November 21, 2008

BENARKAH ORANG MADURA KERAS?

Makalah dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura,
di hotel ”Utami Sumekar” Sumenep, 9-11 Maret 2007.



BENARKAH ORANG MADURA KERAS?



Dr. A. Latief Wiyata
Antropolog Budaya
Universitas Jember




Pertanyaan dalam judul di atas sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Bahkan karena keyakinannya itu, mereka kemudian merasa tidak berani mengunjungi pulau Madura. Lebih tragis lagi, mereka tidak mau berinteraksi dengan orang Madura. Kalaupun ada kemauan untuk itu, mereka paling tidak harus berpikir seribu kali sebelumnya.

Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnik lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnik Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun.

Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol).

Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura. Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz, makna (nilai-nilai) kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sekilas sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Namun, apakah memang benar demikian?

Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti). Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya.

Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mera ngoda, koneng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk).

Sama halnya dengan kesukaan terhadap warna sebagai refleksi dari unsur-unsur kebudayaan Madura, dalam hal kesukaan orang Madura terhadap rasa atau taste terhadap masakan selalu menujukkan hal yang sama. Pada dasarnya selera (taste) merupakan juga bagian dari refleksi simbolik nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, orang Madura hanya lebih mengenal rasa accèn (asin) dan manès (manis). Bagi orang Madura kedua rasa tersebut sangat disukai. Artinya jika mereka menyebut rasa asin terhadap suatu jenis masakan, maka yang dimaksud adalah rasa yang benar-benar asin. Barangkali hanya di masyarakat Madura dikenal “lauk” buja cabbhi, yaitu campuran antara garam dan cabai yang ditumbuk setengah halus sebagai pelengkap dan sekaligus penyedap makanan pokok.Garam yang digunakan adalah garam murni yang tidak memerlukan campuran lain sehingga rasa asinnya sangat kental. Begitu pula dengan rasa manis. Rasa yang sifatnya ”setengah-setengah” sepertinya tidak pernah disukai.

Contoh lain adalah ketika orang Madura akan membangun rumah sangat memperhatikan secara tegas posisi atau letaknya. Hampir dipastikan posisi atau letak bangunan rumah jangan sampai mèsong (tidak mengarah pada arah mata angin ”utama” – barat, timur, utara dan selatan). Bangunan rumah yang posisi atau letaknya mèsong dianggap kurang pada tempatnya bahkan menyimpang dari kelaziman dan kepatutan. Bukan hanya letak dan posisi bangunan rumah, perilaku-perilaku menyimpang (deviance attitudes) dalam kehidupan keseharian disebut juga sebagai kalakowan mèsong. Itu sebabnya, petuah orang tua orang Madura pada anak-anaknya adalah: ajjha’ andi’ kalakowan mèsong atau mon alako pateppa’, jha’ song- mèsong.

Dengan mengemukakan masalah kesukaan terhadap selera tentang warna dan rasa (masakan) serta letak dan posisi rumah hal ini merefleksikan bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura adalah tegas. Itu sebabnya, pada setiap kesempatan berinteraksi dengan orang lain perangai, sikap dan perilaku demikian akan selalu muncul (dengan sendirinya). Bentuk-bentuk dari ketegasan ini adalah perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif. Orang Madura hampir tidak mengenal perangai, sikap dan perilaku ”basa-basi”.

Spontanitas dan ekspresifitas orang Madura dapat dilihat ketika mereka merespons hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Misalnya, ketika orang Madura tidak menyukai akan sesuatu hal, maka ketidak-sukaan itu dikemukakan secara spontan tanpa didahului (dikemas, apalagi direkayasa) dengan pernyataan basa-basi. Begitu pun sebaliknya, jika orang Madura merasa suka atau senang terhadap sesuatu hal, tanpa basa-basi pula mereka akan menyampaikan perasaan kesukaannya itu secara spontan dan penuh ekspresifitas.

Namun harus diakui, bahwa perangai, sikap dan perilaku orang Madura yang pada dasarnya sangat tegas kemudian terimplementasikan dalam perangai, sikap dan perilaku spontan dan ekspresif ini kadangkala muncul dalam takaran yang agak berlebihan sehingga makna ketegasan yang terkandung di dalamnya kemudian bergerser menjadi ”kekerasan”. Namun, pergeseran ini tidak mungkin terjadi tanpa ada kondisi-kondisi yang membentuknya. Kondisi sosial budaya yang paling kuat adalah ketika orang Madura merasa dilecehkan harga dirinya sehingga membuatnya merasa tada’ ajhina (pengingkaran terhadap eksistensi diri sehingga tidak berguna dan bermanfaat baik secara sosial maupun budaya).

Perangai, sikap dan perilaku ”keras” yang kadangkala muncul secara tanpa disadari atau disengaja sebelumnya oleh karena adanya kondisi-kondisi yang membentuknya, secara kultural memang diakui adanya. Namun, secara kultural pula perangai, sikap dan perilaku tersebut harus tetap disaring dalam koridor etika moral yang benar sehingga kemudian harus memancarkan pesona kewibawaan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan mon kerras, pa akerrès. Makna ungkapan ini, walau bagaimanapun ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura hendaknya harus mampu diimplementasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan keseharian dengan memancarkan pesona kewibawaan. Oleh karena itu, ”kerasnya” perangai, sikap dan perilaku orang Madura harus dimaknai bukan kekerasan destruktif melainkan kekerasan konstruktif yang berwibawa. Oleh karena itu, penilaian orang luar bahwa orang Madura memiliki perangai, sikap dan perilaku keras merupakan penilaian yang kurang proporsional dan kentekstual berdasarkan karakteristik sosial budaya Madura. Sejatinya penilaian harus lebih diarahkan pada pemaknaan kekerasan yang konstruktif dan berwibawa.

Untuk mewujudkan penilaian demikian, bagi orang Madura sendiri perlu penyadaran bahwa kekerasan destruktif bukanlah suatu perangai, sikap dan perilaku yang dikehendaki oleh nilai-nilai sosial budaya Madura. Upaya internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai ”kekerasan” kontsruktif yang berwibawa sudah sangat mendesak untuk dilakukan terutama oleh para elit-elit (sosial-budaya) lokal. Selain sangat mendesak, juga penting dilakukan secara berkelanjutan agar ke depan citra masyarakat dan kebudayaan Madura tidak lagi tercemari oleh stereotype yang sangat merugikan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Madura. Bila demikian halnya, eksistensi masyarakat dan kebudayaan Madura ke depan akan semakin berkembang secara positif dan elegan di tengah-tengah masyarakat etnik lain dalam bingkai ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu, damai, aman, tentram, dan sejahtera.


Parsanga, Songennep
9 Maret 2007

1 komentar: