November 18, 2008

MADURA YANG PATUH?

Bulletin CERIC UI 2004-10-25



MADURA YANG PATUH?



Oleh: Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya Madura, Peneliti CERIC Fisip UI Jakarta




Semua orang Madura pasti tahu tentang adanya ungkapan buppa’ babu’ guru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham akan makna yang terkandung di dalamnya? Saya yakin, jawabannya tidak. Menurut pengamatan saya selama ini, paling-paling yang mereka pahami tentang makna ungkapan itu adalah kepatuhan orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian pada guru (ulama), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal yang sudah seharusnya dilaksanakan. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak – melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam. Tulisan ini mencoba mengungkapkan hasil renungan saya tentang hal itu.


Jika makna ungkapan tadi hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur tertentu secara hierarhikal maka implikasi praksisnya menuntut orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan dan ruang sekecil apapun agar orang Madura dipatuhi. Jika begitu, artinya sepanjang hidupnya orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Patuh pada siapa? Kepatuhan pada kedua orangtua kandung memang sudah jelas dan tegas. Tapi untuk patuh pada figur yang kedua apalagi yang ketiga harus ada jawaban yang juga jelas dan tegas. Siapa mereka? Apakah figur guru itu harus orang Madura atau dari etnis lain? Begitu pun tentang kepatuhan pada figur rato. Siapakah dia? Orang Madurakah? Atau orang dari etnik lain? Bagaimana implementasi sosio-kulturalnya bagi kehidupan orang Madura? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab secara jelas dan tegas.


Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi digugat-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya adalah mutlak. Mungkin yang berbeda hanya dalam hal cara bagaimana dan dalam bentuk apa seorang anak memanifestasikan kepatuhannya selama menjalani jalur kehidupannya di dunia yang fana ini. Kemutlakan ini sama sekali tidak terkendala atau dalam arti ditopang sepenuhnya oleh aspek genealogis. Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh pada kedua orangtua kandungnya maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan mempunyai anak pula kelak. Jadi ada semacam siklus yang berkesinambungan.


Bagaimana dengan kepatuhan orang Madura pada figur guru? Oleh karena peran dan fungsi guru lebih pada tataran moralitas dan masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura sebagai penganut agama Islam yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi. Namun, apakah ada siklus yang berlaku sama seperti kepatuhan pada figur kedua orangtua? Tentu saja tidak. Sebab, tidak semua orang Madura memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menjadi figur guru. Meskipun banyak anggapan bahwa figur guru dapat diraih oleh seseorang karena faktor genealogis (keturunan). Namun demikian,.pada kenyatannya tidak semua keturanan (anak kandung) dari figur guru akhirnya mengikuti jejak orangtua kandungnya. Ini artinya, pada tataran ini makna kultural dari ungkapan buppa’ babu’ guru rato masih belum memberi ruang dan kesempatan lebih luas pada orang Madura untuk mengubah statusnya sebagai orang yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali patuh!


Bagaimana halnya dengan figur rato? Siapa pun dapat menjadi figur ini entah itu berasal dari etnik Madura sendiri maupun dari etnik lain. Sebab figur rato adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis melainkan semata-mata karena faktor achievement (preatasi). Bila demikian, siapa pun yang dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura dapat mencapai presatasi ini. Oleh karena itu, figur rato pun kemudian menjadi barang langka. Dalam konteks ini dan dalam bahasa yang lebih lugas, mayoritas orang Madura sepanjang hidupnya masih tetap harus berkutat pada posisi “subordinasi”. Harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh!


Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa penting bagi semua orang Madura untuk tidak secara mentah-mentah mengartikan makna ungkapan buppa’ babu’ guru rato sebagai hierarhi kepatuhan pada figur-figur tertentu sebagai lazimnya selama ini dipahami oleh hampir semua orang. Sebab jika demikian, makna ungkapan buppa’ babu’ guru rato justru hanya akan menjerumuskan orang Madura untuk selalu berada pada posisi terhegemoni yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh sepanjang hidupnya. Pertanyaannya kemudian, kapankah orang Madura dapat mengubah posisinya menjadi figur yang harus dipatuhi? Hanya dalam konteks sebagai figur buppa’ babu’ orang Madura ada saatnya menjadi figur yang harus dipatuhi setelah mereka menikah dan menjadi orangtua bagi anak-anaknya.


Pada figur guru masih kecil kemungkinan untuk itu. Satu-satunya akses yang lebih luas adalah pada posisi sebagai figur rato (dalam artian yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada konsep sebagai birokrat dilingkungan pemerintahan melainkan pada bidang-bidang lain). Satu-satunya persyaratan untuk itu adalah upaya peningkatan kapasistas diri melalui pendidikan sehingga pada saatnya pasti orang Madura akan dapat juga meraih status sosial berdasarkan prestasi (achievement) dan menjadi figur yang dipatuhi. Dengan kata lain, pada saat itulah yang bersangkutan telah memiliki kekuasaan.


Namun harus diingat, bahwa dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon kerras, pa-akerrès. Artinya jika orang Madura telah memiliki kekuasaan dan menjadi figur rato (karena telah mencapai prestasi tertentu) hendaknya harus tetap berwibawa. Caranya janganlah bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter, tidak menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena mentang-mentang dirinya telah menjadi figur yang harus dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan dalam mengimplementasikan kekuasaannya. Padahal pada dasarnya kekuasaan itu adalah amanah. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang kebetulan memiliki kekuasaan sehingga menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andap asor (sopan santun, arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam kebudayaan Madura. Pertanyaannya kemudian, bisakah para rato yang ada di Madura, bersikap dan berperilaku demikian? Jawabannya haruslah bisa, jika mereka masih mau mengaku dan diakui sebagai orang Madura yang beretika, berfalsafah, dan berbudaya Madura!


Kampus UI, Depok 02 Maret 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar