November 23, 2008

KONDISI SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI PENGUNGSI AKIBAT KERUSUHAN SOSIAL KALIMANTAN DI KABUPATEN SAMPANG DAN BANGKALAN, MADURA

Makalah ini dipresentasikan dalam Workshop tenteng “Pengungsi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan (PMB-LIPI) bekerjasama dengan Refugee Studies Center (RSC), Oxford University, Inggris, pada tgl. 15-16 April 2004 di Gedung Widya Graha LIPI, Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Makalah ini masih merupakan draft yang akan dikembangkan lebih lanjut.


KONDISI SOSIAL-BUDAYA DAN EKONOMI

PENGUNGSI AKIBAT KERUSUHAN SOSIAL

KALIMANTAN DI KABUPATEN SAMPANG

DAN BANGKALAN, MADURA



A. Latief Wiyata Universitas Jember


Meskipun peristiwa kerusuhan sosial antara orang Madura dan Orang Melayu/Dayak terjadi lebih dari lima tahun (sejak 1999) di Sambas Kalimantan Barat, dan tiga tahun di Sampit Kalimantan Tengah, tapi persoalan para pengungsi orang Madura yang berasal dari kedua tempat tersebut belum dapat ditangani secara tuntas sampai laporan penelitian lapangan ini ditulis.


Orang-orang Madura yang mengungsi (IDPs) akibat kasus Sambas banyak terkonsentrasi di kabupaten Bangkalan, sedangkan yang berasal dari Sampit terkonsentrasi di wilayah kabupaten Sampang. Meskipun kedua kelompok pengungsi tersebut sama-sama merupakan pengungsi akan tetapi jumlah keduanya sekarang sangat berbeda dibandingkan dengan ketika mereka “tiba” di tanah leluhurnya, Madura.


Laporan ini dibuat berdasarkan data hasil pantauan di lapangan yang begitu singkat; seminggu di wilayah kabupaten Sampang dari tanggal 31 Oktober s/d. 6 November 2003dan seminggu berikutnya di kabupaten Bangkalan (tgl. 7 s/d 13 November 2003) ke tempat-tempat konsentrasi mereka. Data tersebut diperoleh dengan metode depth interview langsung dengan para pengungsi baik yang ada di kabupaten Sampang maupun Bangkalan serta data-data sekunder dari FK4 (Forum Kominukasi Korban Kerusuhan Kalimantan) Ketapang, Sampang. Selain itu, laporan ini juga dilengkapi oleh hasil kerja lapangan sebelumnya (Maret, Juni dan Oktober 2002) di lokasi yang sama dan beberapa informasi hasil wawancara dengan para pengungsi asal Sampit yang berada di kecamatan-kecamatan Tanggul dan Sumber Baru, kabupaten Jember selama masing-masing kurang lebih dua minggu.



Pengungsi di Kabupaten Sampang


Berdasarkan sumber data dari FK4, di kabupaten Sampang para pengungsi terkonsentrasi di enam kecamatan, yaitu: Ketapang, Banyuates, Kedungdung, Robatal, Sokobanah, dan Tambilangan berjumlah 16.665 Kepala Keluarga (KK), atau 63.818 jiwa. Di desa-desa lain selain keenam desa tersebut dalam kenyataannya masih dapat ditemukan pula beberapa orang pengungsi namun jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar antara 5 sampai 10 jiwa. Adapun rincian jumlah pengungsi di enam kecamatan tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel 1 sampai 7 pada Lampiran (Semua data masih bersifat sementara, dalam arti masih penting untuk diupdate melalui kegiatan lanmpangan lanjutan oleh karena perkembangan di lapangan terus mengalami perubahan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada).



Kondisi Sosial-budaya dan Ekonomi


Sejak pertama kali menjalani kehidupan sebagai pengungsi mereka pada umumnya mengaku mengalami dan merasakan keterasingan di lingkungan sosial dimana mereka hidup. Kenyataan ini terutama dialami dan dirasakan oleh para pengungsi yang sudah tidak memiliki kerabat lagi di Madura atau mereka yang sudah puluhan tahun tidak pernah pulang ke Madura. Bahkan banyak di antara mereka baru mengunjungi Madura saat itu. Oleh karena sanak keluarga sudah tidak ada, mereka ditampung di keluarga-keluarga penduduk lokal yang tidak memiliki hubungan kekerabatan, yaitu di “rumah sisipan” Istilah lokal untuk menyebut tempat penampungan para pengungsi yang dibangun di sisi-sisi rumah penduduk lokal, bahkan tidak jarang ada di belakang rumah induk.


Alasan kesediaan penduduk lokal menampung mereka semata-mata karena rasa kemanusiaan sesama warga Madura. Justru karena dianggap sebagai orang Madura itulah yang membuat mereka semakin merasakan beban keterasingan. Salah satu faktor di antaranya adalah ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan tata-cara bersikap dan berperilaku sebagai orang Madura. Ini mudah dipahami, jangka waktu yang begitu lama meninggalkan kampung halaman – hingga ada beberapa pengungsi yang mengaku sebagai keturunan atau generasi kelima sejak keluarga mereka bermigrasi ke Kalimatan Tangah – banyak sikap dan perilaku mereka sudah tidak sesuai dengan sikap dan perilaku sosial penduduk lokal.


Apalagi ada di antara mereka yang sudah mulai tidak memiliki perbendaharaan bahasa Madura yang “baku”. Akibatnya, ada kesan mereka kurang dapat bergaul dengan bahasa Madura yang lazim, atau dalam istilah lokal mereka terkesan “kasar” dalam menggunakan bahasa Madura. Mereka sudah terpengaruh oleh tatabahasa Banjar atau Indonesia, sedangkan kebanyakan penduduk lokal di pedesaan tempat mereka mengungsi pada umumnya hanya menguasai dan menggunakan bahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari.


Dalam kondisi demikian kehidupan sehari-hari para pengungsi mengaku tidak mampu melakukan interaksi dengan penduduk lokal secara lebih akrab. Padahal, keakraban dalam berinteraksi (pergaulan) merupakan “obat” tersendiri bagi mereka dalam upaya menghilangkan beban-beban pikiran traumatik atas kejadian di Kalimantan. Ketika saya menemui mereka dan berbincang-bincang dengan suasana penuh keakraban meskipun dengan menggunakan bahasa Madura dan diselang-seling dengan bahasa Indonesia, secara terus terang mereka merasa mendapat teman – bahkan kerabat – sekaligus perhatian atas penderitaan yang sedang mereka hadapi. “Selama ini saya merasa tidak mendapat perhatian dari orang-orang di sekitar.


Bahkan banyak di antara mereka yang dengan tega tidak memandang sebelah mata pun kepada kami, “kaum pengungsi”, kata seorang pengungsi mengungkapkan penderitaannya. Salah seorang pengungsi yang lain menambahkan bahwa penderitaan mereka semakin lengkap karena ulah oknum-oknum aparat pemerintahan mengambil keuntungan dengan adanya pengungsi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah jatah bantuan untuk mereka, baik berupa uang maupun natura. Informasi terakhir tentang hal ini diuraikan pada bagian lain di belakang.


Dengan kata lain, salah satu elemen penting yang membentuk ikatan primordial di antara mereka (bahasa Madura) tidak berfungsi. Gara-gara ketidakmampuan berbahasa Madura ini menyebabkan mereka senantiasa kurang diakui dan diapresiasi sebagai orang Madura oleh penduduk lokal. Padahal, pengungsian mereka dari bumi Kalimantan ke Madura justru karena mereka diakui sebagai (keturunan) orang Madura oleh orang-orang Dayak. Dalam konteks ini, agaknya penting sekali suatu pengakuan terhadap elemen-elemen yang ikut membentuk ikatan primordial yang pada gilirannya memunculkan identitas etnik. Kasus tersebut menunjukkan bahwa identitas etnik dapat direkayasa atau dimanipulasi sesuai dengan konteks kepentingan orang yang bersangkutan ketika melakukan interaksi sosial.


Keterasingan yang dialami oleh para pengungsi dapat dilihat pula dari aspek budaya. Dalam pergaulan sosial, para pengungsi sering merasakan adanya sikap dan perilaku yang kurang menghargai dari penduduk lokal. Secara terus terang beberapa orang pengungsi mengakui bahwa dalam pergaulan sosial itu tanpa disadari mereka melakukan sikap dan perilaku yang menurut pandangan dan penilaian orang Madura tidak lazim dan bahkan dianggap tidak sopan. Misalnya, mereka sering mengubah posisi kaki tidak sebagimana lazimnya orang Madura sedang duduk bersila, tanpa menghiraukan penduduk lokal yang ada di depannya. Padahal mereka melakukan itu tanpa ada maksud untuk berbuat tidak sopan, melainkan semata-mata karena kebiasaan seperti itu selama berada di rantau tidak pernah menimbulkan pandangan dan penilaian yang negatif.


Dengan kata lain, sebagai perantau Madura yang sudah menjadi “orang Kalimantan”, mereka tampaknya sudah tidak mengenal lagi nilai-nilai budaya Madura. Bahkan ada di antara mereka secara terus terang mengaku baru menyadari bahwa orang Madura memiliki temperamen keras dan mudah tersinggung, setelah mereka mulai bergaul dengan penduduk lokal. Dengan demikian, dapat dipahami jika dalam kehidupan sosial selama ini sering terjadi ketidaksinkronan dalam mengimpelentasikan sikap dan perilaku budaya antara para pengungsi dengan penduduk lokal. Dalam konteks ini, para pengungsi merasa terasing berada di lingkungan penduduk lokal.


Sebagai penduduk “pendatang”, para pengungsi mengaku sadar akan persoalan di atas dan berangsur-angsur mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budaya setempat. Proses membangun kesadaran diri terhadap lingkungan sosial budaya Madura (penduduk lokal) terus mereka lakukan. Secara terus terang mereka mengaku tidak tahu sampai kapan harus tetap tinggal di pengungsian, meskipun mereka tahu sudah berkali-kali diadakan pertemuan yang pada intinya untuk menyelesaikan persoalan mereka, terutama kepulangan kembali para pengungsi ke Kalimantan yang akan dilakukan secara bertahap. Namun, dalam realitasnya sampai saat wawancara dilakukan, mereka mengaku belum pernah mendapat kepastian kapan harus kembali ke Sampit. Meskipun sudah dibuat Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur yang mengatur tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik, hal itu sudah pasti tidak akan mempunyai makna apa-apa jika tidak direalisasikan secara konkret dan konsekuen oleh para perumusnya dan pihak-pihak penentu kebijakan daerah setempat.


Sebagaimana diberitakan, Pemda Propinsi Kalimantan Tengah sudah menyiapkan pembangunan kembali rumah-rumah pengungsi yang rusak dalam kerusuhan sosial tahun lalu. Pembangunan perumahan dengan alokasi dana sekitar Rp 22 milyar itu dilakukan untuk mengantisipasi kembalinya sekitar 125.000 orang pengungsi. Pada hari Kamis, 14 Maret 2002, Gubernur dan Wali Kota Kalimantan Tengah akan bertolak ke Sampang untuk berembug dengan Pemda Sampang tentang mekanisme rekonsiliasi Madura–Dayak. Keberangkatan Tim Gubernur Kalimantan Tengah ke Sampang ini dikecam oleh Ketua DPRD Kalimantan Tengah karena tidak berkoordinasi dan melibatkan pihak legislatif serta tokoh-tokoh masyarakat Kalimantan Tengah, sehingga dikhawatirkan langkah Tim Gubernur ini justru kontraproduktif untuk menyelesaikan persoalan pengungsi Madura (Kompas, 13 Maret 2002, hal. 19).


Kondisi para pengungsi yang sempat dipantau di lapangan ternyata masih tetap menunjukkan kesan sangat memprihatinkan baik secara sosial-budaya maupun ekonomi. Secara sosial, setelah hampir tiga tahun berstatus sebagai pengungsi mereka selalu mengeluh tidak betah tinggal di pengungsian karena hubungan sosial dengan para kerabat dan penduduk lokal yang semula sangat “welcome” atas kedatangan mereka, diakui oleh para pengungsi telah ada perubahan perlakuan. Banyak dari para pengungsi yang merasa diabaikan oleh penduduk lokal, meskipun penduduk lokal tersebut ternyata masih memiliki ikatan kekerabatan dengan mereka. Apalagi penduduk lokal yang sama sekali tidak ada ikatan itu. Hal ini mudah dipahami, oleh karena selama bergaul dengan penduduk lokal tidak tertutup kemungkinan terjadinya konflik.


Baik konflik antar orang-orang yang sudah dewasa, maupun dan – terutama – antar anak-anak mereka. Sumber keributan biasanya hanya menyangkut hal-hal sepele, seperti rebutan makanan atau alat-alat permainan. Kejadian-kejadian semacam ini memang sulit dihindari oleh karena tempat tinggal mereka saling berdempetan. Mereka hidup dalam suatu suasana kehidupan rumah tangga yang sangat menyesakkan. Banyak di antara para penduduk lokal terpaksa menampung lebih dari 10 sampai 20 orang anggota keluarga pengungsi di rumah-rumah mereka. Kondisi sosial semacam ini ikut berperan terhadap keinginan mereka untuk dapat segera kembali ke Kalimantan.


Keinginan kembali ke Kalimantan semakin kuat karena dipicu lagi oleh kepentingan ekonomi mereka yang dalam kenyataannya tidak ada jaminan kepastian di masa depan. Mereka yang hanya bisa pergi dari Kalimantan tanpa membawa harta benda apa pun, tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghidupi diri dan keluarganya kecuali mengharapkan bantuan dari pihak lain. Bagi sebagian pengungsi yang sempat membawa harta benda dapat melanjutkan usahanya di kota-kota lain di luar Madura, seperti kota Surabaya, sehingga mereka tidak akan merasakan penderitaan hidup sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.


Padahal, menurut penuturan para pengungsi bantuan sudah tidak ada lagi, kecuali dari pemerintah (Dinas Kesejahteraan Sosial) berupa beras yang jumlahnya tidak selalu sama antara 10 Kg sampai 12 Kg per jiwa. Bantuan ini pun tidak selalu diterima setiap bulan. Untuk tahun 2003, hampir semua pengungsi yang diwawancarai mengaku baru empat kali menerima bantuan tersebut yaitu pada bulan April, Juli, Agustus, dan September. Mereka tidak tahu mengapa bantuan tersebut tidak dibagikan setiap bulan. Bantuan beras lain yang mereka harapkan adalah yang berasal dari World Food Programe (WFP) didistribusikan oleh LSM “Walsama” sebagai perwakilan yang ditunjuk secara resmi oleh WFP.


Pendistribusiannya pun kini tersendat, mereka terakhir menerima bantuan beras tersebut bulan Agustus 2003. Akibat tidak adanya bantuan beras sejak tiga bulan terakhir (Agustus 2003), para pengungsi (laki-laki dan perempuan serta ibu-ibu dengan membawa anak-anak mereka) yang terkonsentrasi di desa Tragih, kecamatan Robatal, Sampang mendatangi DPRD setempat untuk meminta pemerintah kabupaten agar bantuan beras segera diberikan (berita Harian SURYA, Juma’at 7 November 2003).


Pada saat wawancara berlangsung, pada umumnya mereka sangat mengharapkan bantuan tersebut bisa secepatnya dibagikan selain untuk kebutuhan hidup sehar-hari juga sebagai bahan untuk menyambut hari raya Idul Fitri yang tidak lama lagi akan tiba. Mereka kini terancam bahaya kelaparan.


Meskipun diantara anggota keluarga mereka ada yang bekerja di bidang pertanian, namun oleh karena pada saat wawancara berlangsung sedang musim kemarau, pekerjaan di bidang ini praktis tidak ada. Mereka hanya mengharapkan ada orang yang dapat dibantu mencangkulkan lahan-lahan tegalan, menyabit rumput, atau ikut bekerja sebagai pemecah batu karang (untuk pembuatan jalan desa). Upah yang mereka terima sangat kecil yaitu berkisar antara Rp 5.000,- sampai Rp 10.000,- sehari. Pekerjaan-pekerjaan ini tentu saja tidak bisa diharapkan ada setiap harinya.


Untuk mengatasi kebutuhan hidup secara ekonomi, banyak di antara para pengungsi (terutama Kepala Keluarga) yang “nekad” kembali ke Kalimantan Tengah hanya untuk sekedar menengok lahan perkebunan (kelapa atau tanaman lainnya) yang mereka tinggalkan. Hasil panenan itu mereka bawa kembali ke tempat pengungsian untuk menghidupi anak-anak dan isterinya. Selain itu, banyak pula yang bekerja apa adanya di desa-desa sekitar pengungsian dengan menjual jasa seperti mencangkul, kuli bangunan, dan menarik becak di kota Sampang atau berjualan makanan. Biasanya yang bekerja tidak jauh dari tempat pengungsian pulang sekali seminggu atau paling lama sebulan sekali ke keluarganya.


Mereka yang nekad pergi ke Kalimantan Tengah biasanya lebih bertahan lama hingga dua atau tiga bulan. Selain menengok hasil panenan, mereka juga menjual jasa sebagaimana pekerjaan mereka sebelumnya. Baik para pengungsi yang bekerja di daerah Madura atau yang pergi ke Kalimantan mengaku tidak ingin dicoret namanya sebagai pengungsi. Alasannya, mereka ingin tertap mendapat atau menerima bantuan sehingga ketika mereka mendengar akan ada pemabagian bantaun dapat dipastikan mereka akan pulang ke kamp pengungsian. Sikap dan tindakan mereka tentu saja tidak dapat disalahkan sepenuhnya, oleh karena kondisi kehidupan mereka yang begitu memperihatinkan itulah yang membuat mereka melakukan hal itu. Barangkali tindakan ini merupakan semacam suatu bentuk strategi mereka dalam menghadapi kehidupan yang tidak menjanjikan kepastian masa depan.


Akibat kondisi sosial-budaya dan ekonomi yang semacam itu, para pengungsi selalu mengeluh dan sangat berpengharapan agar dapat segera kembali ke Kalimantan Tengah dengan aman sehingga dapat bekerja atau mencari nafkah sebagaimana sebelum terjadi kerusuhan sosial. Beberapa di antara mereka secara terus terang mengaku bahwa mereka sudah merasa tidak mempunyai harapan akan kepastian hidup jika selamanya terus berada di kamp-kamp pengungsian. Dari wajah-wajah mereka yang masih bertahan hidup di pengungsian tampak jelas terpancar kesedihan mendalam dan bahkan keputus-asaan menghadapi masa depan kehidupannya, baik bagi dirinya sendiri sebagai kepala keluarga maupun bagi kehidupan isteri dan anak-anak yang masih kecil-kecil.


Beban hidup mereka semakin terasa berat oleh karena selama dalam masa pengungsian pertambahan penduduk akibat kelahiran sangat sulit dihindari. Beberapa penduduk mengaku selama hampir tiga tahun berada di kamp pengungsian telah melahirkan anak sampai dua orang. Salah seorang poengungsi berseloroh bahwa bagaimana tidak mungkin terangsang untuk melakukan hubungan intim dengan isterinya jika tetangga sebelah yang hanya terpisah oleh sebilah papan triplek sedang melakukan hal yang sama. Dengan alat pembatas ruangan yang seperti itu, menurut pengakuannya, ketika tetangga sebelah sedang berhubungan intim maka akan jelas terdengar suara-suara desahan dan rintihan penuh kenikmatan. Suara-suara ini akhirnya merangsang dirinya (dan juga tetangga sebelahnya).


Begitu seterusnya yang terjadi hampir setiap ada suara rintihan dan desahan atau istilah mereka “kreyek-kreyek monyena sangger” (bunyi alas tempat tidur yang terbuat dari bambu akibat goyangan tubuh) akan sangat jelas terdengar pada malam hari, tidak peduli siapa yang memulai lebih dahulu. Pernyataan ini justru dibenarkan oleh salah seorang isteri dari mereka. Bahkan ditambahkan pula, “daripada memikirkan hidup yang begitu sengsara, apalagi tidak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan, ya hanya itu saja yang saya lakukan”, kata Satiman (bukan nama sebenarnya). Sampai dengan laporan ini dibuat belum ada data konkrit tentang jumlah angka kematian pengungsi, sehingga belum dapat diperbandingkan angka proporsi antara keduanya. Begitu pun data tentang penyebab kematian belum dapat digali secara detail, namun pada umumnya kematian disebabkan oleh usia lanjut.


Menurut keterangan salah seorang “koordinator” pengungsi pertambahan penduduk akibat kelahiran ini mencapai sekitar 100 anak per tahunnya atau sekitar 10% dari populasi penduduk pengungsi (untuk satu desa seperti di Gunung Rancak). Meskipun informasi ini belum dapat dikonfirmasikan kebenarannya akan tetapi sangat penting untuk dicermati dan diteliti lerbih mendalam, karena dengan meningkatnya angka kelahiran selain akan menambah beban hidup bagi yang bersangkutan tentu saja akan mengundang dampak-dampak sosial budaya yang lebih kompleks kelak di kemudian hari jika pemulangan mereka ke tempat asal terus tertunda-tunda tanpa adanya kepastian. Anak-anak yang dilahirkan di kamp-kamp pengungsian akan menjadi anak “tanpa masa depan” oleh karena sejak kelahirannya mereka tidak mendapatkan hak-haknya yang layak sebagai anak manusia.


Menurut pengamatan di lapangan serta data yang dikumpulkan dari FK4 (Forum Komunikasi Korban Kerusuhan Kalimantan), para pengungsi asal Sampit yang terkonsentrasi di Kabupaten Sampang, sudah mulai ada yang “kembali” ke desa-desa tempat asal mereka di Kalimantan Tengah yaitu ke Kapuas dan Sampit secara bertahap sejak Maret sampai dengan Agustus 2003. Jumlah yang telah tercatat 3.885 Kepala Keluarga (KK) atau 16.450 jiwa yang sudah benar-benar kembali atau sudah mendaftar akan kembali. Memang, ketika pengamatan ke lapangan dilakukan selama 2 hari, terlihat banyak bara-barak pengungsi yang sudah kosong. Rincian selengkapnya tentang kepulangan mereka secara bertahap dapat dilihat pada tabel berikut ini.



JUMLAH PENGUNGSI YANG KEMBALI

KE KALIMANTAN TENGAH

SELAMA TAHUN 2003


TAHAP

TANGGAL/

BULAN

JUMLAH KK

JUMLAH

JIWA

I

15 Maret

595

2.908

II

18 April

800

3.786

III

15 Mei

374

1.905

IV

17 Juni

269

1.313

V

18 Juli

928

3.550

VI

5 Agustus

919

3.988


JUMLAH

3.885

16.450

Catatan: Rincian selengkapnya tentang data statistik ini

dapat dilihat pada Lampiran.



Meskipun dalam realitasnya mereka telah kembali “pulang” ke Kalimantan Tengah akan tetapi ketika tersiar kabar akan ada pembagian bantuan, mereka berbondong-bondong kembali tempat-tempat asal pengungsian mereka. Dalam kenyataan yang lain, menurut informasi di lapangan, banyak pengungsi kembali ke Kalimantan Tengah secara diam-diam tanpa sepengetahuan FK4 sebagai lembaga yang selama ini mengurusi mereka. Alasan mereka tetap berkaitan dengan faktor kebutuhan ekonomi yaitu agar secara administratif tetap terdaftar sebagai pengungsi sehingga setiap ada bantuan mereka tetap dapat menerima (lihat uraian di muka).



Pengungsi di Kabupaten Bangkalan


Selama dua hari di lapangan, hasil pantauan data para pengungsi asal Sambas di kabupaten Bangkalan hanya terkumpul dari empat kecamatan, yaitu kecamatan Sepulu, Kokop, Geger, dan Tanjung Bumi. Berbeda dengan di kabupaten Sampang, di tempat ini tidak ada suatu organisasi atau lembaga yang secara kontinyu menginventarisasikan jumlah pengungsi. Oleh karenanya data (yang sempat dikumpulkan dalam waktu yang sangat singkat) hanya diperoleh langsung dari ketua-ketua kelompok pengungsi di masing-masing lokasi konsentrasi penampungan mereka ditambah dengan beberapa informasi dari aparat desa/kepala setelah dilakukan semacam cross check dengan informasi yang didapat dari lapangan secara langsung. Meskipun hasil pantauan di wilayah kabupaten Bangkalan ini secara kuantitatif belum optimal, namun untuk sementara diharapkan bermanfaat sebagai “gambaran kasar” tentang keadaan mereka.


Data hasil pantauan di lapangan jumlah pengungsi asal Sambas yang terkonsentrasi di empat kecamatan yang sempat dicatat adalah 1.401 KK atau 6.907 jiwa (Masih ada beberapa tempat atau desa dan kecamatan yang menjadi konsentrasi pengungsi asal Kalimantan Barat, seperti di Kecamatan Konang, namun belum sempat didatangi oleh karena sempitnya waktu serta kendala hujan ketika berada di lapangan. Namun demikian, data pengungsi asal Sambas dan Sampit yang dikeluarkan oleh Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kabupaten Bangkalan dapat dipakai sebagai “rujukan” meskipun data tersebut menunjukkan keadaan jumlah pengungsi tahun 2002 (Oktober). Selanjutnya lihat lampiran. Adapun rincian data hasil pantauan terhadap para pengungsi per kecamatan dan per desa dapat dilihat pada tabel berikut:



KONSENTRASI JUMLAH PENGUNGSI

DI BEBERAPA KECAMATAN

KABUPATEN BANGKALAN


No.

Kecamatan – Desa

KK

Jiwa

1.

Geger – Katol Barat

104

384

2.

Geger – Dabung

300*

1.200*

3.

Kokop – Katol Timur

571

3.102

4.

Kokop – Batokorogan

50

318

5.

Sepulu – Kelbung

370

1.864

6.

Tanjung Bumi – Plangiran

6

39


J U M L A H

1.401

6.907

Ketarangan: *Data ini adalah perkiraan dari beberapa informan yang sempat ditemui, karena di desa ini kepala desa masih belum dilantik sehingga Pjs. Kepala Desa tidak mau tahu tentang jumlah

pengungsi yang sebenarnya.



Berbeda dengan para pengungsi asal Kalimantan Tengah, para pengungsi yang terkonsentrasi di wilayah kabupaten Bangkalan didominasi oleh pengungsi akibat kerusuhan sosial Sambas (1999) dan Pontianak (2000) dan beberapa orang pengungsi akibat kerusuhan Sampit, Kalimantan Tengah. Mereka yang berasal dari Sambas tidak seorang pun yang kembali. Alasannya, orang-orang lokal di Sambas telah menutup sama sekali kemungkinan orang-orang Madura kembali ke sana. Jika memaksanya juga mereka akan dibunuh. Meskipun demikian, ada yang menarik dari data lapangan yang diperoleh yaitu, jumlah para pengungsi pada saat pengamatan dilakukan pada umumnya berkurang jumlahnya dibandingkan dengan data pada saat mereka pertama kali terusir dari Kalimantan Barat (Sambas) pada tahun 1999. Pengurangan jumlah pengungsi ini jelas bukan karena mereka pulang kembali ke Kalimantan Barat, melainkan bermigrasi kembali ke tempat-tempat lain seperti Surabaya, Jakarta, bahkan banyak di antara dari mereka mencari pekerjaan ke Malaysia dan Arab Saudi.


Mereka yang tetap bertahan di kamp-kamp pengungsian pada dasarnya mengalami kesulitan hidup baik secara sosial maupun ekonomi sebagaimana para pengungsi asal Kalimantan Tengah yang terkonsentrasi di wilayah kabupaten Sampang.


Berdasarkan hasil wawancara dengan mereka, muncul suatu pengakuan bahwa masalah pendidikan anak-anak sangat menyedihkan. Artinya, meskipun di sekitar tempat pengungsian mereka (seperti di desa Kelbung, salah satu kamp pengungsian terbesar yang ada di kecamatan Sepulu) terdapat gedung sekolah namun anak-anak pengungsi tidak banyak (kalau boleh dikatakan: hampir tidak ada) yang bersekolah di sana.


Alasannya sangat klasik yaitu tidak ada biaya atau dana. Salah seorang ibu dengan nada sangat menyedihkan mengatakan bahwa 2 orang anaknya yang berusia 7 dan 9 tahun tidak mau bersekolah. Alasannya, mereka malu kepada teman-teman lain (anak dari penduduk lokal) yang setiap hari selalu menggunakan pakaian seragam dan sepatu, suatu “keharusan” yang sama sekali tidak dapat dipenuhi oleh mereka. Akibatnya, kehidupan keseharian anak-anak para pengungsi tersebut dihabiskan untuk bermain-main saja, atau kalau pun tidak mereka ikut mengaji atau masuk madrasah (sekolah agama) di sore hari.



Kondisi Sosial-budaya dan Ekonomi


Kondisi kehidupan sosial-budaya mereka barangkali dapat dikatakan lebih mengenaskan dibandingkan dengan para pengungsi asal Sampit di wilayah kabupaten Sampang. Setelah hampir lima tahun mereka berada di kamp-kamp pengungsian, sikap dan perilaku penduduk lokal sudah menunjukkan kesan tidak mau “menghiraukan” mereka lagi karena mungkin keberadaan mereka sudah dianggap sebagai suatu hal yang sudah begitu adanya (taken for granted). Jika benar demikian, ini merupakan konsekuensi atau biaya sosial yang harus mereka tanggung. Pada gilirannya biaya sosial ini hanya akan menambah kesedihan dan kesengsaraan mereka. Bahkan menurut pengakuan berapa “koordinator” pengungsi dan dikuatkan oleh beberapa pernyataan dari kepala desa, pihak pemerintah kabupaten sudah menganggap mereka bukan pengungsi lagi melainkan sudah merupakan bagian dari penduduk miskin. Ini artinya, mereka sudah tidah boleh mengharapkan bantuan sebagaimana pada saat awal-awal pengungsian mereka lima tahun lalu. Perlakuan ini bagi mereka sangat menyakitkan. Menurut pengakuan Mat, salah seorang dari mereka mengatakan dengan terbata-bata bahwa “memang kami ini miskin pak, tapi kemiskinan yang kami alami sekarang bukan karena kami malas bekerja, melainkan sebagai korban dari kerusuhan”.


Selama pemantauan di lapangan sangat kuat adanya kesan bahwa mereka merasa “terisolasi” dari lingkungan sosial penduduk lokal. Mereka hidup berkelompok sebagai suatu “komunitas baru” – dalam arti berbeda secara kualitatif dengan kondisi kehidupan sosial ekonomi penduduk lokal – dengan menempati barak-barak yang sudah rapuh dan hampir roboh karena bahan yang digunakan sangat jelek kualitasnya. Kehidupan sosial dalam kamp-kamp pengungsian yang sudah merupakan semacam pengisolasian sosial ini kemudian akan menyebabkan mereka “pasrah” terhadap apa yang akan terjadi kelak di masa depan. Harapan satu-satunya, bagaimana mereka bisa dapat bekerja kembali dengan pendapatan yang memadai sebagaimana kehidupan mereka sebelumnya di Kalimantan Barat.


Tapi semua ini hanya berupa impian belaka, karena kendala utama mereka adalah faktor ekonomi. Mereka tidak memiliki modal untuk menjalankan usaha pada tingkatan yang sekecil apa pun. Hidup mereka hanya tergantung pada bantuan (jika itu ada) dan “belas kasihan” penduduk lokal” yang mau menggunakan jasanya sebagai tenaga kasar dalam aktivitas pertanian atau sebagai kuli bangunan. Aktivitas pertanian tidak dapat diharapkan selalu ada sepanjang tahun, kecuali di musim hujan. Pada musim kemarau praktis pekerjaan di bidang ini terhenti oleh karena para pengungsi berada di desa-desa pedalaman yang kondisi alamnya sangat tandus.

Selain penderitaan secara sosial tampaknya penderitaan secara ekonomi mereka alami pula. Dalam tahun 2003 menurut pengakuan salah seorang dari mereka jatah beras yang diterima baru empat kali, yang pertama sekitar bulan April menerima 6 kg/jiwa, bulan Juli 2,5 kg/jiwa. Agustus 1,9kg/jiwa dan terakhir September 6 kg/jiwa.


Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka menjual jasa sebagai tukang cangkul, kuli bangunan, atau menarik becak di kota Bangkalan. Ada fenomena menarik yang dapat ditangkap tentang pengungsi yang bekerja sebagai penarik becak. Mereka pada awalnya secara tidak sengaja telah “menanam benih-benih konflik” dengan para tukang becak lokal. Penyebabnya adalah besarnya tarif yang dikenakan pada penumpang.


Jika para penarik becak lokal menarik biaya atau ongkos – katakanlah Rp 2.000,- untuk jarak tertentu, para penarik becak asal pengungsi mau membawa penumpang tersebut dengan tarif lebih murah. Tentu saja hal ini menyebabkan penarik becak lokal tidak senang. Meskipun demikian sampai tulisan ini dibuat belum ada konflik terbuka (apalagi bersifat kekerasan) di antara mereka. Menurut informasi di lapangan, para penarik becak lokal akhirnya memaklumi tentang kondisi kehidupan para pengungsi itu. Sebaliknya, lambat laun perilaku para penarik becak yang berasal dari kalangan pengungsi pun menyadari bahwa apa yang dilakukan kurang baik bagi kehidupan sosial mereka sesama penarik becak.

Satu hal lain yang justru menambah semaraknya kegiatan “perekonomian” di kota Bangkalan adalah munculnya penjual es “Tujuh Warna” yang dipelopori oleh para pengungsi. Sebutan “Tujuh Warna” ini muncul oleh karena pada rombong (tempat jualan) mereka diberi tanda berupa garis-garis yang dicat dengan tujuh macam warna, sehingga membedakan dengan para penjual es lokal. Tampaknya, es “Tujuh Warna” disukai oleh penduduk kota Bangkalan.


Di kamp pengungsi desa Katol Barat, kecamatan Geger, terdapat 104 KK atau 324 jiwa. Padahal pada saat pertama kali mereka datang dari Kalimantan Barat berjumlah 249 KK atau 1.336 jiwa berarti lebih dari separuh jumlah KK pergi merantau. Menurut keterangan beberapa pengungsi yang diwawancarai, mereka telah merantau sejak tiga tahun terakhir dengan tujuan terutama ke Malaysia, Pangkalpinang, Pontianak, Jakarta, dan Surabaya. Banyak di antara mereka setelah berhasil di perantauan kemudian membawa keluarganya ke sana, namun sebagian yang lainnya tidak melakukan itu. Dilihat dari data statistik di atas, tampak jelas adanya penambahan jumlah pengungsi (meskipun secara proporsional menurun akibat migrasi). Penambahan ini, sebagaimana yang terjadi pada para pengungsi Sampit di wilayah kabupaten Sampang, disebabkan oleh meningkatnya angka kelahiran bayi.


Di desa Batokorogan, kecamatan Kokop terdapat satu kamp pengungi asal Sambas yang dibangun dengan dana bantuan dari Pemerintah Kuwait. Kamp pengungsi ini dibangun di tanah percaton Kepala Desa terdiri dari 25 rumah kopel yang masing-masing rumah dihuni oleh dua KK, sehingga jumlah penghuni keseluruhan adalah 50 KK atau 318 jiwa. Kamp pengungsian ini meskipun baru dibangun setahun yang lalu (April 2002) namun sudah banyak bangunan yang kondisinya telah rusak. Kamp pengungsi ini lebih bersifat sebagai tempat penampungan “sementara”. Artinya, selama lima tahun hanya para penghuni yang berasal dari kalangan pengungsi miskin (tidak memiliki rumah selama masa pengungsian dan tidak punya kerabat sebagai tempat menumpang hidup) diberi hak menempati rumah-rumah kopel tadi. Setelah lima tahun mereka diharapkan sudah bisa mandiri dalam artian sudah mampu memiliki rumah sendiri. Meskipun mungkin kenyataannya kelak setelah lima tahun masih tetap belum memiliki rumah, para penghuni harus pindah untuk diganti oleh pengungsi lain yang masih banyak belum tertampung secara baik, kecuali menempati rumah-rumah “sisipan” di perkampungan-perkampungan penduduk lokal.


Di desa Batokorogan ini ada satu masalah yang mungkin belum terpikirkan oleh banyak orang, yaitu masalah tanah atau lahan untuk keperluan pemakaman bagi para pengungsi yang meninggal dunia dan kebetulan tidak memiliki ikatan kekerabatan dengan penduduk lokal. Kebiasaan kebanyakan orang-orang Madura di beberapa kawasan pedesaan, khususnya di desa Batokorogan ini, mereka selalu menguburkan jenazah keluarga di dekat rumah di lahan pekarangan sendiri (Kebiasaan ini mengindikasikan bahwa ikatan kekerabatan orang Madura sangat kuat, bukan hanya dijalin diantara kerabat yang masih hidup melainkan dijalin pula dengan kerabat yang telah meninggal. Realitas ini dapat juga ditafsirkan bahwa oleh karena sejak dahulu kondisi lingkungan sosial di pedalaman Madura dianggap tidak cukup aman, sehingga kerabat yang meninggal pun harus berada dalam lingkungan hidup mereka sebagai bentuk proteksi dari berbagai macam bentuk gangguan. Dengan alasan ini pula dapat dipahami adanya kebiasaan orang Madura yang selalu membawa senjata tajam ke mana pun pergi, terutama di malam hari. Implikasi dari pentingnya proteksi pada semua anggota kerabat adalah munculnya pola pemukiman yang disebut kampong meji yaitu pengelompokan rumah-rumah yang masih dalam ikatan keluarga (lihat, Wiyata:2002).


Masalah timbul ketika ada pengungsi meninggal dunia yang kebetulan tidak memiliki sanak keluarga atau kerabat. Menurut keterangan Kepala Desa setempat, masyarakat kesulitan mencari tanah atau lahan untuk menguburkan mereka. Cara mengatasinya, akhirnya diserahkan pada keputusan para penduduk lokal yang ikhlas lahan pekarangannya digunakan sebagai tempat pemakaman. Oleh karena jumlah pengungsi yang tidak memiliki kerabat tidak sedikit, maka tempat atau lahan untuk pemakaman ini kemudian menjadi masalah tersendiri.



Persepsi tentang Kerusuhan Sosial

Pada umumnya para pengungsi – baik akibat kerusuhan sosial Sambas maupun Sampit – yang diwawancarai mempunyai persepsi yang sama tentang kerusuhan sosial di Kalimantan. Menurut mereka kerusuhan sosial itu bukan semata-mata kerusuhan antaretnik melainkan kerusuhan yang bernuansa keagamaan. Dalam kaitan ini, penting untuk mengutip pertanyaan Marzali (2001:288) tentang terjadinya kerusuhan sosial yang menurut istilahnya adalah konflik antaretnik di Kalimantan. Menurut Marzali, yang perlu dipertanyakan adalah apakah konflik itu terjadi karena adanya pandangan bahwa peradaban orang Dayak lebih rendah daripada peradaban orang Madura sehingga orang Madura dapat bertindak semena-mena yang akhirnya memancing keributan?


Berdasarkan pengakuan para pengungsi yang berhasil diwawancarai, mereka tidak merasa memiliki peradaban lebih tinggi daripada peradaban orang Dayak. Bahkan mereka sebagian menolak adanya perkumpulan orang Madura yang menurut mereka hanya akan mengkotakkan orang Madura dengan penduduk lokal yang pada gilirannya hanya akan menggangu proses integrasi dan adaptasi yang selama ini telah berlangsung dengan baik di Sampit maupun di Sambas. Hal ini terbukti dengan adanya perkawinan antaretnik dan penggunaan bahasa pergaulan sosial orang Madura di Kalimantan sama sekali tidak didominasi oleh bahasa Madura melainkan bahasa Melayu (di Kalimantan Barat) dan bahasa Banjar (di Kalimantan Tengah).


Berbeda dengan realitas sosial-budaya orang Madura yang berdomisili di kawasan “Tapal Kuda”. Meskipun mereka selalu berinteraksi dengan etnik Jawa, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak larut dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan mereka. Artinya, mereka tetap menjadi orang Madura dengan tetap mempertahankan penggunaan bahasa Madura sebagai salah satu elemen penting untuk menunjukkan identitas etniknya. Meskipun demikian, tidak pernah terjadi kerusuhan sosial yang sangat keras antara orang Madura dengan orang Jawa sebagaimana yang terjadi di Sampit. Dengan demikian, tidak ada alasan kuat bahwa terjadinya konflik antaretnik mempunyai relasi dengan perbedaan tingkat peradaban di antara mereka, yang satu merasa lebih tinggi daripada yang lain, dan sebaliknya. Penggunaan secara meluas bahasa Melayu di Sambas dan bahasa Banjar di Sampit mencerminkan bahwa kebudayaan Madura bukan sebagai kebudayaan dominan. Kebudayaan Madura justru terintegrasi secara optimal ke dalam kebudayaan setempat (Sambas dan Banjar), sehingga hal ini menunjukkan kalau orang-orang Madura tersebut (khususnya kelahiran Sambas dan Sampit) telah berhasil dalam mewujudkan integrasi sosial budaya.


Persepsi bahwa konflik di Kalimantan bernuansa keagamaan, Sel salah seorang dari para pengungsi asal Sampit yang diwawancari, memberikan bukti-bukti pengalamannya sendiri menyaksikan secara langsung pembantaian yang dilakukan oleh orang Dayak. Menurut Sel, yang banyak dibantai oleh orang Dayak adalah para kiai beserta santri-santrinya ketika mereka berada di tempat ibadah (mesjid dan pondok pesantren) dan sedang menjalankan ibadah agamanya. Namun, pembantaian tidak dilakukan di dalam tempat ibadah itu, melainkan di luar dengan cara menyuruh para kiai dan santrinya keluar terlebih dahulu.


Suatu ilustrasi menarik tentang hal ini adalah pengakuan dari salah seorang pengungsi lain, bernama Mus, yang selamat dari pembataian massal oleh orang-orang Dayak pedalaman. Mus dilahirkan di Sampit. Orang tua Mus bermigrasi ke Sampit pada tahun 1945 dan bekerja sebagai guru agama di sebuah madrasah. Ketika itu, Mus bersama dengan sekitar tujuh puluhan orang etnik Madura lainnya (termasuk di dalamnya kakak kandungnya, kakak iparnya, pamannya, dan kerabat lainnya) berkumpul di sebuah pondok pesantren.


Puluhan orang Dayak lokal (Sampit) yang beragama Islam mendatanginya di kompleks pondok pesantren tersebut. Sebagai sesama muslim, orang-orang Dayak lokal tersebut memohon kepada orang tuanya untuk segera meninggalkan Sampit dalam waktu tiga hari. Untuk menghilangkan kesangsian orang tua Mus atas permohonan tersebut, orang-orang Dayak lokal itu menyerahkan sebilah mandau sebagai cermin komitmen perdamaian dan kesungguhan hati. Permohonan itu semata-mata hanya untuk menyelamatkan jiwa orang-orang Madura. Tampaknya, orang-orang Dayak lokal itu sudah mengetahui informasi kalau orang-orang Dayak pedalaman akan segera turun ke Sampit untuk menghabisi orang-orang Madura. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi jaringan informasi di kalangan orang Dayak cukup baik, sehingga memudahkan mereka mengaksesnya.


Belum sempat orang-orang Madura tersebut mengungsi, tiba-tiba pada malam hari sekitar pukul 21.00 datang serombongan orang-orang Dayak pedalaman ke kompleks pondok pesantren tersebut. Mereka membawa mandau, tombak, panah, dan berbagai jenis senjata tajam lainnya. Orang-orang Dayak tersebut meminta agar para penghuni pondok pesantren itu keluar dengan alasan untuk “diperiksa”. Orang-orang Dayak itu tidak mau membunuh di kompleks pondok pesantren, karena mereka sudah memikirkan akibatnya bahwa jika hal itu dilakukan, bisa memancing reaksi solidaritas keagamaan (Islam) yang lebih luas. Orang-orang Madura ini dengan berbaris deret tiga-tiga digiring ke suatu tempat yang tidak diketahuinya. Kejadian ini berlangsung di tengah-tengah kota Sampit. Kebetulan Mus berada di deretan paling depan. Ternyata, selama dalam perjalanan itu orang-orang Dayak pedalaman itu membantai satu per satu orang-orang Madura yang berbaris itu dari deretan paling belakang, tanpa diketahui dan disadari oleh Mus.


Situasi pada malam hari itu sangat mencekam, sehingga setiap orang berupaya untuk menyelamatkan diri. Ketika pembantaian sudah mencapai pada baris di belakang Mus, tiba-tiba dihentikan oleh aparat polisi. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Mus untuk menyelinap dan melarikan diri ke tempat pengungsian. Tempat pengungsian juga bukan sebagai zona yang aman dan netral. Di sana juga banyak ditemui orang-orang Dayak pedalaman dan aparat keamanan yang siap menginterogasi dan membantai pengungsi Madura. Orang-orang yang akan mengungsi masih diseleksi satu per satu menurut identitas etnik. Setiap orang ditanya asal-usul etniknya. Jika ia orang Madura, sudah pasti rencana pengungsian akan batal dan orang Madura itu dibunuh. Sampai pada giliran Mus yang ditanya identitasnya oleh orang Dayak dan polisi, dengan cepat ia mengatakan sebagai orang Jawa. Ketika ditanya nama dan tempat kelahirannya, ia menjawab bernama Budiono, sebuah nama khas Jawa yang dilahirkan di Malang. Padahal nama sebenarnya adalah Mus, sebuah nama khas Madura. Untuk membuktikan bahwa “Budiono” adalah orang Jawa, ia diminta untuk menghitung angka satu sampai sepuluh secara berurutan dengan menggunakan bahasa Jawa. Kebetulan ia sanggup melakukannya meskipun diakuinya tidak sempurna.


Pengetahuannya tentang angka-angka Jawa ini diperoleh dari kakak iparnya, orang Purbalingga, Jawa Tengah, yang tewas dalam pembantaian itu. Menurut “Budiono”, ia menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, ketika salah seorang yang sedang menghadapi “seleksi etnisitas” salah menyebutkan angka empat (4) dalam bahasa Jawa dengan kata “popot” (bukan papat) dan seketika itu juga batok kepalanya ditebas dengan mandau di hadapan para pengungsi. Pengungkapan kata popot mencerminkan jika si pengucap adalah orang Madura. Atas dasar kasus tersebut, Mus melakukan manipulasi identitas etnik untuk keselamatan dirinya.


Selama dalam masa penampungan pengungsi yang diawasi oleh orang-orang Dayak dan polisi ini, “Budiono” sangat was-was dan tercekam perasaannya. Jika saja di antara pengungsi, ada yang melaporkan bahwa ia keturunan orang Madura niscaya akan dibunuh di tempat penampungan pengungsi tersebut. Setelah melalui perjuangan yang berat, akhirnya Mus bisa menyelamatkan diri dan kini menjadi pengungsi miskin di Jember, karena tidak sempat membawa harta benda yang di miliki kecuali pakaian yang melekat di badannya. Menurut Mus, polisi tidak bertindak tegas mengatasi kebrutalan orang-orang Dayak pedalaman. Bahkan, di antara mereka terkesan bekerja sama mengusir orang Madura dari Sampit.


Kehadiran orang-orang Dayak pedalaman di Kota Sampit berlangsung secara sistematis dan terencana dengan baik. Kantong-kantong penampungan orang Dayak pedalaman di kota Sampit diatur sedemikian rupa, sehingga memudahkan mereka melakukan operasi pembantaian terhadap orang-orang Madura. Korban pembantaian ini tidak hanya orang-orang Madura, tetapi orang-orang Dayak lokal yang dianggap melindungi atau menyembunyikan orang Madura juga dibantai oleh orang-orang Dayak pedalaman. Mus berpendapat bahwa ia hanyalah korban dari kerusuhan sosial di Sampit, yang berawal dari pertikaian antara preman Madura (yang datang kemudian dan bukan kelahiran Sampit) dan preman Dayak. Sebagai keturunan orang Madura, Mus sangat tidak suka terhadap orang-orang Madura yang berperilaku jahat dan menjadi preman, karena perilakunya itu telah membuat kesusahan banyak orang yang tidak berdosa.


Kesulitan hidup di bidang sosial ekonomi telah menimpa para pengungsi sejak kerusuhan sosial berlangsung. Kerusuhan sosial yang terjadi hampir tiga tahun yang lalu telah membuat kehidupan mereka secara ekonomi berbalik 1800. Jika sebelumnya mereka dapat memenuhi kebutuhan kehidupannnya dari hasil kerja di bidang pertanian, perdagangan, dan sebagainya kini mereka benar-benar menjadi pengangguran dan tidak produktif. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka hanya mengandalkan bantuan pemerintah dan pihak swasta/asing, serta rasa kedermawanan orang-orang atau keluarga yang ditempatinya dan masyarakat di sekitarnya.


Beberapa orang dari pengungsi yang berhasil diwawancarai mengaku sampai saat ini dirinya masih belum percaya atas kenyataan hidup yang kini terjadi. “Sungguh Pak, saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat hidup saya menderita seperti ini!”, katanya dengan sedih. Diakuinya, bahwa mencari nafkah di rantau (Kalimantan) tidak sesulit di Madura asalkan mereka mau bekerja keras sebagai buruh kasar di perkebunan-perkebunan atau di areal-areal hutan sebagai buruh tebang di perusahaan-peruhasaan penebangan hutan, bahkan di pusat-pusat kegiatan perekonomian di dalam kota dan di kawasan pelabuhan. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan pengungsian yang dirasakan penuh dengan ketidak pastian dan secara ekonomi sama sekali tidak produktif mereka menginginkan segera dapat kembali pulang ke tempat asal mereka di Kalimantan untuk melanjutkan kehidupannya sebagai warga negara Indonesia yang memiliki martabat dan harkat kemanusiaan sebagaimana warga negara dari etnik lain.


Selain itu, para pengungsi mengaku bahwa mereka semata-mata sebagai korban, bukan pelaku kerusuhan sosial. Sebab, selama ini mereka tidak merasakan terlibat konflik dengan penduduk lokal. Oleh karena itu, mereka sangat terkejut dan heran ketika dalam kenyataannya telah terjadi pembantaian besar-besaran oleh orang Dayak terhadap orang Madura tanpa pandang bulu. Pada hal, pemicu keributan selama ini menurut mereka adalah para preman yang hidupnya secara sosial banyak menyimpang dari norma-norma yang ada. Para preman ini datang ke Sampit sejak akhir tahun 80-an, bukan yang dilahirkan di Sampit. Justru para preman ini hampir tidak ada yang menjadi korban pembantian karena mereka telah lebih dahulu melarikan diri ke Madura atau tempat-tempat lain di Jawa. Para preman Madura bisa secara cepat menyelamatkan diri karena mereka memiliki “hubungan kerja sama yang erat” dengan aparat lokal sehingga tidak kesulitan mengakses informasi (Bandingkan dengan Marzali (2001: 257); Wiyata (2002).


Para pengungsi yang mengaku dirinya hanya sebagai korban kerusuhan itu menyatakan lebih merasa heran lagi, karena para pelaku pembantaian itu sama sekali bukan orang-orang Dayak tetangga atau kenalan mereka, melainkan orang-orang Dayak yang didatangkan dari luar daerah Sampit. Menurut informasi dari orang Dayak lokal, para pelaku pembantaian itu datang secara perorangan dan berangsur-angsur ke kota Sampit. Orang-orang Dayak ini ditampung di tempat-tempat tertentu. Para pengungsi tidak pernah menaruh curiga, karena sebagaimana dikemukakan di atas, mereka tidak merasa berkonflik dengan orang Dayak lokal. Bahkan, masih menurut pengakuan para pengungsi, tidak sedikit orang Dayak lokal yang sudah menjadi kerabat mereka karena perkawinan antaretnik.


Meskipun akhirnya menjadi korban kerusuhan, mereka tidak merasa dendam kepada orang Dayak. Sebagaimana dikatakan seorang pengungsi Sel, “Mau dendam kepada siapa Pak, kalau saya tidak pernah kenal dengan orang-orang Dayak yang melakukan pembantaian itu? Paling-paling saya merasa kesal kepada para preman Madura yang menjadi pemicu kerusuhan.” Pernyataan Sel ini disetujui oleh banyak pengungsi lain, yang secara jelas menunjukkan bahwa para pengungsi memiliki persepsi sendiri terhadap kerusuhan sosial yang terjadi di Sampit. Peristiwa itu dilihatnya bukan merupakan kerusuhan yang sifatnya spontan melainkan sangat terkesan sebagai suatu rekayasa sistematis dan terorganisasi dengan baik untuk mencapai kepentingan tertentu dari pihak ketiga.


Salah seorang pengungsi, Mar, menceritakan bahwa dirinya sebulan yang lalu pergi ke Pangkalan Bun untuk menjenguk kerabatnya yang ada di sana. Dari sana dia mendapat informasi bahwa tidak sedikit orang Dayak kenalan dan tetangganya di kota Sampit yang merasa menyesal dan berdosa kepada orang Madura yang menjadi korban pembantaian. Menurut Mar, orang Dayak merasa bahwa tidak seharusnya itu terjadi karena sasaran sebenarnya adalah para preman Madura yang selalu membuat keributan tetapi mereka lolos dari pembantaian. Justru yang menjadi korban adalah orang-orang Madura yang tidak berdosa, termasuk orang-orang berusia lanjut, kaum perempuan, dan anak-anak. Tentu saja hal ini tidak dapat dimaknai sebagai ungkapan penyelesalan dari semua orang Dayak, karena sebagaimana diuraikan di atas pembantaian besar-besaran tersebut dilakukan secara sistematis dan terencana dengan matang serta terorganisasi dengan baik).


Sayang sekali, tidak seorang pun dari para pengungsi yang diwawancarai dapat menyebutkan siapa pihak ketiga itu, lebih-lebih menangkap maksud dan tujuan apa mereka (pihak ketiga) melakukan semuanya itu. Jawaban-jawaban tentang itu pada umumnya bervariasi.


Salah satu jawaban yang mudah mereka kemukakan adalah jawaban yang bernuansa keagamaan, sesuai dengan orientasi budaya orang Madura. “Mungkin ini adalah adzab dari Allah SWT karena orang Madura di Kalimantan mulai tidak mensyukuri nikmat yang diterimanya selama ini”, demikian kata Hup, yang ketika di Sampit bekerja sebagai buruh angkut barang di pelabuhan. Dengan persepsi demikian, para pengungsi lebih memaknai kerusuhan sosial Sampit sebagai tindakan kekerasan bernuansa keagamaan. Persepsi demikian sudah diterima secara luas oleh sebagian besar pengungsi. Jaringan komunikasi antarpengungsi di berbagai daerah berlangsung dengan baik, sehingga informasi apa pun yang berkaitan dengan persoalan mereka bisa segera diketahui.


Salah seorang tokoh pengungsi, Bas, pernah mengatakan bahwa jika nanti akan timbul konflik etnik babak kedua, hal ini akan ditafsiri sebagai konflik agama. Jika substansi konflik demikian, skala konflik sosial yang bakal terjadi akan semakin luas karena melibatkan berbagai kelompok etnik yang diikat oleh kesamaan identitas keagamaan Islam berhadapan dengan orang Dayak yang nonmuslim. Hal ini penting untuk dipahami karena secara faktual orang Madura sudah hampir tidak ada lagi yang tinggal di Kalimantan Tengah sehingga sulit untuk memobilisasi massa hanya berdasarkan identitas etnik. Isu demikian sudah merasuk dalam persepsi orang Banjar, termasuk orang Banjar yang ada di Kalimantan Selatan. Dalam pertemuan di Batu, Malang, isu demikian juga mencuat, sehingga harus diantisipasi secara tepat agar berbagai tindak kerusuhan sosial berbasis etnisitas yang merusak sendi-sendi integrasi bangsa bisa dihentikan.


Salah seorang pengungsi, Mar, menceritakan bahwa dirinya sebulan yang lalu pergi ke Pangkalan Bun untuk menjenguk kerabatnya yang ada di sana. Dari sana dia mendapat informasi bahwa tidak sedikit orang Dayak kenalan dan tetangganya di kota Sampit yang merasa menyesal dan berdosa kepada orang Madura yang menjadi korban pembantaian. Menurut Mar, orang Dayak merasa bahwa tidak seharusnya itu terjadi karena sasaran sebenarnya adalah para preman Madura yang selalu membuat keributan tetapi mereka lolos dari pembantaian. Justru yang menjadi korban adalah orang-orang Madura yang tidak berdosa, termasuk orang-orang berusia lanjut, kaum perempuan, dan anak-anak. Tentu saja hal ini tidak dapat dimaknai sebagai ungkapan penyelesalan dari semua orang Dayak, karena sebagaimana diuraikan di atas pembantaian besar-besaran tersebut dilakukan secara sistematis dan terencana dengan matang serta terorganisasi dengan baik.



Harapan atau Aspirasi tentang Upaya Rekonsiliasi



Karena pada umumnya baik para pengungsi Sampit maupun Sambas berpandangan bahwa mereka bukanlah pelaku kerusuhan melainkan sebagai korban kerusuhan, upaya rekonsiliasi Madura-Dayak menjadi aneh dalam pikiran mereka. Mereka tidak merasa memiliki persoalan sengketa dengan orang Dayak, khususnya Dayak lokal. Karena menjadi korban, mereka merasa tidak perlu dilibatkan sebagai pihak yang harus melakukan rekonsiliasi. Kalaupun harus ada upaya rekonsilisasi, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada para pemuka atau tokoh Madura dan Dayak untuk melakukannya. Beberapa prasyarat penting yang diajukan oleh salah seorang tokoh pengungsi jika harus diadakan upaya rekonsiliasi sehingga kerusuhan sosial lanjutan tidak terulang adalah sebagai berikut.


Pertama, orang-orang Dayak yang didatangkan dari luar daerah – khususnya yang terjadi pada kerusuhan Sampit kemudian menjadi pelaku pembantaian orang-orang Madura harus segera dikeluarkan dari kota Sampit. Karena sejak kepergian orang Madura dari Sampit, mereka tetap berada di sana dan banyak di antara mareka justru menempati rumah-rumah serta menguasai harta benda milik orang-orang Madura. Selama mereka masih tetap dibiarkan bertahan di sana, tertutup kemungkinan bagi orang Madura yang sekarang menjadi pengungsi untuk kembali ke Sampit dan sekitarnya.


Kedua, sehubungan dengan hal di atas, segera bubarkan paramiliter ”Pansus” (Pasukan Khusus) orang-orang Dayak yang bertugas melakukan sweeping KTP dan mengawasi kedatangan orang Madura baik ke Sampit maupun Sambas. Keberadaan pasukan paramiliter ini akan mengundang konflik baru serta penyelesaian masalah konflik etnik dan pengungsi semakin berlarut-larut.


Ketiga, pihak aparat keamanan harus netral, bertindak tegas, dan profesional. Pemihakan aparat keamanan terhadap orang Dayak sebagaimana terjadi dalam kekerasan sosial di Sampit hampir tiga tahun lalu harus diakhiri. Dengan demikian, ada kepastian terhadap jaminan keamanan orang-orang Madura.

Han, salah seorang pengungsi yang diwawancarai menceritakan bagaimana sikap dan perilaku aparat ketika itu yang secara jelas-jelas tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjadinya pembantaian massal. Bahkan, Han mengaku mendengar sendiri salah seorang anggota Polisi Perintis mengatakan “sikat habis saja orang Madura itu”. Selanjutnya ia mengatakan, “Mendengar kata-kata polisi ini, saya sangat marah, tapi tidak dapat berbuat apa-apa karena ketika itu saya dalam keadaan tidak berdaya, apalagi senjata dilucuti dengan alasan demi menjaga keamanan.”


Keempat, kembalikan dan hargai hak-hak para pengungsi, baik hak sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Terutama hak-hak mereka untuk hidup bersama dan hak memiliki harta benda yang mereka peroleh secara sah selama bertahun-tahun.



Kesimpulan dan Rekomendasi



Akibat kerusuhan sosial Sampit, termasuk pula kerusuhan Sambas, orang Madura terpaksa harus menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Mereka telah kehilangan harta benda, hasil kerja kerasnya selama ini dan kehilangan sanak keluarga yang dicintainya. Anak-anak dan kaum perempuan yang masih bisa diselamatkan dari pembantaian, kini menjadi yatim piatu dan janda yang tidak jelas masa depannya. Di samping itu, selama menjalani kehidupan di pengungsian lebih dari setahun yang lalu, mereka harus pula menerima beban kehidupan budaya, sosial, dan ekonomi yang semakin memberatkan penderitaan mereka.


Peristiwa dan akibat kerusuhan sosial baik di Sambas maupun di Sampit tidak pernah terbayangkan akan menimpa mereka. Menurutnya, pembantaian sistematis, terorganisasi, dan dilakukan secara besar-besaran tidak didasarkan adanya alasan kuat. Mereka tidak merasa memiliki konflik dengan orang Dayak, khususnya Dayak lokal. Apalagi proses integrasi sosial budaya sudah berjalan dengan cukup berhasil, yang terbukti dengan adanya perkawinan antaretnik dan penggunaan bahasa Melayu dan bahasa Banjar dalam pergaulan sosial. Meskipun diakui oleh mereka bahwa pada masa-masa sebelumnya telah terjadi beberapa kali konflik sosial antara orang Madura dan orang Dayak, tetapi hal tersebut dapat diselesaikan secara damai.


Oleh karena itu, para pengungsi mempunyai keyakinan kuat bahwa pemicu kerusuhan sosial baik di Sambas maupun di Sampit adalah para preman Madura yang datang kemudian ke Kalimantan. Karena jumlah preman Madura ini sedikit dan dalam kenyataannya yang menjadi korban kerusuhan adalah sebagian besar keturunan Madura yang sudah beberapa generasi menetap di Kalimantan sedangkan para preman tersebut justru selamat dari pembantaian massal, para pengungsi berpendapat bahwa baik kerusuhan sosial Sambas maupun Sampit tidak cukup kuat dimaknai semata-mata berbasis asal-usul etnik melainkan juga bernuansa keagamaan.

Upaya rekonsiliasi masih dimungkinkan selama beberapa persyaratan yang mereka ajukan (empat butir sebagaimana telah disebutkan di atas) diperhatikan secara sunguh-sungguh, terutama oleh pemerintah daerah setempat dengan didukung penuh oleh otoritas pemerintah pusat. Rekomendasi yang bisa diajukan sebagai wacana sosial akademik dalam diskusi ini antara lain adalah sebagai berikut.


Pertama, penting untuk memperhatikan secara sunguh-sunguh melalui tindakan nyata tentang penderitaan para pengungsi selama dalam masa pengungsian. Tindakan-tindakan nyata tersebut dapat berupa pendampingan dan pemberdayaan sosial ekonomi, dengan menggunakan pendekatan sosiologis, antropologis, dan psikologis.


Kedua, penting untuk mengambil langkah-langkah secepatnya mengantisipasi kian meluasnya isu tentang kemungkinan terjadinya konflik etnik lanjutan berbasis agama. Jika hal ini terjadi, kerusuhan sosial akan menjadi lebih keras dan skalanya lebih luas karena bersifat lintas etnik. Bahkan kerusuhan demikian akan berlangsung dalam jangka waktu yang lebih lama, seperti terjadi di Maluku. Pada akhirnya, korban-korban akan lebih bervariasi, selain harta benda dan nyawa, juga kerusakan di bidang moral, etika, dan nilai-nilai kemanusian lainnya. Hal-hal demikian akan mengancam integrasi bangsa.***



Daftar Rujukan



De Jonge, Huub

1989 Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: Gramedia.

Kompas Harian Umum

2002 Jakarta: Edisi Rabu, tgl. 13 Maret.

Kusnadi

2002 “Masyarakat “Tapal Kuda”: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”. Jember: Makalah yang akan diterbitkan Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora edisi semester pertama tahun 2002 ini.

Kuntowijoyo

1988 Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas - Studi Sosial (PAU-SS), Universitas Gadjah Mada.

Marzali, Amri

2001 “Kekerasan Sosial di Kalimantan: Sebuah Analisis Antropologi Sosiokultural”, dalam Analisis. Tahun XXX/03: 269-290.

Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur.

2003 Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur No.(belum ada) Tahun 2003, tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik.

Sudagung, Hendro Suroyo

2001 Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Jakarta: ISAI.

Surya, Harian Umum

2003. Liputan Khusus: Derita Pengungsi Sampit di Sampang Kian Parah. Surabaya: Edisi Jumat, tgl. 7 November.

Wiyata, A. Latief

2002 Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.




LAMPIRAN



Tabel 1.

KONSENTRASI JUMLAH PENGUNGSI

DI BEBERAPA KECAMATAN

KABUPATEN SAMPANG


No.

Kecamatan

KK

Jiwa

1.

Ketapang

8.240

20.566

2.

Banyuates

987

4.565

3.

Kedungdung

2.564

16.238

4.

Robatal

3.832

18.366

5.

Sokobanah

966

3.735

6.

Tambelangan

76

348


J U M L A H

16.665

63.818



Tabel 2.

JUMLAH PENGUNGSI DI

KECAMATAN KETAPANG

KABUPATEN SAMPANG


No.

Desa Lokasi Pengungsi

KK

Jiwa

1.

Ketapang Barat

666

2.998

2.

Ketapang Timur

916

3.431

3.

Ketapang Daja

586

2.365

4.

Ketapang Laok

436

1.761

5.

Bunten Barat

913

3.823

6.

Bunten Timur

342

913

7.

Pangeremman

136

605

8.

Pale Daja

51

252

9.

Pale Laok

753

3.174

10.

Rabiyan

45

232

11.

Banyusokah

38

167

12.

Karang Anyar

32

172

13.

Pancer

16

68

14.

Billa Barat

136

605


J U M L A H

8.240

20.566



Tabel 3.

JUMLAH PENGUNGSI DI

KECAMATAN BANYUATES

KABUPATEN SAMPANG


No.

Desa Lokasi Pengungsi

KK

Jiwa

1.

Banyuates

154

676

2.

Tlagah

726

3.339

3.

Morbatoh

57

305

4.

Nagasareh

29

146

5.

Trapang

21

99


J U M L A H

987

4.565



Tabel 4.

JUMLAH PENGUNGSI DI

KECAMATAN KEDUNGDUNG

KABUPATEN SAMPANG


No.

Desa Lokasi Pengungsi

KK

Jiwa

1.

Kedungdung

87

419

2.

Pajerowan

139

732

3.

Rabasan

95

400

4.

Nyeloh

421

1.155

5.

Batuporoh Barat

303

1.670

6.

Batuporoh Timur

598

3.525

7.

Banjar

498

105

8.

Komes

284

1.202

9.

Rahayu

21

83

10.

Gunung Eleh

61

206

11.

Banjar Sokah

57

246


J U M L A H

2.564

16.238



Tabel 5.

JUMLAH PENGUNGSI DI

KECAMATAN ROBATAL

KABUPATEN SAMPANG


No.

Desa Lokasi Pengungsi

KK

Jiwa

1.

Robatal

59

281

2.

Pandiangan

1.178

5.799

3.

Gunung Rancak

1.234

5.543

4.

Jelgung

324

1.470

5.

Tragih

408

2.174

6.

Batengah

214

1.022

7.

Le-pelle

20

97

8.

Karang Penang Daja

10

47

9.

Karang Penang Laok

63

293

10.

Torjunan

322

1.640


J U M L A H

3.832

18.366



Tabel 6.

JUMLAH PENGUNGSI DI

KECAMATAN SOKOBANAH

KABUPATEN SAMPANG


No.

Desa Lokasi Pengungsi

KK

Jiwa

1.

Sokobanah

53

205

2.

Sokobanah Daja

423

1.621

3.

Sokobanah Laok

31

116

4.

Sokobanah Tengah

51

199

5.

Tamberru Daja

50

164

6.

Tamberru Laok

56

200

7.

Tamberru Barat

22

80

8.

Tamberru Timur

1

5

9.

Tobai

3

15

10.

Tobai Barat

54

209

11.

Tobai Timur

23

86

12.

Tobai Tengah

45

182

13.

Bira Timur

48

214

14.

Bira Tengah

106

454


J U M L A H

966

3.735


Tabel 7.

JUMLAH PENGUNGSI DI

KECAMATAN TAMBILANGAN

KABUPATEN SAMPANG

No.

Desa Lokasi Pengungsi

KK

Jiwa

1.

Somber

76

348


J U M L A H

76

348

2 komentar: