November 21, 2008

MAKNA “RATO” DAN “GURU” DALAM KASUS “DAU” DI SUMENEP


MAKNA “RATO” DAN “GURU”

DALAM KASUS “DAU” DI SUMENEP




Dr. A. Latief Wiyata

Pengamat Sosial Budaya Madura

Kelahiran Desa Parsanga

Sumenep




Pada beberapa tulisan saya beberapa lalu di media ini, saya telah mengupas tentang ungkapan “buppa’ babu’, guru, rato” yang secara umum telah dimaknai sebagai “urutan” figur-figur panutan orang Madura. Namun saya juga telah memberikan suatu penafsiran lain bahwa ungkapan itu merupakan suatu “pandangan dunia” (world view) orang Madura.


Tulisan saya kali ini akan mencoba membahas fenomena praktek-praktek KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang kini kian marak ditentang oleh beberapa elemen masyarakat Madura. Khususnya, seperti yang selalu saya ikuti melalui Radar Madura, terjadinya unjuk rasa oleh elemen-elemen masyarakat Sumenep terhadap “Kasus DAU” yang konon menyangkut jumlah uang milyaran rupiah. Sejauh ini sudah ditetapkan tersangkanya oleh institusi-institusi judicial. Salah satu elemen masyarakat (LSM) yang getol menuntut kasus DAU tersebut diusut tuntas adalah “NSP” (Ngadeg Sodeg Parjugha) dengan didukung oleh beberapa komponen mahasiswa. Bahkan secara tegas mereka menuntut Hadhori (Sekretaris Daerah Kabupaten) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pertanggungjawaban kepada rakyat Sumenep atas kasus DAU tersebut (RM, 28/05).


Secara legal formal jabatan Sekretaris Daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari entitas birokrasi pemerintah kabupaten setempat. Bersama-sama dengan unit-unit biroksasi yang lain roda pemerintahan dan pembangunan kabupaten Sumenep bisa dijalankan sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati dan ditetapkan baik dalam konteks lokal (DPRD) maupun nasional. Tentu saja sebagai penanggungjawab utama segala kegiatan pemerintahan dan pembanguan adalah Bupati. Menurut perspektif sistem budaya Madura, entitas birokrasi tersebut sejatinya

terkategorikan sebagai figur “rato”. Namun persoalannya menjadi menarik jika realitas kultur politik yang berlaku di Sumenep )dan di Madura pada umumnya) figure “rato” dijabat oleh figure “guru”. Secara cultural, kedua figure ini jelas mempunyai peran dan fungsi yang berbeda. Figur “guru” lebih menunjuk pada peran dan fungsi yang merujuk pada nilai-nilai ukhrowi.


Dalam konteks ini figure “guru” tentu berperan sebagai penjaga nilai-nilai moralitas agar setiap sikap, perilaku, dan tindakan (bahkan pikiran) orang Madura tidak melenceng dari nilai-nilai yang berlaku. Nilai-nilai ini meskipun secara eksplisit menunjuk kepada nilai-nilai Islamiah, tapi tidak harus dikesampingkan nilai-nilai cultural Madura yang sebagian besar bersumber dari nilai-nilai ajaran agama Islam. Sebaliknya, untuk urusan duniawi jelas peran dan fungsi itu lebih banyak dipegang oleh figure “rato”.


Oleh karena adanya gerakan reformasi tahun 1998 yang secara politik mengubah peta politik baik di pentas nasional maupun local, seperti Sumenep, kini figure “guru” menyatu dengan figure “rato”. Idealnya, suasdana kehidupan masyarakat Madura, khususnya Sumenep, akan semakin teduh, nyaman, aman, dan damai. Betapa tidak, dalam pelaksanaan pemerintahan serta kegiatan pembangunan daerah sikap, tindkan, dan perilaku serta pikiran para individu yang tergabung dalam entitas birokrasi mendapat pengawalan sekaligus pengawasan secara moralitas dari figure “guru”. Logika apapun yang akan dikapai tentu tidak akan menyangkal kehidupan seperti yang telah disebutkan pelan api pasti akan tercipta. Dalam bahasa politik akan tercipta clean governmanet dan – sekligus – good governance.


Namun apa yang terjadi, kenyataan yang ada di kabupeten Sumenep tenrnyata sesuai dengan apa yang diidealkan. Kasus DAU menjadi salah satu contoh gamblang tentang bagaimana gambaran sebenarnya moralitas (sebagian) birokrasi di era reformasi yang membuahkan realitas politik seperti di sebutkan di muka.



Parsanga Sumenep, Juni 2005.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar