November 25, 2008

PERANGKAP MISMETODOLOGIS DALAM MEMAHAMI MASYARAKAT NELAYAN

KOMPAS, 30 April 2003




PERANGKAP MISMETODOLOGIS DALAM

MEMAHAMI MASYARAKAT NELAYAN



* Tanggapan atas Tulisan Kusnadi dan Bagong Suyanto



Oleh: Dr. A. Latief Wiyata



Dalam menanggapi tulisan Kusnadi di harian ini (Kompas, 16 April 2003), Bagong Suyanto (Kompas, 23 April 2003) telah menyinggung peranan tengkulak (pedagang ikan) yang dianggapnya telah menimbulkan kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan. Sinyalemen Bagong ini telah memperoleh tanggapan balik dari Kusnadi yang melihat peranan tengkulak atau pedagang perantara tidak sejelek yang dibayangkan oleh Bagong (Kompas, 6 Mei 2003). Substansi tanggapan balik tersebut masih “digugat” lagi oleh Bagong, dengan tetap berpijak pada pendapatnya semula bahwa para tengkulak “dicurigai” sebagai biang keladi dari terpuruknya kesejahteraan hidup masyarakat nelayan selama ini (Kompas, 9 Mei 2003).


Polemik tentang kemiskinan nelayan dan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan hidup mereka seperti yang terjadi di harian ini dan telah memasuki putaran kedua akan berlanjut karena masih menyisakan sejumlah persoalan yang belum dijawab tuntas. Setiap tanggapan yang diberikan oleh para “polemikus” ini sering mengundang masalah baru, sehingga diperlukan tanggapan balik berikutnya. Demikianlah seterusnya.


Secara akademis, polemik di harian ini didasari oleh semangat untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan benar tentang persoalan kehidupan masyarakat nelayan. Polemik telah berlangsung secara jujur, kritis, objektif, dan konstruktif untuk pengembangan wawasan keilmuan. Dalam kaitannya dengan substansi persoalan yang diangkat sebagai tema polemik, polemik kali ini memiliki nilai yang strategis dari beberapa aspek.


Pertama, secara kuantitatif, kajian tentang masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir masih sangat terbatas (langka), jika dibandingkan dengan masyarakat petani atau masyarakat perkotaan. Kajian terhadap masyarakat nelayan ini memiliki nilai yang sangat berarti untuk kepentingan pembangunan manusia karena masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang paling miskin, dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya, seperti dikatakan oleh Kusnadi.


Kedua, kelangkaan kajian di atas, sangat ironis jika dikaitkan dengan sifat negara kita sebagai negara maritim yang terbesar di dunia. Dari segi akademis ini, kita kalah jauh dengan kuantitas dan kualitas kajian serupa di Filipina dan Thailand. Kelangkaan ini juga mencerminkan lemahnya perhatian kita di bidang kemaritiman (ocean policy), sehingga menjadi wajar jika akhirnya pembangunan terhadap sektor kemaritiman nasional masih terbelakang jika dibandingkan dengan kedua negara anggota ASEAN di atas. Kelengahan kita di bidang kemaritiman justru dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan dari kedua negara tersebut untuk melakukan praktik penangkapan ilegal di perairan Indonesia.


Ketiga, mengkaji masyarakat nelayan bukan persoalan yang mudah sehingga bisa menarik perhatian para peneliti. Daerah pantai yang panas, pemukiman nelayan yang padat dan sesak, dan kondisi masyarakatnya yang dianggap “keras”, merupakan hambatan bagi seseorang untuk meminati kajian masyarakat pesisir.


Oleh sebab itu, polemik di harian ini dapat menggugah kepedulian semua pihak terhadap persoalan-persoalan masyarakat nelayan, membangkitkan semangat mencintai budaya bahari, dan meningkatkan kepedulian pembangunan di sektor kemaritiman nasional. Sumber daya pesisir dan laut merupakan potensi pembangunan nasional di masa depan. Ketika sumber daya kehutanan dan pertanian tidak dapat lagi diharapkan untuk menunjang kelangsungan pembangunan nasional, maka satu-satunya tumpuan utama yang bisa diharapkan untuk mendukung pembangunan nasional adalah sumber daya pesisir dan kelautan. Sektor kemaritiman ini sejak dini sudah harus memperoleh perhatian yang lebih serius lagi.



Perangkap Mismetodologis


Baik Kusnadi maupun Bagong sebenarnya berupaya keras untuk mencari tahu tentang peranan yang sesungguhnya dari tengkulak dalam masyarakat nelayan. Perbedaan interpretasi atas peranan tengkulak bisa saja terjadi karena yang dijadikan objek contoh kasus adalah berbeda. Perbedaan itu bisa berhubungan dengan perbedaan karakteristik desa nelayan dan kondisi masyarakat nelayan.


Jika perbedaan-perbedaan di atas memang nyata, berarti interpretasi atas peranan tengkulak bisa dibenarkan interpretasi kedua “polemikus” tersebut. Akan tetapi, apabila perbedaan tersebut karena kesalahan dalam memberikan interpretasi terhadap teks sosial atau fakta sosial tentang eksistensi tengkulak dalam masyarakat nelayan, maka hal ini merupakan kesalahan metodologis (mismetodologis) yang cukup mendasar. Masalah ini perlu diklarifikasi agar kita tidak menarik pendapat atau mengambil kesimpulan yang salah atas sebuah teks sosial.


Kesimpulan dan pendapat yang salah karena mismetodologis tadi akan sangat berbahaya kalau kesimpulan atau pendapat tersebut dijadikan sebagai dasar perencanaan kebijakan dalam memberdayakan masyarakat nelayan. Misalnya saja, jika kita melihat tengkulak itu sebagai pihak yang harus disingkirkan dalam masyarakat nelayan atau sebaliknya sebagai kawan yang harus diperhitungkan eksistensinya dalam membangun masyarakat nelayan, tentu kedua pandangan ini akan melahirkan penyikapan yang berbeda terhadap pembangunan masyarakat nelayan.


Program-program pemerintah yang bertujuan untuk menguatkan kelembagaan ekonomi lokal, seperti dikembangkannya KUD Mina di desa-desa nelayan, sering berakhir dengan kegagalan total, karena pembangunan kelembagaan tersebut dilakukan untuk diperhadapkan atau untuk menyingkirkan kelembagaan ekonomi atau organisasi ekonomi lokal, seperti keberadaan tengkulak, yang sudah mapan pada masyarakat nelayan. Resistensi sosial akan muncul karena kehadiran “lembaga modern” KUD Mina dianggap sebagai ancaman terhadap dasar-dasar organisasi ekonomi lokal.


Kusnadi sebagai seorang antropolog dan Bagong sebagai seorang sosiolog tentu saja memiliki orientasi metodologis yang berbeda. Seorang antropolog akan cenderung memahami teks sosial secara kualitatif penuh, sedangkan seorang sosiologi melihat teks sosial yang bisa diukur (kuantitatif). Pendekatan yang berbeda ini akan menimbulkan strategi yang berbeda ketika menempatkan posisi seorang informan dalam kegiatan suatu kajian/penelitian lapangan. Karena itu, Kusnadi melihat fenomena tengkulak bagi nelayan tidak hanya dari perspektif ekonomi, tetapi juga dari perspektif sosial-budaya.


Perspektif antropologi ekonomi memang sah dan valid melihat fenomena teks sosial itu dari aspek ekonomi dan sekaligus aspek sosial budaya. Hal seperti ini yang sulit diterima oleh Bagong, sehingga perbedaan itu susah untuk dipersatukan. Menurut Bagong jika kedua aspek tersebut dieksplorasi, maka akan menyulitkan secara kongkret melihat nilai keuntungan ekonomis yang diperoleh nelayan dalam kerja samanya dengan para tengkulak. Dengan orientasi seperti ini, seorang sosiolog akan “cenderung” melihat tengkulak sebagai parasit yang merugikan nelayan.


Masalah lain yang sering menimbulkan perdebatan adalah berkembangnya stereotip negatif di kalangan nelayan, seperti hidup boros, sulit diatur, tidak bisa dipercaya, dan lain sebagainya. Stereotip negatif ini memang tidak menguntungkan nelayan. Kalau selama ini pemerintah dalam meluncurkan program-program pemberdayaan dengan menempatkan nelayan sebagai objek pemberdayaan dan bukan subjek pemberdayaan sebagaimana diinginkan Bagong Suyanto, hal ini terjadi karena salah satu pertimbangannya adalah berdasar pada stereotip tersebut. Dengan stereotip tersebut, seolah-olah nelayan harus diajari bagaimana menjadi orang yang tidak boros hidupnya, bisa dipercaya orang lain, tidak mengotori lingkungan, dan sebagainya. Jadi, stereotip menjadi legitimasi penempatan nelayan sebagai objek pembangunan.


Kita sering lupa bahwa gaya hidup yang disebut “boros” itu sesungguhnya tidak tepat. Konsumsi yang agak berlebihan tersebut dilakukan oleh keluarga nelayan hanya pada saat memperoleh penghasilan yang cukup besar. Mereka juga ingin menikmati hidup yang sewajarnya, tidak harus terpaksa hidup irit terus-menerus. Sekalipun demikian, mereka memiliki kemauan untuk menyisihkan sedikit dari penghasilan yang berlebih itu untuk ditabung atau dibelikan barang-barang berharga, yang kelak bisa didayagunakan kalau terjadi kesulitan ekonomi.


Pandangan, pendapat, atau kesimpulan menjadi kurang tepat karena para peneliti masyarakat nelayan tidak berangkat dari persepsi nelayan tentang kehidupannya (emic view), tetapi berangkat dari persepsi peneliti sendiri (etic view) terhadap masyarakat nelayan. Hal ini merupakan perangkap mismetodologis yang akan menjauhkan pemahaman yang benar tentang eksistensi dan kebudayaan masyarakat nelayan.



Intensifkan Kajian


Kajian masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir merupakan kajian yang besifat lintas disiplin atau lintas sektoral dan dengan metodologis yang tepat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan sangat kompleks, sehingga tidak cukup persoalan tersebut hanya dijelaskan dari satu sudut pandang. Kajian demikian menjadi penting agar kita memiliki pemahaman yang baik tentang keberadaan masyarakat nelayan.


Di samping itu, sifat kajian di atas akan memberikan kontribusi untuk menetralisasi bias pandang atau mispersepsi tentang masyarakat nelayan dan kebudayaannya. Hasil kajian merupakan modal sosial-budaya yang bermanfaatkan untuk mendasari strategi atau model pemberdayaan masyarakat nelayan yang akan dipilih. Harapannya adalah agar program-program pemberdayaan dapat mencapai hasil yang optimal. Oleh sebab itu, telaah dari berbagai disiplin, khususnya dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora, harus terus diintensifkan agar pengayaan hasil kajian dapat membantu kepedulian pemerintah dan masyarakat untuk melihat sumber daya pesisir dan laut sebagai tumpuan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa depan.


Dukungan harian ini memfasilitasi polemik kemiskinan nelayan sangat konstruktif untuk meningkatkan kepedulian dan pemihakan sosial politik terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat nelayan dan pengelolaan sumber daya pesisir-laut secara berkelanjutan. Sangat ironis bagi kita bahwa sebuah negara maritim yang maha luas dan kaya akan sumber daya ini ternyata masyarakat pesisirnya miskin dan terbelakang karena perhatian pembangunan yang kurang. Selama masa Orde Baru, kita telah memalingkan diri dari laut (maritim) dan memeluk erat-erat daratan (pertanian dan industrialisasi) yang ternyata juga tidak menjadikan bangsa dan negara ini jaya sebagai negara agraris dan negara industri. Buktinya, petani tetap miskin, beras, jagung, gula, ikan tuna terus mengimpor, swasembada pangan sebuah ilusi, dan IPTN turun derajatnya secara drastis!



1 komentar:

  1. Ass...Bela
    Tentang 'Nelayan'..mang komplek bgt..
    Betul,persoalan yang dihadapi oleh mereka(masyarakat nelayan)tidak cukup dijelaskan dari satu sisi aja. Tapi, yg terbayang..setiap hari berkutik dengan bau amisss dan berteman angin malam...hehehe..
    Tq yaaa...myBlog ada di Links Bela...

    BalasHapus