November 16, 2008

Mencermati Kondisi Sosial Budaya Pengungsi Sampit

MENCERMATI KONDISI SOSIAL BUDAYA PENGUNGSI SAMPIT


A Latief Wiyata
Pemerhati budaya Madura, FISIP Universitas Jember


KORBAN kerusuhan sosial di Sampit-yang akhirnya menjadi pengungsi internal atau internally displaced person (IDP)-tidak saja dapat ditemukan di wilayah Pulau Madura, melainkan juga tersebar di beberapa wilayah Jawa Timur (Jatim), khususnya di kawasan "Tapal Kuda". Menurut data statistik, sampai dengan 31 Desember 2001 jumlahnya ada 125.969 jiwa atau 31.398 kepala keluarga (KK).

Khusus di wilayah Kabupaten Jember, per 1 Maret 2002 jumlah mereka tercatat 9.680 jiwa atau 3.207 KK. Dari jumlah ini, hanya sebagian kecil yang berasal dari Aceh, Maluku, dan Timor Timur (Timtim). Setelah setahun lebih mereka berada di kamp-kamp pengungsian, penting sekali untuk melihat kondisi sosial budaya mereka, khususnya yang ada di wilayah Kabupaten Jember. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tulisan ini akan mengungkapkan beberapa hal, yaitu tentang kehidupan keseharian mereka secara sosial dan budaya, persepsi mereka tentang konflik, serta harapan atau aspirasi mereka dalam konteks upaya-upaya menuju ke arah rekonsiliasi.

DALAM konteks identitas etnik, terutama menunjuk pada faktor genealogis dan penguasaan bahasa Madura sebagai lingua franca, para pengungsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mereka yang lahir dan dibesarkan di Kalimantan, sehingga secara genealogis merupakan keturunan langsung orang Madura yang sudah bermigrasi ke sana sejak berabad-abad lalu. Seiring dengan berjalannya proses waktu perantauan yang panjang, identitas etnik mereka sebagai orang Madura dilihat dari aspek kemampuan atau penguasaan bahasa Madura sudah tidak tampak lagi. Bahasa yang mereka pergunakan dalam pergaulan sosial sehari-hari selama di daerah rantau adalah bahasa Banjar. Ini menunjukkan bahwa proses adaptasi mereka dengan kondisi sosial budaya lokal (Sampit) cukup berhasil. Apalagi, banyak di antara mereka telah melakukan perkawinan antar-etnik, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Jumlah kelompok pertama ini cukup dominan dalam komunitas pengungsi yang ada di wilayah Kabupaten Jember.

Kelompok kedua, mereka yang karena faktor genealogis dapat disebut sebagai etnik Madura Pendhalungan karena lahir dari hasil perkawinan campuran dengan etnik Jawa (ayah Madura, ibu Jawa, atau ayah Jawa, ibu Madura). Oleh karena itu, mereka lahir dan dibesarkan di wilayah Jember, dan baru beberapa tahun sebelum meletusnya konflik sosial pergi merantau ke Sampit. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini tetap dapat menggunakan bahasa Madura dalam setiap bentuk interaksi atau pergaulan sosial, selain bahasa Indonesia dan bahasa Jawa (meskipun tidak sefasih orang Jawa).

Setelah satu tahun lebih menjadi pengungsi, yang tergolong kelompok pertama mengalami dan merasakan keterasingan di lingkungan sosial di mana mereka hidup. Hal ini terutama disebabkan oleh tidak adanya sanak keluarga dan ketidakmampuan mereka menggunakan bahasa Madura. Gara-gara ketidakmampuan berbahasa Madura ini mereka cenderung kurang diakui dan diapresiasi sebagai orang Madura oleh penduduk lokal di tempat penampungan. Dengan kata lain, salah satu elemen penting yang membentuk ikatan primordial di antara mereka (bahasa Madura) tidak berfungsi. Akibat selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak mampu melakukan interaksi dengan penduduk lokal secara lebih akrab.
Padahal, keakraban dalam pergaulan sosial merupakan "obat" tersendiri bagi mereka dalam upaya menghilangkan beban-beban pikiran traumatik atas kejadian di Sampit. Ironis sekali, pengungsian mereka dari bumi Kalimantan justru karena mereka diakui sebagai (keturunan) orang Madura oleh orang-orang Dayak. Dalam konteks ini, penting sekali suatu pengakuan terhadap elemen-elemen yang ikut membentuk ikatan primordial. Sebab, identitas etnik dapat direkayasa atau dimanipulasi sesuai dengan konteks kepentingan orang yang bersangkutan ketika melakukan interaksi sosial.

Selain keterasingan secara sosial, mereka juga mengalami keterasingan secara budaya. Sebagai pengungsi yang dilahirkan dan dibesarkan di Kalimantan, tanpa disadari mereka sering menunjukkan sikap dan perilaku yang menurut pandangan dan penilaian orang Madura tidak lazim dan bahkan dianggap tidak sopan. Misalnya, mereka sering mengubah posisi kaki tidak sebagimana lazimnya orang Madura sedang duduk bersila, tanpa menghiraukan orang yang ada di depannya. Padahal, mereka melakukan itu tanpa ada maksud untuk berbuat tidak sopan, melainkan semata-mata karena kebiasaan seperti itu selama berada di rantau tidak pernah menimbulkan pandangan dan penilaian negatif.

Dengan kata lain, sebagai perantau Madura yang sudah menjadi "orang Kalimantan", mereka tampaknya sudah tidak mengenal lagi nilai-nilai budaya Madura. Sebagai penduduk "pendatang", mereka secara berangsur-angsur terus berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budaya setempat. Sampai kapan mereka harus melakukan hal itu dan berada pengungsian, tidak ada yang dapat memastikan.

Meskipun pada tanggal 3 Februari 2002 di Kota Batu, Malang, telah dicetuskan tekad mufakat masyarakat Kalimantan oleh tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan, yang menjamin bahwa kepulangan kembali para pengungsi ke Kalimantan akan dilakukan mulai tahun ini secara bertahap. Namun, dalam realitasnya jaminan itu hanyalah mimpi belaka. Apalah artinya suatu kesepakatan jika tidak direalisasikan secara konkret dan konsekuen oleh para perumusnya dan pihak-pihak penentu kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah.

Persoalan sosial budaya yang dipaparkan di atas tidak dirasakan dan dialami oleh para pengungsi kelompok kedua. Pada dasarnya, mereka bukan sebagai pengungsi, melainkan sebagai perantau yang terpaksa pulang kembali ke kampung halamannya akibat kerusuhan sosial Sampit. Bahkan ada di antara para pengungsi ini yang justru merasa menyesal diakui sebagai orang Madura selama berada di Kalimantan. Akibat dari pemberian identitas etnik Madura itu, ia harus terusir dari Sampit.

Selain persoalan sosial-budaya, baik kelomok pertama maupun kedua mengalami persolaan di bidang ekonomi. Kerusuhan sosial yang terjadi lebih dari satu tahun yang lalu telah membuat kehidupan mereka secara ekonomi berbalik 180 derajat. Bahkan banyak di antara mereka mengaku sampai saat ini masih belum percaya atas kenyataan hidup yang kini terjadi. Jika sebelumnya mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil kerja di bidang pertanian, perdagangan, dan sebagainya, kini mereka benar-benar menjadi pengangguran dan tidak produktif. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan pihak swasta/asing, serta rasa kedermawanan orang-orang atau keluarga yang ditempatinya dan masyarakat di sekitarnya.

PADA umumnya para pengungsi mempunyai persepsi yang sama tentang kerusuhan sosial di Sampit. Menurut mereka, kerusuhan sosial itu bukan semata-mata kerusuhan antar-etnik, melainkan kerusuhan yang bernuansa keagamaan, karena dalam kerusuhan itu yang menjadi korban banyak di antaranya adalah para kiai beserta santri-santrinya. Selain itu, mereka menganggap dirinya semata-mata sebagai korban, bukan pelaku. Sebab, selama ini mereka tidak merasakan terlibat konflik dengan penduduk lokal di Kalimantan. Pemicu keributan selama ini, menurut mereka, adalah para preman yang hidupnya secara sosial banyak menyimpang dari norma-norma yang ada.

Para preman ini datang ke Sampit sejak akhir tahun 1980-an, bukan yang dilahirkan di Sampit. Ironisnya, justru para preman ini hampir tidak ada yang menjadi korban konflik, karena mereka telah lebih dahulu melarikan diri ke Madura atau tempat-tempat lain di Jawa. Lebih mengherankan lagi bagi para pengungsi, karena para pelaku pembunuhan itu sama sekali bukan orang-orang Dayak tetangga atau kenalan mereka, melainkan orang-orang Dayak yang didatangkan secara berangsur-angsur dari luar daerah Sampit.

Para pengungsi hampir sepakat jika nanti timbul konflik babak kedua, hal ini akan ditafsiri sebagai konflik agama. Jika substansi konflik demikian, skala konflik sosial yang bakal terjadi akan kian meluas, karena melibatkan berbagai kelompok etnik yang diikat oleh kesamaan identitas keagamaan. Hal ini penting untuk dipahami, karena secara faktual orang Madura sudah hampir tidak ada lagi yang tinggal di Kalimantan Tengah, sehingga sulit untuk memobilisasi massa hanya berdasarkan identitas etnik.

Jika hal ini benar-benar terjadi, kerusuhan sosial akan menjadi lebih keras dan skalanya lebih luas, karena telah bersifat lintas etnik. Bahkan, kerusuhan demikian akan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama, seperti terjadi di Maluku. Pada gilirannya, korban-korban akan lebih bervariasi, selain harta benda dan nyawa, juga kerusakan di bidang moral, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Hal-hal demikian lambat atau cepat pasti akan mengancam integrasi bangsa. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mengambil langkah-langkah secepatnya untuk mengantisipasi kian meluasnya isu tentang kemungkinan terjadinya konflik etnik lanjutan berbasis agama.

KARENA pada umumnya para pengungsi Sampit berpandangan bahwa mereka bukanlah pelaku, melainkan hanya sebagai korban kerusuhan, maka upaya rekonsiliasi menjadi aneh dalam pikiran mereka. Mereka tidak merasa memiliki sengketa dengan orang Dayak, khususnya Dayak lokal. Karena menjadi korban, mereka merasa tidak perlu dilibatkan sebagai pihak yang harus melakukan rekonsiliasi. Kalaupun harus ada upaya rekonsiliasi, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para pemuka atau tokoh Madura dan Dayak untuk melakukannya. Namun demikian, mereka mengajukan beberapa prasyarat penting yang intinya adalah sebagai berikut. Pertama, orang-orang Dayak yang didatangkan dari luar daerah Sampit kemudian menjadi pelaku pembunuhan orang-orang Madura harus segera dikeluarkan dari Kota Sampit.

Sebab, sejak kepergian orang Madura dari kota itu, mereka tetap berada di sana dan banyak di antaranya justru menempati rumah-rumah dan menguasai harta benda milik orang-orang Madura. Selama mereka masih dibiarkan bertahan di sana, tertutup kemungkinan bagi orang Madura yang sekarang menjadi pengungsi untuk kembali ke Sampit dan sekitarnya. Kedua, segera bubarkan paramiliter "Pansus" (Pasukan Khusus) orang-orang Dayak yang bertugas melakukan sweeping kartu tanda penduduk (KTP) dan mengawasi kedatangan orang Madura ke Sampit.

Keberadaan pasukan paramiliter ini akan memperpanjang waktu konflik, sehingga penyelesaian masalah konflik dan pengungsi kian berlarut-larut. Ketiga, aparat keamanan harus bersikap netral, bertindak tegas, dan profesional.
Dengan demikian, ada kepastian jaminan keamanan bagi orang-orang Madura. Keempat, kembalikan dan hargai hak-hak para pengungsi, baik hak sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Terutama hak-hak mereka untuk hidup bersama dan hak memiliki harta benda yang mereka peroleh secara sah selama bertahun-tahun.

Akhirnya, penting diajukan suatu pertanyaan: sudahkah semua pihak yang cinta perdamaian memahami paparan di atas? Hanya hati nurani mereka yang paling dalam yang dapat menjawabnya.

(Dipresentasikan di LIPI Jakarta, April 2002 dan dimuat di KOMPAS JATIM, 03/05/2002)

1 komentar:

  1. Halo Bela...'blognya' ademmmm lohh
    Lanjuttt dehhh, sukses terus yaa.
    Salam

    BalasHapus