November 17, 2008

DINAMIKA KELOMPOK ETNIK DI JAWA TIMUR DALAM ERA OTONOMI DAERAH Suatu Perspektif Kebudayaan

DINAMIKA KELOMPOK ETNIK
DI JAWA TIMUR DALAM ERA OTONOMI DAERAH
Suatu Perspektif Kebudayaan


Oleh: A. Latief Wiyata


Memperbincangkan eksistensi kelompok etnik di Jawa Timur dalam era otonomi daerah menjadi menarik karena beberapa alasan.
Pertama, Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu propinsi di Pulau Jawa yang cukup beragam kebudayaannya. Propinsi ini terbagi dalam beberapa daerah kebudayaan (culture area), seperti Mataraman, Arek, Tengger, Samin, Madura, Pendhalungan, dan Osing. Masyarakat di daerah kebudayaan tersebut merupakan suatu kelompok etnik (etnic group) yang berbeda satu sama lain. Di samping itu, terdapat kelompok-kelompok etnik minoritas yang bermukim di Jawa Timur, seperti di antaranya adalah kelompok keturunan Cina, Arab, Bugis-Makassar, Ambon, Bali, Batak, dan Sunda.

Kedua, keberagaman kelompok etnik dan kebudayaannya pada satu sisi dapat menjadi modal pembangunan yang berharga, sedangkan pada sisi lain dapat menjadi ancaman pembangunan jika kita gagal mengelola keberagaman masyarakat dan budaya tersebut.

Ketiga, selama masa Orde Baru tidak semua kelompok etnik memiliki akses yang setara dalam proses-proses politik dan ekonomi di daerah. Pengabaian yang panjang terhadap eksistensi kepentingan kehidupan mereka dapat menjadi potensi munculnya politik etnik terhadap kekuasaan yang ada. Jika para pemegang kekuasaan tidak aspiratif terhadap kepentingan mereka, sikap politik pemerintah daerah yang demikian niscaya akan menjadi kendala destruktif terhadap kelangsungan pembangunan daerah.

Keempat, pandangan ahli-ahli ekonomi dan politik bahwa dengan membangun kemajuan ekonomi secara pragmatis dan sistem politik yang demokratis akan dengan sendirinya menghapuskan persoalan-persoalan etnisitas ternyata tidak sepenuhnya benar. Persoalan etnisitas tidak semata-mata terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju, seperti Inggris, Amerika Serikat,dan Kanada. Karena itu, hadirnya sistem politik yang demokratis dan kemajuan pembangunan ekonomi di Indonesia juga belum menjadi jaminan bahwa persoalan etnisitas (politik etnik) akan selesai dengan sendirinya.

Kelima, era otonomi daerah telah berimplikasi pada pengakuan negara atas keberagaman kelompok etnik dan kebudayaannya, penyampaian aspirasi politik yang lebih bebas, dan kemunculnya politik/ideologi aliran yang semakin mengental jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Era otonomi daerah memberikan kelonggaran bagi munculnya ekspresi etnisitas. Implikasi-implikasi sosial-politik dari ekspresi tersebut akan menjadi batu sandungan pemerintah daerah jika tidak dikelola dengan baik.

Kelima hal di atas akan menjadi bahan pertimbangan dalam mengidentifikasi dinamika kelompok etnik di Jawa Timur pada masa otonomi daerah ini serta bagaimanakah menyikapi dinamika itu agar menjadi modal pembangunan yang bermanfaat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah (kota/kabupaten/propinsi).


Pelajaran dari Propinsi Lain
Undang-Undang No. 22/1999 memberi peluang kepada daerah-daerah untuk bergabung membentuk propinsi dan kabupaten baru sepanjang memenuhi pesyaratan yang ada dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peluang ini dimanfaatkan oleh beberapa daerah untuk mewujudkan aspirasi membentuk provinsi baru atau kabupaten baru. Aspirasi tersebut sudah ada yang diwujudkan atau yang masih dalam proses. Pemberian peluang membentuk provinsi/kabupaten baru, di samping untuk meningkatkan efektivitas pembangunan daerah karena rentang birokrasi yang panjang, juga untuk meredam timbulnya gerakan sparatisme.

Contoh propinsi yang telah terbentuk adalah Propinsi Banten dan Propinsi Gorontalo. Propinsi Banten merupakan pecahan dari Propinsi Jawa Barat, sedangkan Propinsi Gorontalo merupakan pengembangan dari Propinsi Sulawesi Utara. Alasan pelepasan diri dari propinsi induk adalah karena selama masa pembangunan Orde Baru kurang diperhatikan oleh propinsi induk sedangkan kontribudi ekonominya terhadap propinsi induk cukup besar. Di samping alasan ekonomi pembangunan dan potensi sumber daya alam yang besar, alasan lain adalah karena perbedaan sosial-budaya yang khas dengan masyarakat di propinsi induk. Modal sosial budaya ini bisa dimanfaatkan sebagai sarana politik dan mobilitas aspirasi masyarakat agar pembentukan propinsi baru bisa segera diwujudkan. Potensi pembentukan propinsi baru di wilayah Jawa Barat diperkirakan masih akan terjadi lagi dengan adanya keinginan masyarakat Cirebon dan sekitarnya untuk membentuk Propinsi Cirebon, yang terpisah dari Propinsi Jawa Barat.

Demikian juga rencana pembentukan Propinsi Sulawesi Barat dan Propinsi Leuser Antara didasarkan pada alasan yang hampir sama dengan proses pembentukan kedua propinsi baru di atas. Propinsi Sulawesi Barat merupakan propinsi yang terpisah dari Propinsi Sulawesi Selatan. Jika basis masyarakat Propinsi Sulawesi Selatan adalah Bugis dan Makassar, Propinsi Sulawesi Barat memiliki basis masyarakat Mandar yang selama ini dianggap diabaikan dalam proses pembangunan di Sulawesi Selatan. Hal yang sama juga mengilhami rencana pembentukan Propinsi Leuser Antara, yang meliputi wilayah Gayo (Aceh Tengah), Alas (Aceh Tenggara), dan Singkil untuk memisahkan diri dari Propinsi Nangroe Aceh Darrussalam (NAD). Penduduk di wilayah Gayo, Alas, dan Singkil bukan penduduk Aceh, tetapi selama ini mereka menjadi korban konflik di Aceh. Karena persamaan unsur-unsur kebudayaan mereka lebih dekat dengan kebudayaan Batak daripada kebudayaan Aceh. Perbedaan kebudayaan inilah yang menjadi pengikat aspirasi mereka untuk membentuk Propinsi Leuser Antara.

Di beberapa wilayah Kalimantan, pembentukan kabupaten baru juga dapat menimbulkan masalah jika bersentuhan dengan pembagian suatu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam (hutan dan tambang) yang besar. Perselisihan antarpemerintah daerah atau antarmasyarakat akan semakin kompleks latar belakangnya jika dikaitkan dengan hak ulayat masyarakat lokal atau akses masyarakat terhadap sumber daya alam lokal yang selama ini menjadi tumpuan kelangsungan hidup mereka. Apabila hal-hal demikian diabaikan, niscaya akan menimbulkan resistensi yang keras dari masyarakat (adat) lokal. Kalau pada masa Orde Baru, resistensi masyarakat lokal bisa dibungkam, untuk masa sekarang tidak mudah lagi dilakukan.

Pembentukan propinsi dan kabupaten baru dapat berjalan dengan baik jika aspirasi masyarakat dihargai dan difalitasi untuk diwujudkan. Masalah ini jika diabaikan bisa berkembang menjadi gerakan politik etnik yang dapat mengganggu integrasi sosial dan integrasi nasional. Hal-hal demikian menjadi semakin rumit karena terlibatnya unsur-unsur aspirasi politik, perebutan potensi sumber daya alam, dan identitas sosial-budaya suatu kelompok etnik. Dalam konteks kajian etnisitas, sulit ditetapkan unsur-unsur manakah yang dominan di antara unsur-unsur tersebut. Contoh di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan masyarakat atau kelompok etnik dapat dimainkan untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik (kekuasaan politik dan ekonomi) di daerah. Dinamika kelompok etnik akan selalu terjadi jika berinteraksi dengan kepentingan politik. Yang harus dihindari adalah timbulnya konflik berkepanjangan yang tidak menguntungkan kepentingan pembangunan daerah.

Konteks Jawa Timur
Dalam kaitannya dengan masalah etnisitas atau dinamika kelompok etnik di Jawa Timur ada beberapa kasus yang perlu dicermati. Pertama, adalah wacana tentang pembentukan Propinsi Madura. Kedua, wacana yang muncul di kalangan politisi PKB Situbondo tentang pembentukan “Negara Jawa Timur” menjelang keruntuhan kekuasaan kepresidenan Gus Dur. Ketiga, wacana tentang pembentukan Kabupaten Banyuwangi Selatan. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan pada masa yang mendatang akan lahir wacana pembentukan Propinsi Blambangan yang wilayahnya meliputi daerah Probolinggo hingga Kabupaten Banyuwangi, wacana Kabupaten Tengger yang wilayahnya meliputi kawasan Tengger, yang kini terbagi dalam Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang; atau adanya ide tentang pembentukan Kabupaten Jember Selatan.

Hal-hal di atas hanya untuk menunjukkan bahwa pemikiran atau gerakan politik etnik itu ada di Jawa Timur dan dapat menjadi potensi konflik sosial di daerah jika tidak disikapi secara bijaksana. Pemikiran dan gerakan politik etnik itu akan muncul karena pengabaian pembangunan wilayah dan tertutupnya akses ekonomi dan politik bagi masyarakat lokal, tereksploitasinya secara berlebihan potensi sumber daya alam di wilayah tertentu tanpa memberikan keuntungan timbal-balik kepada masyarakat lokal, adanya potensi sumber daya alam yang besar yang bisa dikelola untuk kesejahteraan masyarakat, dimilikinya kesamaan asal-usul dan sejarah sosial, persamaan identitas ideologi dan afiliasi politik aliran, serta pemilikan nilai-nilai dan simbol-simbol budaya yang sama sebagai perekat identitas masayarakat atau kelompok etnik yang berdiam di suatu wilayah.

Dalam kasus Madura misalnya, saat ini Pemerintah Propinsi Jawa Timur telah menempatkan wilayah tersebut sebagai salah satu sobjek prioritas pembangunan Jawa Timur. Perhatian pembangunan ini merupakan kompensasi dari ketidakperhatian pembangunan pemerintah propinsi selama ini terhadap wilayah Madura. Wilayah Madura dikenal sebagai kantong kemiskinan dan keterbelakangan Jawa Timur, di samping wilayah barat daya dan barat laut Propinsi Jawa Timur. Kalaupun kelak wilayah Madura akan memperoleh kemakmuran dari kegiatan pembangunan, hal ini pun belum menjamin bahwa Madura tidak memisahkan diri dari Propinsi Jawa Timur. Pemisahan itu bisa jadi akan dipacu oleh kebanggaan akan identitas kebudayaan Madura yang lebih baik bersikap “mandiri” dan tidak di bawah bayang-bayang Propinsi Jawa Timur, yang sebagian besar masyarakatnya juga berbeda identitas kebudayaannya dengan orang Madura.

Di daerah-daerah kabupaten/kota Jawa Timur yang relatif homogen dari perspektif keragaman budaya kelompok etnik, persoalan politik etnik tidak begitu intensif. Sebagai contoh di daerah budaya Mataraman, Kabupaten Madiun atau Kabupaten Nganjuk, persoalan-persoalan politik etnik frekuensinya lebih kecil. Walaupun di dua kabupaten tersebut terdapat kelompok-kelompok ideologi dan politik aliran Islam, tetapi mereka tetap dalam rajutan kebudayaan Mataraman sebagai kebudayaan dominan (dominance culture) yang menjadi pusat referensi perilaku sosial, sehingga konflik budaya bisa diminimalisasi. Kalaupun konflik sosial bisa terjadi sebab-sebabnya adalah perbedaan politik kepartaian atau masalah pertanahan.

