi kekerasan ini, Latief mengatakan, ada semacam ambivalensi pada masyarakat Madura. Tidak bisa dipungkiri, seorang yang ingin kebal atau punya keberanian lebih harus datang ke ulama lokal. Bahkan, bagi orang yang menganggap lawannya lebih jago biasanya minta diisi (jaza') supaya selamat dan kebal. "Memang tidak semua ulama, tetapi sebagian kiai ikut mendorong timbulnya carok," kata Latief.

Menurut Latief, orang Madura memandang carok dalam konteks sosial budaya, bukan konteks agama. Tidak hanya carok, dalam banyak hal tradisi Madura sebetulnya sedikit banyak "bertentangan" dengan ajaran agama Islam. Karapan sapi, remo, atau ojung (tradisi minta hujan lewat adu pukul), merupakan tradisi yang dipertahankan. "Warga Madura memandang wilayah agama berbeda dengan wilayah budaya," ujarnya

Latief menjelaskan, carok biasa terjadi di kalangan masyarakat bawah (oreng kenek) yang dalam hidup kesehariannya biasa memakai bahasa mapas (kasar). Sejak kecil warga Madura di pedesaan sudah menggunakan bahasa mapas, sebab dengan bahasa ini mereka lebih leluasa mengutarakan keinginan, termasuk melontarkan caci maki atau sumpah serapah. Artinya, bahasa mapas memiliki relasi cukup signifikan ikut melestarikan carok di Madura.

Dalam hal carok, kata Latief, orang Madura tidak peduli dengan proses bagaimana carok itu harus dilaksanakan, tetapi yang penting salah satu harus mati. Memang dalam tradisi carok dikenal dua cara ngonggai dan nyelep. Cara pertama biasa dilakuan orang yang merasa malo pergi mendatangi rumah lawan dan mengajak tarung sampai salah seorang meninggal. Cara kedua nyelep dilakukan bila sang musuh yang telah membuat rasa malo dianggap lebih jago, sehingga pembunuhan harus dilakukan dengan mencari waktu lengahnya.

Dalam beberapa kasus, carok tidak terjadi satu lawan satu, tetapi bisa jadi orang yang dipermalukan bisa minta bantuan sanak saudaranya. Bahkan, di sebagian Madura Timur, carok dilakukan dengan gu' teggu' sabbu', duel di mana masing-masing dengan tangan kiri memegang ikat pinggang dan tangan kanan saling membacokkan senjata.

Tidak semua tindakan pembunuhan bagi warga Madura disebut carok tanpa ada rasa malo dan dilakukan oleh laki-laki. Carok berbeda dengan mate'e oreng (membunuh orang), yang biasa terjadi pada kasus-kasus kriminal. "Tidak semua pembunuhan itu carok, tetapi KUHP menyamakannya dengan tindakan kekerasan lainnya. Ini yang antara lain membuat carok tetap bisa bertahan," katanya.

Membandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia, Jonge melihat penelitian terhadap suku Madura secara mendalam belum banyak dilakukan meskipun Madura merupakan kelompok etnis ketiga terbesar setelah Jawa dan Bali. Adalah sangat penting jika kekosongan pengetahuan tentang Madura dapat diisi dengan penelitian, sebab tanpa informasi yang obyektif dan seksama, konflik sosial yang melibatkan suku Madura, baik mengenai pembangunan industri di Madura sendiri dan orang Dayak, orang Melayu, Banjar, akan sulit dipahami.


1 komentar:

  1. sedikit saya tergugah ketika membaca tulisan bapak,, saya semakin mengerti, mengapa orang-orang madura begitu sensitif.

    BalasHapus