Desember 29, 2008

Carok Nabhang dan Pemberantasan Korupsi

Oleh: Beta Chandra Wisdata*
Artikel politik ini dimuat di Majalah Fokus, Pamekasan-Madura edisi 6 Tahun ke II, 2008

--------->Gebrakan memberantas korupsi oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pemerintah kerapkali didengar di telinga kita. Setelah mengeluarkan inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan pencanangan Gerakan Aksi Nasional Anti Korupsi mengindikasikan upaya kesungguhan pemerintah menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik sekaligus bersih (good governance-clean government).

--------->Program nasional tersebut tentu saja layak kita apresiasi bersama. Kita sering mendengar kecaman dan ungkapan sarkasme masyakat melihat "hasil jerih" para koruptor menghabiskan uang negara (baca: rakyat). Negeri yang menjanjikan kehidupan gemah ripah loh jinawi karena begitu subur dan kaya akan sumberdaya alam sampai detik ini tidak kunjung menjadi kenyataan. Keterpurukan serta segala bentuk kebobrokan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan keniscayaan yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia ketika para pengelola dan penyelenggara pemerintahan serta elemen masyarakat tertentu “lupa” ketika melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) termasuk segala bentuk penyelewengan lainnya.

--------->Memang ada beberapa pihak yang kemudian menilai sinis gebrakan pemberantasan korupsi pemerintah itu. Ada yang menuding gerakan tersebut "tebang pilih". Artinya hanya lawan politik SBY saja yang kemudian diciduk dan disidangkan. Sementara para kroninya jalan terus melakukan korupsi. Parahnya lagi tak sedikit aparat internal pemerintah yang merupakan bagian inti dari pemberantasan korupsi justru "bermain mata" dengan para koruptor. Kasus Artalytas Suryani setidaknya bisa dijadikan sedikit bukti betapa lemahnya institusi pemerintah.

--------->Lepas daripada itu, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulas pro dan kontra terhadap Gebrakan Presiden SBY yang dinyatakan dalam bentuk sinisme dan optimisme di kalangan masyarakat. Nampaknya penting pula untuk membahas implikasi kebijakan politik Presiden SBY tersebut dalam kaitannya dengan carok, suatu konflik kekerasan dalam masyarakat Madura yang sampai saat ini tetap berlangsung sebagai fakta sosial-budaya.

--------->Menurut hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk disertasi (lihat: Wiyata, 2002, Yogyakarta: LKiS) carok tidaklah berdiri sendiri melainkan terkait secara relasional dengan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM). Dengan demikian, masing-masing kondisi memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan carok di Madura.

--------->Salah satu kondisi itu adalah perilaku sementara aparat judisial (penegak hukum) yang memanfaatkan carok sebagai komoditas. Komoditisasi carok kemudian memunculkan istilah nabang yaitu suatu bentuk penyuapan yang dilakukan oleh pelaku carok (khususnya yang dapat membunuh lawannya) terhadap aparat judicial untuk merekayasa proses penyidikan. Rekayasa ini mulai dari tahap awal hingga vonis hukuman dijatuhkan.

--------->Dengan nabang, para pelaku carok dapat mempengaruhi penerapan sanksi hukum menjadi lebih ringan. Sanksi hukum bagi pelaku carok seperti yang tercantum dalam pasal-pasal 338 dan 340 KUHP dengan pidana hukuman mati atau dipenjara seumur hidup atau 20 tahun dalam kenyataannya menjadi jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman tersebut. Selain itu, dengan upaya nabang para aparat yudicial dapat memanipulasi pelaku carok. Artinya, pelaku carok yang sebenarnya dapat digantikan oleh orang lain yang masih merupakan kerabat dari pelaku carok tersebut untuk menanggung sanksi hukum.

--------->Bagi aparat judicial upaya nabang jelas menguntungkan secara ekonomik. Sementara, bagi pelaku carok itu sendiri justru menguntungkan secara sosial-budaya. Predikat sebagai oreng jago (jagoan) semakin tegas, oleh karena selain telah dapat mengalahkan – dengan cara menghabisi nyawa – musuhnya, mereka telah dapat pula mengalahkan kekuasaan para aparat judisial. Secara politik, semua keberhasilan tersebut menjadi alat untuk mencapai kekuasaan (means of power). Pertanyaannya kemudian, akankah Gebrakan Presiden SBY dalam memberantas korupsi dapat juga berimbas pada aparat judisial yang terlibat upaya nabang dalam konteks carok? Jawabannya terletak dari komoditisasi carok dalam konteks Gebrakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiada lain merupakan bentuk korupsi yang harus dibasmi pula. Meskipun, secara formal, tidak menggerogoti uang negara namun perilaku sementara aparat judicial seperti itu jelas dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power) demi keuntunguan ekonomik pribadi yang bersangkutan. Implikasinya secara formal adalah penerapan sanksi hukum tidak dapat dijalankan secara konsisten sesuai dengan KUHP sehingga menguntungkan para pelaku carok.

--------->Secara sosial, ulah sementara aparat yudisial tersebut sangat melecehkan rasa keadilan masyarakat. Lebih daripada itu, suatu ironi, dengan adanya nabang aparat judisial melalui kekuasaan yang dimilikinya bukannya ikut menegakkan supremasi hukum. Melainkan justru melangkahi secara tidak langsung. Padahal, dalam konteks pemberantasan korupsi yang telah menjadi prioritas utama Presiden SBY, semua aparat judisial harus benar-benar bersih dari segala bentuk perilaku penyalahgunaan wewenang Meskipun terjadinya carok mempunyai hubungan relasional yang sangat kuat dengan kondisi-kondisi lain seperti dinyatakan pada bagian awal tulisan.

--------->Dalam konteks itu, jika komoditisasi kriminalitas melalui upaya nabang tidak diberantas maka implikasinya akan semakin melestarikan konflik kekerasan dalam masyarakat Madura. Padahal, dengan carok – yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang –merupakan pelanggaran paling berat terhadap hak azasi manusia. Gebrakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana janjinya pada semua rakyat Indonesia untuk melakukan perubahan (ke arah yang lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya). Tentu saja jangan hanya terfokus pada pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) demi terbentuknya atau terciptanya good governance-clean government. Meskipun hal itu telah menjadi prioritas utama, namun dalam masa pemerintahan ke depan SBY harus tetap lebih memperhatikan setiap bentuk pelanggaran HAM agar tidak semakin menjadi-jadi di negeri ini. Sebab, pada prinsipnya, negara menjamin penjunjungan hukum sesuai konteks HAM agar masalah kasus sosial-budaya tidak berkembang ke masalah diskrimiasi Suku, Agama, Ras dan Antar Bangsa (SARA).


* pemerhati masalah politik dan staff pengajar STE Mandala Jember.
artikel ini diambil dari http://beta-chandra-wisdata.blogspot.com/
-------------------------------------------------------------------------------------

Komentar dari saya :
terlihat bahwa saudara Beta Chandra Wisdata seorang dosen STE MANDALA JEMBER memahami secara benar melihat konteks Carok dari sudut pandang Politik.
Peristiwa Nabhang, dan Carok misalnya, memiliki hubungan kuat dengan budaya kekuasaan yaitu korupsi. Oleh karenanya, pemahaman Carok harus dilihat sesuai konteksnya dan harus berhati-hati menjelaskan untuk terhindar tumpang tindih makna, sebagaimana para pengamat lain (diluar ruang lingkup spesialisasi kajian yang diminati tidak hanya politik melainkan sosial, ekonomi, religi lebih-lebih budaya) sering mengartikan carok tidak pada konteksnya. Carok dianggap berdiri sendiri. Apalagi, Carok dilihat sebagai peristiwa melanggar kaidah hukum saja yang tentu itu tidak cukup karena lagi-lagi harus dikembalikan kepada tinjauan secara antropologis (lihat : Carok, A. Latief Wiyata, LKIS 2004).

Desember 2008

A. LATIEF WIYATA
(Antropolog)

2 komentar:

  1. tulisannya memberi pencerahan pak. Sugoii ^^.
    sedikit banyak membuat saya mengerti tradisi carok yang sebenarnya

    BalasHapus