Sebaliknya, di daerah kabupaten/kota yang beragam kelompok etniknya, seperti di Jember dan Banyuwangi. Kelompok-kelompok masyarakat yang diabaikan aspirasinya atau wilayahnya kurang tersentuh oleh dinamika pembangunan daerah akan dengan mudah memunculkan wacana tandingan dalam pembangunan wilayah, termasuk keinginan untuk membentuk kabupaten baru. Jika aspirasi demikian tidak ditanggapi secara bijaksana atau direpresif oleh pemerintah daerah justru bisa menimbulkan konflik sosial atau kerusuhan massal.

Sebaliknya juga elite pemerintah di daerah dapat memanfaatkan unsur-unsur etnisitas untuk memperkuat atau mengonsolidasikan kekuatan politik yang dimiliki dalam rangka mempertahankan status quo atau dalam upaya menghadapi lawan-lawan politiknya. Hal seperti ini menunjukkan bahwa gerakan atau pemikiran politik etnik tidak hanya dilakukan oleh kelompok etnik, tetapi juga elite politik di tingkat daerah untuk meraih kepentingan-kepentingan politik mereka. Identitas sosial-budaya kelompok etnik dan etnisitas dapat didayagunakan secara fleksibel oleh siapa pun dalam upaya mencapai kepentingan politik tertentu.

Kepentingan politik di atas berupa perebutan akses sumber daya kekuasaan dan ekonomi lokal. Oleh sebab itu, di kabupaten-kabupaten/kota yang plural identitas budaya masyarakatnya, hendaknya harus dicermati secara saksama jika ada elite penguasa yang secara berlebihan memperlakukan salah satu budaya kelompok etnik. Dibalik kebijakan perlakuan yang berlebihan itu biasanya tersimpan kepentingan-kepentingan politik mereka yang sebenarnya. Kepentingan-kepentingan sempit tersebut tidak mudah terbaca secara publik karena dibalut oleh aksentuasi budaya.

Oleh sebab itu, di daerah-daerah kabupaten/kota yang cukup plural kebudayaan masyaraktnya, pemerintah daerah setempat harus memperhatikan hal-hal berikut ini sehingga tidak mendorong terjadinya gerakan politik etnik yang bisa menjurus ke konflik sosial dan mengganggu jalannya pembangunan daerah.

Pertama, kebijakan pembangunan wilayah yang merata secara adil dan proporsional, sehingga tidak ada wilayah dan masyarakat yang merasa diabaikan dalam proses pembangunan daerah. Dalam hal ini, aspirasi pembangunan masyarakat dan harapan akan perhatian pemerintah terhadap wilayahnya hendaknya dikelola dengan baik.

Kedua, strategi pengelolaan sumber daya alam di daerah hendaknya juga memberikan keuntungan timbal-balik bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya, tempat sumber daya alam itu ada dan harus dihindari kerusakan lingkungan, sehingga hal ini bisa meredam gejolak masyarakat yang tidak puas dengan strategi pembangunan tersebut.

Ketiga, tidak memberikan perlakuan yang istimewa kepada kelompok etnik tertentu dalam kaitannya dengan akses politik dan ekonomi di daerah atau di pusat-pusat kekuasaan. Jika perlakuan istimesa diberikan, hal ini akan mengundang resistensi dari kelompok etnik yang lain. Kasus-kasus kerusuhan sosial anti Cina karena pemerintah memberikan perlakuan yang istimewa tersebut.
Keempat, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh kelompok etnik untuk mengekspresikan kebudayaan yang mereka miliki, seperti adat-istiadat, upacara, kesenian, pakaian, dan bahasa. Kebebasan berekspresi ini untuk belajar merayakan dan menghargai perbedaan budaya.

Kelima, membentuk forum komunikasi lintas budaya dalam rangka mengembangkan pemahaman bersama tentang entitas perbedaan sosial-budaya masyarakat dan membangun norma-norma kolektif yang berkaitan dengan sikap toleransi sosial dan saling membantu.

Kelima hal di atas secara tidak langsung akan berimplikasi pada upaya memberdayakan kelompok-kelompok etnik yang ada di suatu daerah dan meminimalisasi munculnya gerakan politik etnik yang bisa berbuntut konflik sosial berkepanjangan. Dengan jalan demikian, diharapkan perbedaan dan keragaman kelompok etnik diperlakukan sebagai modal sosial pembangunan daerah dan bukan sebagai kendala atau penghambat pembangunan daerah. Oleh sebab itu, sikap-sikap sektarianisme dalam ideologi dan afiliasi politik aliran harus ditekan seminimal mungkin karena realitas kehidupan dalam masyarakat majemuk mewajibkan setiap konstituennya untuk saling memberi dan menerima dalam menciptakan suatu integrasi sosial. Hal-hal seperti ini merupakan bagian penting dalam meletakkan fondasi struktur masyarakat kewargaan (civil society) yang bermartabat.


Penutup
Masa transisi menuju demokrasi dalam sistem politik multipartai dan era otonomi daerah seperti sekarang merupakan masa yang rawan dalam mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegera di dalam masyarakat yang multi etnik. Peluang-peluang politik yang ada sering belum bisa dimanfaatkan secara optimal oleh seluruh kelompok masyarakat yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik. Kecenderungan perilaku politik dominan di kalangan politisi sipil di lembaga-lembaga legislatif atau elite politik di jajaran eksekutif untuk mengutamakan kepentingan pribadinya daripada kepentingan publik merupakan ancaman serius bagi upaya membangun masyarakat kewargaan dan meminimalisasikan resistensi sosial politik dari masyarakat atau kelompok etnik.

Dalam situasi demikian akan memberikan ruang yang luas bagi munculnya wacana dan pemikiran politik etnik atau gerakan politik etnik yang bisa menimbulkan konflik sosial bersifat horisontal dan struktural, sehingga mengganggu dinamika pembnagunan di daerah. Potensi politik yang seperti ini senantiasa ada dan berpeluang untuk terjadi karena basis sosial-budaya masyarakat kita sangat mendukung dan kedewasaan kita dalam berpolitik masih kurang. Era otoriter pemerintah pusat sudah berakhir, tetapi era “otoriter” pemerintah (badan legislatif) daerah juga sedang terbit. Konflik-konflik sosial berbasis etnisitas atau gerakan “sparatisme di kabupaten/kota” justru tumbuh karena dipicu oleh karakter penguasa di era otonomi daerah yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat luas.

Oleh sebab itu, semua pihak, khususnya kalangan eksekutif dan jajarannya serta para politisi di lembaga legislatif hendaknya menyadari bahwa kekuasaan itu harus dikelola untuk menciptakan kemakmuran masyarakat luas. Kebijakan-kebijakan pembangunan daerah harus bersifat adil bagi semua kelompok masyarakat, proporsional, dan transparan serta seharusnya berpijak pada kebutuhan masyarakat di daerah. Kebijakan tersebut diarahkan untuk mengembangkan secara penuh potensi sumber daya manusia daerah dalam kerangka pemberdayaan masyarakat atau kelompok-kelompok etnik. Daya pengikat kolektif yang kuat untuk menciptakan kerja sama antarberbagai pihak yang berkompetensi adalah dengan membangun saling percaya (trust) sebagai pijakan sentral untuk membangun keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan. Jika elite penguasa di daerah sulit dipercaya oleh masyarakatnya, niscaya hal seperti ini hanya akan mengundang berbagai jenis gerakan politik etnik yang justru kurang menguntungkan bagi pembangunan di daerah. ***

2 komentar:

  1. maaf sebelumnya pak, kalo buku dari bapak ayu sutarto tentang pemetaan kebudayaan apakah di jual di toko buku seperti Gra**dia?? saya sudah cari di perpus malang tapi tidak ada. trimakasih sebelumnya

    BalasHapus