Desember 02, 2008

Dua Karisma Berebut Kuasa

Kompas, 19 Juni 2004


Dua Karisma Berebut Kuasa


Judul Buku : Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura
Penulis : Abdur Rozaki
Pengantar : Abd A’la
Penerbit : Pustaka Marwa Yogyakarta, Cetakan I, Januari 2004
Tebal : xxvi + 214 halaman


MASYARAKAT Madura dengan segala kompleksitas budaya dan dinamika kehidupan masyarakatnya memang menarik untuk dikaji. Ini bisa kita lihat setidaknya dari berbagai studi yang pernah dilakukan oleh para peneliti. Elly Touen Bousma, misalnya, meneliti tentang kekerasan di masyarakat Madura. A. Latief Wiyata mengulas tradisi carok sebagai bentuk penegakan harga diri orang Madura. Kuntowijoyo, melalui aspek ekologis, memotret perubahan sosial di Madura. Sedangkan Mutmainnah, dengan kasus rencana pembangunan jembatan Suramadu, melihat peran ulama dalam konteks demokratisasi.

BUKU Menabur Kharisma Menuai Kuasa yang ditulis Abdur Rozaki ini menambah deretan penelitian di atas. Berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain, Rozaki di sini memotret dua kekuatan penting di tengah masyarakat Madura serta berbagai relasi kuasa yang mereka bangun. Dua kekuatan itu adalah kiai dan blater (jagoan).

Seperti kita tahu, penduduk Madura mayoritas memeluk Islam. Kenyataan ini kemudian menempatkan tokoh agama (kiai) pada posisi yang sangat penting dan sentral di tengah masyarakat. Bahkan, bagi masyarakat Madura, kiai dipandang tidak hanya sebagai subyek yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai kekuatan linuwih. Itu sebabnya, ia juga berperan sebagai tabib, yang dimintai mantra atau jimat dalam segala urusan dan tempat belajar ilmu kanuragan.

Adapun struktur ekologis wilayahnya yang tandus dan tidak produktif telah menyebabkan masyarakatnya mengalami kemiskinan sosial-ekonomi. Di samping memang adanya pengalaman masyarakat Madura di masa kapitalisme kolonial yang mengalami proses eksploitasi dan dehumanisasi. Kenyataan ini melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat. Di sinilah blater muncul. Dalam konsepsi masyarakat Madura, blater adalah orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan, dan kekuatan magis yang (biasanya) mereka digunakan dalam tindak kriminal. Bagi masyarakat Madura sendiri, ada dua pandangan mengenai sosok blater ini. Ada blater yang memberikan perlindungan keselamatan secara fisik kepada masyarakat, berperilaku sopan dan tidak sombong. Namun, ada juga blater yang disebut "bajingan" karena tidak menjalankan peran sosial yang baik di masyarakat.

DUA kekuatan sosial itu, menurut analisis Rozaki, ternyata sangat berpengaruh dalam membangun relasi kuasa di tengah masyarakat. Kiai membangun relasi kuasa melalui proses kultural, yaitu melakukan islamisasi. Beragam media kultural mereka ciptakan untuk membangun kesadaran keagamaan umat, misalnya, membangun langgar, pondok pesantren, dan sekolah agama. Di sini awalnya kiai melakukan transfer pengetahuan keagamaan, tetapi pada ujungnya menjadikan dirinya sebagai kekuatan hegemoni dalam mengonstruk bangunan kognitif dan tindakan sosial masyarakat.

Berbeda dengan kiai, dalam membangun kekuatan sosial, blater melakukannya melalui praktik-praktik kriminal, seperti carok, sabung ayam, dan modus pencurian dan perampokan. Blater yang sudah kembali hidup normal dalam masyarakat biasanya menjadi penengah dan mediator yang baik dalam menyelesaikan konflik antaranggota masyarakat. Itu sebabnya, ideologi sosial yang mereka bangun adalah membantu masyarakat. Dua kekuatan ini, dalam konteks pembentukan karakter masyarakat Madura, perannya sangat terasa. Tradisi blater, misalnya, telah membentuk karakter masyarakat Madura yang keras dalam membela harga diri. Adapun kiai sangat kuat pengaruhnya dalam membangun suasana keagamaan.

Uniknya, dalam perkembangannya, dua kekuatan sosial itu ternyata saling rebut dalam ruang-ruang sosial yang sangat luas dengan motif ekonomi dan politik. Dalam konteks ini, seperti diungkap Rozaki dalam buku ini, dua kekuatan itu bisa saling berebut dominasi, misalnya dalam kasus pemilihan kepala desa, pemilihan bupati, aktivitas di sekolah agama, dan bahkan politisasi nama karismatik almarhum Kiai Kholil. Semua itu terjadi tidak lain untuk meraup keuntungan dan kepentingan mereka masing-masing, baik secara ekonomi maupun politik.

Fenomena yang diungkap Rozaki ini memberikan penjelasan kepada kita betapa kekuatan karisma demikian signifikan di tengah masyarakat Madura. Di tengah motif sosial, ekonomi, dan politik, kekuatan karisma dari dua kekuatan sosial itu saling berebut dominasi dan kekuasaan di dalam masyarakat. Akhirnya sosok kiai yang semestinya sebagai penjaga moralitas agama bisa terjerembab pada kepentingan-kepentingan profan semata. Dan pada sisi lain, kekuatan fisik, dan bahkan tindakan kriminal yang direpresentasikan oleh sosok blater, bisa saja menjadi pembentuk karisma untuk memperoleh kekuasaan.

Dominasi dan perebutan kekuasaan dua kekuatan karismatik itu sangat kentara karena Rozaki dengan sengaja memilih dua kabupaten: Sampang dan Bangkalan sebagai wilayah obyek kajian. Di dua kabupaten inilah, di samping tradisi blater tumbuh dan mengakar sangat kuat di tengah masyarakat, terdapat juga dinasti Kiai Khalil yang pengaruhnya, hingga kini, sangat kuat.

Buku Rozaki ini, dalam konteks studi tentang Madura, seperti diakui Kuntowijoyo, merupakan teror mental. Betapa tidak, sejauh ini studi tentang Madura hanya berkisar soal kiai, masjid, dan pesantren. Namun, buku ini telah menyajikan sosok blater (jagoan) dengan berbagai jaringan dan peran sosialnya di masyarakat serta relasinya dengan kiai sebagai kekuatan dominan dan hegemonik.

Di atas semua itu, yang patut dicatat dari buku ini adalah bahwa karisma, dengan segala bentuknya, selalu saja berujung pada kuasa. Dan kuasa pada ujungnya selalu memegang tafsir hegemonik untuk mengukuhkan status quo-nya. Masyarakat sulit keluar dari dominasi itu. Hal-hal yang sakral (agama) telah tercampur aduk dengan hal-hal profan. Ujungnya, insensibilitas moral-agama pun terjadi.

Daryati P Achmad Peminat Masalah Sosial Politik, Tinggal di Yogyakarta

Kompas, 19 Juni 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar