Desember 11, 2008

WAWANCARA TOKOH

RRADAR MADURA, November 2002


Setelah lama bertugas di luar Madura (dosen Unej), bagaimana perasaan Bapak ketika kembali ke Madura?

Tentu saja saya merasa senang sekaligus sedih. Saya merasa senang karena secara jujur saya harus mengatakan bahwa sebelumnya saya tidak pernah bermimpi akan mendapat kesempatan (sekaligus kehormatan) dari Rektor Universitas Trunojoyo untuk ikut berpartisipasi secara langsung dalam universitas ini dengan suatu jabatan yang begitu prestisius secara akademik yaitu sebagai Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM). Sebagai akademisi yang sengaja memilih bidang disiplin ilmu Antropologi Budaya (khususnya budaya Madura) tentu melalui lembaga ini terbuka kesempatan sangat luas bagi saya untuk dapat mengembangkan sekaligus mengaplikasikan disiplin ilmu yang saya tekuni. Namun di balik itu saya merasa sedih, sebab jabatan ini merupakan suatu amanah tidak ringan yang harus dilaksanakan secara profesional disertai akuntabilitas akademik demi merealisasikan visi dan misi Universitas Tronojoyo. Sebagai akademisi saya sangat sadar bahwa saya harus terus belajar dan belajar lagi tidak saja teoretik namun lebih penting daripada itu secara empirik. Dengan demikian, saya merasa belum memiliki apa pun yang dapat diandalkan untuk mengemban amanah tadi. Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika saya sangat mengharapkan semua kolega di universitas ini bersedia membantu dan bekerjasama dengan saya merealisasikan amanah tadi sekaligus menciptakan suasana dan iklim akademik yang kondusif, impresif, serta penuh semangat profesionalitas.


Mengapa Bapak mau kembali ke Madura?

Ha…ha….ha….. Maaf, saya tidak menertawakan pertanyaan Anda. Saya tertawa karena dalam pertanyaan ini dapat saja diinterpretasikan bahwa seharusnya saya tidak mau kembali ke Madura. Kalau interpretasi saya benar, saya harus balik bertanya, mengapa tidak? Saya tentu harus menjelaskan pertanyaan saya ini paling tidak dari dua perspektif. Pertama, dalam perspektif sosiologis dan antroplogis, saya tetap merasa sebagai reng Madura. Oleh karena itu, tidak ada yang salah jika saya memutuskan kembali ke Madura sehingga saya dapat berkumpul kembali dengan semua taretan yang ada di sini sekaligus menjalin kembali tali silaturahim secara lebih erat lagi. Kedua, dalam konteks dan perspektif akademik harus saya akui, meskipun saya reng Madura, tidak ada jaminan bahwa saya telah memahami masyarakat dan kebudayaan Madura secara lebih baik daripada orang luar. Oleh karena itu, kepindahan saya ke Madura sangat berarti bagi diri saya dalam meniti karier akademik. Dengan latar belakang disiplin ilmu yang saya geluti saya merasa dapat mempelajari dan memahami masyarakat dan kebudayaan Madura secara lebih mudah dan intensif dibandingkan jika saya ada di luar. Dengan bekal ini, kemudian saya berupaya dapat berbuat sesuatu dengan lebih bermakna lagi demi Madura yang sangat saya cintai.


Sebagai antropolog, bagaimana Bapak melihat perkembangan kebudayaan dan masyarakat Madura saat ini? Langkah-langkah yang perlu dilakukan apa saja?

Bagi saya masyarakat dan kebudayaan Madura secara sosio-antropologis memiliki karakter ambivalensi yang sangat khas. Misalnya, orang Madura tahu pasti kapan dan dalam situasi sosial mana harus menunjukkan sikap dan perilaku ramah dan santun yang begitu ihlas. Realitas ini sering kali membuat orang luar Madura seakan tidak percaya karena selama ini dalam pikiran mereka sudah terlanjur dijejali oleh stereotype negatif. Sebaliknya, terutama jika harga diri terusik, orang Madura tidak akan segan menunjukkan sikap serta perilaku resisten yang sangat keras. Secara pribadi, saya mengharapkan sikap dan perilaku ini dapat dikendalikan secara lebih proporsional. Untuk itu agaknya penting bagi orang Madura untuk selalu berupaya menggunakan bahasa abhasa dan menghindari kebiasaan pemakaian bahasa mapas. Sebab, dengan mapas orang Madura dapat secara bebas mengekspresikan sikap dan perilaku yang jauh dari nuansa keramahtahaman dan kesantunan. Dalam konteks ini, potensi konflik sangat mudah terbentuk. Pada gilirannya, tidak mustahil konflik kekerasan akan muncul pula. Oleh karena itu penting dipikirkan kembali agar orang Madura, khususnya generasi mudanya, melatih diri agar terbiasa menggunakan bahasa Madura sebagai lingua franca serta mengenal tingkatan bahasa Madura secara lebih baik. Saya melihat sudah muncul kebiasaan bagi mereka untuk menghindari dan meninggalkannya. Kebiasaan ini tentu saja merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura ke depan. Saya tidak ingin suatu saat nanti bahasa Madura sebagai salah satu identitas etnik paling penting bagi orang Madura menjadi lenyap akibat ulah orang Madura sendiri. Kalau ini benar-benar terjadi, suatu ironi yang patut disesalkan.


Madura yang mempunyai penduduk besar dan kebudayaan yang unik, tapi penelitian tentang Madura minim, mengapa?

Ini memang suatu realitas yang sangat saya prihatinkan. Pada umumnya orang luar, khususnya para ilmuwan sosial, selalu memandang sebelah mata terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura. Mereka cenderung menganggap bahwa tidak penting meneliti masyarakat dan kebudayaan Madura. Salah satu alasan mereka yang saya tangkap mereka cenderung memaknai posisi sosial-budaya Madura lebih rendah daripada masyarakat dan kebudayaan lain (terutama Jawa). Kalau pun ada di antara mereka yang berminat meneliti, biasanya mereka tidak mau melakukannya secara mendalam sehingga mereka biasanya hanya mencari data lapangan dalam jangka waktu pendek atau beberapa hari saja. Akibatnya, persepsi dan pemahaman mereka tentang masyarakat dan kebudayaan Madura tidak komprehensif dan proporsional. Bahkan tidak jarang justru tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi akademisi asal Madura untuk membenahinya. Bukannya mereka tetap diam dan tidak peduli sehingga terkesan ikut “memelihara” persepsi dan pemahaman orang luar yang sudah terlanjur kurang tepat itu.


Unijoyo akan mendirikan pusat penelitian (Puslit) Masyarakat dan Kebudayaan Madura, kapan akan dibentuk? Apa saja yang akan digarap?

Bukan akan, tapi sudah didirikan dua bulan lalu tepatnya awal Agustus. Sesuai dengan struktur kelembagaan yang ada dalam universitas (negeri), urusan penelitian ditangani oleh Lembaga Penelitian yang di dalamnya dapat dibentuk Pusat-pusat Penelitian sesuai dengan kebutuhan dan urgensinya. Untuk Universitas Trunojoyo, kebetulan saya ditugaskan oleh Rektor untuk menangani Lembaga Penelitan dan Pengabdian pada Masyarakat(LPPM) sekaligus dengan Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan Madura (PPMKM). Bagi saya tugas ini merupakan suatu amanah yang sama sekali tidak ringan.
Sesuai dengan namanya, PPMKM akan saya arahkan menjadi suatu lembaga yang secara khusus akan mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan masyarakat dan kebudayaan Madura. Dari hasil kajian itu saya mengharapkan Puslit ini pada saatnya nanti menjadi suatu institusi yang dapat diandalkan sebagai pusat informasi bagi semua kalangan (baik dalam dan luar negeri) yang berminat ingin mengatahui dan memahami masyarakat dan kebudayaan Madura. Saya sangat sadar untuk mewujudkan “impian” ini sudah tentu memerlukan waktu serta kerja keras. Untunglah, pada saat ini sudah ada beberapa lembaga baik pemerintah maupun akademik di tingkat regional maupun nasional yang mau bekerja sama dengan kami. Bahkan beberapa lembaga penelitian manca negara sudah menyatakan keinginan yang sama.


Urgensi Puslit terhadap perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura?

Hasil kajian yang dilakukan oleh PPMKM dapat dijadikan sebagai bahan refleksi serta wacana akademik tentang masyarakat dan kebudayaan Madura baik pada lingkup internal Universitas Trunojoyo sendiri dalam proses belajar-mengajar maupun pada lingkup eksternal oleh berbagai kalangan semisal LSM-LSM yang berminat dan peduli terhadap masyarakat dan kebudayaan Madura. Semua itu kemudian harus dapat diimplementasikan dan diaplikasikan secara kongkrit di tataran praksis. Sebab, harus disadari oleh semua pihak bahwa semua upaya itu hanya akan merupakan mimpi di siang hari jika tidak didasarkan pada hasil kajian atau penelitian empirik.


Bapak pernah membuat desertasi tentang carok, bagaimana konsep carok itu sendiri menurut hasil penelitian Bapak?

Wah….., terlalu panjang untuk saya jelaskan dalam rubrik ini. Lebih baik dibaca bukunya agar lebih jelas. Alhamdulillah, menurut informasi dari penerbit LKiS Yogyakarta, stock buku Carok saat ini telah habis.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar