November 21, 2008

MENGAPA HANYA POLITISI BUSUK?

Radar Madura, Oktober 2004



MENGAPA HANYA POLITISI BUSUK?



Dr. A. Latief Wiyata

Antropolog Budaya

Pengajar “Media and Cultural Conflict”

Pascasarjana FISIP UI Jakarta



Sudah tidak kurang-kurang media massa memberitakan tentang unjuk rasa bahkan pembahasan, ulasan, atau beberapa pemikiran yang muncul dalam seminar yang secara khusus membicarakan tingkah polah para politisi busuk. Radar Madura – satu-satunya referensi orang Madura dalam hal sumber berita dan informasi juga selalu memuat berita atau tulisan tentang hal itu. Yang paling akhir, Radar Madura memuat berita tentang aktivitas Forum Komunikasi Mahasiswa Madura (FKMS) yang berunjuk rasa di depan gedung DPRD Sumenep dengan tema menolak politisi busuk (RM, 10/2). Tampaknya “gerakan” tentang penolakan terhadap politisi busuk sudah semakin bergulir dengan sangat kencang di Madura, khususnya di kabupaten Sumenep. Namun demikian, jarang orang mengungkap tentang birokrasi, khususnya di Madura, yang tidak mustahil berperilaku busuk juga


Perilaku ini jelas-jelas memuakkan, karena – sebagaimana julukannya – berbau busuk! Siapakah orangnya yang suka dengan bau busuk? Ibarat buah, selain sudah penuh dilumuri oleh ulat juga pasti akan menimbulkan beragam penyakit bagi yang mau dan memaksa memakannya. Oleh karena itu, buah yang sudah busuk harus dimusnahkan. Tapi bagaimana dengan birokrasi busuk? Apakah harus dimusnahkan juga? Jawabannya lebih baik diserahkan pada masing-masing pribadi birokrasi yang bersangkutan – baik yang sudah sadar maupun yang masih pura-pura belum sadar bahwa dirinya sudah terkategorikan sebagai birokrasi busuk – untuk memusnahkan bau busuknya. Dalam bahasa yang lebih lugas dan tegas, birokrasi yang demikian harus malu pada dirinya sendiri, pada anak-isteri dan cucu-cucunya serta pada lingkungan sosialnya bahwa dirinya telah busuk sehingga untuk sesegera mungkin menghentikan perilaku busuknya.


Pertanyaannya kemudian, bagaimana kriteria busuk itu? Jelas tidak terlalu sulit untuk menentukan kebusukan ini. Setiap orang sudah mahfum, praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sudah semakin merajalela di setiap relung kehidupan birokrasi kita. Ujung-ujungnya, praktek KKN itu sudah jelas untuk mencari keuntungan pribadi. Agar keuntungan itu kongkrit bentuknya dan dapat dihitung jumlahnya, maka tiada alat ukur lain kecuali uang. Dengan demikian, para birokrasi busuk akan selalu mencari jalan apa saja agar pada akhirnya mendapat keuntungan berupa uang. Jika birokrasi itu sudah lama (karena terlalu sering) atau sedang melakukan praktek KKN janganlah mencari alasan pembenaran lain bahwa dirinya bukan birokrasi busuk.


Tulisan ini mencoba membahas bagaimana praktek-praktek KKN dari sudut pandang antropologi budaya dengan melakukan semacam komparasi dengan prilaku-prilaku orang-orang dari lingkungan atau suku-suku sederhana yang hidup pada zaman jauh sebelum era millennium namun mereka selama ini selalu dianggap sebagai masyarakat yang masih “tradisional”, “tidak maju”, bahkan “tidak rasional”.


Mengutip pandangan Parry dan Bloch dalam bukunya Money and the Morality of Exchange (1989), Kartini Syahrir (Antropologi Indonesia, 1999) menyatakan bahwa penting bagi setiap orang untuk memahami makna penggunaan uang secara kultural. Artinya, pada semua kebudayaan manapun uang selalu berkaitan dengan solidaritas dan persahabatan. Ada saatnya uang dapat menggalang kedua hal itu, dan pada saat yang lain justru memecah atau bahkan menghacurkannya. Dengan demikian, uang dapat digunakan untuk hal-hal yang konstruktif (baik) dan sekaligus destruktif (buruk). Dengan kata lain, uang mengandung nilai moral. Bila demikian, penggunaan uang – bahkan lebih-lebih bagaimana mendapatkannya – haruslah mengindahkan nilai-nilai moralitas. Salah satu diantaranya adalah transparansi. Artinya, bagaimana mendapatkan dan menggunakan uang itu haruslah transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada lingkungannya sesuai dengan kaidah moralitas yang berlaku dalam masyarakat.


Biasanya seseorang (baca: birokrasi) yang sedang memiliki kekuasaan kurang peka terhadap nilai-nilai moralitas uang. Sebab kekuasaan memiliki kekuatan magis bagi pemiliknya untuk melakukan apa saja dengan cara apa saja termasuk bagimana mendapatkan dan menggunakan uang (negara). Pada kondisi seperti ini nilia-nilai moralitas uang menjadi terkikis sampai pada titik nadir. Apalagi uang pada zaman millennium ini sudah sangat berubah penggunaannya dari yang semula sangat spesifik (special purpose money) menjadi sangat “banyak-guna dan tujuan” (multi purpose money). Yang disebutkan pertama dapat dilihat pada suku-suku sederhana yang selalu disebut sebagai “tradisional”, “tidak maju”, bahkan “tidak rasional”. Mereka dalam penggunaan uang justru sangat ketat dengan aturan-aturan yang telah mereka tentukan sendiri.


Salah satu hasil penelitian lapangan tentang penggunaan uang yang masih bersifat special adalah seperti diungkapkan oleh Parry dan Bloch (1989). Menurut mereka setiap orang suku Trobiand di Pasifik harus mematuhi aturan tentang penggunaan uang soulva atau mwali (nama jenis mata uang yang berlaku pada saat itu). Masing-masing jenis uang ini hanya boleh dibelikan barang atau digunakan untuk keperluan tertentu. Artinya, setiap jenis uang hanya boleh digunakan untuk membeli sesuatu yang telah disepakati bersama. Setiap orang suku Trobiand sangat patuh pada aturan ini, sehingga nilai-nilai moralitas uang benar-benar terjaga dengan baik. Realitas semacam ini dapat ditemukan pada suku-suku sederhana lain yang tersebar di seluruh dunia.


Pada zaman modern seperti sekarang, karena uang sudah menjadi sangat multi-purpose maka uang dapat digunakan untuk Kepentingan (dengan huruf K besar) apa saja. Akibat sifat uang yang seperti itu setiap orang selalu cenderung berlomba-loma untuk mendapatkan dan memilikinya. Sebab dengan memiliki uang mereka dapat berbuat apa saja dan kapan saja. Tentu saja sangat sah jika cara-cara dalam mendapatkan uang tetap mematuhi nilai-nilai moralitas sosial-budaya yang berlaku dalam masyarakat. Namun persoalannya menjadi sangat menyedihkan dan memalukan apabila seseorang (baca: birokrasi) yang kebetulan sedang memiliki kekusasaan menjadi lupa daratan dalam mendapatkan dan menggunakan uang negara. Sebagaimana telah dikatakan tadi, kekuasaan memiliki kekuatan magis sehingga pemiliknya menjadi terbius untuk menggunakan kekuasaan itu demi melakukan apa saja termasuk untuk memperoleh dan menggunakan uang sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan nilai-nilai moralitas sosial-budaya yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, uang yang seharusnya untuk kepentingan negara bisa saja disulap seketika itu juga menjadi alat untuk memenuhi kepentingan pribadi.


Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang paling pas apakah mereka yang mengaku sebagai bagian dari masyarakat modern tapi telah atau sedang melakukan praktek-praktek KKN benar-benar lebih berbudaya atau justru sebaliknya jika dibandingkan dengan perilaku suku-suku sederhana sebagaimana contoh yang telah dipaparkan tadi? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan untuk direnungkan secara sungguh-sungguh menyikapi begitu maraknya praktek-praktek KKN dalam kehidupan birokrasi Indonesia tidak terkecuali di Madura. Jawabannya tentu saja: terserah Anda!


1 komentar:

  1. warna huruf dan begrondnya hampir sama hitam sehingga sulit untuk dibaca

    BalasHapus