November 21, 2008

MANUSIA MADURA: PANDANGAN HIDUP, PERILAKU, DAN ETOS KERJA


Makalah dipresentasikan dalam Semiloka “Penguatan Identitas Budaya Lokal”
diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur,
di Hotel Inna Tretes, Prigen, Pasuruan, tgl. 5-6 September 2007.




MANUSIA MADURA:
PANDANGAN HIDUP, PERILAKU, DAN ETOS KERJA




Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
FISIP Universitas Jember




PENDAHULUAN
Berapa sebenarnya jumlah orang Madura? Sampai saat ini belum ada data akurat yang bisa dijadikan rujukan. Orang Madura tidak saja dalam pengertian mereka yang berdomisili di pulau Madura, termasuk juga mereka yang bertebaran di luar pulau. Sebagai pegangan sementara, menurut data statistic Sensus Penduduk 2000 yang pertama kali memasukkan informasi tentang etnisitas diketahui bahwa penduduk etnis Madura di seluruh Indonesia adalah 6.771.727 jiwa atau 3,02% dari total penduduk Indonesia (201.092.238 jiwa). Perkembangan jumlah penduduk masing-masing kabupaten dari 1930 sampai 2000 dapat dilihat pada tabel berikut.



Slide 14

Tabel Jumlah Penduduk Madura 1930-2000


Kabupaten

1930

1961

1990

2000

Bangkalan

-

574.348

750.780

805.048

Sampang

-

484.886

703.138

750.046

Pamekasan

-

396.413

628.308

689.225

Sumenep

-

694.547

933.746

985.981

Total

-

2.150.194

4.015.972

3.230.300

Etnis Madura di Jawa Timur

-

-

-

6.281.058

Etnis Madura seluruh Indonesia

4,3 juta

-

-

6.771.727


Sumber:

1). Data Penduduk Per Kabupaten diakses dari website http://jatim.bps.go.id/

pada tgl. 02 Agustus 2004. (Data diolah kembali).

2). Suryadinata et.al. Penduduk Indonesia Etnis dan Agama Dalam Era

Perubahan Politk. Jakarta: LP3ES. 2003.



Pada tabel di atas nampak bahwa jumlah penduduk Madura di pulau Madura pada tahun 2000 adalah 3.230.300 jiwa, sedangkan jumlahnya di seluruh propvinsi Jawa Timur sebesar 6.281.058 jiwa dan di seluruh Indonesia adalah 6.771.727 jiwa. Ini berarti bahwa dalam lingkup nasional terdapat 3.541.427 (52,29%) orang Madura merantau ke luar pulau Madura. Dari jumlah ini 3.050.758 (86,14%) perantau Madura terkonsentrasi di wilayah "Tapal Kuda", selebihnya 490.669 (13,86%) orang Madura tersebar di 29 provinsi yang lain. Angka ini cukup fantastik, karena lebih dari separuh orang Madura merantau atau berdomisili di luar pulau Madura. Lebih fantastik lagi, jika terdata secara akurat jumlah orang Madura yang merantau ke luar negeri (Malaysia, Brunei Darus Salam, Singapore, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya).

Ada satu hal penting untuk dicermati kembali pada tabel di atas yang memperlihatkan dengan jelas pertumbuhan penduduk etnis Madura dalam kurun waktu 70 tahun (dari tahun 1930 s/d tahun 2000) ternyata sangat rendah, yaitu hanya sebesar 0,65%. Sehingga secara nasional urutan etnis Madura mengalami penurunan dari urutan ketiga (setelah etnis Jawa dan Sunda) pada tahun 1930 menjadi urutan keempat (setelah Jawa, Sunda, dan Melayu).

Sejak kapan orang Madura mendiami pulau Madura? Sampai saat ini belum ada data historis yang akurat. Salah satu legenda yang bersumber dari tulisan Zainalfattah (1951: 7-13) menyebutkan bahwa “orang pertama” yang mendiami pulau Madura sekaligus awal ditemukannya pulau Madura sekitar tahun 929 Masehi.

Pada waktu itu, seorang puteri dari sebuah kerajaan di pulau Jawa bernama Mendangkamulan tanpa sebab yang jelas diketahui telah hamil. Mengetahui kondisi puterinya demikian sang raja marah dan menyuruh seorang patihnya bernama Pranggulang untuk membunuh sang puteri. Tapi upaya pembunuhan itu selalu gagal sehinggga akhirnya sang puteri melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Raden Sagoro. Sedangkan patih Pranggulang tidak berani kembali ke keraton dan merubah namanya menjadi Kiyai Polèng. Menurut legenda itu, Raden Sagoro dan ibunya kemudian dihanyutkan ke tengah laut dengan sebuah ghitèk (rangkaian kayu yang berfungsi sebagai perahu). Akhirnya Raden Sagoro dan ibunya terdampar di sebuah daratan yang ternyata kelak dikenal dengan nama gunung Gegger (wilayah kabupaten Bangkalan). Daratan ini disebut “madu oro” yang mempunyai arti pojok di ara-ara atau pojok menuju ke arah yang luas. Dari kata “madu oro” inilah konon asal mula kata Madura. Raden Sagoro dan ibunya disebut dalam legenda itu sebagai penghuni pertama pulau Madura.


PANDANGAN HIDUP
Pandangan hidup orang Madura tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam yang mereka anut. Suatu fakta sosiologis tak terbantahkan bahwa hampir seluruh orang Madura adalah penganut agama Islam. Ketaatan mereka pada agama Islam sudah merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura. Ini terindikasikan pada pakaian mereka yaitu sampèr (kain panjang), kebaya, dan burgo’ (kerudung) bagi kaum perempuan, sarong (sarung) dan songko’ (kopiah atau peci) bagi kaum laki-laki sudah menjadi lambang keislaman khususnya di wilayah pedesaan (Rifai, 2007: 446). Oleh karena itru, identitas keislaman merupakan suatu hal yang amat penting bagi orang Madura.

Amien Rais dalam seminar “Islam dan Budaya Madura” yang diselenggarakan dalam rangka Festifal Istiqlal II di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (1996) mengungkapkan kegagumannya pada ketaatan yang kuat orang Madura pada agama Islam. “Sejak masa kecil sudah diceritakan orang padanya bahwa tidak orang Madura yang baik saja yang bakal sangat marah jika dikatakan tidak muslim, sebab yang jahat pun akan bersikap serupa”. Ini artinya, orang Madura yang jahat pun masih membuka ruang untuk disinari oleh nur (cahaya) kebenaran Islam sehingga pada saatnya nanti tidak mustahil mereka akan insyaf akan perilakunya yang selama ini tidak dibenarkan oleh ajaran agamanya.

Sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya, pandangan hidup orang Madura menuntunnya untuk menjalani kehidupan demi pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk itulah kegiatan aèkhtèyar (berikhtiar, berupaya) menjadi sangat penting bagi orang Madura, sebab pendekatan ini akan memperbesar kemungkinan pencapaian semua keinginan dan tujuan (Munir 1985: 228).

Orang Madura sangat sadar bahwa ‘hidup’ itu tidak hanya berlangsung di dunia sekarang ini tetapi juga diteruskan kelak di akhirat. Itu sebabnya orang Madura sangat yakin bahwa amal mereka di dunia ini akan dapat dijadikan bekal buat kehidupannya di akhirat kelak. Ibadah agama dilaksanakan dengan penuh ketekunan dan ketaatan karena dilandasi kesadaran dan keyakinan bahwa ngajhi bandhana akhèrat (mengaji bekal atau modal di akhirat).

Selain itu, hidup tidak akan ada artinya jika orang Madura dipermalukan atau harus menanggung malu (malo) terutama yang menyangkut harga diri (Wiyata, 2002, 2006). Ini sejalan dengan pepatah ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata (lebih baik mati berkalang tanah daripada harus hidup menanggung malu). Bila demikian, secara tersirat orang Madura pada dasarnya tidak akan mempermalukan orang lain selama mereka juga diperlakukan dengan baik (ajjha’ nobi’an orèng mon aba’na ta’ enda’ ètobi’).

Pandangan hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham akan makna yang terkandung di dalamnya? Saya yakin, jawabannya tidak. Menurut pengamatan saya selama ini, paling-paling yang mereka pahami adalah kepatuhan orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian pada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak – melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam.

Jika makna ungkapan tadi hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur tertentu secara hierarhikal maka implikasi praksisnya menuntut orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan dan ruang sekecil apa pun agar orang Madura dipatuhi. Jika begitu, artinya sepanjang hidupnya orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Patuh pada siapa? Kepatuhan pada kedua orangtua kandung memang sudah jelas dan tegas. Tapi untuk patuh pada figur yang kedua apalagi yang ketiga harus ada jawaban yang juga jelas dan tegas. Siapa mereka? Apakah figur ghuru itu harus orang Madura atau dari etnis lain? Begitu pun tentang kepatuhan pada figur rato. Siapakah dia? Orang Madurakah? Atau orang dari etnis lain? Bagaimana implementasi sosio-kulturalnya bagi kehidupan orang Madura? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab secara jelas dan tegas.

Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi digugat-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya adalah mutlak. Mungkin yang berbeda hanya dalam hal cara bagaimana dan dalam bentuk apa seorang anak mengimplementasikan kepatuhannya selama menjalani jalur kehidupannya di dunia yang fana ini. Kemutlakan ini ditopang sepenuhnya oleh aspek genealogis. Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh pada kedua orangtua kandungnya maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan mempunyai anak pula kelak. Jadi ada semacam siklus yang berkesinambungan.

Bagaimana dengan kepatuhan orang Madura pada figur ghuru? Oleh karena peran dan fungsi ghuru lebih pada tataran moralitas dan masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura sebagai penganut agama Islam yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi. Namun, apakah ada siklus yang berlaku sama seperti kepatuhan pada figur kedua orangtua? Tentu saja tidak. Sebab, tidak semua orang Madura memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menjadi figur ghuru. Meskipun banyak anggapan bahwa figur ghuru dapat diraih oleh seseorang karena faktor genealogis (keturunan). Namun demikian, pada kenyatannya tidak semua keturanan (anak kandung) dari figur ghuru akhirnya mengikuti jejak orangtua kandungnya. Artinya, pada tataran ini makna kultural dari ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato masih belum menjamin memberi ruang dan kesempatan lebih luas pada orang Madura untuk mengubah statusnya sebagai orang yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali patuh!

Bagaimana halnya dengan figur rato? Siapa pun dapat menjadi figur ini entah itu berasal dari etnis Madura sendiri maupun dari etnis lain. Sebab figur rato adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis melainkan semata-mata karena faktor achievement (prestasi). Bila demikian, siapa pun yang dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura dapat mencapai presatasi ini. Oleh karena itu, figur rato pun kemudian menjadi barang langka. Dalam konteks ini dan dalam bahasa yang lebih lugas, mayoritas orang Madura sepanjang hidupnya sepertinya masih tetap harus berkutat pada posisi “subordinasi”. Harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh!

Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa penting bagi semua orang Madura untuk tidak secara tergesa-gesa mengartikan makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato semata-mata sebagai hierarhi kepatuhan pada figur-figur tertentu sebagai lazimnya selama ini dipahami oleh hampir semua orang. Sebab jika demikian, makna ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato justru hanya akan menjerumuskan orang Madura untuk selalu berada pada posisi terhegemoni yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh sepanjang hidupnya. Pertanyaannya kemudian, kapankah orang Madura dapat mengubah posisinya menjadi figur yang harus dipatuhi? Hanya dalam konteks sebagai figur bhuppa’ bhabhu’ orang Madura ada saatnya menjadi figur yang harus dipatuhi setelah mereka menikah dan menjadi orangtua bagi anak-anaknya.

Pada figur ghuru masih kecil kemungkinan untuk itu. Satu-satunya akses yang lebih luas adalah pada posisi sebagai figur rato (dalam artian yang sangat luas, bukan hanya terbatas pada konsep sebagai birokrat di lingkungan pemerintahan melainkan pada bidang-bidang lain). Satu-satunya persyaratan untuk itu adalah upaya peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan sehingga pada saatnya pasti orang Madura akan dapat juga meraih status sosial berdasarkan prestasi (achievement) dan menjadi figur yang dipatuhi. Dengan kata lain, pada saat itulah yang bersangkutan telah memiliki kekuasaan.

Bagaimana halnya dengan rato-rato di Madura, khususnya kepala daerah atau bupati? Sejak era reformasi digulirkan jabatan ini telah dipegang oleh figur-figur yang berlatar belakang kiai (ghuru). Bahkan untuk kabupaten Sumenep sudah memasuki masa jabatan kedua sejak awal tahun ini. Satru-satunya kabupaten yang baru akan melaksanakan pilkada secara langsung pada tahun ini dengan calon-clon dari figur kiai adalah Sampang. Awalnya akan dilaksanakan Agustus namun karena beberapa alasan ditunda akhir Nopember.

Munculnya figur-figur bupati yang berasal dari lingkungan sosial kiai, (sebut saja: “bupati-kiai”) jelas akan menimbulkan perubahan (posisi) sosial sangat fundamental dalam konteks struktur kehidupan budaya Madura. Yakni yang semula posisi mereka sebagai figur ghuru berubah ke posisi figur rato. Perubahan posisi sosial secara fundamental ini penting untuk dicermati paling tidak menyangkut dua hal.

Pertama, figur ghuru dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan berperan sebagai figur panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang berkaitan dengan aspek-aspek moralitas dan keagamaan. Dengan demikian, dalam pandangan dunia (world view) orang Madura figur ghuru lebih merupakan reprensentasi tentang kehidupan “ukhrowi” (sacred world). Figur rato tiada lain sebagai representasi dari kehidupan “duniawi” (profane world) yang dalam implimentasi praktisnya kelak akan selalu berkutat dengan tugas-tugas dan kewajiban sebagai “aktor politik praktis” dalam menjalankan roda pemerintahan di seluruh wiilayah kabupaten Madura. Perubahan posisi sosial semacam ini tentunya telah dipahami dan disadari sejak dini oleh yang bersangkutan. Sebab, peralihan atau perubahan posisi sosial tidak sekedar peralihan dan perubahan itu sendiri tanpa makna-makna kultural yang kemudian terimplementasi dalam perilaku-perilaku simbolik dan harus dipahami oleh semua pihak.

Kedua, bagi masyarakat Madura sudah pasti akan muncul respons kultural terhadap fenomena ini. Sesuai dengan konteks budaya Madura mereka tentu dituntut berpikir secermat dan secerdas mungkin untuk memutuskan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku ketika sedang atau akan berhadapan dengan figur rato yang sekaligus figur ghuru. Pada saat dan situasi apa serta kepada figur yang mana mereka harus lebih taat dan patuh, oleh karena dalam diri figur bupati-kiai melekat dua peran dan fungsi yang berbeda. Ada kemungkinan dalam situasi seperti itu mereka akan mengalami “kebingungan kultural”. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka salah satu dampaknya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi sang bupati-kiai untuk membangun ketaatan dan patuhan yang benar-benar “utuh dan ihklas” dari warga masyarakat.

Dalam konteks itu, para bupati-kiai yang secara politik dan legal formal telah ditasbihkan menjadi rato mau tidak mau dituntut harus dapat bersikap dan berperilaku secara jelas dan tegas sesuai dengan konteks dan setting sosial-politik dan budaya yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan situasi apa harus berperan dan berfungsi sebagai figur ghuru dan pada saat dan situasi sosial budaya mana pula harus berfungsi dan berperan sebagai figur rato. Jika tidak, bukan hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan kultural, melainkan bisa jadi justru dirinya sendiri akan mengalami hal yang sama. Bila demikian, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah tidak akan berjalan secara efektif dan effisien.

Namun tidak tertutup kemungkinan para bupati-kiai justru bisa jadi menyikapinya dengan sikap dan perilaku dalam bentuk “dwi fungsi”. Yakni dalam sikap dan perilakunya berfungsi dan berperan sebagai figur ghuru sekaligus sebagai rato dalam segala macam situasi baik yang bersifat sosial-budaya-keagamaan maupun bersifat politik formal dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat diperlukan suatu kearifan agar tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi antara kedua figur itu yang akibatnya akan sangat kontra produktif bagi pelaksanaan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah.

Mungkin hal lain yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah semangat dan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang memadai demi terlaksananya semua kegiatan dan aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah dengan sebaik-baiknya. Kemampuan leadership ini selain penting untuk menjalankan semua aktivitas pemerintahan dan pembangunan daerah juga penting untuk membangun kapatuhan dan ketaatan (dalam bahasa lain dukungan dan partisipasi aktif) dari setiap warga masyarakat demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan daerah Madura ke depan. Ini terkait dengan upaya menumbuh kembangkan semangat demokratisasi serta menciptakan clean government dan good governance. Semuanya itu harus benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh setiap warga masyarakat Madura yang ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan mereka tidak saja secara lahiriah tetapi juga bathiniah.

Terakhir penting untuk diingat, bahwa dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon bhagus, pabhagas, mon soghi pasogha’. Dalam pengertian luas, jika orang Madura telah memiliki harta (kekuasaan) dan menjadi figur rato (karena telah mencapai prestasi tertentu) hendaknya harus tetap santun dan berwibawa. Caranya janganlah bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter, tidak menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena mentang-mentang dirinya telah menjadi figur yang harus dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan dalam mengimplementasikan kekuasaannya. Padahal pada dasarnya kekuasaan itu adalah amanah. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang kebetulan memiliki kekuasaan sehingga menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andhap asor (sopan santun, arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam kebudayaan Madura. Pertanyaannya kemudian, bisakah para rato yang ada di Madura, bersikap dan berperilaku demikian? Jawabannya haruslah bisa, jika mereka masih mau mengaku dan diakui sebagai orang Madura yang beretika, berfalsafah, dan berbudaya Madura!


PERILAKU
Touwen-Bouwsma (1989:159) dengan mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda tahun 1922 mengatakan bahwa: “Orang Madura dan pisaunya adalah satu; tangannya selalu siap untuk merampas dan memotong. Dia sudah terlatih untuk menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam menggunakan arit. Tanpa arit ini dia tidak lengkap, hanya setengah laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan.” Senada dengan hal ini De Jonge (1995:13) menyatakan pula bahwa “jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.”

Baik Touwen-Bouwsma maupun De Jonge nampaknya sependapat bahwa penggunaan kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karenanya, orang luar sering menganggap ciri khas Madura adalah carok dan menyebut orang Madura sebagai “orang carok” (De Jonge 1993:1; Smith 1997:58). Berkaitan dengan hal itu, muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam dan suka melakukan tindakan kekerasan (De Jonge 1995:13; Touwen-Bouwsma 1989:162). Pertanyaannya kemudian, benarkah orang Madura keras?

Pertanyaan ini sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Bahkan karena keyakinannya itu, mereka kemudian merasa tidak berani mengunjungi pulau Madura. Lebih tragis lagi, mereka tidak mau berinteraksi dengan orang Madura. Kalaupun ada kemauan untuk itu, mereka paling tidak harus berpikir seribu kali sebelumnya.

Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnis Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun. Istilah andhap asor, sudah merupakan salah satu butir penting dalam baburughan beccè’ (tatakrama yang baik) dalam masyarakat Madura.

Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol).

Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura. Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz (1973), makna nilai-nilai kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Namun, apakah memang benar demikian?

Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti). Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mèra ngoda, konèng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk).

Sama halnya dengan kesukaan terhadap warna sebagai refleksi dari unsur-unsur kebudayaan Madura, dalam hal kesukaan orang Madura terhadap rasa atau taste terhadap masakan selalu menujukkan hal yang sama. Pada dasarnya selera (taste) merupakan juga bagian dari refleksi simbolik nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, orang Madura hanya lebih mengenal rasa accèn (asin) dan manès (manis). Bagi orang Madura kedua rasa tersebut sangat disukai. Artinya jika mereka menyebut rasa asin terhadap suatu jenis masakan, maka yang dimaksud adalah rasa yang benar-benar asin. Barangkali hanya di masyarakat Madura dikenal lauk buja cabbhi, yaitu campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setengah halus sebagai pelengkap dan sekaligus penyedap makanan pokok.Garam yang digunakan adalah garam murni yang tidak memerlukan campuran lain sehingga rasa asinnya sangat kental.

Begitu pula dengan rasa manis. Rasa yang sifatnya ”setengah-setengah” sepertinya tidak pernah disukai.
Contoh lain adalah ketika orang Madura akan membangun rumah. Mereka sangat memperhatikan secara tegas posisi atau letaknya. Hampir dipastikan posisi atau letak bangunan rumah jangan sampai mèsong (tidak mengarah pada arah mata angin ”utama” – barat, timur, utara dan selatan). Bangunan rumah yang posisi atau letaknya mèsong dianggap kurang pada tempatnya bahkan menyimpang dari kelaziman dan kepatutan. Bukan hanya letak dan posisi bangunan rumah, perilaku-perilaku menyimpang (deviance attitudes) dalam kehidupan keseharian disebut juga sebagai kalakowan mèsong. Itu sebabnya, petuah orang tua orang Madura pada anak-anaknya adalah: ajjha’ andi’ kalakowan mèsong atau mon alako pateppa’, jha’ song- mèsong (jika bekerja haruslah dengan cara-cara yang benar, janganlah melakukan kegiatan yang menyimpang dari aturan-aturan atau norma-norma).

Dengan mengemukakan masalah kesukaan terhadap selera tentang warna dan rasa (masakan) serta letak dan posisi rumah hal ini merefleksikan bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura adalah tegas. Itu sebabnya, pada setiap kesempatan berinteraksi dengan orang lain perangai, sikap dan perilaku demikian akan selalu muncul (dengan sendirinya). Bentuk-bentuk dari ketegasan ini adalah perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku ”basa-basi”.

Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dapat dilihat ketika mereka merespons hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang Madura tidak menyukai akan sesuatu hal, maka ketidak-sukaan itu dikemukakan secara spontan tanpa didahului (dikemas, apalagi direkayasa) dengan pernyataan basa-basi. Begitu pun sebaliknya, jika orang Madura merasa suka atau senang terhadap sesuatu hal, tanpa basa-basi pula mereka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifitas.

Namun harus diakui, bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura yang pada dasarnya sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif ini kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergerser menjadi ”kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajhina (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya). Misalnya, kasus-kasus carok yang terjadi akibat pelecehan harga diri tidak dapat dilepaskan dengan kondisi seperti ini.

Perangai, sikap dan perilaku ”keras” yang kadangkala muncul secara tanpa disadari atau disengaja sebelumnya secara kultural memang diakui adanya. Hal ini oleh karena adanya relasi dengan kondisi-kondisi yang membentuknya. Namun, secara kultural pula perangai, sikap dan perilaku tersebut harus tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar sehingga kemudian harus memancarkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan mon kerras, pa akerrès. Makna ungkapan ini, walau bagaimanapun ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura hendaknya harus mampu diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian dengan memancarkan pesona kewibawaan. Oleh karena itu, ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura harus dimaknai bukan kekerasan destruktif melainkan kekerasan konstruktif yang berwibawa. Oleh karena itu, penilaian orang luar bahwa orang Madura memiliki perangai, sikap dan perilaku keras merupakan penilaian yang kurang proporsional dan kentekstual berdasarkan karakteristik sosial budaya Madura. Sejatinya penilaian harus lebih diarahkan pada pemaknaan kekerasan yang konstruktif dan berwibawa.

Untuk mewujudkan penilaian demikian, bagi orang Madura sendiri perlu penyadaran bahwa kekerasan destruktif bukanlah suatu perangai, sikap dan perilaku yang dikehendaki oleh nilai-nilai sosial budaya Madura. Upaya internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai ”kekerasan” kontsruktif yang berwibawa sudah sangat mendesak untuk dilakukan terutama oleh para elit-elit (sosial-budaya) lokal. Selain sangat mendesak, juga penting dilakukan secara berkelanjutan agar ke depan citra masyarakat dan kebudayaan Madura tidak lagi tercemari oleh stereotip yang sangat merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura. Bila demikian halnya, eksistensi masyarakat dan kebudayaan Madura ke depan akan semakin berkembang secara positif dan elegan di tengah-tengah masyarakat etnis lain dalam bingkai ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu, damai, aman, tentram, dan sejahtera.


ETOS KERJA
Etos dapat diartikan sebagai sikap, pandangan, pedoman atau tolok ukur yang ditentukan dari dalam diri sendiri seseorang atau sekelompok orang dalam berkegiatan (Rifai, 2007:347). Dengan demikian, etos merupakan dorongan yang bersifat internal. Namun dorongan ini sudah melalui proses konstruksi dan rekonstruksi selama yang bersangkutan menjalani kehidupan sosialnya. Padahal, nilai-nilai agama Islam senantiasa menjadi dasar segala aspek kehidupan sosial budaya mereka. Itu sebabnya, etos kerja orang Madura sangat erat dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam.

Etos kerja orang Madura yang telah dikenal sangat tinggi karena secara naluriah bagi mereka bekerja merupakan bagian daripada ibadahnya sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianutnya. Oleh karena itu tidak ada pekerjaan yang bakal dianggapnya hina selama kegiatannya tidak tergolong maksiat sehingga hasilnya akan halal dan diridai Allah. Kesempatan bisa bekerja akan dianggapnya sebagai rahmat Tuhan, sehingga mendapat pekerjaan merupakan panggilan hidup yang bakal ditekuninya dengan sepenuh hati (Rifai, 2007:347).

Etos kerja yang sangat tinggi ini dibarengi dengan keuletan yang sama. Hal ini terbukti pada para migran atau perantau Madura. Pengalaman saya meneliti konflik antara Dayak/Melayu dengan Madura (lebih dikenal dengan Konflik Sambas, 1999) menunjukkan bahwa perantau Madura yang menjadi korban dan ditampung di Stsdion Pontianak sebagai pengungsi menunjukkan etos kerja dan keuletan yang sangat tinggi dalam bekerja. Pada mulanya, kondisi mereka sangat memprihatinkan, karena mereka hidup seadanya dan hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah dan LSM-LSM. Namun apa yang terjadi setelah sekitar tiga bulan mereka menjadi pengungsi, “mereka sudah mampu membangun kios-kios di tempat pengungsian”. Bahkan beberapa di antaranya sudah mampu membeli kendaraan bermotor. Salah seorang teman saya penduduk kota Pontianak sempat menyatakan kegagumannya pada keuletan pengungsi Madura korban konflik. “Saya tidak habis pikir, mereka pada awalnya benar-benar sangat miskin, namun sekarang (maksudnya setelah tiga bulan setelah konflik) mereka sudah mampu membangun rumah-rumah sederhana serta kios-kios dan juga membeli kendaraan bermotor”, demikian dia berkata.

Motivasi untuk semakin giat dan ulet bekerja semakin muncul ketika orang Madura berada di luar lingkungan komunitasnya (baik di tingkat wilayah Madura, apalagi di luar wilayah Madura). Alasannya, mereka dalam melakukan pekerjaan itu merasa ta’ ètangalè atau ta’ èkatèla’ orèng (tidak terlihat oleh sanak keluarga atau tetangga). Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa orang Madura semakin ulet dan tekun ketika mereka merasa bebas dari pengamatan lingkungan sosialnya. Itu sebabnya, pekerjaan apa pun asalkan dianggap halal, pasti akan dilakukannya, lebih-lebih ketika mereka berada di rantau.

Untuk menggambarkan keuletan, kerajinan, dan semangat tinggi orang Madura dalam melakukan pekerjaan, Rifai (2007:348) menyenarai beberapa kata dalam bahasa Madura yang memiliki arti dan makna itu. Beberapa diantaranya, adalah:
 bharenteng (sangat giat),
 bhajeng (rajin),
 cakang (cekatan),
 parèkas (penuh prakarsa), tangginas (cepat bertindak.
 abhabbha’ (bekerja dengan mengerahkan semua kemampuan yang ada),
 abhantèng tolang (membanting tulang),
 acèko (giat bekerja dengan gerakan tangan yang sibuk),
 acèmeng (sibuk bekerja hingga tidak bisa tinggal diam),
 apokpak (sibuk mengerjakan dua atau lebih pekerjaan sekaligus),
 asèpsap (bekerja sambil berlari kian ke mari).

Pada kenyataannya masih banyak lagi kata-kata dalam bahasa Madura yang merujuk pada makna dan arti tentang etos kerja yang ulet, rajian, penuh semangat, dan semacamnya. Sayangnya (atau: hebatnya!) banyak dari kata-kata itu tidak ditemukan padanannya atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal di daerah-daerah lain di negeri ini.

Selanjutnya Rifai (2007: 249) menuturkan bahwa ketika melakukan pekerjaan pekerja Madura akan selalu menunjukkan sikap ce’ ngadhebbha da’ lalakonna (sangat bersungguh-sungguh melaksanakan pekerjaannya), sehingga dengan rajin dan hati senang dapat melaksanakan tugasnya. Dalam kondisi semacam itu, ia akan sangat papa dha’ pangghabayan, artinya paham benar pada pekerjaannya sehingga dapat melaksanakan dengan penuh percaya diri, tidak kenal lelah, tidak kikuk, atau gugup.

Dengan etos kerja demikian, orang Madura tidak akan takut untuk bekerja keras atau harus menghadapi pekerjaan berat sekalipun. Semuanya akan dikerjakan sekuat tenaga sampai berhasil. Hasil kerja keras semacam ini disebut hasèlla pello konèng (peluh kuning). Karena sudah terbiasa bekerja keras, kalau ada kesulitan ia pasti akan abhalunteng (berupaya keras) untuk mengatasi masalahnya serta mencapai keinginannya.

Cara kerja orang Madura sangat dituntut agar tidak tergesa-gesa sehingga hasilnya justru sangat mengecewakan. Keadaan seperti ini diungkapkan dalam pepatah gancang kala ka bilis atau gancang ta’ nyapo’ ka bilis (cepat tetapi kalah pada semut). Sebaliknya, orang Madura dalam bekerja hendaknya meniru rayap atau ngangguy èlmona raprap. Artinya meskipun kelihatan cara kerjanya lamban namun hasilnya sungguh di luar dugaan dan sangat memuaskan.

Selain itu, orang Madura memang percaya bahwa bekerja itu harus efektif dan efisien. Orang tidak perlu melakukan pekerjaan sia-sia yang tidak ada gunanya sama sekali, seperti ditegaskan dengan pepatah aghulai maddhu, abujai saghara (menggulai madu, menggarami laut), atau ngokèr dhalika (mengukir geladak tempat tidur – yang hasilnya tidak akan dilihat orang sebab tertutup tikar atau kasur). Pekerjaan yang tidak membuahkan hasil sama sekali diibaratkan pula dengan peribahasa mara ketthang mèga’ balang (seperti kera menangkap belalang – dua ekor hasil tangkapan pertama dikepitnya di kedua ketiaknya; ketika menjulurkan lengannya buat menangkap yang ketiga dan keempat terlepaslah kedua belalang yang sudah dikepitnya; karena terkejut gagallah upayanya menambah tangkapannya itu, sehingga sia-sialah semua pekerjaannya).

Selain ulet, rajin juga merupakan etos kerja orang Madura yang sudah dikenal oleh masyarakat luar. Ungkapan kar-karkar colpè’ (mengais terus mematuk) sangat tepat melukiskan sifat rajin orang Madura. Makna ungkapan ini, layaknya seekor ayam yang mencakar-cakar tanah (kar-karkar) mencari makanan “sebutir demi sebutir”, kemudian butir demi butir hasil yang didapat dipatuk (colpè’) dan ditelannya. Oleh karena keuletan yang disertai kerajinannya itu, mudah dipahami jika orang Madura tidak mudah putus asa, meskipun hasilnya sedikit mereka akan tekun bekerja sampai akhirnya memperoleh apa yang diinginkan.

Etos kerja lainnya sebagaimana penuturan Rifai (2007: 446) adalah orang Madura tidak akan menyia-nyiakan apalagi sampai membuang waktu dalam hidupnya yang pendek serta sangat berharga sehingga tidak akan mèndu ghabay (menduakalikan pekerjaan). Sejalan dengan itu, orang Madura sangat efisien terhadap waktu dalam bekerja sebagaimana terungkap dalam pepatah atolo ngèras mandi (berkeramas sambil mandi). Malahan dalam mengerjakan sesuatu orang Madura selalu bersikap du’-nondu’ mèntè tampar (duduk menunduk memintal tali). Ungkapan ini bermakna bahwa meskipun kelihatan duduk menunduk namun orang Madura tetap ulet dan rajin melakukan kegiatan yang bermanfaat. Selanjutnya, orang Madura juga sangat yakin terhadap hasil sesuai dengan apa yang dikerjakan: mon atanè atana’, mon adhagang adhaging (siapa yang bertani bertanak nasi, siapa yang mau berdagang atau bekerja, maka dia akan memperoleh hasilnya).

Itulah beberapa paparan yang menyangkut pandangan hidup, perilaku dan penghayatan orang Madura tentang hakikat karya dan etos kerja.


Jakarta, 31 Agustus 2007



SENARAI RUJUKAN

De Jonge, Huub
1993 “Gewelddadige Eigenrichting op Madura” dalam H. Slaats (ed.). Liber Amicorum Moh. Koesnoe. Surabaya: Airlangga Umiversity Press.

1995 “Stereotypes of the Madurese” dalam Van Dijk, K., De Jonge, H. dan Touwn-Bouwsma, E. (eds.). Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Press.

Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures. Hammersmith, London: Fontana Press.

Mansurnoor, I.A.
1990 Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Munir, M.
1985. Adat istiadat yang berhubungan dengan upacara dan ritus kematian di
Madura. Dalam: Koentjaraningrat (penyunting). Ritus Peralihan di Indoensia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rifai, Mien Ahmad
2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.

Smith, Glenn
1997 “Carok Violence in Madura. From Historical Conditions to Contemporary Manifestations”, dalam Folk Journal of the Danish Ethnographic Society (39). Copenhagen.

Suryadinata, Leo et.al.
2003. Penduduk Indonesia Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politk. Jakarta: LP3ES.

Touwen-Bouwsma, E.
1989 “Kekerasan di Madura” dalam Huub de Jonge (ed.). Agama Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Press.

Wiyata, A. Latief
2002 & 2006 Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.

Zainalfattah, R.
1951 Sedjarah Tjaranya Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannya. Pamekasan: The Paragon Press. @LW



8 komentar:

  1. Tetep saja subyektif dan ada fanatik kesukuan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
      DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
      HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

      …TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…

      **** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
      1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
      2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
      3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
      4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

      …=>AKI KANJENG<=…
      >>>085-320-279-333<<<






      SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
      DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
      HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....

      …TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…

      **** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
      1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
      2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
      3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
      4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..

      …=>AKI KANJENG<=…
      >>>085-320-279-333<<<

      Hapus
  2. Saya orang madura,, saya kuliah di Jakarta dan yang saya rasakan memang orang madura ketika bertemu dg sesama orang madura walaupun baru kenal akan menganggap sebagai saudara,,begitu pula orang diluar madura yang sudah kami percayai,, maka kami anggap sebagai saudara juga,,

    Memang saya akui orang madura itu tegas, tapi kami juga tidak sembarangan, layaknya seperti lebah, kami akan bersikap baik kepada siapa pun.. namun jika ada yang melecehkan harga diri kami, maka kami harus membela jika kami dalam posisi yang benar. namun jika kami dalam posisi yang salah, kami tdk segan2 mengakui kesalahan kami dan memeperbaiki diri.. :)

    Tiap suku memiliki keunikan tersendiri,, maka hiduplah secara harmonis di negeri Indonesia ini.. :)

    BalasHapus
  3. Ass. wr. wb.
    Saya sangat senang memperoleh informasi ttg madura dari blog ini maupun buku - buku Bapak, sbb sy sedang melakukan penelitian untuk tesis saya mengenai falsafah madura dan akuntansi, namun saya butuh untuk diskusi lebih lanjut dengan Pak Wiyata, untuk itu bagaimana saya dapat menghubungi Bapak secara langsung? Kalau boleh saya ingin meminta alamat email Bapak. Terimakasih sebelumnya.

    BalasHapus
  4. Sebenarnya setiap SARA dibagi 2 saja..
    Pintar & berpendidikan atau Bodoh & tidak terdidik.
    Tinggal refleksi diri saja kepada yg kategori yg pintar untuk membantu yg bodoh mengintrospeksi diri.
    Jika benar-benar setiap orang satu suku merasa bersaudara.
    Yg merasa pintar tolonglah yg bodoh itu dari kebodohan mereka.
    Terutama soal bawa clurit kemana-mana dan prinsip seluruh tanah adalah milik Tuhan dan menguasai tanpa aturan. Ini berlaku untuk semua SARA hanya saja setiap SARA memiliki kekurangan yg berbeda-beda, dsn kebetulan saat ini sedang membahas Suku Madura

    BalasHapus
  5. madura itu sampah ...bikin malu indonesia aja...kelaut sana njing

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus