November 23, 2008

KECERDASAN LOKAL DAN JEMBATAN SURAMADU

RADAR MADURA,
Senin, 30 Desember 2002.




KECERDASAN LOKAL
DAN JEMBATAN SURAMADU



Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya Madura
Ketua LPPM Universitas Trunojoyo
Bangkalan Madura




Rencana pembangunan jembatan “Suramadu” secara resmi telah ditetapkan oleh pemerintah RI lebih dari satu dasawarsa lalu melalui Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1990. Namun sejauh ini pelaksanaannya masih “maju mundur” meskipun telah tampak adanya sedikit kepastian akan terealisasikan. Masalah utama tentu saja dana yang diperlukan belum tersedia sesuai dengan kebutuhan. Menurut perhitungan dana yang dibutuhkan untuk proyek pembuatan jembatan yang panjangnya 5,43 kilometer dan lebar 28,5 meter ini tidak kurang dari Rp 2,3 triliun. Sementara dana yang tersedia baru mencapai Rp 800 milyar sehingga masih diperlukan Rp 1,5 triliun lagi. Meskipun demikian, pemerintah Pusat tetap bertekad menyelesaikan proyek tersebut.

Menurut Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil) pemerintah Pusat telah menetapkan tiga alternatif untuk mengatasinya yaitu meminjam dari pemerintah Kuwait, melakukan imbal-beli, dan menerbitkan obligasi. Terlepas dari alternatif mana yang akan dipilih, masalah dana tetap menjadi suatu kendala tersendiri yang harus diatasi dan disikapi secara cerdas dan penuh kearifan agar tidak menimbulkan masalah baru sehingga ada pihak yang merasa dirugikan. Sebab dana tidak hanya diperlukan untuk membiayai pembangunan proyek jembatan itu melainkan juga sangat terkait dengan pembebasan lahan dan ganti rugi yang harus diserahkan kepada pemilik lahan.

Berita Radar Madura (25/11) menyebutkan bahwa Tim Teknis Pembangunan Jembatan Suramadu yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Bangkalan telah dua kali gagal melakukan tugasnya memberikan penjelasan (sosialisasi) tentang pembebasan lahan dan ganti rugi kepada warga masyarakat yang terkena langsung pembangunan jembatan tersebut. Kegagalan ini disebabkan tidak seorangpun warga masyarakat setempat mau hadir ke pertemuan yang diadakan untuk itu. Alasannya terutama karena mereka telah mendapat informasi bahwa nilai ganti rugi yang akan ditawarkan oleh pemerintah dianggap kurang layak dan tidak adil sebab hanya sebesar Rp 35.000,- per meter persegi. Jumlah ini mereka anggap jauh lebih kecil dibandingkan dengan ganti rugi yang diterima oleh warga Kenjeran (lokasi kaki jembatan di wilayah Surabaya) sebesar Rp 1,2 juta dalam ukuran lahan yang sama.

Protes warga masyarakat dengan cara tidak menghadiri pertemuan dengan Tim Teknis dalam menyikapi ketidak adilan yang mendatangkan kerugian ini merupakan salah satu bentuk sikap dan prilaku yang sudah lazim dan bahkan sering dilakukan pula oleh warga masyarakat mana pun jika menglami hal yang (hampir) sama. Bagi warga masyarakat Madura, khususnya yang terkena langsung dan berada di lokasi proyek pembangunan jembatan Suramadu, ternyata masih ada sikap dan perilaku lain yang secara kultural sarat dengan makna-makna simbolik. Tulisan ini akan membahas sikap dan perilaku kultural orang Madura tersebut sehingga dapat dipahami makna-makna simboliknya oleh semua pihak baik pemerintah maupun yang berkepentingan dengan proyek pembangunan jembatan Suramadu.

Beberapa informasi dari lapangan menyebutkan bahwa akhir-akhir ini di sekitar lokasi jembatan bermunculan “makam-makam” baru di lahan-lahan yang diperkirakan akan menjadi lokasi proyek. “Makam-makam” ini secara fisik tidak berbeda bentuknya dengan makam pada umumnya. Selain berbentuk gundukan tanah yang di atasnya ditanam batu nisan juga tidak lupa ditaburi bunga sebagai simbolisasi sakralitas serta untuk menambah kuatnya kesan mistifikasinya. Padahal “makam-makam” tersebut hanyalah semu belaka, tidak ada jazad orang yang meninggal dunia di kubur di dalamnya. Bila dicermati lebih dalam, inisiatif warga masyarakat membuat “makam” tersebut bukan suatu bentuk penipuan atau “kebodohan” melainkan merupakan simbolisasi dari kecerdasan mereka yang sarat dengan pesan-pesan yang bermakna kultural.

Makam bagi orang Madura bukan semata-mata tempat mengubur melainkan memiliki makna sebagai tempat “pemukiman baru” para kerabat atau orang yang telah meninggal dunia. Hubungan batin tidak serta merta putus ketika kematian telah datang. Hubungan ini harus tetap dan terus dipelihara sampai ke anak-cucu. Untuk itu mereka selalu mengunjungi makam-makam kerabat atau kenalan. Jika memungkinkan kunjungan dilakukan secara teratur pada hari-hari tertentu (biasanya Kamis malam) setiap minggu atau pada bulan-bulan tertentu yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Dalam konteks ini makam bermakna sebagai tempat “pertemuan” dengan para leluhur. Setiap kali pertemuan bukan hanya terjadi komunikasi bersifat monolog dalam arti memanjatkan doa melainkan tidak jarang terjadi pula dialog dalam arti yang sebenarnya. Mereka bisa mengadu, berkeluh kesah, meratap atau menyatakan perasaan lain baik ketika ditimpa musibah dan kesedihan atau sedang memperoleh kebahagiaan. Semua ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan orang Madura tidak saja penting menjaga hubungan dengan lingkungan sosial tetapi penting pula menjalin hubungan dengan lingkungan “dunia lain”. Dalam konteks ini menjadi jelas bagaimana arti dan makna sebuah makam bagi kehidupan orang Madura. Oleh karena itu, makam harus tetap dirawat, dipelihara, dan dipertahankan keberadaannya.

Jika mereka membuat “makam semu” di lahan-lahan yang akan dibebaskan atau diperkirakan akan dibeli oleh para investor tiada lain maknanya mereka mengharapkan nilai jual lahan menjadi kian meningkat. Alur pikiran mereka memang sederhana namun sangat logis. Apa yang mereka lakukan hanya mengacu pada pemaknaan makam sebagaimana selama ini dipahami oleh orang Madura. Meskipun dalam struktur sosial dan politik mereka merupakan orang-orang marjinal yang sama sekali hampir tidak memiliki kemampuan tawar (bargaining power) menghadapi kekuatan serta kekuasaan birokrasi dan para investor namun apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan salah satu bentuk kecerdasan lokal dalam kehidupan kultural orang Madura. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengapresiasi dan tidak menunjukkan sikap apriori apalagi mencemoohkan mereka. Jika demikian, sikap saling menghargai antara semua pihak sudah pasti akan terwujud. Tidak akan terdengar lagi adanya berita pembebasan lahan yang selalu merugikan orang-orang marjinal sebagimana terjadi selama masa rezim Orde Baru.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar