November 17, 2008

GEJALA KOMODITISASI KEKUATAN SUPRANATURAL

GEJALA KOMODITISASI KEKUATAN SUPRANATURAL


Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
FISIP Universitas Jember




Salah satu tujuan reformasi yang dimotori dan digulirkan oleh kelompok mahasiswa Indonesia adalah tegaknya supremasi hukum di seluruh wilayah Negara Kesatuan RI. Namun, kenyataan yang dapat disaksikan selama ini justru di mana-mana terlihat berbagai ragam bentuk pelanggaran hukum hampir di semua aspek kehidupan masyarakat. Sementara kalangan mengartikannya sebagai luapan euforia (politik) setelah selama lebih dari tiga dekade terbelenggu oleh kekuasaan otoriter dan represif rezim Orde Baru. Wujud euforia yang terkesan kebablasan ini adalah gerakan-gerakan protes sosial yang sering kali disertai ancaman kekerasan fisik. Gerakan-gerakan ini hampir dapat dipastikan akan muncul ketika masyarakat merasakan adanya “ketidak adilan” oleh ulah birokrasi atau elemen-elemen institusi negara lainnya.
Misalnya, ketika salah seorang warga suatu komunitas ditahan oleh aparat kepolisian karena kedapatan melakukan perbuatan pidana, serta merta anggota komunitas lainnya secara serempak melakukan penekanan-penekanan dengan ancaman kekerasan agar pelaku tindakan kejahatan tersebut dikeluarkan untuk diadili menurut cara mereka sendiri. Sebab, menurut logika mereka, tindakan aparat kepolisian itu diianggap sudah tidak lagi dapat memenuhi rasa keadilan. Padahal, penahanan itu seyogyanya dipahami sebagai awal dari suatu proses penegakan hukum. Persepsi mereka ini telah secara akumulatif terbentuk oleh pengalaman masa lalu selama masa rezim represif Orde Baru. Kasus-kasus lain, misalnya, gerakan-gerakan massa sejenis yang tujuannya untuk meminta kembali hak-hak kepemilikan mereka yang sempat dirampas oleh aparat rezim Orde Baru, terutama berkaitan dengan lahan-lahan pertanian atau lahan-lahan lain yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Kasus-kasus semacam itu terajdi hampir di seluruh masyarakat Indonesa tak terkecuali di Madura. Misalnya, para petani garam di kawasan Kalianget, kabupaten Sumenep, sudah sering kali melakukan unjuk rasa disertai ancaman-ancaman kekerasan ke pihak PT Garam setempat untuk menuntut “rasa keadilan” atas lahan-lahan mereka yang sempat dirampas oleh rezim Orde Baru demi alasan “pembangunan”. Ironisnya, aparat birokrasi serta elemen-elemen institusi negara lainnya menjadi tidak berdaya menghadapi semua bentuk gerakan-gerakan massa penuh kekerasan itu. Pada konteks inilah tujuan reformasi untuk menegakkan supremasi hukum seakan telah kandas.
Pada kasus-kasus yang terjadi di Madura, muncul suatu fenomena menarik dalam kehidupan aparat birokrasi di sana. Untuk menghadapi dan menangkal kemungkinan terjadinya serangan fisik dari para pengunjuk rasa, aparat birokrasi merasa perlu melengkapi dirinya dengan kekuatan supranatural berupa azimat-azimat (jaza’). Orang Madura biasa menyebutnya sebagai apagar. Tindakan apagar ini dapat diperoleh dari sementara kiai dengan imbalan sejumlah uang. Menurut informasi di lapangan, harga setiap jaza’ sekitar Rp 20 ribu per orang. Oleh karena konon kabarnya hampir setiap instansi merasa perlu mendatangkan seorang kiai untuk men-jaza’ para pegawainya, maka terjadilah jaza-menjaza’ secara kolektif dan serentak. Lebih daripada itu, fenomena budaya yang menarik ini mengandung makna terjadinya gejala komoditisasi kekuatan supra natural yang secara sosial-budaya dan ekonomi saling menguntung semua pihak.
Sebenarnya dalam kebudayaan Madura, tindakan apagar sudah lazim dilakukan oleh orang Madura mulai dari tingkatan sosial paling rendah sampai tingkatan sosial tertinggi. Tindakan apagar ini sifatnya hanya individual dan biasanya baru dilakukan dalam moment-moment tertentu. Misalnya untuk menyembuhkan penyakit yang sedang diderita atau agar yang bersangkutan merasa terjamin keselamatannya ketika sedang menghadapi kesulitan atau musuh. Munculnya fenomena komoditisasi kekuatan supranatural secara massal atau kolektif dan serentak ini di satu sisi selain mengindikasikan “kebingungan kolektif” para aparat birokrasi dalam mencari solusi yang lebih rasional. Lebih spesifik lagi, fenomena ini akan bermakna sebagai kian pudarnya kewibawaan dan otoritas aparat birokrasi di mata masyarakat. Sebaliknya, pada saat yang bersamaan fenomena ini justru menujukkan indikasi semakin kuatnya peran dan fungsi kiai sebagai pusat referensi dan loyalitas bagi orang Madura ketika mereka merasa perlu mencari perlindungan dan keselamatan.
Bila kewibawaan dan otoritas figur aparat birokrasi (rato) kian lama kian memudar dan akhirnya hilang, meskipun fenomena ini secara struktural tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi sosial politik nasional, maka suasana kehidupan sosial Madura yang kian anarkhis penuh dengan berbagai tindakan kekerasan akan semakin merajalela. Apalagi jika hal itu diiringi oleh kian pudarnya kewibawaan dan otoritas figur kiai (guru) karena misalnya mereka telah mulai disibukkan oleh urusan-urusan politik praktis. Bila hal ini benar-benar terjadi, tidak cukup bagi seorang Madura hanya memiliki pusat referensi dan loyalitas kepada kedua orang-tua (buppa’-babu’). Sebab, dalam konteks realitas sistem sosial-budaya Madura, sepanjang perjalanan kehidupan orang Madura tidak dapat dilepaskan dari social and cultural domains yang di dalamnya mencakup kedua figur tersebut: guru dan rato.
Lebih tegasnya, figur rato (birokrasi) dalam realitas budaya Madura berfungsi dan berperanan pula sebagai pusat referensi dan loyalitas orang Madura setelah figur guru (kiai) sebagaimana tercermin dalam ungkapan buppa’-babu’, guru, rato. Bila kewibawaan dan otoritas figur guru dan rato tetap dapat dipertahankan sesuai dengan peran dan fungsi sosial budaya mereka, maka suasana kehidupan sosial anarkhis penuh kekeresan tidak akan pernah terjadi. Sebaliknya, masyarakat Madura justru akan menikmati suasana kehidupan sosial penuh dengan kesejukan, kerukunan dan kedamaian sebagaimana ungkapan rampa’ naong, baringen korong. Dalam konteks ini, maka menjadi semakin perlu merenungkan kembali untuk melakukan revitalisasi sense of Madureseness. Tegasnya, adalah mendesak sekali perlunya meresapi dan menghayati kembali, kemudian mengamalkan secara konsisten makna-makna substantif dari beberapa ungkapan sebagaimana disebutkan di atas sesuai dengan konteks kehidupan sosial budaya Madura. Semua upaya ini pada akhirnya sudah barang tentu terpulang sepenuhnya pada setiap individu yang masih mengaku sebagai pendukung dan pemelihara kebudayaan Madura. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar