November 16, 2008

PENDEKATAN KULTURAL TERHADAP PENGUNGSI MADURA AKIBAT TRAGEDI SAMPIT

PENDEKATAN KULTURAL TERHADAP
PENGUNGSI MADURA AKIBAT TRAGEDI SAMPIT

Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
Fisip Universitas Jember



Akibat tragedi Sampit yang oleh banyak kalangan disebut sebagai pembersihan etnis paling mengerikan dan biadab dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia, orang Madura terpaksa harus meninggalkan “kampung halaman” di Kalimantan Tengah yang telah mereka mukimi sejak dua abad lalu, menuju pulau Madura sebagai tempat pengungsian. Mereka terkonsentrasi terutama di dua kabupaten yaitu Bangkalan dan Sampang. Menurut catatan Kantor Kesejahteraan Sosial setempat sampai dengan tanggal 30 April 2001, di kabupaten Bangkalan terdapat 21.016 jiwa tersebar di 18 kecamatan, dan terkonsentrasi di kecamatan-kecamatan Sepulu, Klampis dan Tanjung Bumi. Sedangkan di kabupaten Sampang ada 71.650 jiwa tersebar di seluruh wilayah kabupaten terutama di wilayah bagian utara dan terkonsentrasi di kecamatan-kecamatan Ketapang, Robatal dan Kedungdung.

Tanpa harus mengabaikan dan mengingkari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang melatar belakangi terjadinya tragedi Sampit, faktor etnisitas kiranya perlu disikapi secara lebih khusus. Sebab, tragedi Sampit selalu dimaknai sebagai “titik kulminasi” dari benturan-benturan sikap dan perilaku keseharian antara perantau Madura dengan penduduk lokal. Ironisnya, benturan-benturan yang kerap menimbulkan konflik ini selalu dikait-kaitkan dengan stereotip negatif orang Madura. Padahal stereotip tiada lain hanyalah kristalisasi imajinatif orang luar oleh karenanya tidak selamanya mengandung kebenaran faktual atau empirik. Jika mau jujur sebenarnya dalam kebudayaan Madura terdapat pula nilai-nilai yang menuntut dan menuntun setiap orang Madura agar dapat bersikap dan berperilaku andhap asor (penuh keramahan dan sopan santun) dalam setiap interaksi sosial yang mereka bangun. Tentu saja mudah dipahami, ketika konflik muncul nilai-nilai budaya ini kadang kala sulit diwujudkan.

Menurut catatan sejarah migrasi orang Madura ke pulau Kalimantan sudah berlangsung sejak beberapa abad lalu. Itu sebabnya, banyak di antara para perantau telah lahir dan dibesarkan di sana. Konseksuensi sosial-budayanya, mereka seakan-akan sudah tercerabut dari akar budaya Madura. Salah satu indikatornya, mereka sudah tidak bisa lagi berkomunikasi menggunakan bahasa Madura. Meskipun demikian, mereka masih merasa dan mengaku sebagai orang Madura. Oleh karena itu, secara sosiologis dan antropologis mereka tetap dapat dianggap sebagai etnis Madura yang sikap dan perilaku sosialnya seharusnya tetap mengacu pada nilai-nilai budaya Madura.

Nilai-nilai budaya Madura, sebagaimana nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang lain, hanya dapat dipertahankan dan dipelihara kelestariannya kemudian diimplementasikan secara konsisten dalam kehidupan keseharian oleh orang-orang Madura sendiri, atau paling tidak oleh orang-orang yang mengaku sebagai pendukungnya. Selain itu, semua nilai budaya senantiasa memerlukan proses sosialisasi, internalisasi dan institusionalisasi secara intensif, gradual dan berkelanjutan baik melalui institusi keluarga, institusi-institusi sosial, maupun figur-figur yang dianggap sebagai panutan (elit dan tokoh tradisional). Dalam konteks ini, upaya antisipatif agar tragedi Sampit tidak terulang kembali kelak di kemudian hari seyogyanya merujuk pada ketiga proses tersebut. Secara lebih khusus, perlu dilakukan upaya resosialisasi dan reinternalisasi nilai-nilai budaya Madura terhadap para pengungsi. Sebab, tidak tertutup kemungkinan (sebagian dari) mereka telah mulai “melupakan” nilai-nilai budaya Madura akibat perjalanan waktu perantauan yang begitu panjang.

Upaya resosialisasi dan reinternalisasi ini dapat diwujudkan dalam suatu pertemuan dialogis antara elit-elit tradisional serta para budayawan Madura dengan para pengungsi. Agar lebih efektif pertemuan hendaknya dibangun dalam suasana kekeluargaan - lepas dari suasana formalitas birokratis - sesuai dengan karakter budaya orang Madura yang dikenal sangat kuat dalam ikatan kekerabatan. Melalui pertemuan dialogis ini nilai-nilai budaya Madura yang mungkin sudah mulai terlupakan dituturkan kembali. Pada saatnya nanti, pola-pola pikir, sikap dan perilaku para pengungsi dapat terbentuk kembali sesuai dengan nilai-nilai budaya Madura. Meskipun harus diakui untuk membentuk pola-pola tersebut secara utuh merupakan suatu proses yang memerlukan waktu cukup panjang namun tidak ada salahnya jika mulai dipikirkan untuk dicoba direalisasikan. Sebab, melalui pertemuan dialogis paling tidak akan menghasilkan tiga hal penting.

Pertama, dalam jangka pendek (pada tingkat individual), tumbuhnya pemahaman kembali akan nilai-nilai budaya Madura sebagai bekal bagi para pengungsi ketika mereka kembali ke Kalimantan Tengah untuk melanjutkan kehidupan sesuai dengan apa yang telah ditekuninya selama ini. Kedua, dalam jangka menengah (pada tingkat individual dan kolektifitas), terbentuknya pola-pola berpikir, bersikap, dan berperilaku para pengungsi sesuai nilai-nilai budaya Madura terutama ketika harus membangun dan menjalin interaksi sosial dengan orang-orang dari kelompok masyarakat dan kebudayaan lain. Ketiga, dalam jangka panjang (pada tingkat kolektifitas atau komunitas), merupakan upaya memelihara dan mempertahankan nilai-nilai budaya Madura sebagai referensi utama bagi setiap orang Madura di mana pun mereka berada.

Sebagaimana masyarakat dalam kebudayaan lain, masyarakat Madura pada dasarnya mendambakan juga suasana kehidupan sosial yang rukun dan damai penuh kesejukan sebagaimana makna dari suatu ungkapan: “rampa’ naong, baringen korong” (sejuk, rindang bagaikan berada di bawah pohon beringin).***

3 komentar:

  1. TULISAN YG SANGAT TIDAK BERDASAR

    BalasHapus
  2. SAYA SANGAT TIDAK SETUJU dengan kalimat yang menyebutkan bahwa kalimantan tengah adalah "kampung Halaman" etnis madura karena itu sangat tidak masuk akal dan saya sendiri jadi meragukan gelar pendidikan anda yg Dr.
    Sau hal yg harus anda tau kerusuhan Sampit terjadi karena dipicu oleh sikap & prilaku etnis M***** yg tidak bisa menghargai penduduk lokal.

    BalasHapus
  3. uhh penulisnya persis kyk dagang sate,sekolahnya di pesantren..g lulus un lg..goblog

    BalasHapus