Maret 23, 2009

Nasib Orang Madura di Balik Jembatan Suramadu

Dimuat di Radar Madura, 23 Maret 2009


Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya
FISIP Universitas Jember



Sejak aw
al ide pembangunannya yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Ir. Sedyatmo tahun 1960, sebagai bagian dari proyek untuk "menyatukan" Jawa, Bali dan Sumatra (Kompas, 20/08/2003) dan awalnya merupakan gagasan orisinal R.P. Mohammad Noer, sesepuh orang Madura sekaligus mantan gubernur provinsi Jawa Timur, mega project sebuah jembatan yang dikenal dengan nama Jembatan Suramadu barangkali merupakan satu-satunya yang paling lama diperbincangkan dan didiskusikan dalam seminar-seminar baik skala lokal, regional, nasional maupun internasional.

Mengingat betapa vital dan urgennya proyek ini bagi pembangunan ekonomi Indonesia, mudah dipahami bila jembatan Suramadu sangat didambakan kehadirannya oleh banyak pihak, khususnya orang Madura. Andai tidak ada aral melintang, pembangunan jembatan Suramadu yang diperkirakan menelan biaya Rp 4,5 trilyun akan selesai dan diresmikan penggunaannya Juni mendatang (Jawa Pos, 12 Maret 2009). Jembatan ini membentang dengan megahnya sepanjang 5.438 meter di atas selat Madura sehingga menyatukan dua kawasan pulau: Jawa dengan Madura. Kaki jembatan di kawasan pulau Jawa berada tepat di bibir pantai Kenjeran, Surabaya sedangkan di area pulau Madura ditempatkan di Labang, Kamal, kabupaten Bangkalan.

Janji-janji pemerintah selaku pemegang otoritas pembangunan jembatan tersebut selalu melambungkan harapan banyak orang Madura. Jargon-jargon ekonomis sudah terlalu sering didengar seperti kawasan Madura akan menjadi zona industri (modern) dengan investasi sangat besar sehingga nantinya akan kian menyejahterakan “semua” orang Madura. Harapan-harapan ini memang tidak harus ditolak, oleh karena semua orang mengerti dan memahami hukum ekonomi memang begitu adanya. Semakin besar investasi, semakin meningkat pula keutungan ekonomik yang akan diraih. Pada gilirannya, semakin banyak orang yang berkesempatan menikmatinya.

Andai teori itu benar adanya, orang Madura yang selama ini cenderung dimarjinalkan terutama secara ekonomi, tentu akan berbalik nasibnya 180 derajat menjadi orang yang mungkin paling sejahtera – setidaknya – di kawasan provinsi Jawa Timur. Realitanya, perhitungan-perhitungan ekonomis tidak selalu berdiri sendiri. Beragam kondisi non-ekonomis patut juga dipertimbangkan. Salah satu di antaranya adalah kondisi kemampuan kepemimpinan (leadership) dari para elit lokal yang ada di seluruh pulau Madura. Pada pundak merekalah pengelolaan semua sumberdaya (manusia dan alam) dipertaruhkan.

Kekuatan dan kemampuan SDM Madura sudah teruji sepanjang sejarah Indonesia. Orang-orang Madura sejak dulu dikenal sebagai pekerja yang sangat ulet, tangguh, penuh semangat, dan pantang menyerah terhadap kondisi-kondisi yang menghadangnya. Bahkan sejak zaman kolonial, orang Madura telah diakui pula sebagai pemberani sehingga penjajah Belanda waktu itu selain memanfaatkannya sebagai pekerja-pekerja dalam pembangunan fisik yang mendukung kepentingannya selama berada di Indonesia, orang Madura dijadikan juga tentara bayaran yang tentu saja sangat menguntungkan pihak penjajah.

Potensi, kemampuan, dan kekuatan SDM Madura yang hebat itu niscaya menjadi modal sosial dan kultural yang amat berharga dalam masa pembangunan di negara ini. Lebih-lebih ketika jembatan Suramadu telah secara resmi dioperasionalkan. Pada saat itu nanti, kondisi masayarakat Madura disadari atau tidak akan mengalami suatu perubahan besar dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini menuntut persayaratan kualitas SDM benar-benar unggul seperti yang dimiliki oleh orang Madura itu.

Potensi, kemampuan, dan kekuatan sumberdaya alam (SDA) Madura pun sudah sangat kentara. Gas alam cair, kandungan minyak bumi, serta kandungan barang-banrang tambang lainnya sudah mulai dilirik oleh berbagai investor kakap baik dari dalam maupun luar negeri. Sekali lagi, andai semua potensi itu dikelola dengan baik, cerdas, dan bermoral demi kepentingan orang Madura, sudah pasti kemakmuran dan kesejahteraan yang selama ini dijanjikan dan dinantikan akan mewujud secara nyata.

Kunci dari semua itu tidak ada lain kecuali terletak pada figur elit-elit Madura yang tepat untuk mengelolanya sekaligus sebagai pemimpin orang Madura ke depan. Kualitas figur pemimpin yang dimaksud harus benar-benar teruji secara intelektualitas, moralitas, dan amanah. Intelektualitas tidak saja menyangkut jenjang pendidikan yang disandangnya (kadang hanya teraktualisasi sebagai gelar simbolik semata yang tuna makna), tetapi lebih penting pada bagaimana mengimplementasikan semua pengetahuan serta wawasan intelektualnya dalam kehidupan nyata.

Secara moralitas, pemimpin yang didambakan itu harus benar-benar mampu menunjukkan cara berpikir, bertindak dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas baik yang berasal dari ajaran agama (Islam) maupun dari nilai-nilai sosial budaya Madura. Implikasi dari aspek moralitas ini ke depan tidak akan terdengar lagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sangat aib karena merugikan hampir semua orang Madura.

Madura ke depan akan semakin cemerlang andai kualitas para elit lokal yang akan memimpin Madura juga memegang teguh amanah. Ibarat sebilah pisau, kekuasaan memiliki makna ambiguitas tergantung pada siapa yang memegang dan bagaimana serta untuk apa digunakan. Kekuasaan juga sangat sarat dengan aspek moralitas. Ketika seseorang yang kebetulan diberi kesempatan memperolehnya kemudian benar-benar menyadari bahwa kekuasaan itu adalah sebuah amanah dari Yang Maha Kuasa, niscaya kekuasaan itu akan bermanfaat bagi semua orang Madura, dan sebaliknya dengan kekuasaan itu pula orang Madura menjadi semakin terpuruk kehidupannya. Padahal keterpurukan ini menurut ajaran agama Islam sangat dekat dengan kekufuran bagi yang bersangkutan. Tegakah para elit-elit di Madura membayangkannya, apalagi mewujudkannya dalam realitas?

Itu sebabnya, pasca pembangunan jembatan Suramadu sangat mendesak kebutuhan orang Madura akan figur-figur pemimpin yang benar-benar berkualitas baik secara intelektualitas, moralitas, dan sekaligus amanah. *

1 komentar: