November 18, 2008

KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA DIRI ORANG MADURA

KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA DIRI ORANG MADURA


Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog FISIP Universitas Jember


Konflik (kekerasan) yang dilakukan orang Madura selalu bersumber pada perasaan malo atau terhina karena harga dirinya dilecehkan oleh orang lain. Pelecehan harga diri sama artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri. Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya (social role and status) dalam struktur sosial. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh individu yang bersangkutan melainkan harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan sosialnya. Bahkan pada setiap bentuk relasi sosial antara orang yang satu dengan yang lainnya harus saling menghargai peran dan status sosial masing-masing. Tapi ada kalanya hal ini tidak dipatuhi. Bagi orang Madura tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari peran dan status sosial sama artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang yang tada’ ajhina dan pada gilirannya timbullah perasaan malo.

Dalam bahasa Madura selain kata malo juga terdapat kata todus yang dalam bahasa Indonesia kedua kata ini selalu diterjemahkan sebagai malu. Dalam konteks kehidupan sosial budaya Madura, antara malo dan todus mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Malo bukanlah suatu bentuk lain dari ungkapan perasaan todus. Pada dasarnya todus lebih merupakan suatu ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu karena adanya berbagai kendala yang bersifat sosial-budaya. Misalnya, menurut adat kebiasaan yang berlaku di Madura seorang menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara langsung. Setiap menantu akan merasa todus untuk berbicara kepada mertuanya dengan cara seperti itu. Jika kemudian menantu itu – dengan tidak disengaja – melanggar adat kebiasaan ini maka dia akan merasa todus kepada lingkungan sosialnya dan akan disebut sebagai orang ta’ tao todus (tidak tahu malu) atau janggal (tidak mengerti etika kesopanan).

Dengan demikian, todus muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturan-aturan normatif. Sebaliknya, malo muncul sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya sehingga yang bersangkutan merasa menjadi tada’ ajina. Orang Madura yang diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkan harga dirinya kemudian mereka akan selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan itu. Tindakan perlawanan tersebut cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrimnya adalah pembunuhan). Suatu ungkapan yang berbunyi ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malo) memberi indikasi sangat kuat tentang hal itu. Hal yang terakhir ini biasanya tidak akan terjadi pada orang Madura yang berada dalam situasi atau merasa todus karena yang bersangkutan tidak merasa dilecehkan harga dirinya. Dengan demikian ada tidaknya tindakan pelecehan harga diri merupakan indikator penting untuk membedakan antara todus dan malo.

Dalam realitas, biasanya todus cenderung hanya mencakup lingkup individual, sebaliknya malo dapat tereskalasi ke lingkup yang lebih luas (keluarga dan masyarakat). Hal ini bisa terjadi apabila pelecahan harga diri tersebut telah menyangkut pula harga diri keluarga dan masyarakat. Tindakan menggangu isteri orang atau perselingkuhan merupakan bentuk pelecehan harga diri paling menyakitkan bagi laki-laki Madura sehingga menimbulkan tindakan resistensi yang sangat keras terhadap orang yang melakukannya.

Dalam kaitan ini, D. Zawawi Imron, salah seorang penyair Madura, menemukan suatu ungkapan yang berbunyi: “Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, serta dengan memenuhi peraturan agama. Maka siapa saja yang mengganggu isteri saya berarti menghina agama saya sekaligus menginjak-injak kepala saya.” Itu sebabnya martabat dan kehormatan isteri merupakan manifestasi dari martabat dan kehormatan suami karena isteri adalah bantalla pate (landasan kematian). Dalam ungkapan yang lain, tindakan mengganggu isteri disebut sebagai agaja’ nyaba yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa.

