November 21, 2008

Orang Madura Harus Cerdas

Radar Madura Jumat, 28 Jan 2005



Orang Madura Harus Cerdas




SUMENEP-Peribahasa Madura buppa’, babu’, guru, rato masih kental dalam jiwa masyarakat Madura. Namun, ironisnya, peribahasa itu seringkali disalahgunakan dalam berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik. Sehingga, orang harus patuh tanpa berpikir lebih jauh.

Semestinya, masyarakat harus pandai menerjemahkan peribahasa tersebut. "Jika dibiarkan, maka implikasi praktisnya, orang Madura harus terus menerus patuh. Kapan orang Madura menjadi orang yang dipatuhi?" ujar pengamat budaya Madura, Dr A. Latief Wiyata saat acara diskusi budaya yang digelar sebuah harian terkemuka bekerja sama dengan stasiun radio di Sumenep, kemarin.

Menurut Latief, jika harus patuh kepada orang tua, masih terjadi siklus, karena pada akhirnya semua orang akan menjadi orang tua. Sedangkan untuk guru, maka untuk dipatuhi sebagai guru (kiai) tidak mudah karena tidak gampang seseorang memasuki wilayah guru. "Apalagi harus menjadi rato (penguasa, Red)," ujarnya.

Oleh karena itu, dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia ini ini mengharapkan, orang Madura harus cerdas dalam memilih pemimpin, baik bupati, presiden, dan wakil rakyat. "Orang Madura juga harus cerdas dalam memilih, termasuk dalam bersikap terhadap guru. Karena, guru kadang susah dibedakan dengan rato. Adakalanya guru telah menjadi rato," ulas pria kelahiran Sumenep ini.

Sedangkan budayawan dan penyair nasional, D. Zawawi Imron, memaparkan tentang nilai-nilai luhur budaya Madura. Menurutnya, nilai-nilai luhur tersebut masih layak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, nilai luhur yang dimiliki budaya Madura adalah tertuang dalam ungkapan: "Bila kanca palotan, bila kanca taretan" (seorang teman seperti saudara).

Tapi, katanya, tidak semua nilai yang terkandung dalam suatu budaya, termasuk budaya Madura, harus tetap dipertahankan. "Saya lebih setuju jika memelihara yang lama tapi baik dan mengambil yang baru yang juga baik," ujarnya.

Sedangkan pembicara lainnya, Edy Setyawan SH, mengritik adanya penilaian miring terhadap prilaku masyarakat Madura yang diidentikkan dengan kekerasan. Menurut budayawan yang juga fotografer kenamaan ini, kekerasan bukan hanya terjadi dalam masyarakat Madura. "Penilaian tersebut dilihat dan diukur dari prilaku orang Madura di perantauan yang umumnya bekerja keras dan mengandalkan otot," katanya.

Edy menguraikan, salah satu penyebab pudarnya budaya Madura, disebabkan kurangnya publikasi terhadap keunggulan orang Madura di bidang kesenian, seperti tari, seni ukir, dan sebagainya. Ini juga diperparah dengan banyaknya orang Madura yang merasa kurang pede (percaya driri) menjadi orang Madura.

"Tidak sedikit, nama anak-anak Madura yang tidak lagi bercorak Madura (islami), karena tergiur oleh nama lain yang dinilai lebih modern. Dan, kadang, pemuda Madura enggan berbahasa Madura ketika berada di luar Madura, karena malu," ungkapnya.

Untuk itu, dia mengajak semua lapisan masyarakat untuk tetap mempertahankan budaya Madura. "Sebab, jika tidak ada kesadaran dari masyarakat, maka lambat laun, budaya Madura akan pudar," ingatnya. (zr)


3 komentar:

  1. benar juga pak, banyak anak muda yang malu saat berada diluar madura tidak percaya diri dengan bahasa ibu mereka

    BalasHapus