Ketiga ungkapan tersebut jika dicermati lebih dalam pada dasarnya mengandung makna bagaimana orang Madura memandang institusi perkawinan dalam kaitannya dengan maskulinitas. Orang Madura memandang institusi perkawinan tidak hanya berfungsi sebagaimana dikenal oleh masyarakat dalam kebudayaan lain, tetapi juga berfungsi sebagai manifestasi kelaki-lakian (maskulinitas). Artinya, seorang laki-laki Madura baru akan menemukan dirinya sebagai seorang laki-laki apabila telah kawin dengan seorang perempuan. Itu sebabnya, terlepas dari pandangan agama Islam yang membolehkan seorang laki-laki mengawini empat orang perempan dengan syarat-syarat yang sangat ketat, tidak sedikit laki-laki Madura merasa tidak cukup hanya mempunyai isteri lebih daripada seorang untuk semakin menegaskan maskulinitasnya. Bahkan bagi seorang laki-laki yang telah dikenal sebagai orang jago, poligami merupakan “tuntutan” mereka untuk semakin mempertegas predikat kejagoannya. Dalam konteks ini, mudah dipahami apabila tindakan menggangu isteri orang dianggap sebagai pelecehan harga diri laki-laki (suami) yang sangat menyakitkan dan menimbulkan perasaan malo yang tidak terobati kecuali membunuh orang yang melakukan tindakan itu.

Perasaan malo akibat terjadinya gangguan terhadap isteri tidak hanya dirasakan – terutama – oleh suami akan tetapi juga oleh kerabat dan lingkungan sosialnya dapat dijelaskan dari dua hal. Pertama, penjelasan dari sistem perkawinan Madura yang bersifat matrilokal dan uxorilokal atau kombinasi antara keduanya. Konsekuensi dari sistem perkawinan seperti ini seorang seorang laki-laki Madura ketika akan kawin tidak perlu memikirkan rumah tinggal untuk keluarganya kelak sebab biasanya rumah itu sudah disediakan oleh mertuanya. Dalam perspektif pertukaran sosial (exchange theory) hal ini menyebabkan terjadinya pertukaran yang tidak seimbang sehingga sebagai kompensasinya suami harus betul-betul dapat menjaga isterinya dengan baik, terutama yang menyangkut kehormatannya. Apalagi posisi suami seakan-akan sebagai “tamu” di lingkungan keluarga isterinya.

Kedua, kaum perempuan Madura selalu mendapat perhatian serta perlindungan secara khusus yang tercermin dalam pola pemukiman taneyan lajang, formasi struktur rumah tradisional, serta tradisi kin group endogamy. Dalam konteks keluarga, perlindungan ini sudah merupakan kewajiban para suami sebab dalam perspektif antropologi budaya, perkawian merupakan suatu kontrak antara dua keluarga sekaligus merupakan suatu transfer tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban (transfer of rights) antar keduanya. Dalam kehidupan sosial di antara hak-hak dan kewajiban itu dapat saja menjadi hak-hak dan kewajiban masyarakat, perlindungan terhadap perempuan (isteri) menjadi bagian dari kewajiban masyarakat sehingga tindakan mengganggu kehormatan mereka selalu dimaknai sebagai tindakan arosak atoran (merusak tatanan sosial).

Kedua hal tersebut semakin memperjelas pandangan orang Madura bahwa setiap bentuk gangguan terhadap isteri merupakan pelecehan terhadap harga diri yang kemudian menimbulkan perasaan malo terutama pada pihak suami, kemudian keluarga dan akhirnya pada lingkungan sosial. Perasaan malo suami muncul karena peran dan fungsinya melindungi isteri dianggap telah gagal. Bagi pihak keluarga perempuan, perasaan malo berkaitan dengan kegagalan melindungi anak perempuannya sedangkan bagi pihak keluarga laki-laki berkaitan dengan kegagalan dalam memilih menantu yang baik. Selanjutnya, oleh karena tindakan mengganggu kehormatan isteri secara sosial dinilai sebagai arosak atoran, maka anggota masyarakat lain yang secara tradisi cenderung berkumpul dalam lingkup komunitas kampong meji, akan merasakan hal yang sama. Dengan kata lain, konflik kekerasan yang bersumber dari pelecehan harga diri tidak selalu harus dimaknai bersifat individual melainkan bersifat kolektif ketika pelecehan harga diri tereskalasi dari lingkup keluarga hingga ke tataran komunitas atau masyarakat.(*)


(Disarikan dari buku: Wiyata, A. Latief . Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS, 2001, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar